-21-

238 8 6
                                    

Secangkir teh hangat yang tidak terlalu manis, diseruputnya sedikit, sebelum kemudian dia letakan diatas nakas, disamping tempat tidur.

"Renata pasti memintamu menceraikan aku."

Stanley mengangkat kepalanya, agar bisa melihat wajah Cinta dengan lebih jelas. Tak ada senyuman seperti biasa. Pikirannya benar-benar kacau.

Cinta duduk dipinggir tempat tidur. Menatap Stanley yang sedari tadi duduk bersandar pada sandaran ranjang, sambil tenggelam dalam lamunannya.

"Justru dia yang minta cerei."

Jelas sekali Cinta mendengar itu. Karenanya, dia tersenyum. Stanley yang terlihat begitu kebingungan, dan dia memilih datang pada dirinya.

"Aku tidak mungkin mencereikannya..... tidak akan mungkin!"

"Kenapa tidak? Bukannya dia sendiri yang minta?!"

"Dia tidak akan minta cerei, kalo aku mencereikanmu."

"Apa?!!" Berbeda dengan tadi, kali ini ada kemarahan yang terpancar dari sorot matanya. "Kenapa dia egois sekali?! Apa dia tidak sadar kalo kamu sudah punya anak dari aku? Kenapa dia tidak memikirkan anak-anak kamu?!"

"Cinta,....aku minta maaf!"

"Kenapa minta maaf?! Kamu tidak sedang berpikiran untuk mecereikan aku kan?!"

Rasanya tak ada kesanggupan untuk menjawab pertanyaan Cinta. Sebab dia pun masih sangat menyayangi perempuan keduanya itu, meski Renata menjadi prioritas.

"Stanley, kenapa diam?" Ketakutan mulai menyerang. Ini tidak boleh terjadi. Cinta terlalu menyayangi lelaki dihadapannya itu.

"Demi anak-anak kita, tolong pikirkan lagi! Kamu ga mau si kembar tumbuh tanpa papih nya kan?!"

Sekedar menenangkan ketakutan Cinta, Stanley menggenggam lembut tangan perempuan keduanya itu. Memberikan sedikit senyum yang dipaksakan. "Aku belum berpikir kesana. Justru aku sedang mencari cara lain."

Ada kelegaan bagi Cinta, ketika mendengar Stanley berkata seperti itu.

"Untuk sementara, jangan menelpoku. Aku akan datang seperti biasa buat ngeliat anak-anak, juga kamu. Ini satu-satunya jalan untuk meredakan amarah Renata."

Cinta mengangguk seraya tersenyum. Lantas dibalas sebuah kecupan dikening oleh Stanley.

💖💖💖💖💖

Sengaja Stanley pulang lebih awal dari biasanya. Lebih baik membawa pekerjaan kantor ke rumah, dari pada dia harus tetap berada dikantor, tapi pikirannya berada dirumah. Meskipun masih tetap didiamkan, setidaknya dia harus berusaha memperbaiki, agar tak makin hancur.

Sisa makanan diatas nakas sudah tidak ada. Hanya obat-obatan dan segelas air yang masih penuh. Artinya, Renata tidak hanya tiduran sepanjang hari. Sebab tadi siang Farah batal datang ke rumah.

Pelan, dia duduk dipinggir ranjang, seakan tak mau mengusik tidur istrinya. Namun sayang, perempuan itu langsung terjaga begitu Stanley berada disana.

"Tadi aku mampir harvest. Aku beli fruits vanila cheese cake, kesukaan kamu," ujarnya membuka obrolan.

Kalau saja, dia tidak teringat jika sedang marah, mendengar fruits vanila cheese cake, pasti sudah langsung dilahapnya. Lagi pula, bagaimana Stanley bisa tahu kalau sedari tadi dia sangat ingin makan cake itu.

Berkali-kali dia menelan ludah. Rasa pahit dimulutnya makin menjadi. Ingin rasanya rasa pahit itu segera diganti dengan manisnya cake yang dibawa Stanley. Tapi kesombongannya membuat dia harus tetap bertahan dalam diam.

"Masih ga enak makan? Tadi masih muntah?"

Jawaban yang dia berikan, hanya berupa anggukan lemah. Air liurnya makin membanjiri rongga mulut, dan kembali dia harus menelan itu.

"Aku bikinin teh hangat ya?" dibukanya paper bag yang didalamnya berisi sepotong cake kesukaan istrinya. Dia keluarkan kardus kecil dari dalam paper bag, kemudian dibukanya kardus kemasan cake itu. "Kamu makan dulu!"

Renata pura-pura tak tergoda. Tak bergerak dari tempatnya, meski hatinya bicara, "paksa aku, Stanley! Demi cake itu, aku akan makan. Cepat paksa aku!"

"Ayo dong, Re! Jangan ga dimakan."

"Yes! Ayo paksa aku sekali lagi," masih berbicara dalam hati.

"Atau kamu mau makan yang lain? Aku taruh dikulkas ya?"

"Aahh, kenapa ditaruh. Paksa aku!"

"Atau aku suapin?"

"Ga usah. Taruh aja disitu! Ntar aku makan," akhirnya dia bicara, meskipun masih terdengar dingin.

Senang Stanley mendengar itu. "Gitu dong."

Sungguh dia berharap bahwa cheese cake akan membuat istrinya melunak. Melupakan pelan-pelan masalahnya. Karena itulah dia begitu semangat keluar kamar, untuk segera membuatkan teh hangat, sesuai janjinya.

Langkah kaki yang begitu ringan ketika menuruni anak tangga. Siulan merdu menirukan marry you-nya Bruno Mars, menggema keseluruh penjuru rumah. Gambaran hatinya yang tengah gembira.

Saking senangnya sampai dia kurang konsentrasi ketika ingin mengambil teh yang tersimpan di rak gantung, sehingga tanpa sengaja dia menjatuhkan sesuatu dari atas sana.

"Aiisshh...." sedikit kesal, dipungutnya 2 bungkusan plastik yang dia jatuhkan tadi.

Kejanggalan langsung dirasakannya saat dia tahu bahwa yang dia jatuhkan hanyalah gula dan garam, yang memang dikemas dalam plastik kecil, dan isinya pun tidak banyak.

"Kenapa mesti ada gula dan garam dalam plastik? Kenapa juga cuma sedikit?" dia mulai berpikir keras.

Kalau cuma sisa ketika Renata menuang gula dan garam kedalam toples, seperti biasa dia menyimpannya, seharusnya gula dan garam ini tetap dalam kemasan. Untuk apa pake disalin segala? Begitu Stanley berpikiran.

Untuk sementara, dia abaikan rasa penasaran atas gula dan garam yang menurut dia sedikit aneh. Dia harus segera membuat teh, sekedar menyenangkan hati istrinya.

💖💖💖💖💖

STANLEY CINTA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang