Loving You 9

565 32 0
                                    

Tap tap tap!
Jiyeon berlalu melewati koridor sebuah apartemen mewah yang terletak di kawasan Cheongdamdong. Tangannya sibuk mengetik pesan yang akan ia kirom kepada tunangannya, Lay. Untuk sampai di kamar apartemen tujuannya, Jiyeon harus naik lift ke lantai 6.
Ia terdiam saat tiba di dalam lift. Hanya membutuhkan kurang dari 2 menit, lift sudah tiba di lantai 6. Jiyeon pun keluar dari lift dengan langkah santai.
"Oppa, kau lihat ini? Uwaah aku sangat menyukainya. Gomawo oppa..."
Terdengar suara yeoja yang tengah bicara dengan kekasihnya, mungkin. Suara itu tidak asing bagi Jiyeon. Dia merasa pernah mendengar suara yang sama, entah kapan itu. Ia sendiri belum yakin.
'Suara itu... kenapa mirip sekali dengan suara yeoja waktu itu? Atau mungkin? Ah, mungkin hanya halusinasiku. Tidak mungkin.' Jiyeon melangkahkan kakinya dengan menambah kecepatan agar lekas sampai di tempat tujuan.
Tok tok tok!
Jiyeon mengetuk pintu sebuah kamar apartemen. Sebenarnya ada bel yang bisa ditekan, tetapi Jiyeon malah memilih mengetuk pintu. YA, itulah khas Park Jiyeon. Enggan menekan bel.
"Oppa, lama sekali? Kau ada di dalam atau tidak?" lirih Jiyeon yang sudah tak sabar menunggu pintu di depannya itu dibuka oleh si empunya apartemen.
Cekleek!
Pintu terbuka. Jiyeon tampak senang karena ia tak perlu menunggu lebih lama lagi dengan berdiri di depan pintu.
"Jiyeon-a, ada apa?" Lay tampak terkejut melihat Jiyeon yang tersenyum padanya.
Jiyeon sendiri malah bengong mematung menatap Lay yang baru saja mandi. Rambut coklat tua itu nampak masih basah.
"Yaak!" Lay menyentuh bahu Jiyeon hingga membuat yeoja itu tergagap.
"Eoh, oppa. Kau habis mandi?"
"Eoh."
"Malam-malam begini?"
"Memangnya kenapa?"
Jiyeon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ah, tidak kenapa-kenapa. Aku boleh masuk, kan?"
"Tidak boleh."
"Oppa..." rengek Jiyeon hingga membuat Lay tersenyum puas sudah mengerjai gadis cantik itu.
"Ah, oppa. Apa kau kenal dengan orang yang tinggal di apartemen sebelahmu ini?"
"Tentu saja kenal. Memangnya kenapa? Oh ya, yang laki-laki bekerja di DG. Namanya siapa ya... umm, kalau tidak salah, namanya Lee Junho."
"What?! Lee Junho? Dia kan kakaknya Ahreum. Dia salah satu stafku saat di bidang penjualan di DG."
"Yang benar? Dia stafmu? Tidak meyakinkan..." Lay menunjukkan wajah innocent-nya.
"Apa kau meragukan kemampuanku? Yaak, Zhang Yixing, beraninya kau meremehkanku!" Jiyeon menerobos masuk ke dalam apartemen Lay.
"Apa yang kau lakukan? Malam-malam begini masuk ke apartemenku."
"Oppa, biarkan aku menginap di sini semalam saja. Boleh kan? Boleh ya..."
Lay mengerutkan keningnya dan menyipitkan matanya melihat aegyo Jiyeon. "Hentikan aegyo-mu. Sungguh menggelikan. Baiklah, kau tidur di ranjang. Aku tidur di sofa."
Seketika itu, Lay langsung duduk di sofanya dan menyalakan tv. Sementara itu, Jiyeon langsung berbaring di atas ranjang kesayangan Lay.
"Oppa, kau tidak tidur?" tanya Jiyeon.
"Nanti."
"Oppa, gadis yang bersama Lee Junho itu siapa?"
"Setahuku dia adalah tunangannya. Kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Hanya ingin tahu. Siapa namanya?"
Lay menahan kesal terhadap Jiyeon. Gadis itu selalu bertanya yang aneh-aneh. "Namanya Ryu Hyoyoung. Kenapa lagi?"
"What?!" Jiyeon mencelos kaget. "Ryu Hyoyoung?"
Lay menoleh ke arah Jiyeon. "Memangnya kenapa? Wajahmu itu kenapa?"
Jiyeon terdiam. Dia berusaha mengingat masa lalunya saat di Jerman. Di mana dia menerima telepon dari seorang gadis yang notabennya adalah selingkuhan Kris. "Ryu Hyoyoung? Apa benar dia orangnya? Kalau begitu suara gadis yang aku dengar tadi benar-benar nyata. Itu pasti suaranya."
Tiba-tiba Jiyeon beranjak dari ranjang dan berlari ke arah pintu apartemen Lay.
"Kau mau ke mana?" tanya Lay yang heran melihat tingkah Jiyeon.
Jiyeon menghentikan langkahnya saat ia mendengar suara bel berbunyi.
"Siapa lagi yang datang malam-malam begini?" gumam Lay yang telah berjalan menuju pintu.
Jiyeon yang sudah berdiri di belakang pintu hanya terdiam. Tanpa perintah dari Lay, dia mengintip siapa yang datang.
Kedua matanya terbelalak lebar. Mulutnya juga menganga.
"Ada apa dengan ekspresimu itu?" tanya Lay yang hendak membuka pintu.
"Jangan dulu, oppa." Jiyeon mencegah Lay membuka pintu. "Bagaimana ini?" Dia menoleh kanan-kiri, panik.
Lay ingin tahu siapa yang datang. Diapun melihat di Intercom . "Kris hyung?" Kedua mata Lay saling berpandangan dengan Jiyeon.
"Bagaimana ini?" tanya Jiyeon bingung.
"Kau tidak perlu bersembunyi. Biarkan saja dia tahu kalau kau ada di sini." Lay memegang tangan Jiyeon agar gadis itu tidak kabur sembunyi.
"Oppa..."
"Kenapa kau harus panik? Kau berada di apartemen tunanganmu sendiri. Bukan di apartemen selingkuhanmu. Jadi, kau tidak perlu takut."
Cekleeek!
Lay membuka pintu apartemen menggunakan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri miliknya tengah memegang tangan Jiyeon yang kelihatan tegang.
"Hyung..." seru Lay.
"Yixing-a, malam ini aku butuh seseorang untuk diajak mengobrol. Apakah kau..." Kris memutuskan kalimatnya saat dia melihat siapa yang ada di dalam apartemen Lay. "Jiyeon-a..." lirih Kris. Tak berapa lama kemudian dia mengalihkan pandangannya ke Lay. "Kalian berdua?"
"Kenapa, hyung? Jiyeon juga baru sampai di sini. Masuklah!" Lay berusaha bersikap biasa saja kepada Kris. Namun dalam benaknya, dia kesal sekali pada Kris.
Kris masuk ke dalam apartemen Lay. Sekarang di dalam apartemen itu ada Jiyeon, dan Kris.
Mereka bertiga duduk di ruang tamu apartemen Lay. Hening.
"Hyung, kau bilang tadi ingin mengobrol. Kenapa sekaranh kau diam saja?" tanya Lay.
"Jiyeon-a, kau tidak pulang?" tanya Kris pada Jiyeon yang menundukkan kepalanya.
"Aku akan menginap di sini," jawab Jiyeon.
Lay dan Kris terkejut mendengar jawaban dari Jiyeon. Lay terkejut karena Jiyeon berani mengatakan hal itu pada Kris. Sedangkan Kris terkejut karena tidak menyangka Jiyeon akan menginap di tempat tinggal seorang pria yang bukan suaminya.
"Kenapa ekspresi kalian seperti itu?" tanya Jiyeon pada Lay dan Kris.
Kedua pria itu langsung menormalkan ekspresi wajah mereka masing-masing.
"Kau akan menginap di sini? Tidak bisa. Lay, tolong antar Jiyeon pu lang," kata Kris.
"Apa hakmu bicara seperti itu? Kris-ssi, kau hanya calon suami kakakku, bukan calon suamiku. Aku akan menginap di tempat calon suamiku, apakah itu salah? Kenapa kau tampak begitu khawatir?"
Suara Kris tercekat di tenggorokannya. Dia ingin menjawab pertanyaan Jiyeon namun lidahnya tak mampu bergerak dan suaranya terhenti di tenggorokan.
"Jiyeon-a, jangan seperti itu," kata Lay.
Kris tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dalam hatinya, ia sangat tidak senang mengetahui Jiyeon akan menginap di tempat Lay. Apalagi mereka berdua belum menikah. Apa boleh buat? Dirinya memang pengecut. Dia tidak bisa mengejar cintanya sendiri, malah bertekuk lutut do hadapan appanya dan menuruti semua keinginan appanya.
"Aku ke sini cuma mampir karena ingin menanyakan keadaan Bibi Zhang," kata Kris untuk menutupi emosinya.
"Ibu sudah pulang dari rumah sakit, hyung. Sekarang beliau ada di rumah. Jika kau berkenan, besok mampirlah ke rumahku. Tadi setelah mengantar ibu pulang ke rumah, aku langsung ke sini."
"Oh, begitu rupanya. Baiklah, besok aku akan mampir sebentar. Aku pamit pulang. Di luar sudah mulai hujan. Takutnya semakin deras hujannya dan aku akan terjebak di tengah jalan." Kris nampak canggung di depan Jiyeon dan Lay. Jiyeon enggan menanggapi Kris. Tetapi lain halnya dengan Lay. Selaku sepupu Ktis, dia tetap bersikap baik pada hyungnya itu meski sebenarnya dia masih sakit hati atas kejadian yang dilihatnya di pinggir jalan tadi.
"Baiklah, hyung. Hati-hati di jalan." Lay ikut berdiri dan berjalan menuju pintu apartemen bersama Kris.
Jiyeon terdiam. Dia enggan mengantar Kris sampai di pintu apartemen seperti yang dilakukan oleh Lay. Namun pada akhirnya ia bersedia melakukan hal itu untuk menghormati Lay.
Cekleeek!!
Begitu pintu dibuka, muncul seorang gadis yang berdiri entah sejak kapan di depan pintu apartemen Lay. Gadis itu terkejut sekali melihat siapa yang berdiri di samping Lay, yaitu Kris. Begitu juga dengan Kris. Dia terkejut melihat gadis itu. Tak ada yang menyapa, keduanya diam mematung di tempatnya masing-masing.
"Hyoyoung-ssi, ada apa?" tanya Lay memecah keheningan.
Hyoyoung terperanjat kaget mendengar pertanyaan Lay. "Eoh, mian. Aku ingin minta tolong padamu, Lay-ssi."
Mendengar ada suara seoraag gafis di luar, membuat Jiyeon mempercepat langkahnya agar sampai di depan pintu.
"Oppa, ada apa?" tanyanya pada Lay. Jiyeon sudah berdiri di belakang Lay, dia juga melihat siapa yang ada di depan pintu itu. "Siapa dia?" tanya Jiyeon lagi.
"Hyoyoung-ssi," jawab Lay singkat.
Deg!!
Jantung Jiyeon berdetak tak karuan. Sekilas ingatan masa lalunya saat dia menerima telpon dari seseorang yang mengaku pacarnya Kris, bernama Ryu Hyoyoung. Jiyeon, Kris dan Hyoyoung tercengang melihat keberadaam satu sama lain. Mereka tidak menyangka bahwa pertemuan itu terjadi di depan Lay.
"Kenapa kalian bertiga malah bengong? Hyung, cepatlah kembali ke apartemenmu. Hujan keburu lebih deras."
Kris tersadar dari lamunannya. "Ah, baiklah. Aku pulang." Ia mengayunkan langkah menjauhi pintu apartemen Lay dalam keadaan bingung. Kris tidak tahu apa yang harus ia perbuat saat ini. Hyoyoung, gadis yang menjadi kekasihnya saat ia masih menjadi suami Jiyeon kini malah ada di depan mantan istrinya itu.
Karena pusing memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, Kris mengacak rambutnya begitu saja lalu bergegas menuju tempat parkir.
...
Jiyeon masih diam mematung di tempatnya, di samping Lay. Dia tidak ingin percaya kalau gadis yang ada di depannya adalah orang yang menghancurkan rumah tangganya. Ya, dirinya yakin bahwa hadis yang bernama Ryu Hyoyoung lah yanh telah membuatnya bercerai dengan Kris.
"Hyoyoung-ssi, ada apa?" tanya Lay dengan ramah.
Hyoyoung sedikit tersentak kaget. "Ah, aku... minta tolong padamu, Lay-ssi. Kran di kamarku macet. Bisakah kau memperbaikinya?"
"Kran?" Lay mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir bagaimana cara memperbaiki kran yang macet?
"Lay-ssi!" lirih Hyoyoung.
"Ah, akan aku usahakan. Tapi aku belum pernah memperbaiki kran. Kenapa kau tidak memanggil tukang service saja?"
"Aku sudah melakukannya. Tapi hampir 30 menit tidak ada yang datang untuk memperbaiki kran itu. Jadi, aku minta tolong padamu Lay-ssi."
Lay tersenyum tipis. "Akan aku coba. Mungkin tukang service-nya enggan datang karena diluar hujan deras. Baiklah, mari kita perbaiki."
Sementara Lay memperbaiki kran apartemen Hyoyoung yang macet, Jiyeon menunggunya di dalam apartemen. Ia mengingat-ingat suara gadis yang menelepon Kris dulu. 'Aku yakin pasti dia orangnya. Meski aku tidak melihat bagaimana wajahnya, tapi aku hafal sekali suara gadis itu. Aakh... aku bisa gila kalau seperti ini terus. Biarkan saja orang itu muncul lagi. Aku harus memulai hidup yang baru. Lupakan perasaanku pada Kris dan mulai menerima Lay oppa. YA Tuhan, semoga keputusanku ini tepat dan tidak berdampak buruk pada hidup orang lain,' batin Jiyeon. Ia menenggelamkan kepalanya di dalam selimut.
1 jam kemudian.
Cekleek!
Lay masuk ke dalam apartemennya. Ia tersenyum melihat Jiyeon yang sudah tertidur pulas di atas ranjang miliknya. 'Aku tenang jika kau juga tenang seperti ini, Jiyeon-a,' batinnya. Tak lama kemudian dia membaringkan tubuhnya di atas sofa dan tertidur.
...
Pagi ini akan ada meeting penting menyangkut kerja sama antara perusahaan Lay dengan DG.
Diamond Group-Ruang kerja Presdir Wu.
"Hari ini perusahaan kita akan meeting dengan para pejabat dari perusahaan pamanmu. Aku ingin kau yang mewakili perusahaan kita."
"Appa!"
"Yi Fan, kau adalah penerus perusahaan ini. Jadi, kau harus bisa mewakili meeting untuk perusahaan kita."
"Di saat ada meeting dengan perusahaan Lay, kenapa harus aku yang mewakili? Kenapa bukan appa?"
"Dengar, Yi Fan. Aku tidak ingin Lay menjadi lebih unggul darimu. Kau harus bisa menjadi..."
"Menjadi apa? Dari dulu Lay lebih cerdas dan lebih baik dariku. Jadi wajar saja jika sekarang dia lebih sukses dariku, appa. Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya."
Tuan Wu mengusap wajahnya kasar. Ia kesal pada Kris yang mulai melawannya.
"Appa, aku akan bertunangan dengan Yoona secepatnya."
"Apa katamu?!" Suara tuan Wu meninggi.
"Entah appa merestuinya atau tidak, aku akan menikahi Yoona dan tidak akan menikahi Jiyeon. Jika hanya perusahaan Park yang appa inginkan, aku tidak bisa menikahi Jiyeon. Aku akan tetap menikahi Yoona."
"Kau benar-benar keras kepala!"
"Waktunya sudah tiba. Aku berangkat." Kris berdiri dari kursi yang didudukinya. Ia berjalan ke arah pintu ruang kerja tuan Wu dan membenahi jas yang dikenakannya.
...
Zhang Corporation.
"Jiyeon-a, apa aku sudah tampak seperti seorang CEO yang keren?" tanya Lay yang baru saja membenahi letak dasinya.
Jiyeon tertawa terbahak-bahak. "Yaak, oppa. Kau malah tampak seperti presiden Korea Selatan," ledek Jiyeon dengan masih tertawa.
"Kau jangan bercanda seperti itu. Aku bisa terbang melayang mendengarnya. Sebentar lagi meeting akan dimulai. Apakah kau sudah siap bertemu dengan mantan atasanmu?"
"Aku sudah bertemu dengan mantan atasanku kemarin. Jadi, untuk apa aku bilang tidak siap. Mereka hanyalah mantan atasanku. Bukan saudaraku."
"Eoh, baiklah. Kita ke ruang meeting sekarang. Kau adalah nona sekretaris, jadi peranmu cukup penting dalam meeting ini."
"Siap bos!" Jiyeon dan Lay tertawa.
...
Semua undangan meeting telah memasuki ruangan yang cukup besar dan berkelas Eropa. Furniture yang ada di dalam ruang meeting itu sengaja didatangkan dari Eropa karena Lay merupakan sahabat karib pemilik perusahaan furniture terkenal di Jerman. Jadi, tidak heran kalau bermacam-macam furniture Europe Class ada di setiap ruangan petinggi perusahaan Zhang.
Meeting kali ini akan membahas tentang kerja sama kedua perusahaan, Zhang Corp dan DG. Tak memakan waktu lama setelah pembukaan dan pendahuluan, inti dari pertemuan itupun segera dibahas.
"Kami senang bisa bekerja sama dengan perusahaan Zhang. Meski CEO Yixing merupakan keponakan CEO kami, hal itu tidak membuat kami hanya mengandalkan hubungan keluarga. Kami akan melakukan segala hal untuk melaksanakan kerja sama ini dengan sebaik-baiknya," kata Direktu Xiah.
Jiyeon dan Lay tersenyum tipis. Namun tidak dengan Kris. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu yang lain.
Setelah membahas kerjasama kedua perusahaan, perwakilan dari DG mulai membahas perkembangan perusahaan Korsel yang mengalami gejolak naik-turunnya harga saham.
"Saat ini saham di Korsel sedang mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebabnya adalah China. Mereka sengaja membuat produk yang serupa dengan produk asli buatan Korsel. Maka, kebanyakan negara-negara berkembang seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina lebih memilih produk China yang harganya jauh lebih murah. Jika kita tidak melakukan inovasi dalam produk kita, tentu saja pasar kita akan direbut oleh China. Vendor-vendor barang elektronik China saat ini lebih diakui dibanding vendor asli Korsel." Lay menjelaskan hal yang ingin sekali ia beberkan kepada banyak orang, dan inilah kesempatannya.
"Maka dari itu, kami berharap kedua perusahaan bisa meningkatkan kualitas produk untuk tetap memegang kepercayaan konsumen. Selaku perusahaan tersukses di Indonesia, tentunya DG memiliki beberapa saran atau pendapat untuk memajukan kerja sama kita dan meningkatkan pendapatan kedua perusahaan."
Lay selesai menjelaskan situasi ekonomi perusahaan-perusahaan Korsel secara umum.
"Terimakasih kami ucapkan kepada CEO Zhang. Secara pribadi, saya senang sekali bisa satu meja lagi dengan sepupu dari China, Zhang Yixing."
Kata-kata Kris mendapat tepuk tangan dari peserta meeting.
"Memang benar, apa yang telah dijelaskan oleh saudara Yixing bahwa posisi produk buatan Korea semakin tersisih, apalagi kini China mengeluarkan vendor-vendor yang dapat menyaingi vendor asli Korsel. Tetapi menurut hemat kami, inovasi produk harus dilakukan secara berkala dan tidak lupa memperhitungkan baik atau buruknya inovasi itu. Tidak semua inovasi dapat kita lakukan, mengingat kemampuan kita terbatas. Jadi, untuk semua perusahaan di Korsel hendaknya meningkatkan kualitas produk dan jasa yang ditawarkan. Kualitas yang baik akan membawa hasil penjualan yang maksimal."
Lagi-lagi Kris mendapat tepuk tangan yang meriah dari para peserta meeting. Termasuk Jiyeon dan Lay.
...
Meeting berlangsung selama 3 jam. Setelah meeting, Kris ingin bertemu secara pribadi dengan Lay dan Jiyeon. Dia hanya ingin mengobrol santai dengan mereka berdua karena jarak antara dirinya dengan pasangan Lay-Jiyeon cukup renggang.
"Hyung, kau memang bisa diandalkan. Aku tidak rugi punya sepupu sepertimu. Hahaha..." Lay tertawa lepas setelah mengucapkan kalimat itu.
Kris hanya tersenyum. Dia tidak menyangka kalau Lay akan mengucapkan kata-kata itu. "Kau juga hebat. Bahkan kau lebih hebat dariku."
Lay tersenyum senang. Dia memang merasa hebat dalam segala hal, kecuali percintaan. Jika dirinya benar-benar bisa menikah dengan Jiyeon, maka dialah orang paling beruntung di dunia. "Aku heran, kita adalah orang China. Tetapi kita sendiri yang ingin bersaing dengan perusahaan China."
"Itu karena kita berada di tempat yang salah. Maksudku, itu karena kita berada di Korsel."
"Ah, benar hyung."
Lay menyeruput capuccino latte miliknya. Sedangkan Jiyeon dan Kris hanya menatap cangkir keramik yang duduk di depan mereka.
"Oh ya, ada hal lain yang ingin aku bicarakan dengan kalian," kata Kris memecah keheningan sesaat.
"Apa, hyung? Kau jangan mengagetiku ya..." kata Lay.
"Aku hanya akan mengatakan hal yang berkaitan denga kita."
"Kita? Maksudmu aku dan Jiyeon juga?" "Tentu saja," jawab Kris sekilas.
Jiyeon dan Lay saling berpandangan.
"Hyung, memangnya apa yang ingin kau bahas tentang kita?" Lay takut jikaKris akan membahas tentang Jiyeon yang memilih Lay untuk bertunangan dengannya.
Kris menatap Jiyeon dan Lay bergantian. "Aku setuju dengan Jiyeon. Aku... akan bertunangan dengan Yoona bersamaan dengan pertunangan kalian berdua."
Deg!!
Baik Jiyeon maupun Lay kaget bukan kepalang. Hal ini sungguh diluar dugaan mereka. Kris bersedia begitu saja bertunangan dengan Yoona?
"Hyung, apa kai sudah memikirkannya?" tanya Lay serius.
"Eoh. Aku sudah memikirkannya," jawab Kris yang tak kalah serius dari Lay. 'Inilah yang terbaik untuk kita semua. Appa tidak akan merebut perusahaan Jiyeon jika aku menikahi Yoona. Karena kau pasti akan melindungi Jiyeon, Lay.Tolong jaga Jiyeon,' batin Kris yang kini malah memasang senyum pada Jiyeon dan Lay.
Jiyeon berusaha bernafas lega. Tetapi adda sesuatu yang ia rasakan di dadanya. Dadanya terasa sesak saat Kris mengatakan kalau dirinya setuju bertunangan dengan Yoona. "Baguslah kalau begitu. Bagaimana kalau aku yang menentukan tanggal pertunangan kita berempat?" tawar Jiyeon.
"Kau yakin?" tanya Lay.
Jiyeon mengangguk.
"Aku tidak keberatan," jawab Kris mantab. Kata-kata yang muncul dari bibir seorang Kris sangat berlawanan dengan kata hatinya.
...
Sore harinya, Jiyeon pulang ke rumah. Ia merasa sudah tak ada yang membuatnya berselisih dengan Yoona karena Kris sudah mengatakan kalau dirinya akan menerima Yoona sebagai pasangan hidupnya.
Jiyeon pov.
Aku pulang ke rumah dengan langkah gontai. Entah aku harus merasa lega atau aku malah merasa sesak dengan keadaan ini. Jika aku tidak memilih Lay oppa, Yoong eonni pasti akan memusuhiku. Ya, mungkin inilah jalan takdirku. Aku akan menerimanya meski masih terasa sakit di hatiku.
Cekleeekk!
Pintu kubuka. Rupanya tidak dikunci. Sepi sekali? Di mana appa, eomma, dan Yoong eonni?
Aku berjalan menaiki anak tangga satu per satu. Masih dengan tujuan mencari anggota keluargaku, aku menoleh kanan-kiri. Barangkali appa atau eomma atau eonni akan menampakkan batang hidung. Haah, sampai anak tangga terakhir, aku sama sekali tidak melihat salah satu dari mereka. Mungkin mereka belum pulang. Jadi, aku membersihkan diri dulu. Dua hati tidak pulang terasa seperti sebulan lamanya. Aku rindu semuanya yang ada di rumah.
Cekleekk!
Kamarku tetap dalam posisinya. Ah, maksudku tidak ada yang berubah dari kamarku. Letak boneka, sisir, sandal, semuanya tetap pada tempatnya. Baguslah, tidak ada yang menjamah kamar pribadiku.
...
"Appa! Aku mohon maafkan aku..."
Suara itu... bukankah itu suara eonni? Ada apa dengannya?
Aku segera keluar dari kamarku saat masih melepas blazer dan hendak mandi.
Tap tap tap! Langkahku semakin cepat menuruni anak tangga. Aku harus melihat apa yang telah terjadi.
"Eonni..." lirihku saat aku tak percaya melihat Yoong eonni bersujud di bawah kaki appa. "A, ada apa ini?" tanyaku dengan ragu.
"Appa..." seru Yoong eonni dengan tangis yang tertahan.
Baru kali ini aku melihatnya menangis. Ada apa ini? Aku sudah berusaha membuat eonni tidak menangis karena masalah Kris, tetapi kini...
"Cepat minta maaf pada adikmu!" bentak appa pada Yoong eonni.
"A, ada apa? Apa yang sebenarnya telah terjadi?" Aku mengeraskan suaraku. Bingung. Itulah yang ada di pikiranku.
"Jiyeon-a... aku mohon maafkan kesalahanku, Yeonni-a..." Kini eonni bersujud di bawah kakiku.
"Eonni... ada apa? Bangunlah eonni. Kau tidak perlu melakukan hal memalukan ini."
"Dia memang sudah melakukan hal yang memalukan!" seru appa.
"Jiyeon-a, maafkan kakakmu, ne..." ucapeomma menambah bingung pada diriku.
"Jelaskan dulu apa masalahnya. Jangan membuatku bingung," kataku dengan jelas.
"Kakakmu ini telah menjual sahamnya kepada DG dan tebak apa yang terjadi?" tanya Appa yang menahan emosi.
"Memangnya apa yang terjadi?" tanyaku balik.
"Dia gagal mendapatkan proyek dan semua telah diambil alih oleh DG. Perusahaan kita akan mengalami pailit dalam waktu kurang dari 2×24 jam. Para pemegang saham pasti akan menarik saham mereka dari perusahaan kita."
"Apa? Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Eonni, apa yang telah kau lakukan? Kenapa kau berbuat seperti itu? Kalau kau marah padaku, jangan berbuat sesuatu yang buruk pada perusahaanku. Kau..."
Aku benar-benar kecewa pada Yoong eonni. "Tahukah kau eonni? Apa alasanku pulang ke rumah? Aku pulang ke rumah karena ingin menyampaikan kalau Kris mau bertunangan denganmu. Tapi saat aku baru saja menginjakkan kaki di rumahku sendiri, kau malah membuat perusahaanku diambang kehancuran. Kenapa kau melakukannya, eonni? Apa kau ingin menghancurkan perusahaanku? Apa kau ingin membuatku hancur? Aku relakan keluar dari DG dan menanggung malu di depan para petinggi 3 perusahaan hanya untuk melindungi perusahaanku. Tetapi kini kau malah membuatnya hancur."
Aku tidak peduli pada Yoong eonni yang menangis meminta maaf padaku. Aku segera berlari menuju kamarku, mengambil blazer, tas dan ponselku. Setelah itu aku turun kembali bukan untuk bicara dengan gadis tak tahu terima kasih itu. Kali ini aku benar-benar marah pada Yoong eonni. Aku berlari menuju mobilku dan tak lama setelah itu kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi ke kediaman keluarga Wu. Aku harus menjelaskan duduk perkara ini.
Jiyeon pov end.
...
Tok tok tok!
Tok tok tok!
Berulang kali Jiyeon mengetuk pintu rumah keluarga Wu, namun sama sekali tak ada jawaban.
'Aku harus bertemu mereka, ' batin Jiyeon.
Cekleekk!
"Anda mencari siapa?" tanya seorang wanita paruh baya yamg memakai pakaian maid .
"Apakah CEO Wu ada di rumah?" tanya Jiyeon lirih dan sopan.
"Semua anggota keluarga ada di rumah nona. Silahkan masuk."
Jiyeon mengikuti langkah wanitaaitu di belakang. Pikirannya kalut.
"Tuan, ada yang ingin bertemu," kata wanita itu pada CEO Wu.
Jiyeon langsung menampakkan diri. Matanya sudah memerah.
"Jiyeon-a..." lirih Kris yang terkejut melihat Jiyeon mendatangi rumahnya.
CEO Wu memprsilahkan Jiyeon untuk duduk. Namun gadis itu malah menangis.
"Jiyeon-a, ada apa?" tanya Kris yang heran melihat Jiyeon datang ke rumahnya dan menangis di depan keluarganya.
Jiyeon melangkah mendekati Tuan Wu. Airmatanya tak dapat tertahan lagi. Ia menurunkan badannya, berlutut di depan CEO Wu dengan tangis yang tertahan.
Kris dan ibunya terkejut melihat apa yang dilakukan oleh Jiyeon.
"Jiyeon-a..." lirih Kris lagi.
"CEO Wu, dengan segala kerendahan hati, aku mohon pada tuan. Aku mohon lepaskan perusahaanku dari ancaman pailit. Aku mohon... jangan ambil perusahaanku," ucap Jiyeon dengan terisak dan kepala tertunduk menatap lantai putih di ruangan itu.
CEO Wu hanya menampakkan ekspresi datar. Ia sama sekali tidak bersimpati pada Jiyeon yang telah berlutut dan menangis di depannya.
"Itu semua adalah ganjaran untukmu dan keluargamu."
Jiyeon mendongakkan kepalanya, menatao CEO Wu.
"Kau dan keluargamu terlalu sombong. Aku sudah berbaik hati mau melakukan merger dengan perusahaanmu tetapi kaah menolaknya. Sekarang aku benar-benar mengambil perusahaanmu tanpa berbaik hati, kau malah datang ke rumahku, berlutut dan menangis di depanku. Benar-benar tak tahu malu!"
Nyuutt!
Jiyeon merasakan nyeri di dadanya. Kata-kata CEO Wu benar-benar menyakitkan hati. Tubuhnya bergetar menahan tangis yang ingin meledak tetapi ia tidak mungkin menangis di kediaman keluarga Wu.
"Appa!" seru Kris yang tak peduli lagi siapa yang dibentaknya. Ia sama sekali tidak peduli bahwa appanya lah yang ia bentak. Kris tidak mungkin bisa melihat Jiyeon menangis sesenggukan seperti ini.
"Diam, Yi Fan!" bentak CEO Wu dengan suara yang tak kalah tingginya dengan Kris.
"Tuan Wu, k, kenapa Anda melakukan ini? Apa salah keluarga kami?" lirih Jiyeon sedih. Airmatanya tumpah dan membasahi lantai ruangan itu.
"Yeobo... ada apa ini? Kenapa kau membentak nona Park? Apa salahnya?" tanya Ny. Wu dengan sabar. Dia berusaha untuk menenangkan suaminya dengan membelai lengan Tn. Wu.
"Kesalahannya adalah..."
"Appa, apapun kesalahan Jiyeon, aku tidak akan membiarkannya sedih seperti ini. Jika appa memang merebut perusahaannya, aku yang akan mengembalikannya."
"Yi Fan! Sadarlah! Dialah yang menyebabkan perusahaan kita hampir mengalami pailit 10 tahun yang lalu."
"10 tahun?" Kris mengerutkan keningnya. Berarti itu sebelum dia menikah dengan Jiyeon. "Aku tidak peduli. Aku akan tetap mengembalikan saham-saham perusahaan Jiyeon."
Tuan Wu menahan kekesalannya yang telah mencapai puncak. Baru kali ini dia sangat marah dan emosi pada putra semata wayangnya.
"Appa tidak merebutnya, tetapi appa membeli semua saham mereka dan mengambil alih proyek yang gagal ditangani oleh Yoona. Apa kau puas mendengar penjelasannya?"
"Apapun alasannya, aku akan tetap mengembalikan semua saham itu karena..."
"Karena apa?" tanya Tuan Wu dengan geram. "Katakan karena apa?"
"Karena... Jiyeon adalah mantan istriku. Aku dan dia pernah menikah di Jerman."

Tbc.

Loving You [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang