Olivia

504 28 16
                                    

"Aku mencintaimu."

Aku menatap wanita di hadapanku, Olivia Britney. Gadis berambut ikal ini berhasil membuat jantungku berdegup lebih cepat.

Olivia tersenyum, "Kamu sudah mengatakannya lebih dari tiga kali, Harry," ucapnya.

Aku terkekeh mendengarnya, "Aku senang, bisa mengatakan cinta padamu," tanganku meraih tangannya, lalu mencium punggung tangannya.

Tangan kiriku mengambil kotak merah kecil di kantong celanaku, lalu membukanya. Dalam sekejab, kotak itu menampilkan cincin dengan permata biru di tengahnya.

"Will you marry me?" tanyaku.

Aku menatap mata birunya, lagi. Entah apa yang difikirkannya, dia terlihat ragu. Sedetik kemudian, dia menganggukkan kepalanya dengan cepat.

"Yes, i will," ucapnya.

Senyumku kembali mengembang, aku mengambil cincin itu dari kotaknya, lalu memasangkan di jari Olivia. Olivia tersenyum manis memandangi cincin ber-permata biru yang dengan sempurna melekat di jari manisnya.

Dia memotong beef steak dihadapannya, lalu memakan potongan daging itu di piringnya. Aku terus memperhatikan Olivia, rambut cokelatnya, mata biru miliknya, alis hitam tebalnya, dan bibirnya yang, tunggu. Kenapa bibirnya terlihat pucat?

"Kamu sakit?" tanyaku.

Dia menatapku, lalu menggeleng pelan. Tangannya meraih gelas berisi milkshake coklat di meja kemudian meminumnya.

"Wajahmu terlihat pucat, baby."

"Aku baik-baik saja, Harry."

Seperti inilah dia, selalu berkata baik-baik saja, bahkan ketika orang lain tahu bahwa ia sedang tidak baik.

"Mommy dan daddy sudah pulang?"

Dia menghentikan aktifitas memotong dagingnya, lalu menatapku dengan tatapan sendu miliknya. Aku tahu, dia mulai tidak nyaman dengan perbincangan kami mengenai orang tuanya.

Orang tua Olivia adalah tipe orang yang tidak bisa tinggal dirumah, mereka selalu sibuk dengan urusan pekerjaannya.

Olivia menggeleng, "Belum, mungkin minggu depan. Kenapa?"

"Aku ingin mengatakan pada mereka, kalau aku ingin menikahimu."

Olivia tersenyum, "Tunggu saja minggu depan, aku yakin mereka akan setuju."

Aku mengangguk, "ya, aku akan menunggu mereka."

"Kita pulang sekarang, Harry. Aku sudah lelah."

"Oke," aku berdiri lalu menghampirinya.

Aku mengulurkan tanganku ke arahnya, dia menerima uluran tanganku. Kami berjalan beriringan dengan jari-jariku yang kuselipkan di antara sela jarinya. Dengan genggaman ini, aku tahu tangannya dingin. Aku menoleh ke arahnya, sesekali tangan kiri Olivia memegang kepalanya. 'Dia benar-benar sedang sakit' batinku.

"Olivia!"

Aku menangkap tubuhnya yang hampir tumbang, hidungnya mengeluarkan darah, dia tidak sadarkan diri. Wajahnya menjadi lebih pucat, sekarang. Aku mengangkat tubuh tingginya menuju mobil, beberapa menit kemudian Range Rover hitam milikku melaju cepat membelah jalan raya.

"Bertahanlah," aku mempercepat laju mobilku, tangan kiriku masih menggenggan jari-jarinya.

Brankar dorong yang membawa tubuh kekasihku ini melaju cepat menuju ruang ICU, sedangkan tanganku masih menggenggam tangannya. Pintu ruang ICU berhasil memaksaku melapaskan genggamanku dari tangannya.

OliviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang