GATOT (Gagal Total Militer)

63 1 1
                                    


Mama tertarik pada suatu pekerjaan yang telah di lihatnya sejak kecil. Pekerjaan itu sama seperti Kakek. Bukan petani, bukan pula sulap apalagi tukang sihir. Namun impian menjadi seorang tentara. Tentara wanita angkatan darat.

Tentara, sebuah cita-cita agung yang selalu Mama bayangkan. Berpakaian loreng coklat dengan dasar baju berwarna hijau. Hijau lumut, hijau daun, tetapi bukan hijau tosca. Menggunakan sepatu tinggi yang berat sehingga langkahan kaki terdengar lebih gagah seperti dentuman drum. Gagah sekali. Apalagi memegang senjata, awas-awas Ibu galak mau lewat. Menyenangkan pasti bekerja secara langsung ke lapangan. Bukan duduk saja hingga bokong melepuh dan berasap. Lagipula nanti akan menjadi nama dari sejarah demi mengamankan daerah ini dari permusuhan. Keren tidak ketolongan, kelihatannya.

Itulah pikiran Mama. Mama telah membayangkan semuanya dan berencana untuk ikut seleksinya setelah lulus STM. Zaman itu namanya STM (Sekolah Tinggi Menengah), zaman kini namanya SMA (Sekolah Mau Apa). Pembukaan untuk menjadi tentara atau anggota Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat).

Tibalah waktunya, 1979, Mama sah lulus dari STM. Dengan bukti seragam yang bercoret cat pelangi pun tanda tangan tak penting namun akan menjadi kenangan. Keadaan sepertinya sudah ditakdirkan dan dipermudah kendati tes Kalimantan Barat dilakukan tak jauh dari asrama tempat Mama dan Kakek tinggal di Pontianak. Jadi tak perlu anggaran transportasi yang mencekik semahal batu akik.

Semua rencana ini tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Tuhan, malaikat dan setan yang menggoda. Tiba hari, Mama bergegas mengemas pekerjaannya. Namun keep calm. Pergi mengendap-ngendap, waspada takut tertangkap.

Bagaimana pun mencoba sembunyi, akhirnya percuma. Tersumbat pada satu persyaratan. Persyaratan itu meminta adanya bukti persetujuan dan izin dari orang tua. Dipikir kalau mau dipalsukan, percuma. Tanda tangan Kakek terlalu panjang dan kelok-kelok, melingkar kesana kemari, berputar mengelilingi kertas. Mau tidak mau tapi harus mau, dengan mulut komat-kamit membaca doa, Mama menghadap Kakek dengan kepala menunduk, "Pa. Aku minta maaf sebelumnya."

"Kenapa?"

"Aku tadi daftar Kowad. Kalau mau tes, harus ada bukti izin persyaratan dari orang tua."

"Ngapa kau tak bilang? Sudah begini barulah kau bilang. Kenapa juga kau mau jadi tentara? Kau tak takut di serang Belanda? Dihantui peluru senapan? Bom? Ranjau?!" ditambah sorot Kakek di remang-remang cahaya menambah keseraman wajahnya, mengalahkan seramnya penagih kredit panci.

"Aku sudah ingin menjadi tentara sejak kecil. Aku takut Papa dan Mami tak bolehkan, makanya coba sendiri diam-diam."

"Ya sudahlah, tak apa. Sekarang, kamu buat surat persetujuannya, nanti Papa tanda tangan."

"Tanda tangan Mami bagaimana?"

"Jauh kalau balek dulu ke sana hanya untuk tanda tangan. Biar Papa yang memalsukannya."

Sebenarnya ini haram. Don't try at home! Karena melanggar hak cipta pemilik tanda tangan! Apalagi kalau pakai karbon, membuat kertas di sekitarnya kotor dan jorok sekali.Setelah mendengar izin dari Kakek, Mama bukan senangnya lagi. Berbunga-bunga hatinya, dari bunga rumput hingga bunga langka di belukar hutan, ada semua. Senyum permanen menuju kamar tapi tidak dengan adegan berlompat-lompat sambil berjalanan dengan rok yang berkibas kesana kemari.

Langsung ambil kertas, ambil pulpen. Siap untuk menggambar. Bukan. Siap untuk menulis, tapi tunggu, isinya apa?

Saking senangnya, otak malah sulit berpikir. Terlalu berbunga hatinya, kepalanya pun dipenuhi akar bunga. Bukannya segera menulis, Mama malah sibuk duluan berkhayal saat nanti menjadi tentara. Bagaimana sikapnya, berwibawanya, tanggung jawab yang penuh dan lainnya.

"Murni, udah kah kau buat suratnya? Papa mau tidur lagi."

Dengan kecepatan 60km/detik Mama membuat kata-kata yang pas dan cocok untuk surat izin menuju masa depan hijau lorengnya. Lima menit kemudian, surat sudah selesai.

"Pa, ini."

Begitu Kakek selesai tanda tangan semuanya. Surat langsung dipeluk, dicium, dan dibelai sayang. Dimasukkan dengan hati-hati ke dalam amplop di lem dengan tekanan 15 Pascal lalu dikemas di dalam tas. Mama berbaring untuk segera tidur, tapi sulit. Mama menghabiskan setengah malamnya untuk berimajinasi sebelum mimpi tidur.

Subuh tiba, aktifitas dimulai lagi jam empat subuh. Berbagai kegiatan biasa dijalani, namun lebih bersemangat karena hari ini Mama akan datang lagi ke tempat pendaftaran dengan membawa persyaratan terakhir sebagai tiket untuk tes karena besok diinformasikan kalau tes sudah dimulai.

Singkat cerita, semua tantangan dan rintangan, badai sekali pun sudah terlewati tanpa ada gangguan dan marabahaya. Tes disantap habis. Kini, babak terakhir sebagai langkah untuk kepastian masuk pelatihan dan bersedia segera ditempatkan di Timor Timur (dulu waktu masih bersama dengan Indonesia) atau Timor Leste (sekarang sudah putus sama Indonesia). Yaitu, dibutuhkannya uang sebesar Rp200.000. Bisa dibayangkan uang segitu pada zaman itu bukan uang dua lembar yang gampang diselip, digulung, ditenteng kemana-mana. Kalau ada memang, sudah besar gulungan uangnya sebesar handuk gulung.

Dengan modal tekad bulat seperti bola salju dan mengalahkan bola pimpong, Mama pulang ke rumah di kecamatan Sosok bagian dari Kabupaten Sanggau untuk meminta uang dengan Nenek, karena Kakek saat itu tak punya uang sebanyak itu. Begitu baru sampai depan pintu, ....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 28, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dengar Kata Emak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang