CADAR HITAM

7.3K 313 91
                                    

Aku berjalan perlahan, menghirup aroma embun pagi yang bercampur harum Melati yang tertanam hampir sepanjang jalan yang kulewati. Menikmati suasana sepi desa ini dalam perjalanan pulang setelah menunaikan sholat subuh berjamaah, menuju rumah kontrakan yang sudah kutempati selama dua bulan ini.

Masih teringat niatku kabur kedesa ini. Kekasih yang akan kunikahi sebulan lagi justru kabur dengan lelaki lain. Padahal aku sudah menyiapkan segalanya. Rumah, mobil, bahkan asisten rumah tangga. Jujur aku sempat merasa sedih. Tapi rasa kecewa lebih mendominasi, aku merasa harga diriku terluka. Hingga lari ke desa ini, aku butuh waktu merenung.

Hingga saat sampai diperempatan desa, aku melihatnya. Seorang wanita dengan pakaian gamis hitam kebesaran, dengan kerudung panjang selutut-yang juga berwarna hitam-lengkap dengan cadar hitamnya. Hanya bagian matanya yang dapat kulihat. Karena tangan dan kakinya juga terbungkus kain hitam. Namun matanya selalu menunduk. Setiap kami, atau lebih tepatnya aku menyapanya. Suaranyapun sangat halus dan merdu. Itulah yang membuatku penasaran padanya dan semakin betah tinggal disini.

Ia sedang membantu anaknya bediri. Anaknya yang baru saja terjatuh dijalan desa yang aspalnya masih penuh dengan kerikil kini kesulitan berjalan. Tapi anehnya dia terlihat kesusahan menggendong anaknya. Padahal dengan umurnya yang lebih mudah 2 tahun dari umurku yang sudah 29 tahun, seharusnya dia masih -sangat- mampu untuk melakukanya. Karena tidak akan ada suami yang akan membantunya.

Ya, dia adalah seorang janda. Suaminya meninggal karena serangan jantung saat sholat sekitar tiga bulan lalu. Jangan tanya darimana aku tahu. Karena warga sekitar sering menggosipkanya sebagai istri seorang teroris. Sedikit banyak aku sudah tahu tentangnya, tentang dia yang menyambung hidup dengan menjual obat-obatan herbal via on-line, termasuk kebiasaanya mengantar dan menjemput putranya sholat berjamaah di masjid. Seperti saat ini.

Segera kulangkahkan kakiku mendekat padanya,"Assalamu alaikum."

Dia menoleh. Namun segera menundukan pandangannya."Waalaikum salam Akhi."

Aneh, kenapa dia selalu menundukan wajahnya saat berhadapan denganku? Apakah wajahku ini jelek? Karena setahuku para wanita disekitarku menganggap wajahku ini tampan. Bahkan ada beberapa ibu-ibu yang mengajukan anak gadisnya untuk kunikahi.

"Nama saya Anas. Mungkin kamu belum kenal saya, tapi saya tahu kamu. Saya yang mengontrak rumah Pak Jaka. Maaf sepertinya kamu kesulitan untuk membawa anak kamu pulang. Lebih baik saya bantu gendong." tawarku padanya.

Dia terlihat bingung. Hingga aku tidak sabar menunggu jawabannya. Segera saja ku gendong anaknya dan berjalan menuju rumahnya dengan langkah perlahan agar dia tidak kesusahan menyusul langkahku. Anehnya, dia lebih memilih berjalan dibelakangku. Padahal pikiranku sudah membayangkan, seandainya kami berjalan nerjajar. Mungkin akan terlijat seperti keluarga bahagia. Namun kami tetap berjalan dengan posisi semula yang dikehendakinya dalam keadaan hening.

Ketika sampai didepan rumahnya, dia langsung membukakan pintu. Aku langsung berjalan untuk bisa masuk dan meletakkan anaknya di dalam sana.

Namun saat masih mencapai teras, dia langsung menghentikanku."Afwan, emm maksud ana maaf. Lebih baik Mas Anas turunkan Azzam disini saja. Matahari sudah terbit. Biar ana papah dia masuk kerumah. Mungkin Mas butuh bersiap untuk pergi berkerja."

Aku terkesiap dengan kata-katanya, tutur bahasanya halus. Tapi intinya dia mengusirku. Apalagi dengan caranya yang masih tidak mau mengangkat wajahnya. Aku benar-benar tersinggung.

"Baik. Maaf sudah mengganggu Dik Rahma. Permisi." kataku dengan muka yang kubuat sedatar mungkin. Menurunkan anaknya, dan berbalik melangkah. Namun segera terhenti begitu kudengar kata-katanya.

"Bukan maksud ana menyinggung perasaan Mas Anas. Tapi dirumah ini tidak ada siapa-siapa lagi, ana takut akan ada fitnah kalau Mas Anas masuk. Karena kita bukan mahram." Aku paham apa yang dimaksudnya.

Aku berbalik menghadapnya. Dan diam sebentar untuk memantapkan hatiku.

"Kalau begitu akan saya buat kamu jadi mahram saya. Saya harap kamu bersedia." kataku yakin.

Dia terkejut. Mengangkat wajahnya, menatap wajahku seakan mencari kesungguhan dari kata-kataku. "Bismillah. Ana belum bisa menerima pinangan Mas Anas. Jadi maaf ana harus menolak."

"Tapi kenapa? Apakah saya tidak cukup baik untuk kamu? InsyaAllah saya sudah siap lahir batin untuk menjadi seorang imam. Saya juga bersedia mendidik dan merawat Azzam sebagai anak saya nantinya." ucapku pasrah. Aku benar-benar yakin untuk menikahinya. Tapi dia justru menolakku.

"Lebih baik kita ta'aruf Mas. Agar mas tidak menyesal dikemudian hari. Selain itu, saat ini saya sedang hamil 5 bulan. Ana harus menyelesaikan masa idah ana sebelum menerima lamaran Mas Anas. InsyaAllah 5 bulan lagi mas bisa kemari untuk melamar ana yang sudah dalam keadaan pantas."

Aku terkejut akan kehamilannya. Namun berujung bahagia mendengar penuturanya. Jawaban seseorang mukmin yang benar-benar aku inginkan menjadi istriku.

"InsyaAllah saya sudah mantap. Tunggulah kedatangan saya dan kedua orang tua saya."

###

Jangan tanya kenapa di hidup saya dikelilingi pernikahan yang terlalu cepat terjadi. Karena saya hanya ingin menyebarkan kebahagiaan yang bisa diraih bersama pasangan tanpa penjajakan yang memakan waktu lama.

Ini adalah kisah nyata dari kerabat saya yang sedikit saya permak. Semoga suka.

Peace

Jolieta14
27052016

itu tulisan dulu, sekarang cuma mau bilang, anggep aja ini teaser. ceritanya sudah laku, hak cipta dan alur sudah berubah. jadi jangan nagih ini lagi ya. maaf ya yang udah nungguin, maaaafff banget. makasih

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CADAR HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang