Part 1

38 2 2
                                    

Mata Evita terus-menerus menatap sosok itu. Wajahnya yang tampan, tubuhnya yang tinggi, tingkah lakunya yang konyol, dan ah.. lesung pipinya. Tanpa sadar senyum merekah di wajah Evita.

Reggy.

Laki-laki yang sudah diamati oleh Evita beberapa tahun belakangan ini. Hanya mengamati tidak berani mendekati.

Secret admirer? Tidak.

Evita hanya suka melihat Reggy, mengikuti perkembangan Reggy lewat media sosial, masuk ke SMA yang sama dengannya walau jarak dari rumah ke sekolah memakan waktu 1 jam naik kendaraan umum, dan memajang foto Reggy di pigura yang diletakkan di samping tempat tidur.

Andai saja, Evita memiliki keberanian untuk mendekatinya.

"Vi, Vita! Sadar woi!" Evita tersentak kaget saat Sandra menepuk bahunya tiba-tiba.

"Sandraaa, bikin kaget aja, sih! Ada apa?" Sandra beranjak ke sebelah Evita dan mencari sosok yang membuat sahabatnya itu melamun.

"Pantes bengong. Ngeliat sang pujaan hati ternyata." Godaan Sandra dibalas Evita dengan senyuman samar.

"Vi, please deh ini udah tahun 2016. Zaman sekarang cewek banyak kok yang gerak duluan. Nggak kaya lo gini, suka sama orang diem-diem dari kelas 10! Lo nggak bosen apa?" kata Sandra sambil menyikut lengan Evita.

"Nggak kok. Gue udah cukup seneng begini. Serius deh."

"Duh, gemes gue sama lo. Udah yuk masuk kelas. Habis ini pelajaran Bu Lanny loh. Kalau telat bisa gawat." Sandra menarik Evita menjauh dari balkon tempatnya mengamati Reggy.


Hari ini sungguh melelahkan bagi Evita. Buku PR nya hilang raib entah kemana. Dan alhasil dia jadi kena hukum oleh Bu Lanny. Belum lagi mendengar suara tawa geng Jessy saat dirinya diomeli. Entah kenapa Jessy dan teman-temannya tidak senang dengan Evita. Padahal Evita selalu bersikap baik-baik saja di kelas.

Waktu sudah menunjukkan pukul enam. Biasanya Evita tidak pulang sesore ini. Tapi tadi Sandra minta ditemani mencari buku dulu di mall. Evita buru-buru membayar ongkos angkotnya  dan berlari dari perempatan gang menuju ke rumahnya.

"Mamaaa, maaf ya Vita telat jadi nggak jalan-jalan deh." Evita menghampiri mama nya yang duduk di sofa bersama mbak Tia.

"Tadi mbak coba ajak ibu jalan-jalan tapi ibu nggak mau." ujar mbak Tia. Mbak Tia ini pembantu di rumah Evita yang sangat setia. Walaupun tidak digaji besar, tapi mbak Tia tetap setia bekerja dan merawat majikannya yang sakit selama Evita dan kakaknya tidak ada di rumah.

"Iya mbak, nggak pa pa. Mama emang maunya sama Vita aja jalan-jalannya. Iya kan, ma?" Evita memijat lembut pundak mamanya.

Tidak ada respon. Evita tersenyum namun hatinya sungguh sakit. Mamanya sudah 2 tahun belakangan terkena alzheimer atau dalam bahasa awamnya lebih dikenal dengan pikun. Penyakit yang membuat mamanya menjadi benar-benar berbeda. Fisiknya memang ada bersama Evita, namun pikiran dan jiwanya tidak. Padahal usia mamanya masih terhitung muda untuk terkena penyakit ini.

"Mbak istirahat aja biar Vita yang suapin mama." Evita mengambil piring dari tangan mbak Tia dan duduk di samping mamanya.

"Ma, ini makanan kesukaan mama loh. Ayo makan." namun mamanya menolak dan malah membanting piring itu ke lantai.

"Pembohong! Dasar jahat! Saya benci kamu! Katanya setiap hari mau jalan-jalan! Saya nggak mau di rumah ini lagi! Nggak mau, nggak mau!!!" Evita panik melihat mamanya yang mengamuk dan menginjak-injak pecahan piring.

"Ma, berhenti ma! Vita mohon. Vita janji nggak akan pulang telat lagi dan ajak mama jalan-jalan, ya?" Evita berusaha menarik lengan mamanya.

Pintu rumah terbuka. Diana yang baru pulang kerja terlihat kaget dengan situasi di dalam rumah. Pecahan piring berserakan, Evita menangis, dan mamanya yang mengamuk.

"Kak Diana, tolongin Vita tenangin mama, tolong. Mama ngamuk karena ta-" kata-kata Evita terhenti dipotong oleh Diana.

"Ogah. Lo aja yang urus. Lo kira gue nggak cape apa habis pulang kerja? Tugas gue pokoknya cari duit untuk kalian. Gue nggak mau dikasih beban lain." Diana masuk ke kamarnya tanpa menghiraukan adik semata-wayangnya itu.

"Kak.." tangis di mata Evita kini semakin deras. Diana memang menjadi tulang punggung keluarga. Warisan papa mereka tidak banyak karena itu sebagai anak tertua Diana harus bekerja keras menghidupi mama dan adiknya.

"Ma, udah ya. Sakit kan kakinya? Sini Vita obatin. Mama tenang ya jangan marah-marah." Evita mendudukan mamanya di sofa dan segera mengobati luka di kaki mamanya itu.


Lelah.

Evita membaringkan tubuhnya di ranjang. Setelah mengobati dan menidurkan mamanya akhirnya Evita bisa bernapas lega.

"Untung besok nggak ada PR." Tiba-tiba Evita merasa ada menusuk-nusuk telapak kakinya. Ternyata ada pecahan beling yang masuk. Evita berusaha mengeluarkan beling yang masuk sambil mengaduh kesakitan. Dirinya mulai menangis lagi. Bukan karena sakit di kaki, tapi di hatinya.

Saya benci kamu.

Saya benci kamu.

Kata-kata itu terus terngiang dipikirannya. Walau Evita sadar bahwa mamanya mengucapkan kalimat itu karena penyakitnya, namun setiap kali mendengarnya hati Evita terasa sakit.

"Kamu harus kuat Vita. Kamu harus kuat!" Evita menyemangati dirinya sendiri. Tangannya meraih pigura yang ada di samping tempat tidurnya. Di dalam pigura itu ada foto keluarganya yang dulu bahagia. Jarinya menelusuri wajah-wajah yang tersenyum dalam foto itu.

"Hai, pa," tenggorokan Evita tercekat saat mengucapkannya. "Tolong Vita ya supaya Vita tetap kuat. Mama nggak inget Vita dan Kak Diana lagi. Tapi papa jangan lupain kita juga ya."

Evita kini meraih pigura lain. Di sana ada foto laki-laki yang selalu diamatinya.

"Reggy, jangan lupain aku ya." Evita menangis sambil tersenyum dipaksakan. Dan tak lama dirinya pun terlelap. Melupakan segala kepenatan di hidupnya sesaat.

Love StaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang