Prolog

1.3K 21 0
                                    

Bekas tamparan itu masih terlihat jelas di pipi kanan Tamara. Dia memegang pipinya sambil meringis. Tuduhan itu langsung keluar begitu saja tanpa ba bi bu.

Perih sekali mendengarnya, "Apa kamu bilang?"

"Masih ga mau ngakuin?"

Matanya yang bulat membesar dan seolah bola matanya ikut keluar. Tamara mundur selangkah.

"Apa yang kamu lakukan sama Bayu?"

"Abi, aku ga ngerti apa maksudmu?"

Suara Tamara makin melemah, dia benar-benar ga ngerti maksud Abi. Matanya mulai memanas. Ini sangat menakutkan sekali. Abi selalu menamparnya, memukul dan menendang.

"Sakit, Bi. Sakit....." Isak Tamara saat menyadari rambutnya sudah dipegang dengan kasar oleh Abi.

"Kamu mau aku apakan, biar ngaku?"

"Apa yang harus aku lakukan biar kamu percaya?"

Mata itu, terus menatap Tamara dengan tajam dan menusuk. Tamara tak habis pikir bagaimana bisa dia memilih lelaki ini. Percaya begitu saja dengan bualannya itu. Omong kosong!

"Apa? Berani?" suara keras itu seperti menantang Tamara yang mulai membalas tatapan Abi.

"Buat apa aku takut? Kamu beraninya sama aku! Aku tak ada hubungan dengan Bayu!" Teriak Tamara dengan lantang.

"Kalian pernah pacaran!"
"Bukan berarti kalau pernah pacaran terus masih ada hubungan kan?"

"Membantah kamu!"

"Hentikan! Apa yang kamu lakukan?"

Keduanya menoleh ke arah pintu masuk. Abi melepaskan pegangannya dan membuat Tamara lemas dan terkulai di lantai.

"Kamu apakan anakku? Apa kalau aku tidak datang, anakku bisa mati kau siksa?" suara berat itu bergetar hebat. Tamara menangis tersedu sedan. Hubungan ayah dan anak juga...... Ibu memang kuat. Mereka merasakan sesuatu dan datang hari ini. Ibu memelukku dengan pilu yang disembunyikan kuat-kuat. Tamara menangis histeris.

Plak! Suara tamparan dan kemudian disusul pukulan. Tamara mendongak. Ayah membalaskan sakitnya, Abi diam tak bergerak dan tak membalas.

"Keluar kamu! Keluar!" teriak ayah sekuat mungkin, tangan kanannya memegang sandaran kursi agar tidak jatuh. Matanya tak menatap sedikitpun ke arah Abi. Tapi yang jelas, Tamara tahu, ayah begitu marah bercampur sedih, anak perempuannya diperlakukan sehina ini.

"Maafkan saya ayah. Maaf...." Abi menghiba meminta maaf. Ayah hanya berdiri tegak tanpa bergerak. Dia tetap memandang ke arah lain.

"Maafkan aku Tamara...."

Abi segera menghambur ke arah Tamara, tapi segera ditepis Ibu. Tangannya yang sudah mengkerut dan tak halus lagi, mengibas-ngibaskan, seolah ada semacam nyamuk di depannya. Sama seperti ketika Tamara masih kecil, kedua orangtuanya akan bergantian menjaga, agar tak ada satu pun nyamuk yang berani mendekat. Tapi sekarang ada nyamuk yang berani menyakiti anak mereka. Tamara paham, sakitnya hati keduanya. Tamara memperkuat pelukan ibunya. Berusaha berlindung disana.

Abi terdiam, dan kemudian melangkah pergi. Sempat Tamara melihat punggungnya mulai menjauh. Disana, ada perasaan bahagia juga sedih. Abi......

Suami IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang