[Sura-0] • Prologue

304 22 19
                                    

Sometimes,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sometimes,

We don't get what we want

Because we don't really know

what we want;

What we say

Is different from what

Our hearts

Feel.

(Jerico Silvers)

° ° ° °

Acelyn dapat melihat orang-orang itu dengan jelas, orang-orang berseragam tentara yang masing-masing membawa senjata api. Mereka menyeludup memasuki sebuah rumah, membuat Acelyn berteriak untuk melarang orang-orang itu memasuki rumah tersebut. Akan tetapi, mereka bersikap acuh tak acuh seolah tidak mendengar sembari memasuki rumah tersebut, membobol pintunya hingga rusak, dan menggeledah perabotan-perabotannya hingga berantakan.

Acelyn tak dapat memasuki rumah itu, sepasang kakinya tidak bisa digerakkan seolah diberi lem perekat, entah bagaimana bisa seperti itu, dan Acelyn merasa seperti ada seseorang yang melarangnya; memberitahunya bahwa saat ini belum waktu yang tepat. Akhirnya Acelyn hanya berdiri kaku, menunggu orang-orang itu selesai menggeledah rumah tersebut. Akan tetapi, tidak, setiap malam Acelyn bermimpi yang sama, dan faktanya orang-orang itu bukan menggeledah rumah tersebut.

Terdengar suara beberapa tembakan dari dalam sana, dan mereka membawa jasad kedua orangtuanya.

Acelyn tidak tahu apa benar kedua orang itu orangtuanya, tetapi hati dan pikirannya selalu membenarkan di saat dia tidak yakin. Karena saat orang-orang itu keluar dari rumah yang tiba-tiba saja terbakar itu, mereka membawa jasad kedua orangtuanya dalam keadaan kepala tertutup kain hitam. Jantung gadis berumur lima belas tahun itu mencelus seketika, saat mendengar suara rintihan gadis kecil dari dalam rumah.

Pikiran Acelyn mulai kacau, jantungnya berdebar kencang membayangkan ada seorang anak di dalam rumah yang terbakar tersebut. Begitu merasa kakinya dapat digerakkan, dengan cepat gadis berkulit putih pucat itu berlari, memasuki rumah asing itu. Matanya melotot begitu melihat seorang gadis kecil berdiri di dekat jendela, melihat jasad kedua orangtuanya dengan tangisan dan tubuh yang terbakar. Aneh, gadis kecil itu hanya fokus melihat jasad kedua orangtuanya tanpa khawatir keadaan tubuhnya yang terbakar.

Tak lama kemudian, cahaya terang memasuki indra penglihatan Acelyn. Saat mengerjap, Acelyn mengerang. Sudah pagi ternyata, dia harus siap-siap untuk hari pertama bersekolah.

° ° ° °

Uxolo, 11 Juli IL-2119.

Acelyn memakai seragam sekolahnya dengan perlahan. Kemeja hitam dan jas berlengan panjang dengan logo burung feniks berwarna kuning keemasan di dada kiri, garis-garis kecil berwarna abu-abu muda menghiasi pergelangan tangan yang dia lipat karena kepanjangan, serta rok selutut bercorak kotak-kotak berwarna putih, hitam, dan abu-abu. Setelah selesai, perempuan dengan rambut keriting gantung berwarna cokelat terang itu memakai kaus kaki panjang berwarna abu-abunya, lalu memakai sepatu berwarna hitam dan putihnya. "Selesai," gumamnya, lalu meraih tas khusus Pasirose School--sebuah tas tangan berukuran sedang berwarna hitam dan berlogo sekolah tersebut.

Acelyn melangkah keluar kamar setelah menekan tombol 'open' di samping pintu kamarnya, lalu menuruni satu per satu anak tangga yang dilapisi karpet tipis berwarna abu-abu metalik. Melihat ayahnya telah duduk sembari membaca koran dari sebuah kotak kecil yang menampilkan layar hologram tiga dimensi berwarna biru muda transparan di ruang makan, Acelyn tersenyum lebar. "Selamat pagi, Ayah," sapanya riang lalu mencium pipi ayahnya.

"Pagi, Acelyn," balas ayahnya dengan senyum singkat, lalu sibuk kembali membaca koran.

Acelyn duduk tepat di depan ayahnya, lalu memperhatikan wajah ayahnya yang terlihat berwarna biru karena tertutup layar hologram, tetapi tak menghilangkan kesan tegasnya. Suara ibunya yang sibuk memasak di dapur membuatnya tersenyum, seharusnya ibunya mau-mau saja saat ayahnya akan membelikan robot rumah tangga, tetapi ibunya malah menolak dan beralasan akan lebih menyenangkan jika dilakukan dengan tangan sendiri. Acelyn berdeham, mengalihkan pikirannya, lalu memilin jari jemarinya. "Ayah," panggilnya.

Ayahnya hanya bergumam, "Hm."

Acelyn menyipitkan matanya, lalu tersenyum kecil. "Aku terus bermimpi hal yang sama selama ini, dan di dalamnya ayah dan ibu sudah meninggal. Apa itu pertanda? Tetapi ada seorang gadis kecil di dalam rumah yang terbakar dan tubuhnya juga ikut terbakar walau dia tidak merasa kesakitan. Aku jadi penasaran, siapa gadis itu," katanya yang sukses membuat Thomas, ayahnya, mematikan layar dengan memencet tombol bulat kecil di kotak.

Thomas menatap wajah Acelyn lekat-lekat, lalu membuang napas pelan. "Acelyn, itu hanyalah bunga tidur. Jangan terlalu dipercaya," tukasnya.

Acelyn berdecak. "Ayah, aku terus-terusan bermimpi hal yang sama dari tahun lalu. Apa itu tidak aneh?"

Thomas menggeleng sembari mengalihkan pandangannya ke arah istrinya yang sudah menaruh satu per satu piring di atas meja makan. "Setidaknya itu tidak seaneh kumis Tuan Gerald, tetangga baru kita yang memiliki kumis seperti jarum," elaknya.

Acelyn sontak tertawa. "Pfft, ayolah, Ayah melarangku menjadikan fisik orang sebagai lelucon, tetapi Ayah sendiri melakukannya," keluh Acelyn.

Amanda, ibunya, hanya menggeleng dengan tawa ditahan. Seketika Thomas menatap Acelyn dengan senyuman kecil. "Ayah pikir itu benar-benar jarum dan bukan kumis," elaknya lagi.

Setelah Amanda duduk di samping Thomas, Acelyn tertawa terbahak-bahak, lalu memakan roti isi tuna miliknya dengan lahap. Kegiatan di pagi itu berjalan lancar. Tiba saatnya Acelyn untuk berpamitan menuju ke sekolah. "Ibu, aku pergi dulu," pamitnya sembari mencium pipi ibunya, lalu mengekor di belakang ayahnya yang akan mengantarkannya ke sekolah.

Acelyn tersenyum miring. "Pasirose School, aku datang," gumamnya pelan.

Perjalanan seru atas nama jurnal kehidupannya dimulai sekarang juga.

° ° ° °

[1] ZAPHRENTISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang