-19-

204 9 0
                                    

Membawa Cinta jalan-jalan ke mall. Hal yang jarang sekali dilakukan Stanley. Beberapa barang telah dibeli, meskipun bukan tergolong mahal, tapi Cinta cukup senang. Setelah apa yang menimpanya 2 minggu ini, kebersamaan dengan Stanley adalah hal penting.

Menghabiskan beberapa jam dengan mengobrol, bergandengan, sesekali saling merengkuh pinggang, itu sangat menyenangkan. Apalagi mereka hanya pergi berdua. Meninggalkan si kembar dirumah, bersama suster.

Langkahnya terhenti didepan toko yang mengusung merek dari New York "Sayang, kita lihat tas dulu ya!"

"Kamu duluan. Aku ke toilet bentar," ucapnya seraya menyerahkan barang belanjaan istri keduanya.

"Oke. Jangan lama-lama! Ntar aku keburu kangen," celotehnya manja, yang ditanggapi Stanley dengan senyuman.

Cinta mulai melihat-lihat koleksi tas yang dipajang di etalase.

Diruangan dalam, Renata duduk disebuah sofa, dengan beberapa pasang sepatu yang sedang dicobanya. Sesekali dia berdiri untuk mencoba sepatu yang sedang dipakainya, kemudian berjalan mondar-mandir didepan tempat duduknya.

"Yang ini agak sempit, mbak. Bisa carikan yang nomer 39?!" dia berkata pada pramuniaga toko, sebelum kemudian kembali duduk manis disofa.

"Iya, kak, saya carikan. Ditunggu sebentar ya, kak!" dengan ramah gadis muda yang sedari tadi melayani Renata berkata.

Suara ponsel di tasnya, membuatnya tak sempat membalas ucapan gadis tadi.

Panggilan dari Stanley. "Ya, sayang?!" sapanya manja.

"Sayang, aku agak telat pulang ya."

"Lembur lagi?"

"Biasalah.... Kamu ga pa-pa kan makan malam sendirian?"

"Ga pa-pa sih. Kebetulan aku ga masak, jadi aku beli aja."

"Jangan sampe ga makan!"

"Iya, aku tau. Kamu juga. Jangan kerja terus. Ntar bisa sakit lagi."

"Seneng banget dikuatirin istri. Jadi pingin cepet pulang nih."

"Tuuhh....mulai deh gombalnya. Udah, jangan kemaleman pulangnya. Aku keburu kangen."

"Waahh.....kalo udah dikangenin gini, mending aku ga lembur deh."

Ditengah obrolan, pelayan toko tadi kembali dengan kotak sepatu ditangannya.

"Kak, yang nomer 39 kosong. Tapi ini ada model yang sama cuma beda warna."

"Taruh aja dulu, mbak. Saya lagi nelpon," ucapnya ramah disertai senyuman

Stanley mendengar ucapan itu. Dia menyimpulkan Renata sedang tidak dirumah.

"Sayang, kamu lagi dimana?"

"Lagi di mall. Kenapa?"

Makin bertambah panik Stanley mendengar jawaban Renata.

"Di mall mana?"

"Di,...." belum selesai dia berkata. Kalimatnya terputus karena kehadiran seorang perempuan yang meskipun belum pernah dilihatnya langsung, tapi dia mengingat betul wajahnya.

Perempuan yang menjadi madu-nya, kini berdiri dihadapannya.

"Wooww,....lihat siapa yang ada disini?!" begitu sinis ucapan itu terdengar.

Sambungan itu belum terputus, jadi Stanley masih bisa mendengar suara Cinta melalui ponsel Renata.

Ponsel itu masih tergenggam, tapi sudah menjauh dari telinga Renata. Tatapan matanya pada Cinta, serupa Srigala betina yang sedang menatap mangsa. Siap untuk diterkamnya.

"Seingatku, sebelum aku berangkat ke mall, aku sudah berdoa pada Tuhan agar dijauhkan dari segala gangguan setan yang terkutuk, tapi kenapa masih ada satu yang datang mendekati aku?!" pedas kalimat yang keluar dari bibirnya.

"Karena Tuhan merasa, do'a mu tak pantas dikabulkan."

"Ooo, jadi itu sebabnya ada satu yang datang buat ngeganggu?! Ga cukup ya ngeganggu suami aku aja, tanpa perlu nunjukin muka didepan aku? Eneg banget ngeliatnya."

"Suami kamu?! Ciihh.... Lupa ya kalo aku juga istrinya?! Lupa juga kalo kami sudah punya anak?! Makanya, jadi perempuan tuh harus bisa semua! Termasuk bisa beranak!"

Renata mengangkat tangan kirinya. Menunjukan punggung telapak tangan itu tepat didepan wajah Cinta. "Kamu liat baik-baik! Selama dia masih, memakai cincin yang sama seperti ini, itu artinya dia mutlak suami aku! Dan artinya juga, status kamu cuma simpenan! Ingat,...simpenan! Lantas anak kalian itu, ga lebih dari anak yang ga ada bapaknya. Aku kasian loh sama si kembar. Miris akan nasibnya kelak..... Dan satu lagi, aku tuh ga mandul. Aku emang belum mau punya anak, karna aku tau Stanley ga suka sama anak kecil. Masa sih kamu ga nyadarin itu? Emang pernah ya dia ngabisin waktu main-main sama anak kamu? Coba diingat lagi!"

"Hei, perempuan simpenan ini lebih dicintai dari pada istri yang cuma karna status. Nyatanya, dia masih akan selalu pulang ketempatku, biarpun kamu melarangnya. Jadi ga usah terlalu bangga sama status deh!"

"Yakin kamu kalo dia lebih memilih kamu dari pada aku?! Ya ampun, kamu belum tidur aja udah mimpi. Atau jangan-jangan, kamu ini sebenarya lagi tidur, tapi sambil jalan! Apa perlu aku beberkan kegilaan kami tiap malam?! Apa perlu juga aku umbar-umbar gimana dia memperlakukan aku seperti seorang ratu? Ah....kamu tuh apa sih? Cuma mainan buat dia."

Stanley menerobos beberapa pengunjung toko dan SPG yang melihat keributan 2 perempuan yang berstatus istrinya, tanpa ada yang berani memisahkan. Nafasnya begitu sengau karena dia harus berlari cepat dari toilet.
Baik Renata maupun Cinta langsung terdiam sambil menatap Stanley yang secara bergantian menatap keduanya.

Jakunnya bergerak naik turun ketika dia menelan ludahnya sendiri. Bingung tanpa tahu apa yang harus dilakukan?

Renata sangat paham bahwa Stanley tampak kebingungan. Sebab itu dia putuskan untuk segera pergi dengan sebelumnya dia sempatkan menyambar tasnya yang tergeletak diatas sofa, bekas dia duduki. "Maaf, mbak, saya ga jadi belanja hari ini," dengan tersenyum, dia pamit pada gadis tadi, yang masih berdiri mematung antara takut dan takjub.

"Re,..." Stanley menarik tangan Renata, hingga dia berhenti melangkah.

Kedua matanya kembali menyorot pada Cinta, dengan pancaran kebencian. "Oh ya, satu lagi. Lain kali, kalo mau ngepoin akun aku dengan bikin akun palsu, pilih nama yang bagus dong! Nama kamu tuh alay, kayak ABG labil, tau ga?!" selesai bicara, dia membuang pandangan, lantas melepaskan tangan Stanley dari lengannya, kemudian melanjutkan langkahnya.

Kaget pastinya, karena Renata bisa tahu masalah akun palsunya. Makin bertambah rasa malunya, sebab semua kejelekannya diumbar didepan banyak orang.

"Re,..." Stanley mengejar Renata. Ditariknya kembali tangan istrinya.

"Lepasin aku!"

"Gak!! Kamu ga boleh pulang sendiri! Aku ga mau kamu nyetir dalam keadaan marah kayak gini. Berikan kunci mobil kamu!" ia berkata lirih, tapi cukup tegas, hingga jelas terdengar oleh Renata.

"Aku baik-baik saja. Yang seharusnya kamu cemasin itu, perempuan simpenan kamu," lirih dan tegas juga Renata berkata. "Stanley kamu ini sadar ga sih? Aku tuh udah permalukan dia, dan sekarang kamu makin menambah mempermalukan dia dengan ngejar aku. Udah. Kamu antar dia pulang!"

"Gak! Dia bisa pulang naik taksi."

"Aku bawa mobil, dan aku bisa pulang sendiri. Stanley, aku ini perempuan, aku tau rasanya dipermalukan didepan orang itu menyakitkan. Harapan dia cuma kamu, tapi kamu malah ngancurin harga diri dia. Jangan ngajak berdebat! Aku bisa pulang sendiri. Kamu antar dia!"

Bukan karena berbesar hati jika Renata menyuruh Stanley mengantar Cinta. Dia hanya tidak mau menjadi semakin marah ketika lelaki tercintanya itu berada didekatnya saat emosinya tidak stabil. Hatinya sudah sangat hancur. Menjadi tontonan banyak orang yang akhirnya tahu aib rumah tangganya, serasa wajahnya habis dilempar kotoran yang sangat bau. Menyebar kemana-mana. Meskipun dia tak mengenal orang-orang tadi, bisa dipastikan, peristiwa yang menimpa dirinya, akan jadi perbincangan diantara mereka.

💖💖💖💖💖

STANLEY CINTA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang