Rein mematut dirinya di depan kaca besar yang menampilkan tubuhnya dalam balutan gaun merah pilihan gadis tadi. Wajahnya dirias senatural mungkin-sesuai dengan permintaannya. Sedangkan rambut coklatnya disanggul ke atas dan memakai hiasan yang jujur saja Rein tidak mengerti apa namanya.
"Kamu udah cantik kok," ujar sebuah suara dari arah belakang tubuhnya.
Rein menoleh dan melihat gadis tadi berdiri anggun dengan wajah penuh senyum. Gadis itu terlihat semakin cantik membuat Rein kembali merasa minder. Tubuh gadis itu dibalut gaun merah yang panjangnya hingga semata kaki. Gaun tanpa lengan itu memamerkan bahu telanjangnya yang putih. Rein tidak sadar kalau dia mengamati penampilan gadis itu lamat-lamat.
Gadis itu berjalan mendekati Rein dan berdiri di sampingnya. Matanya menatap pantulan dirinya di kaca. "Lihat," seru gadis itu tiba-tiba. Rein menatapnya bingung. "Bukankah kita sama-sama cantik?" Pertanyaan gadis itu membuat Rein lagi-lagi membandingkan dirinya dengan gadis di sampingnya.
"Ah, biasa saja. Kamu lebih cantik kok," ujar Rein jujur. Dia tersenyum tulus ketika gadis itu terdiam menatapnya. Tak lama karena sesaat kemudian gadis itu memalingkan wajahnya lalu tersenyum.
"Benarkah?" Gadis itu mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai. "Kalau begitu wajar."
Dahi Rein berkerut. "Wajar? Apanya yang wajar?"
Gadis itu tersenyum lagi. Mulutnya baru saja terbuka hendak menjawab pertanyaan Rein ketika terdengar suara memanggil nama Rein. Keduanya sontak menoleh dan mendapati Arion yang terlihat tampan dengan tuksedonya.
Arion melangkah mendekat. Tatapannya... Rein tidak mengerti arti tatapan pria itu. Dia bahkan bingung siapa sebenarnya yang pria itu tatap. Hingga pria itu sampai di dekatnya barulah Rein yakin pria itu menatapnya.
"Sudah selesai?" tanya Arion singkat. Rein mengangguk. Pria itu melirik gadis di samping Rein sekilas dan menghela napas panjang. Tangannya menggenggam tangan Rein yang bebas. "Ayo, kita harus segera berangkat."
Arion membimbing Rein berjalan keluar tanpa membuat dirinya pamit dengan gadis itu. Rein sempat menoleh dan melihat gadis itu berjalan mengikutinya sambil menatapnya dengan senyum tipis di wajahnya. Arion membawanya masuk ke dalam mobil. Dan Rein-entah kenapa matanya tidak bisa berhenti menatap gadis itu yang kini berdiri di depan pintu butik sambil balas menatapnya. Hingga Arion duduk di sampingnya dan melajukan mobilnya, tatapan mereka tetap tidak terputus hingga bayangan gadis itu tidak terlihat lagi dari kaca spion.
............................
Sejak dia tiba di pesta ini hingga sekarang, dirinya terus dihujani dengan tatapan penasaran. Rein tidak mengerti kenapa. Apa mungkin karena pengaruh pria di sampingnya mengingat pria itu merupakan pimpinan di perusahaannya. Rein melirik Arion melalui sudut matanya. Pria itu kini sedang berbincang dengan salah satu rekan bisnisnya.
Rein menghela napas panjang. Kalau seandainya dia tahu dia akan dicueki seperti ini, lebih baik dia menolak ajakan-oh, lebih tepatnya perintah Arion untuk ikut ke pesta ini. Rein tidak pernah nyaman berada di keramaian pesta seperti ini. Segalanya mungkin menjadi lebih baik kalau saja, Arion mau mengerti kalau dirinya tidak terbiasa dengan pesta seperti ini.
Rein jarang ikut ke pesta. Ketika orang tuanya diundang ke pesta seperti ini, dia tidak akan ikut dan lebih memilih berdiam di rumah ditemani oleh salah satu kakaknya. Rein tidak pernah mengerti kenapa orang-orang senang sekali datang ke pesta dan menjadikannya sebagai ajang untuk pamer kekayaan. Entahlah, walaupun Rein terlahir dari keluarga berkecukupan, dia tidak pernah berlebihan dalam menghabiskan harta kekayaan keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
14 Days
RomansaBagi Rein, Arion terlalu sulit untuk digapai. Hingga sekuat apapun Rein berlari untuk menggapainya, Rein tidak akan bisa meraih pria itu. Karena ketika Rein berlari, maka saat itu pula Arion akan berlari. /// Rein dan Arion saling mengenal sejak kec...