---Memori terakhir di antara Salju---
Aku lupa sejak kapan aku sampai di sini.
Mungkin tadi siang, kemarin malam, atau mungkin sudah beberapa hari yang lalu aku di sini. Atau mungkin juga aku baru sampai. Baru dua jam yang lalu atau mungkin bahkan baru dua menit yang lalu. Entahlah… yang jelas kini aku di sini. Berdiri dengan kesendirianku, menatap kegelapan yang tercipta oleh kelopak mataku yang aku rapatkan ini.
Lalu perlahan mata ini kubuka. Kubuka untuk menatap ribuan butir kristal nan dingin yang terjatuh terus menerus dari ankasa. Terjatuh… dan terus terjatuh dari kelabu awan dan akhirnya saling menghampar pada penjuru malam ini sebagai wujud yang kerap disebut salju.
Di sini aku terdiam penuh sunyi dan tanpa makna. Atau… mungkin ada satu makna. Alasan mengapa aku berdiri penuh kesendirian di antara hujan salju yang kian lama kian terasa deras ini.
Aku tengah menanti… menanti akan hadirnya seseorang yang akan membebaskanku dari dinginnya musim ini… Seseorang yang akan mencairkan bekunya hatiku dengan senyuman indahnya… Seseorang yang teramat sangat berarti bagi kehidupanku.
Tunggu dulu!... Kehidupan?
Sejak kapan aku memilikinya? Bukankah sesuatu yang disebut kehidupan itu telah sirna dari diriku? Bukankah kehidupan itu adalah sesuatu yang tidak aku hargai?
Pemikiranku itu sesaat terhenti. Atau mungkin akan selamanya terhenti. Saat tiba-tiba dalam hening yang sedari tadi menguasaiku,… kini terdengar nyanyian yang memanggilku. Sebenarnya bukan nyanyian. Hanya suara seseorang yang memanggilku.
Mungkin kini ia ada di belakangku.
Namun yakinlah suaranya sangat indah. Begitu indah hingga bagaikan sebuah nyanyian.
Suara panggilan itu adalah hal yang sedari tadi aku nantikan.
Lalu aku berbalik. Menatap ke arah seorang gadis cantik yang kini ada beberapa langkah di hadapanku.
Nampaknya dia sangat kedinginan. Terlihat jelas dari pipinya yang berwarna merah. Nampaknya dia juga sedemikian lelah. Meski keringatnya telah dibekukan sang salju namun nafasnya naik turun tak terkendali.
“Hey… apa yang kau lakukan di sini?... apa maksudmu dengan berdiri pada—” ucapannya terhenti. Mungkin karena aku berpaling dan menatap ke bawah sana, dan jauh di bawahku adalah jalanan yang penuh oleh kendaraan.
“Hey!” panggilnya lagi.
Aku kembali menatapnya. Kali ini dengan sebuah senyum yang dengan senang hati kuberikan padanya.
Dan sepertinya aku menggerakkan bibirku. Tapi entah mengapa aku tak dapat mendengar apa yang kuucapkan. Bahkan aku ragu aku mengucapkan sebuah kata.
“Aku bukan Firelia!... aku Dhian!” teriak gadis cantik yang kedinginan itu.
Oh… jadi itu.
Aku tahu, pasti tadi aku mengucapkan sebuah panggilan. Panggilanku untuknya. ‘Firelia’
Yah… meski dia kerap menolak kupanggil demikian, namun aku tetap memanggilnya Firelia. Aku juga selalu menganggap diriku sebagai Violin. Mungkin karena aku pernah membaca sebuah buku yang menyebutkan bahwa Firelia adalah dewi yang selalu menghargai kehidupan, tidak seperti Violin yang nampak acuh terhadap hidup ini.
“Apa lagi yang kau tunggu?... aku sudah dating. Apa yang ingin kau katakana dan ayo cepat turun!” pekiknya lagi. Nampaknya ia pun mulai diliputi kesedihan. Namun entah kenapa.
Aku memejamkan mata ini, lalu perlahan kembali kubuka. Kuulangi hal itu berulang kali sebelum bibirku kembali bergerak. Dan lagi-lagi telingaku tak diprizinkan mendengar ucapan itu. Ucapan yang nampaknya membuat Dhian terkejut. Atau sangat terkejut.
Lalu kakiku mulai bergerak. Sangat perlahan untuk melangkah mundur namun kutatap kala itu Dhian sangat terkejut dan berlari menujuku dengan penggilan-panggilannya teruntukku.
Bagiku panggilan-panggilan itu adalah sebuah nyanyian. Lebih tepatnya sebuah nyanyian penghantar kematianku.
Dhian tak lebih cepat dariku. Sebelum langkahnya mencapai ragaku, terlebih dahulu ragaku terjatuh. Begitu deras berdampingan dengan sang krsital salju. Bahkan tubuhku yang terjatuh lebih cepat dari butir-butir salju yang sebenarnya terjatuh sangat deras itu.
Lalu sesaat aku mampu menatap wajah Dhian di atas sana. Yang mungkin memanggil namaku diiringi airmatanya yang bercucuran.
Dan kemudian… pemikiranku tentang kehidupan kembali terbesit dalam memoriku. Mungkin untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana akhirnya aku menghargai hidup.
Pertanyaan ini takkan pernah terjawab bila kupaksa otakku ini mencari jawabannya. Namun entah mengapa bila hati dinginku ini mengingat gadis yang memanggilku dengan linangan airmatanya di atas sana, jawaban itu akan muncul dengan sendirinya.
“Kau adalah Firelia. Terlepas dari kehendakmu menerima panggilan itu kau tetap Firelia bagiku. Dan aku adalah Violin yang tak menghargai hidup. Lalu kau datang padaku beberapa musim lalu. Atau beberapa musim di beberapa tahun lalu. Suatu musim saat dedaunan cokelat saling berguguran. Saling berjatuhan bagaikan jiwa-jiwa manusia yang mati. Lalu kau menemuiku. Menemuiku saat aku terdiam di antara jiwa-jiwa yang mati itu. Dan semenjak itu entah mengapa hatiku selalu hangat. Terutama saat melihat senyum lembutmu. Dan tanpa kusadari dari senyuman itu kau memberiku kehidupan. Memberiku sebuah makna tentang kehidupan yang dulu pernah pecah berkeping-keping dariku. Lalu dengan senyum indahmu itu, kau berupaya merekatkan setiap kepingan kehidupan yang dulunya pecah. Dengan sesuatu yang kadang disebut cinta, kau menyembuhkan kehidupanku. Aku mencintaimu Firelia… terlepas dari kesediaanmu menerima cintaku ini. Dan dengan cinta yang kumiliki untukmu ini, kepingan kehidupan yang dulunya hancur kini kembali tertata dengan sempurna.”
Begitulah hatiku berkata. Lalu oleh satu kalimat terakhirnya, aku kini teringat oleh kata-kata terakhirku untuk Dhian tadi sebelum aku terjatuh.
“Aku mencintaimu, Dhian… terlepas dari kesediaanmu mencintaiku. Karena dengan mencintaimu aku merasa kepingan kehidupan mulai singgah di hatiku. Namun dengan mencintaimu pula kepingan kehidupan itu hancur. Pecah menjadi serpih-serpih kecil dan sirna.”
Namun semua hal itu kini kuabaikan. Kini yang melingkupiku adalah warna kegelapan abadi. Warna kematian yang tercipta setelah tubuhku membentur suatu permukaan dengan sangat deras.
--Violin