Jantung ini berdetak tak seperti biasanya.•••
Selepas dari warung Cak Tedjo tadi, Chelsea menggiring langkah kakinya menuju halte yang berada dua ratus meter dari tempatnya berdiri sekarang. Ia sempat melirik jam yang bertengger di pergelangan tangannya, tepat pukul lima lewat tiga puluh menit.
Langit tampak menampakkan gradasi warna oranye yang indah. Jalanan pun juga tampak padat merayap mengingat sekarang adalah waktu pulang kerja.
Sesampainya di halte, Chelsea memilih duduk dan menunggu bus, semoga saja masih ada bus atau angkutan umum yang tersisa. Pikirnya dalam hati.
Lima belas menit berlalu dan sepertinya Dewi Fortuna tidak berpihak padanya kali ini. Berkali-kali ia menggerutu sembari matanya tetap menelisik satu persatu kendaraan umum yang mungkin saja bisa ditumpanginya. Tapi nyatanya setelah lima menit berlalu, tetap saja seperti tadi. Hanya kendaraan pribadi yang mendominasi jalanan Ibu kota sore ini.
Dengan gerakan cepat, Chelsea meraih ponsel yang berada di saku seragamnya. Memainkan jari-jari lentiknya di sana. Bermaksud mengirim pesan untuk Alex agar menjemputnya sekarang.
Setengah menit kemudian, ponselnya berbunyi. Menandakan pesan baru masuk yang ternyata dari Alex, di layarnya tertulis pesan singkat dari Alex yang mengatakan bahwa bocah laki-laki itu masih dalam perjalanan. Untuk itu, Chelsea bisa bernapas lega sekarang.
Tidak sampai lima belas menit, Alex sudah datang dengan motor bebeknya, "lo kenapa deh bisa nyakut di daerah sini?" tanya Alex seraya menyerahkan helm batok untuk sang Kakak.
"Tau deh," Chelsea mencebikkan bibirnya kesal. Dan mulai naik ke atas Beta--motor kesayangan Alex. Kenapa Beta? Karena itu gabungan dari kata Bebek Tajir. Chelsea selalu mendengus geli tatkala mengingat ke-alay-an Adiknya itu.
"Mampir ke tempat biasa ya? Gue laper nih," suara Alex yang bersahutan dengan angin membuat Chelsea mengernyit bingung.
"Apa?!" balas gadis itu sembari berteriak tepat di depan telinga Alex yang tertutupi helm.
"Mampir ke restoran biasa, ya?!"
"Oh, serah lo deh."
Tanpa mengulur waktu lebih banyak lagi, Alex langsung saja menambah kecepatan laju motornya. Membuat Chelsea berkali-kali mengumpat tak aturan sembari mencengkeram jaket kulit milik Alex.
Lima menit berikutnya, Chelsea dan Alex telah tiba di sebuah restoran yang menjajakan masakan korea. Mereka berdua memasuki restoran tersebut dan memilih bangku yang berada disudut ruangan yang tentu saja bernuansa negeri ginseng.
"Lo mau pesen apa, Sist?" tanya Alex sambil matanya tetap berfokus pada deretan menu yang tersaji di hadapannya.
Chelsea masih diam. Baru saja dia makan sate bersama Bagas, dan sekarang Adiknya itu mengajak makan lagi. Bagaimana jadinya isi perutnya nanti jika semua makanan ia telan? Chelsea meringis seketika membayangkan itu. Tapi ia juga tak mau membuang kesempatan ini, terlebih Alex jarang sekali mentraktirnya makan seperti ini. Chelsea menimang-nimang mana menu yang tak begitu dikategorikan berat.
Dan pilihannya jatuh pada ramen, "Ramen, minumnya air putih aja."
Alex mendongak menatap tak percaya pada sang Kakak. "Woah. Tumben lo makannya sedikit, lagi diet, ya?"
"Bukan. Gue udah makan tadi."
"Makan apa? Wah parah lo nggak ngajak-ngajak gue," cerca Alex pura-pura marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Other Side
FanfictionKatakanlah dia kaku, atau bahkan beku. Binar mata yang dulu terang benderang, kini redup seiring waktu berjalan. Senyum yang dulu pernah merekah, kini tak pernah lagi singgah. Hanya karena masa lalu, dia jadi begitu. Seolah takdir tak pernah berh...