X: SEBAIT PUISI, SEJUTA ISI

10.8K 777 13
                                    

"....Suara itu adalah tawamu, tentunya"

Davin mematung, ia ... benar-benar tidak bisa berkata apapun. Sedangkan dua meter di hadapannya, Davina masih menunjukkan wajah polos. Ia benar-benar tidak tahu bahwa puisi yang barusan ia bacakan mampu membuat Davin terpaku.

"Hm, Pak?" ujar Davina di ujung telpon, mencoba membuyarkan lamunan Davin.


Davin masih terdiam menatap perempuan di hadapannya.

"Pak? Pak Da-dmDavin?" tanyanya lagi dengan sedikit keraguan ketika mengatakan nama laki-laki di hadapannya.

"Eh, iya," Davin mengerjapkan matanya sejenak. "Saya tutup telponnya," katanya kemudian menyentuh simbol merah di layar ponselnya. Sedetik kemudian, ia memajukan kursinya hingga jarak pandangnya lebih dekat dengan Davina. Ia meletakkan ponsel di atas meja.

Davin menelan ludah berkali-kali, ia memperhatikan wajah Davina tanpa terlewati. Matanya, hidungnya, kerutan dahinya, senyumnya, semuanya mirip dengan Zula. Tapi satu hal yang Davin sadari sekarang; cara Davina bercakap sangat berbeda dengan Zula.

Apalagi cara Davina merangkai satu kesatuan puisi ... membuat hati Davin berbunga. Perempuan ini mampu mengetuk hatinya.

"Ja-jadi gimana, Pak?" tanya Davina gugup.

Davin melunakkan pandangannya dan mencoba terlihat santai. "Nggak bagus, nggak buruk juga. Ya ... saya jadi bingung mau nerima kamu atau enggak."

"Nerima?" tanya Davina karena merasa ambigu dengan jawaban Davin.

"Itu ... maksud saya soal kamu ngajar di sini."

Davina membulatkan mulutnya seperti mengucapkan 'oh' tanpa bersuara.

Davin memperhatikan wajah perempuan itu kemudian ia tersenyum kecil. Ah, sejak kapan raut wajah seseorang--selain Zula mampu membuatnya tersenyum?

Tentu saja sejak saat ini. Sejak ia mendengar syair yang keluar dari mulut Davina. Ia hanya merasa... Davina tulus mengucapkan kalimat yang ada dalam puisi itu untuknya.

"Soal puisi tadi, kamu ... udah pernah bikin puisi itu sebelumnya ya?"

Davina menggeleng cepat. "Kalau saya tau syarat jadi guru bahasa indonesia di sini harus bikin puisi, pasti puisinya nggak seburuk tadi, Pak."

"Puisinya bagus kok."

"Eh, serius, Pak?"

"Hm, enggak sih. Nggak terlalu bagus juga. Ya cuma ... lebih baik lah. Gak ada kata-kata. Oh Calon Kpala Sekolahku... ya kata-kata semacam itu."

Davina tertawa kecil.

Eh, perempuan ini bisa ketawa juga? Ini pertama kalinya liat dia ketawa, batin Davin.

"Itu puisi jaman SD banget, Pak." Davina terkekeh pelan. "Puisi itu kan nggak perlu dicantumkan dengan jelas untuk siapanya, yang penting makna di dalamnya. Kalau kita bikin puisi tentang Ibu, ya nggak harus ada kata-kata ibunya juga. Termasuk pas tadi bikin puisi tentang Bapak, kan nggak harus ada kata-kata Kepala Sekolahnya juga."

Tentang Davin: Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang