Hari ini Iqbal berangkat. Dia diantar oleh orangtuanya ke bandara Soekarno-Hatta. Jadwal pemberangkatan Jakarta - New York adalah pukul sembilan. Iqbal tinggal menunggu beberapa menit lagi. Sebelum masuk pesawat dia merangkul kedua orangtuanya dengan erat.
"Pa, Ma, doain Iqbal ya, semoga di sana Iqbal diberikan kemudahan dalam segala urusan."
"Iya, mama doain. Jaga kesehatan di sana. Kabarin mama kalau udah sampai ya."
"Jaga komunikasi ya, Nak. Jangan sampai kami kehilangan kabar darimu. Jaga diri baik-baik."
Iqbal berjalan menjauhi kedua orangtuanya yang diam mematung. Mama Iqbal terisak dengan air mata berlinang. Dia menyandarkan kepala ke bahu suaminya. Sementara Iqbal makin menjauh dari mereka.
Iqbal menaiki tangga pesawat. Dia memilih tempat duduk. Di pesawat itu, tempat duduk sudah penuh. Dia berjalan ke bagian depan untuk memastikan apakah masih ada kursi yang kosong. Dia tidak menemukan. Di bagian tengah, ada satu kursi yang disamping sudah ada yang menempati seorang wanita. Iqbal agak ragu, tapi apa mau dikata, tidak ada tempat duduk lagi.
Iqbal melangkah dengan pelan menuju tempat duduk yang kosong itu.
"Permisi ...," ucap Iqbal.
Perempuan berambut lurus itu dan berbusana serba hitam itu menoleh ke arah suara. Iqbal mengernyitkan dahi. Mata perempuan itu tidak berkedip. Perempuan berlesung pipit itu membiarkan Iqbal mematung cukup lama.
"Kamu lagi ..."
"Saya tidak menyangka akan bertemu lagi dengan seorang artis he ... he ... Saya diperbolehkan duduk di sini."
"Kalau tidak di sini, mau di mana lagi. Berdiri saja kalau tidak mau. Cari saja kursi lain, tapi saya yakin tidak akan ketemu," ujar Prita. Dia kemudian tertawa, memperlihatkan lesung pipitnya yang manis.
Iqbal masih berdiri, padahal sudah ada pengumuman bahwa penumpang harus segera memasang sabuknya.
"Terima kasih ...," ucap Iqbal sambil duduk dan segera memasang sabuk. Tadinya Iqbal ingin duduk dekat kaca, persis seperti posisi yang tengah ditempati Prita. Tapi sayang dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mewujudkan keinginannya itu. Dia melihat Prita yang tengah sibuk mendengarkan musik dari headsetnya. Terkadang dia menyanyikan bahasa asing dengan lirih sambil sedikit menggerak-gerakkan tubuhnya.
Ketika pesawat berada di ketinggian Iqbal, tertarik melihat melalui kaca deretan Pulau-pulau Indoensia yang hijau, dan samudera yang biru.
Prita merasa bosan mendengarkan musik. Dia mengeluarkan headsetnya dari dua lubang telinganya.
"Apa tujuanmu ke New York?"
"Melanjutkan S.2, kamu sendiri?"
"Ya seperti kamu juga. Aku ingin memperdalam dunia acting dan perfilman di Boston. Kamu mendalami keilmuan bidang apa?"
"IT. Aku sambil kerja. Aku ada kenalan yang katanya membutuhan tenaga untuk mengembangkan perusahaannya. Tadi kamu bilang mau ke Boston, tapi kenapa ke New York?"
"Ya ...untuk sementara aku akan tinggal dengan sepupuku di sana. Dia juga baru lulus tahun ini dari New York University bidang psikologi."
"Wah kalau begitu saya bisa menyelidiki informasi lebih lanjut mengenai perguruan tinggi itu ke sepupumu karena saya pun nanti kuliah di universitas yang sama."
"Ya gampang lah itu bisa diatur. Nanti aku kenalkan. Nanti dia ke bandara mau jemput aku. Nanti dikenalin dech."
Orbolan terhenti. Iqbal mulai menguap dan tak lama kemudian tertidur.
***
Iqbal menuruni tangga pesawat. Prita berada di belakangnya. Iqbal menyaksikan pemandangan di sekeling Laguardi Airport. Inilah pengalaman pertama dia menginjakkan kaki di Amerika. Ini juga pengalaman pertama bagi Prita. Mereka terus melangkah. Di depan sana Prita di sambut dengan hangat oleh sepupunya. Mereka berpelukan.
"O yaa ... hampir saja lupa. Kita malah asyik-asyikan, mencuekkan seseorang di sampang kita, Zas. Perkenalkan ini Iqbal, dia kebetulan satu pesawat. Dan Iqbal, perkenalkan ini sepupuku, Zaskia yang sudah kuceritakan tadi waktu di pesawat."
Iqbal dan Zaskia saling tersenyum. Mereka bersalaman dari jarak jauh.
"Zas, dia katanya mau kuliah di universitas yang sama denganmu. Dia awam mengenai Amerika, jadi jika ada perlu bantuan, boleh kan menghubungi kamu?"
"Oh ... gitu ya," kata Zaskia, "Boleh ... boleh ..."
"Ngambil jurusan apa, Kang?"
"IT. Terimakasih sebelumnya. Boleh minta nomor kontaknya?"
Mereka kemudian saling bertukar nomor kontak.
"Bal, tujuan sekarang kamu ke mana?"
"Manhattan. Saya mau menghubungi seseorang di sana."
"Berarti kita berpisah di sini. Kami ke Queens," kata Prita.
Tanpa diminta Zaskia membantu Iqbal yang masih awam mengenai seluk beluk New York dengan segera membantunya memesan taksi. Iqbal sudah baca buku panduan, tapi agak kikuk saat mempraktekkannya.
Iqbal menguap. Dia melihat jam dinding. Rupanya sudah pukul dua. Rupanya dia melamunkan masa lalunya cukup lama. Dia berjalan menuju kamar. Dia menyalakan alarm. Tidak biasanya dia tidur telat seperti ini. Besok pagi dia harus bangun pagi. Dia berharap nanti besok di kantor tidak diserang kantuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Impian🌠
SpiritualNEGERI IMPIAN | a novel © 2016 by Jahar #87 Spiritual 310716 Sepotong kisah tentang Iqbal, Prita, Hamza dan bayang-bayang Zaskia di Amerika. Hamza, anak cerdas yang membutuhkan sosok ibu. Sosok ibu hanya bisa dia dapatkan dari Prita, sepupu ibun...