Loving You 10

566 33 0
                                    

"Aku pernah menikah dengan Park Jiyeon."
Begitulah yang dikatakan Kris pada kedua orangtuanya. Tuan dan nyonya Wu kaget bukan kepalang.
"Apa katamu?" Tuan Wu berusaha menahan emosi. Bagaimana tidak? Putra tunggal yang dibanggakan dan diharapkan dapat menjadi penerus perusahaannya kini malah berbuat sesuatu yang mengesalkan dirinya. "Kau membuatku kecewa." Tuan Wu mengusap wajahnya dan mendudukkan dirinya di atas sofa yang terletak di belakangnya.
Kris tak menunjukkan respon atas kata-kata ayahnya. Yang dia pikirkan hanyalah cara mengembalikan saham perusahaan Jiyeon yang ternyata telah dibeli secara lunas oleh DG.
Sementara itu, Jiyeon masih berlutut di depan tuan Wu. Sudah tak ada airmata yang mengalir membasahi pipinya. Entah bagaimana cara melunakkan hati tuan Wu, Jiyeon harus berpikir keras. Dia tidak mungkin bisa mendapatkan perusahaannya kembali jika tak dapat melunakkan hati sang mantan mertuanya.
"Aku akan mengembalikan saham perusahaanmu tetapi ada syarat yang harus kau penuhi." Tuan Wu kembali serius membahas perusahaan.
Jika perusahaan itu bukan milik ayahnya, Jiyeon tidak akan berbuat sejauh ini.
"Apa syarat itu?" tanya Jiyeon dengan suara parau, suara khas seseorang yang baru saja menangis.
Tuan Wu menatap Jiyeon tajam. Sedangkan Kris menatap tuan Wu.
"Kau harus memberikan perusahaanmu pada Yoona dan menikahlah dengan Yixing."
Jiyeon terkejut mendengar kata-kata dati tuan Wu. Dengan mata sembab, ia berusaha untuk menatap ria paruh baya yang kini berdiri di depannya.
"Aku... memang akan menikah dengannya. Tanpa Anda minta pun, aku akan menikah dengan Lay oppa," jawab Jiyeon dengan lirih dan suaranya tertahan oleh tangis yang ingin pecah saat itu.
Kris tak sebegitu terkejut mendengar pengakuan Jiyeon. Dia memang sudah mengetahui kalau Jiyeon memilih Lay untuk menjadi pendamping hidupnya.
"Tapi untuk perusahaan, aku tidak bisa memberikannya pada Yoona eonni." Jiyeon bangkit dan berdiri dengan kaki gemetar. "Aku akan memperjuangkan perusahaanku. Biarkan saja Yoona menghancurkannya, tapi aku akan membuatnya bangkit lagi. CEO Wu, aku tarik semua permintaanku padamu. Aku tidak akan mengemis lagi padamu. Meski harus mengorbankan segalanya, aku akan membangun perusahaan itu kembali demi appaku."
Jiyeon berusaha kuat menghadapi permasalah yang mampu membuatnya stres dan mungkin saja bisa membuatnya gila. Ia seakan baru mendapatkan kekuatan baru yang mendukungnya untuk tetap tegar meski harus membangun perusahaannya dari nol.
"Maaf mengganggu waktu Anda. Saya pastikan jika saya berhasil membangun perusahaan itu, saya tidak akan bekerja sama dengan perusahaan Anda. Terimakasih atas waktunya." Jiyeon membalikkan badan dan melangkahkan kakinya dengan pasti, keluar dari kediaman keluarga Wu dengan hati yang hancur.
"Jiyeon-a..." panggil Kris seraya berlari mengejar Jiyeon yang sudah menginjakkan kaki di halaman rumahnya. "Jiyeon-a... Park Jiyeon!" Ia mempercepat langkah kaki jenjangnya untuk bisa menghentikan langkah sang mantan istri.
Tap!
Kris berhasil menarik tangan kiri Jiyeon hingga membuat gadis itu terpaksa menghentikan langkahnya. Jiyeon tak menoleh sedikit pun ke arah Kris yang menatapnya penuh kasih sayang.
"Jiyeon-a..."
"Jangan katakan apapun," ucap Jiyeon yang telah menghapus airmata dari wajah cantiknya.
"Aku... minta maaf... untuk semuanya. Semuanya yang membuatmu menjadi seperti ini," kata Kris pelan.
Jiyeon terdiam dan menundukkan kepalanya. Ia menarik nafas panjang. "Apa kau sudah puas membuatku menderita?" tanya Jiyeon dengan menahan airmata yang ingin menyeruak dari kedua sudut matanya.
"Apa maksudmu?" tanya Kris balik.
Jiyeon menatap Kris. "Kau yang menyebabkan hidupku hancur seperti ini. Tak bisakah kau pergi dari kehidupanku? Setelah kau hancurkan rumah tangga kita, sekarang kau menghancurkan perusahaanku, kau menghancurkan hidupku! Kenapa kau harus muncul lagi di depanku? Apa salahku padamu?"
Kris melepaskan tangan Jiyeon. Ia menatap Jiyeon nanar. Airmata pun menetes jatuh membasahi kemeja berwarna hitam yang ia kenakan. "Aku sudah berusaha menjauh dari dirimu. Aku... tidak bermaksud membuatmu terluka, Jiyeon-a. Rumah tangga kita... memang akulah yang menyebabkannya hancur. Aku memang bersalah." Kris tertunduk lesu menyesali semuanya. Sungguh, ini semua bukanlah kehendanya. Mungkin memang inilah takdir Tuhan yang harus terjadi pada mereka.
Jiyeon memalingkan wajahnya, menatap pintu gerbang di depan matanya. Lagi-lagi ia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. "Lupakan saja. Mulai sekarang, jangan pernah muncul di depanku. Dan... jika kau mau menikahi Yoona, jangan tinggalkan dia seperti yang kau lakukan padaku." Jiyeon mulai mengayunkan langkahnya. Namun baru saja dia melangkahkan kaki jenjangnya satu langkah ke depan, tiba-tiba Kris menahannya pergi dengan menarik lengan Jiyeon hingga mereka berdua berhadapan dengan jarak yang sangat dekat.
"Itukah yang kau ucapkan untukku? Apa kau benar-benar mengucapkannya dengan tulus?" tanya Kris dengan keyakinannya bahwa Jiyeon tidak benar-benar ingin menjauh darinya.
Jiyeon enggan menatap kedua manik mata milik Kris yang terus menatapnya nanar. Ia mengalihkan pandangannya melihat dinding rumah Kris yang nampak di sebelah kanannya. "Lepaskan tanganku. Kau tidak berhak melakukan ini padaku," ketus Jiyeon.
"Kenapa?" tanya Kris lirih dengan suara parau.
"Karena aku adalah..."
"Apa?"
"Tunangan sepupumu," jawab Jiyeon singkat. Kali ini dia berani menatap kedia manik mata milik Kris.
"Begitu? Baiklah, kau memang akan menikah dengan Lay. Tapi... hatimu bukan untuknya."
"Apa yang kau tentang hatiku?" tanya Jiyeon dingin.
"Aku tahu kau mencintaiku, Park Jiyeon. Semua itu sudah terlihat jelas dari tatapan matamu."
"Benarkah? Aku tidak menyadarinya atau aku tidak tahu?" Jiyeon mulai bicara sinis pada Kris.
Greb!
Kris malah melingkarkan lengannya di pinggang ramping Jiyeon. Tentu saja hal itu menyebabkan Jiyeon terkejut. Tindakan bodoh seorang Wu Yi Fan yang selalu tidak dapat diprediksi. Kris menarik tubuh Jiyeon hingga tak ada jarak sedikitpun diantara mereka berdua. Jantung mereka berdegub kencang dan nafas memburu. Keduanya berada pada jarak yang sangat dekat hingga dapat merasakan hembusan nafas satu sama lain.
"Jika aku harus menikah dengan Yoona, aku akan melakukannya. Mungkin hidupku memang seperti ini. Diatur dan selalu diatur layaknya boneka."
Jiyeon hanya diam dan menatap Kris.
"Bahkan aku bisa menentukan jalan hidupku hanya sekali. Tapi sayangnya aku sendiri yang menghancurkan pilihanku itu," lanjut Kris. Dia menarik tubuh Jiyeon untuk lebih dekat dengannya. Dipeluknya tubuh mantan istrinya itu dengan hangat, bahkan Kris menenggelamkan kepalanya di bahu Jiyeon.
Tak terasa airmata Jiyeon dan Kris mengalir membasahi pipi mereka masing-masing. Tanpa diperintah, airmata itu mengalir lebih deras. Keduanya teringat masa-masa indah setelah menikah. Masa-masa saat mereka memadu cinta, hidup beraama di bawah satu atap, saling menyapa dan berciuman setiap bangun pagi, makan malam bersama, hingga suatu hari Kris mengkhianati cinta Jiyeon dengan bermain cinta di belakang istrinya.
Jiyeon melepas pelukan Kris lalu mengusap airmatanya hingga tak berbekas di wajah cantiknya. "Aku tidak menyesali perpisahan ini. Annyeong." Jiyeon melangkah meninggalkan Kris yang menatap sendu dari belakangnya.
Kris hanya bisa pasrah untuk yang kesekian kalinya. Jika saja dia bukan putera tunggal, mungkin dia sudah melarikan diri dari setiap masalah yang membuatnya stres seperti saat ini. Kris menghela nafas panjang lalu menghembuskannya kasar, menghelannya lagi dan menghembuskan lagi. Hatinya benar-benar merasa seperti tertohok. Sangat sakit hingga tak hisa diungkapkan seperi apa perasaannya saat ini. Hidupnya semakin rumit.
...
Tok tok tok!
Tok tok tok!
Jiyeon menunggu seseorang yang sangat diharapkan segera membuka pintu yang diketuknya. Dia menundukkan kepalanya dan mencoba menyetabilkan emosinya. Saat ini dia harus tenang. Ya, itulah yang ia katakan pada dirinya sendiri.
Cekleeekk!
Pintu kayu berwarna coklat tua yang terpampang di depan matanya itu terbuka lebar. Jiyeon dapat melihat sandal slop milik seseorang muncul dari balik pintu. Jiyeon mendongakkan kepalanya pelan. Dia mencoba untuk kuat menatap kedua manik mata milik pria bernama lengkap Zhang Yixing yang notabennya adalah calon suami sekaligus rekan bisnisnya.
Brukk!!
Jiyeon berlutut di depan Lay. Laki-laki itu tampak terkejut melihat Jiyeon yang tiba-tiba berlutut di depannya. "Ji, Jiyeon-a... apa yang terjadi?" Ya, itulah hal pertama yang ditanyakan oleh seorang Lay pada calon istrinya.
Jiyeon berusaha menahan airmatanya agar tak menyeruak keluar begitu saja.
Lay menyejajarkan posisinya dengan Jiyeon. Dia berjongkok di depan Jiyeon. "Jiyeon-a, ada masalah apa?" tanya Lay pelan.
Jiyeon tak segera menjawab. "Aku... Oppa, aku..."
Lay menanti Jiyeon menyelesaikan kalimatnya.
"Ada apa? Apa yang terjadi padamu?" tanya Lay lagi.
Sesaat berikutnya, Jiyeon telah menceritakan yang sebenarnya pada Lay. Semua masalah perusahaannya tak ada yang luput untuk diceritakan kepada Lay. Hanya Lay yang dapat memahaminya saat ini..
"Istirahatlah, Jiyeon-a. Kau pasti lelah dan membutuhkan banyak istirahat. Ah, aku tidak memiliki baju wanita di lemariku. Gantilah bajumu dengan baju milikku." Lay memberikan sehelai kaos oblong berwarna ungu kepada Jiyeon. Ia tahu bahwa Jiyeon masih mengenakan setelan pakaian kerjanya. Sebuah celana panjang berwarna coklat tua, kemeja berwarna putih gading dan blazer yang berwarna senada dengan celana panjangnya.
Jiyeon menerima kaos yang diberikan oleh Lay tanpa berkomentar sedikit pun. Wajahnya tampak lesu dan tak memiliki semangat hidup.
...
Cekleek!
Jiyeon keluar dari kamar mandi dengan kaos milik Lay yang menutupi tubuh bagian atas dan celana panjang miliknya sendiri yang menutupi bagian bawah hingga kedua kaki jenjangnya. Masih dengan wajah yang lesu, Jiyeon duduk di atas sofa.
"Jiyeon-a, ada apa?" tanya Lay lirih. Ia juga mengecilkan volume suara TV yang sudah menyala sejak Jiyeon menginjakkan kaki di dalam apartemennya.
Jiyeon menatap Lay dengan tatapan sendu. Dari tatapan mata itu, Lay dapat melihat suasana hati Jiyeon yang sedih.
"Bicaralah, Jiyeon-a. Kau membuatku khawatir." Lay meraih jari-jari lentik milik gadis yang duduk di sampingnya.
Jiyeon tersenyum tipis namun dari salah satu sudut matanya telah mengeluarkan airmata yang semakin lama semakin mengalir lebih banyak.
Lay menarik tubuh Jiyeon ke dalam pelukannya. Jiyeon hanya menurut. Kini dirinya bebas menumpahkan semua airmatanya di dalam pelukan Lay.
...
Kediaman keluarga Park pagi ini tampak sepi. Ya, memang seperti itulah suasana rumah mewah yang hanya dihuni oleh 4 orang setiap harinya. Pagi ini merupakan pagi yang tak diharapkan oleh anggota keluarga Park. Bagaimana tidak? Hari ini adalah hari penyerahan perusahaan milik keluarga mereka kepada sang CEO DG yang tidak lain adalah Tuan Wu.
Tuan Park yang seharusnya segera berpakaian rapi dengan setelan jasnya, malah tak melakukan apapun selain duduk termenung di tepi ranjangnya. Ayah kandung dari Park Jiyeon itu tak percaya kalau perusahaan yang ia bangun selama belasan tahun akan berakhir dengan begitu mudah seperti membalikkan telapak tangan. Ia juga merasa sangat bersalah kepada Jiyeon karena telah mewariskan perusahaan yang sekarang telah bangkrut.
Dari kejauhan, tepatnya di depan pintu kamar Tuan Park yang terbuka, Yoona mengerutkan dahinya dan meneteskan airmata melihat ayah tirinya bersedih tanpa henti. Rasa bersalah yang amat tinggi mulai menggerayangi pikirannya. Hatinya juga terluka akibat kelakuannya sendiri. Dia sangat menyesal dengan semua yang telah dilakukannya.
'Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan untuk mengembalikan semuanya padamu, Jiyeon-a. Tetapi aku janji kalau aku akan membuat kalian semua bahagia. Aku akan menebus rasa sedih ini di hari yang akan datang,' batin Yoona. Ia bersandar pada dinding kamar tuan Park dan memejamkan kedua matanya untuk menenangkan hatinya.
...
Beberapa mobil mewah sudah terparkir dengan rapi di depan gedung perusahaan Diamond Group. Para petinggi perusahaan sengaja datang karena pada hari ini perusahaan mereka akan mengambil alih perusahaan Park. Otomatis DG akan lebih besar daripada sebelumnya. Hal inilah yang membuat sang CEO terus menerus menunjukkan senyum lebarnya kepada setiap orang yang ditemuinya.
"Aku sama sekali tidak membayangkan hal ini bisa terjadi. Perusahaan Park yang dulunya merupakan perusahaan terkenal ketiga setelah DG akan berakhir seperti... Ah, kau memang hebat, hyung," puji Tuan Zhang, pada Tuan Wu saat mereka berjalan menuju tempat pertemuan di lantai dua.
"Aku yakin suatu saat hal ini pasti akan terjadi," sahut Tuan Wu dengan penuh percaya diri.
...
Di ruangannya, Kris nampak murung. Wajah tampan itu tak bersinar seperti dulu. Semua masalah yang melandanya seakan hendak membuat kepalanya pecah. Tentu saja, masalah perusahaan semakin rumit. Dia ingin mengembalikan perusahaan Jiyeon. Tapi bagaimana caranya? Semua saham sudah dibeli oleh perusahaannya sendiri. Laki-laki degan tinggi sekitar 180 cm itu duduk di atas kursi, di belakang meja kerja dengan menutup kedua matanya. Dia ingin sekali kembali ke masa lalu di mana dirinya masih begitu muda dan menuntut ilmu di Jerman. Dia ingin kembali ke masa-masa itu dan memperbaiki masa lalu agar masa depannya tidak sekacau ini. Andai waktu bisa diputar kembali...
Tok tok!
Suara ketukan pintu ruangannya mengagetkan jantung. Kris sontak membuka matanya dan membenahi posisi duduknya.
"Masuklah!" Suara besar itu terdengar menyuruh seseorang yang telah mengetuk pintunya untuk segera masuk ke dalam ruangan minimalis miliknya.
Cekleekk!
Seorang laki-laki menyembul dari balik pintu.
"Direktur-nim, meeting segera dimulai," kata Lee Junho.
Hal inilah yang membuat Kris enggan datang ke kantor. Meeting pengambil alihan perusahaan Park segera dimulai.
"Baiklah. Aku akan segera ke sana."
Seketika itu, Junho undur diri untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai staf bidang penjualan.
...
Dengan langkah yang ingin sekali ia hentikan, Kris menyusuri koridor di lantai dua. Tak berapa lama lagi dia akan sampai di ruang meeting, di mana para petinggi perusahaan sudah berkumpul untuk membahas pengambil alihan perusahaan Park.
'Ini saatnya aku mengembalikan perusahaan Park. Tapi bagaimana caranya?' tanya Kris dalam hati.
Sesampainya di ruang meeting, Kris disambut oleh beberapa direktur perusahaan termasuk Direktur Xiah.
"Perusahaan kita pasti akan menjadi perusahaan terbesar di Asia, Direktur Wu," kata Direktur Xiah yang baru saja mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Kris.
Kris tidak melontarkan komentarnya melainkan hanya tersenyum tipis yang kentara sekali kalau senyum itu ia paksakan.
Meeting dimulai. Semua petinggi perusahaan duduk melingkar. Tiba-tiba seorang laki-laki muda memasuki ruang meeting dan membuat semua yang ada di dalam ruangan itu terkejut. Ya, Lay datang untuk ikut membahas masalah perusahaan Park.
Lay masuk ke dalam ruangan lalu duduk dengan santai di samping Kris. Dia terlihat berwibawa dan selalu memamerkan senyum kepada siapapun.
"Bukankah kau tidak diundang?" lirih Kris pada Lay. Ia mencondongkan badannya ke arah Lay.
"Kenapa aku tidak diundang pada meeting sepenting ini? Bukankah DG juga bekerja sama dengan perusahaanku. Lagipula, ayahku diundang. Tetapi aku malah tidak diundang. Kenapa justru CEO nya tidak dihiraukan?" Lay berkata-kata dengan santai. Hal itu justru membuat Kris kesal karena ia menganggap Lay terlalu sombong.
"Jika kau ingin menyombongkan diri, jangan di sini. Ini bukan tempat untuk menyombongkan diri," ketus Kris dengan penuh penekanan di setiap kata yang baru dia ucapkan.
Lay tersenyum. "Hyung, duduklah dengan santai dan dengarkan apa yang akan dibahas nanti."
Kris mendelik kesal dan mengepalkan telapak tangannya di bawah meja.
...
Meeting berlangsung tegang. Para pembeli saham perusahaan Park merasa tidak tenang karena kedatangan Lay yang dianggap akan merebut saham itu.
"Yixing, kau tidak bisa berbuat seenaknya seperti itu. Saham itu sudah dibayar lunas oleh mereka. Perusahaan Park sudah tidak punya apa-apa lagi," ketus Tuan Wu, CEO Diamond Group.
Lay menahan amarahnya. Setiap dia melihat tuan Wu, ingin rasanya dia marah-marah pada pamannya itu.
"Paman, dengarkam dulu kata-kataku," kata Lay.
"Apanya? Beraninya kau memanggilku dengan sebutan 'paman' di dalam meeting!" Tuan Wu kelihatan emosi. Dari dulu dia memang tidak senang pada Lay.
Lay menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya kasar. "Baiklah, CEO Wu. Jika Anda ingin langsung mendengar penjelasan saya, dengarkan baik-baik." Lay membenahi posisi duduknya. Ia meluruskan punggungnya dan tidak bersandar pada sandaran kursi seperti tadi.
"Aku akan mengatakan intinya saja. Saya akan membeli saham perusahaan Park yang telah dibeli oleh para pemegang saham di Diamond Group."
Suara berisik terdengar semakin keras di dalam ruangan itu.
"Apa kau sudah gila?" Suara Tuan Wu meninggi.
Lay menatap tajam ke arah pamannya yang sudah terpancing emosi. "CEO Wu, berapapun saham yang telah kalian beli, aku akan membelinya dengan harga 10% lebih tinggi dari harga sebelumnya."
"Yixing! Kau benar-benar sudah gila. Perusahaan kita akan bangkrut jika membeli semua saham itu!" bentak tuan Zhang yang tidak terima jika Lay membeli semua saham perusahaan Park dari DG.
"Maaf. Tetapi status saya di sini adalah CEO. Jadi, saya berhak memutuskan apapun mengenai perusahaan saya," jelas Lay yang sakit hati karena selalu disisihkan dan tidak dihiraukan. "Surat jual beli saham itu sudah kami siapkan." Lay mengeluarkan setumpuk kertas yang ia maksud dengan surat jual beli saham. "Bagi pembeli saham yang setuju untuk menjual sahamnya, silahkan isi surat pernyataan ini dan tandatangani dengan stempel Anda semua."
Kris dan beberapa petinggi perusahaan menatap Lay dengan nanar. Ini kali pertamanya Kris merasa begitu membenci Lay. Kris mengira bahwa Lay hanya ingin mencari sensasi dengan membeli seluruh saham perusahaan Park dengan harga yang lebih tinggi.
...
Selesai meeting, Lay hanya berjabat tangan dengan Kris dan Tuan Wu. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun kepada mereka.
Tap tap tap!
Suara hentakan sepatu mahal milik Lay beradu dengan lantai perusahaan DG yang kinclong.
Kriiing!
"Eoh.." jawab Lay yang sedang terburu-buru menuju tempat parkir. Ia keluar dari DG begitu saja tanpa berpamitan pada ayahnya dan beberapa orang lain yang memangku jabatan penting di DG. "Jiyeon-a, kau di mana?"
"Oppa, aku masih di apartemenmu. Kenapa? Oh iya, bagaimana hasilnya?" tanya Jiyeon antusias.
"Kau akan tahu sendiri hasilnya nanti." Lay tersenyum senang dengan semua yang telah ia lakukan. "Jangan ke mana-mana. Aku akan segera kembali ke apartemen."
"Baiklah, hati-hati oppa."
...
Di dalam apartemen Lay, Jiyeon bingung dengan apa yang bisa ia lakukan. Semua barang sudah sangat bersih dan tersusun dengan sangat rapi di tempatnya. Tempat tinggal putra tunggal tuan Zhang itu lebih bersih dan lebih rapi dari rumahnya sendiri.
"Hah... apa yang bisa aku lakukan?" gumam Jiyeon seraya menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang biasa digunakan Lay untuk tidur jika Jiyeon menginap di apartemen itu.
Cekleeek!
Pintu apartemen terbuka. Tak lama kemudian muncullah sosok tampan yang telah memasang senyumnya sejak tiba di apartemen itu.
"Oppa! Cepat sekali?" Jiyeon menyambut kedatangan Lay yang membawa map berukuran cukup besar. Di dalam map itu terdapat surat-surat jual beli saham perusahaan Park.
"Kau pasti akan senang melihatnya." Lay menunjukkan map itu pada Jiyeon.
"Apa ini?"
"Bukalah. Aku sudah menepati janjiku." Lay tersenyum puas diikuti oleh Jiyeon yang tersenyum dengan rasa penasaran.
Jiyeon membuka map itu. Ia membaca surat-surat itu satu persatu tanpa ada yang terlewatkan. "Daebak! Ini semua adalah sahamku yang dibeli oleh DG. Oppa, kau benar-benar membeli semuanya?"
Lay mengangguk mantab. "Tentu saja. Aku tidak ragu untuk membeli sahammu. Kedengarannya memang begitu mudah membeli saham ini. Tapi sebenarnya tidak mudah. Paman Wu terlalu keras kepala. Lagipula, aku yakin perusahaanku akan menjadi perusahaan terbaik berkat saham dari perusahaanmu. AKu yakin bahwa tak ada yang perlu diragukan dari saham-saham ini. Perusahaanmu hancur karena Yoona yang kurang kreatif dalam strategi manajemen."
"Tapi... bukankah untuk membangun perusahaan ini akan membutuhkan banyak waktu dan tenaga? Aku harus memulainya dari nol lagi," lirih Jiyeon dengan wajah ditekuk bagai kertas lusuh yang sudah tak terpakai lagi.
"Aku akan merger dengan perusahaanmu."
Deg!
Jiyeon terkejut mendengar pernyataan Lay barusan. Sungguh tak disangka, seorang Lay yang notabennya adalah CEO perusahaan terkenal sudi merger dengan perusahaannya yang sudah hancur. Jiyeon bergeming dan hanya mengedipkan kedua kelopak matanya. Sekian detik kemudian, dia mulai buka suara. "Apa kau yakin, oppa? Apa kau tidak akan menyesal?"
Lay mneyunggingkan senyumnya dan mengangguk pelan. "Kenapa aku harus menyesal? Semuanya mungkin bisa terjadi jika kita mau berusaha. Jika aku telah berusaha tetapi akhirnya gagal, artinya takdirku memang seperti itu. Hidup di dunia ini memang rumit. Tapi jika kau menjalani kehidupanmu di dunia dengan tidak menyalahkan dirimu sendiri atau orang lain, hmmm... atau mungkin tidak menyesali apa yang telah kau lakukan, hidupmu akan terasa indah, penuh tantangan dan tidak membosankan."
"Oppa, apa yang kau bicarakan?" Jiyeon bertanya kepada Lay.
Laki-laki itu malah menepuk dahinya pelan karena Jiyeon tidak mengerti maksud dari ucapannya yang baru saja ia keluarkan dari mulutnya. "Kau tidak mengerti atau berpura-pura tidak mengerti?" tanya Lay mengintimidasi Jiyeon.
"Yaak! Aku memang tidak mengerti," jawabJiyeon.
...
Beralih ke gedung perusahaan DG. Di salah satu ruangan tampak seorang laki-laki paruh baya yang mengerutkan dahinya karena berpikir terlalu keras. Ia mengepalkan salah satu tangannya.
"Panggilkan Wu Yi Fan sekarang juga!" perintah laki-laki paruh baya itu pada seorang staf yang baru saja mengantar berkas ke ruangannya.
"B, baik, CEO-nim," jawab staf itu dwngan sedikit gemetar karena takut saat melihat ekspresi Tuan Wu yang suram, tak seperti biasanya.
Staf itu meminta ijin untuk meninggalkan ruangan mewah dan glamor milik CEO DG.
2 menit kemudian.
Tok tok!
"Masuk!" perintah Tuan Wu yang telah menebak siapa gerangan yang mengetuk pintu kayu yang kerasnya seperti baja itu.
Cekleekk!
Pintu kayu itu terbuka lebar. Nampaklah seorang pemuda jangkung dan tampan yang menampilkan raut wajah sedih. Ya, Wu Yi Fan atau lebih dikenal dengan nama Kris datang memenuhi panggilan ayahnya. Untuk meeghindari konflik antara ayah dan anak, dia menurut saja pada setiap ucapan ayahnya.
Tanpa disuruh duduk, Kris menjejalkan bokongnya di atas kursi empuk berwarna hitam yang terletak di depan meja kerja tuan Wu. "Apa yang ingin ayah bicarakan?" tanya Kris dengan nada datar, tak ada intonasi tinggi atau penekanan di setiap kata yang telah ia ucapkan itu.
Tuan Wu memandang Kris dengan sinis. Pandangan tak biasa yang diberikan ileh seorang ayah kepada anaknya. Apakah mungkin seorang ayah akan memandang anaknya seperti musuh?
"Kau gila. Kau benar-benar membuatku marah, Yi Fan!" bentak Tuan Wu secara tiba-tiba.
Kris hanya diam. Dia tidak sedang mood untuk membuka mulutnya meski hanya untuk mengucapkan sepatah kata.
"Katakanlah semua yang ingin ayah katakan padaku agar kelak tidak ada sesuatu yang bisa membuat ayah marah-marah padaku lagi. Aku tahu ayah sangat marah. Tetapi saat ini aku lebih marah daripada ayah. Aku juga kecewa pada ayah."
Tuan Wu semakin geram setelah mendengar kata-kata yang dilontarkan langsung oleh putera tunggalnya. "Berani sekali kau bicara seperti itu!" bentak Tuan Wu. "Baiklah, hal yang ingin aku katakan adalah kau boleh menikah dengan Yoona dan jauhi Park Jiyeon."
Deg!
"Waeyo? Bukankah ayah telah melarangku menikah dengan Yoona? Taktik apalagi yang akan ayah gunakan untuk menghacurkan mereka?" tanya Kris dengan nada sengitnya.
"Tidak ada apa-apa. Hanya saja, aku tidak suka dengan Jiyeon."
...
Malam harinya, Kris tampak lesu dan tidak bersemangat. Kata-kata tuan Wu terus menerus melekat dalam pikirannya seakan tak ingin lepas seperti perangko.
Kris pov
Aku ingin melewati malam ini dengan tenang tetapi beban pikiranku tidak mengijinkanku istirahat dan menenangkan diri. Semua yang telah dikatakan oleh ayah benar-benar membuatku gelisah. Apakah ucapan ayah tadi tidak ada unsur kebohongan di dalamnya? Ya Tuhan, kenapa harus aku yang mengalami ini semua?
Pakaian yang kukenakan sedari pagi masih melekat di tubuhku. Enggan rasanya melepas pakaian ini. Bukan hanya itu, aku juga enggan melepaskan sepatu, mencuci muka, dan kegiatan yang lainnya. Hari ini aku telah mengetahui sebuah rahasia besar yang disimpan oleh ayah, paman Zhang, tuan Park, dan ibu Yoona. Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Flashback
"Aku tidak suka dengan Park Jiyeon!" ketus tuan Wu yang sukses membuat Kris terbelalak tak percaya.
"Tidak suka? Ayah, kau tahu kan kalau aku adalah tipe orang yang tidak mudah dibohongi?"
Tuan Wu menatap Kris nanar. Lalu ia mulai bercerita. "10 tahun sebelum kau pergi ke Jerman, perusahaan kita mengalami pailit. Ada banyak penyebab hal itu terjadi pada perusahaan kita yang memiliki pengaruh yang kuat pada perekonomian Korea Selatan."
"Apa penyebabnya?" tanya Kris dengan sangat penasaran. Tuan Wu telah memancing rasa ingin tahu putranya itu.
"Penyebabnya adalah perusahaan mendiang ayah Yoona dan perusahaan Park." Tuan Wu menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya. "Ibu kandung Yoona adalah mantan istri pamanmu. Mereka telah menikah pada usia yang sangat muda. Setelah ibu Yoona melahirkan seorang bayi perempuan, pamanmu menceraikannya karena kakek Yoona ingin menikahkan ibunya dengan seorang pengusaha kaya raya. Pernikahan pun terjadi namun suaminya harus merenggut nyawa setelah usia pernikahan mereka menginjak 3 tahun. Sepeninggal tuan Im, perusahaan itu dijual oleh nyonya Im. Tebak, siapa yang membeli keseluruhan saham itu!"
Kris mengerutkan keningnya. "Siapa?"
"Tuan Park. Dialah yang membeli keseluruhan saham yang dijual oleh nyonya Im. Setelah istri tuan Park meninggal, nyonya Im menikah dengan tuan Park. Mereka berdua mengadakan perjanjian untuk perusahaan, yaitu pewaris tunggal adalah Park Jiyeon. Tetapi Yoona harus diijinkan mengelola perusahaan itu meskipun nantinya akan jatuh di tangan Jiyeon."
Slurph!
Tuan Wu menyeruput capuccino di dalam cangkir antiknya lalu melanjutkan cerita. "Tepat 10 tahun sebelum kau beraagkat ke Jerman, tepatnya ketika usiamu 9 tahun, perusahaan mereka mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga membeli saham-saham dari berbagai perusahaan. Mereka juga mengambil alih kawasan pasar perusahaan kita hingga akhirnya mengalami pailit. Tuan Park sangat bangga akan kemamouannya mengelola perusahaan. Sejak saat itu, ayah tidak menyukai keluarga Park, termasuk Jiyeon."
"Cih, ternyata hanya hal sepele seperti itu? Yoona juga anak tuan Park. Kenapa ayah malah menyuruhku menikah dengannya?"
"Kerabat mendiang ayah Yoona adalah penguasa pasar Amerika. Ayah ingin kau menikah dengannya agar perusahaan kita bisa menguasai pasar Amerika karena kerabat mendiang ayah Yoona masih memiliki hubungan baik dengan Yoona dan ibunya."
"Apakah mereka tidak bekerja sama dengan perusahaan Park?"
"Tidak. Mereka bekerja sama dengan perusahan pamanmu."
"Mwo?!" Kris sangat terkejut. "Bagaimana mungkin? Paman adalah mantan suami nyonya Im. Tetapi kerabat tuan Im malah berhubungan baik dengan paman Zhang. Ini benar-benar gila. Sekarang malah tambah gila. Perusahaan Zhang bersatu dengan perusahaan Park. Itu artinya tuan Park bekerja sama dengan para kerabat mendiang ayah Yoona." Kris mengacak rambutnya. Dia pusing memikirkan semua ini.
"Seperti itulah. Kau bisa menarik kesimpulannya. Maka dari itu, ayah bertekad keras membeli saham itu, entah kau akan menyetujuimya atau tidak, tapi... Yixing malah membeli saham perusahaan Park. Dunia tidak selebar daun kelor," kata tuan Wu dengan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi empuknya. "Penyebab lain yang mengakibatkan perusahaan kita mengalami pailit adalah membengkaknya hutan perusahaan kita pada perusahaan asing sehingga kita kesulitan mengembalikan hutang itu. Yi Fan, jika kau memimpin perusahaan ini, jangan pernah berhutang pada perusahaan lain. Jual saja aset-aset perusahaan dan keluarkan beberapa orang karyawan yang tidak memiliki kompetensi tinggi."
Kris manggut-manggut, membenarkan ucapan tuan Wu. "Baiklah, ayah. Aku akan mengingat hal itu."
Flashback end.
Aku ingin memejamkan mata sejenak.
Kris pov end
...
Jiyeon dan Lay tengah berada di dalam mobil. Entah sejak kapan mereka keliling kota Seoul tanpa arah tujuan yang jelas. Keduanya ingin menikmati pemandangan malam ini, mungkin akan ada sesuatu yang menakjubkan atau malam ini akan berbeda dengan malam yang lain.
"Oppa, sampai kapan kita akan berputar-putar terus? Bukankah jalan ini sudah kita lewati sebanyak empat kali? Mataku bosan melihat sekeliling jalannya," keluh Jiyeon.
"Sabar dulu, aku masih berpikir. Cafe mana yang cocok dijadikan tempat ngobrol."
"Mwo? Hanya untuk mengobrol saja harus memilih cafe selama itu? Aigoo..."
Lay tersenyum jahil. "Gurae, kita ngobrol di cafe depan itu." Lay mengurangi kecepatan mobilnya. Dia menepi secara perlahan-lahan namun tiba-tiba seseorang lewat di depan mobilnya.
Brukk!!
"Omo! Oppa, kau menabrak orang." Jiyeon dan Lay panik tingkat tinggi. Keduanya takut kalau orang yang tertabrak itu mengalami luka berat atau jangan-jangan malah meninggal.

Tbc

Loving You [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang