Chapter 5

54.1K 5.7K 240
                                    

Setelah ngobrol sebentar dengan Pak Tjipta sehabis makan malam, kini aku sudah mendapatkan kira-kira 70% dari bahan yang kubutuhkan untuk artikel itu. Mahesa mengajakku untuk berkeliling supaya aku mendapatkan bahan lebih banyak lagi.

Malam itu hanya ada aktivitas di ruang karawitan. Beberapa bapak-bapak sedang duduk di teras ditemani bergelas-gelas kopi hitam dan gorengan. Mungkin mereka sedang break latihan. Setelah menyaksikan para pengrawit itu berlatih, Mahesa membawaku ke Rumah Seni Rupa.

"Ini judulnya Semar Hilang." Mahesa menerangkan satu persatu karya yang ada di Rumah Rupa. Kali ini sebuah lukisan yang terdiri dari warna hitam dan putih. Sebuah karya semi realis. Sekali melihat, aku seperti sedang melihat lukisan badai. "Lukisan Bapak"

"Mana Semarnya?" Tanyaku bingung. Aku tak melihat sosok gembul berkuncung yang menjadi ikon punakawan dalam wayang Jawa itu. Aku tak tahu mengapa lukisan ini disebut Semar. Dan dikatakan Semar Hilang.

Mahesa tertawa kecil. "Mana Semarnya." Ulangnya. "Nah, itu dia. Semar nggak ada. Semar hilang."

Aku mengernyit, mencoba mencerna kata-kata Mahesa. "Jadi lukisan ini menceritakan sesuatu yang nggak ada di lukisan?" Tanyaku.

"Lukisan ini menceritakan ketiadaan itu, Saras. Ini, adalah kehidupan." Mahesa menunjuk pusaran angin putting beliung di kanvas. Namun setelah kuperhatikan lagi, ada bentuk gedung, rumah, uang, jalan, dan lain-lain di dalam pusaran. "Masyarakat sibuk menjadi kebutuhannya. Mencari kemewahannya. Mencari kekayaan-kekayaan duniawi. Mereka lupa pada yang spiritual. Warga Negara lupa untuk mengawal pemerintahnya. Partisipan demokrasi lupa pada esensi demokrasi, hanya karena terbelit kebutuhan sehari-hari, sementara musuh demokrasi menawarkan solusi lewat sekarung sembako atau seamplop uang. Kita lupa, atau sengaja dikondisikan untuk lupa. Semar adalah simbol rakyat itu sendiri. Di tengah masyarakat yang seperti ini, Semar hilang."

Oke. Kepalaku mulai cenat-cenut. Mungkin ada hubungannya dengan menu makan malam yang disuguhkan keluarga Soemitra tadi.

"Tapi...Semar itu...apa?'

"Hmm." Mahesa mengerutkan dahi. "Butuh waktu semalaman untuk menjelaskan."

Tanpa memperdulikan kebingunganku, Mahesa sudah berpindah ke karya selanjutnya. Ada banyak lukisan dan patung di rumah itu. Beberapa tergantung di dinding, beberapa masih nongkrong di atas kuda-kuda. Ada sebuah lemari besar di sudut ruangan yang berisi berbagai perlengkapan melukis.

"Biasanya masih ramai sampai jam segini." Terang Mahesa. "Nggak tau kenapa hari ini sepi."

"Kalau gue pengin belajar di sini, apa gue harus melakukan pendaftaran dan pembayaran atau semacamnya?" tanyaku.

"Pendaftaran, iya. Pembayaran, nggak. Kita bukan organisasi, Ras. Kita komunitas. Bapak senang mengasuh jiwa-jiwa seni anak muda. Makanya beliau menyediakan sarana-sarana dasar. Tapi selanjutnya, kita tetap harus cari duit sendiri untuk selalu menghidupkan komunitas ini."

"Cari duit?"

"Yap. Komunitas teater sering bikin pementasan di TIM. Yang terakhir bulan Februari lalu judulnya CINTA. Terus anak-anak musik juga sering dapat job di acara-acara kondang. Kalau anak-anak seni rupa lebih individual sih."

Aku mengangguk-angguk. Walau aku tidak mengerti mengapa Tjipta Soemitra rela membangun istana seperti ini jika bukan untuk tujuan bisnis.

"Nah, yang ini karya gue, Ras. Nggak begitu bagus. Yah, gue masih belajar."

Mahesa berderap menuju sebuah kanvas yang masih nongkrong di atas kuda-kuda, tertutup kain putih. Sedikit kikuk, Mahesa membuka kain putih yang menyelubungi kanvasnya. Aku reflek menelengkan kepala sedikit untuk menyimak lukisan Mahesa. Hanya ada tiga warna di sana, hitam, putih dan abu-abu. Sebuah gelas anggur miring, menumpahkan setetes anggur berwarna hitam ke atas meja putih. Tetes terakhir. Tetesannya, entah mengapa, mengingatkanku pada air mata. Mendadak, sebuah perasaan sendu menyelimutiku tanpa alasan.

BEST OF US - TERBIT CETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang