Cerpen ini sudah dimuat di kolom CERPEN koran Kaltim Post, edisi Kamis, tanggal 9 Juni 2016
-----------------------------------------------------------
"Cincin Bunda, mana?" tanya ayah.
"Di pasar," jawab bunda.
"Kok, di pasar?" tanya ayah lagi, heran.
"Bunda jual, buat bayar uang kuliah Danang semester ini, Yah!" bisik bunda akhirnya.
Danang tak sengaja mendengar pembicaraan itu. Ia tahu kehidupan semakin sulit, apalagi dengan dua orang adik yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, membuat remaja 20 tahun itu gamang, antara meneruskan kuliah atau berhenti, lalu bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.
Kuliah sambil kerja? Sudah pernah ia jalani, namun hanya bertahan beberapa bulan. Waktu kerjanya di perusahaan telekomunikasi ternama dan jadwal kuliahnya sering kali bentrok, membuat ia terpaksa berhenti, apalagi saat itu ayah masih bekerja sebagai sekuriti di sebuah kantor swasta dan warung ibu yang memiliki warung sembako lumayan laris, meminta agar ia fokus pada kuliah saja dulu. Beruntung ia diterima di Universitas Mulawarman yang memiliki sistem Uang Kuliah Tunggal, di mana uang kuliah disesuaikan dengan penghasilan pokok orang tua atau penanggung, sehingga ia bisa mendapatkan keringanan biaya.
Tapi kini, setelah ayah dikeluarkan dari tempat kerja, karena adanya pengurangan pegawai dan warung bunda semakin berkurang omsetnya, karena ada toko lebih besar serta murah buka di dekat tempat usaha bunda, mau tidak mau nurani Danang terusik juga. Sebagai putra satu-satunya, anak tertua pula, bukankah kewajibannya meringankan beban mereka?
"Kamu lagi mikirin apa, kok seperti orang bingung, Nang!" tegur bunda tiba-tiba.
"Oh, Bunda! Nggak mikirin apa-apa kok, Bun," katanya, sambil pura-pura membaca makalah.
"Kamu khawatir sama kuliahmu, ya?" tanya wanita 40 tahun itu lagi.
"Ng ... nggak kok, Bun," sahut Danang, ragu.
"Nang ... dengerin Bunda, terkadang hidup menjatuhkanmu begitu keras, hingga untuk berdiri lagi rasanya nggak sanggup, Saat ini mungkin kita sedang diuji, diberi cobaan hidup berupa kekurangan, tapi ... yakinlah! seperti janji Allah dalam kitab-Nya, dibalik setiap kesulitan pasti ada kemudahan, di balik setiap kesukaran pasti ada jalan keluar. Kita jalani saja semuanya dengan sabar ya, Nak." kata bunda bijak.
"Iya, Danang ngerti, Danang hanya merasa seperti nggak berguna saja, seharusnya sudah tidak jadi beban Ayah dan Bunda lagi, tapi ... sampai seumur ini, masih saja ikut membebani kehidupan keluarga." ujarnya lemah sembari menundukkan kepala.
"Kok ngomong begitu, kami tidak pernah merasa terbebani. Sudah kewajiban kami memenuhi semua kebutuhan kalian, sampai kalian mandiri." bantah bunda sambil merangkul bahu putranya.
"Danang masih ingat cerita nenek, sejak Sekolah Dasar bersama saudara-saudara Bunda yang lain, ikut membantu nenek dan kakek mencari uang, nggak pernah minta uang jajan, nggak pernah nyusahin nenek, bahkan seragam sekolahpun dibeli dengan hasil keringat sendiri. Danang ingin seperti itu, Bun!" ujar pemuda itu semakin tertunduk.
"Nang ... jaman Bunda dulu berbeda denganmu sekarang ini. Dulu ... murid membawa dagangan ke kelas nggak dilarang, kalau sekarang pasti dilarang, dibilang mengeksploitasi anak lah, mengganggu ketenangan kelas lah, dan banyak lagi alasannya. Sudah! Nggak usah mikir macam-macam! Kuliah yang benar dan lulus tepat waktu, soal biaya biarkan kami yang memikirkannya. Kamu harus bisa meraih cita-citamu di kampus impian Bunda itu, jadilah Sarjana pertama dalam keluarga kita supaya dapat pekerjaan lebih baik." kata bunda sambil menepuk bahu Danang kemudian berlalu untuk kembali mengurus warung.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPIAN BUNDA
Non-FictionDiilhami dari kisah nyata pribadi dari penulis, tentang ia dan putra sulungnya yang berusaha meraih impian bersama, di tengah kemiskinan yang membelit mereka. Cerpen ini sudah dimuat dikolom CERPEN koran Kaltim Post, edisi Kamis, tanggal 9 Juni 2016