Mutiara 1

7 0 0
                                    

Will You

*****

•Dia alergi debu. Bulu kucing. Bulu angsa. Kecuali bulu anjingnya, Max.
•Dia suka fastfood dan sayur mentah.
•Dia benci hujan
•Pakaian kesukaannya short-dress •Sepatu favoritnya bukan sepatu tapi sendal dengan bunyi kincringan diatasnya
•Dia suka anak kecil
•Dia masa depanku

****

Abu-abu, baik itu warna langit kota metropolitan sore ini ataupun warna iris mata laki-laki yang sedang gelisah dibawah sebuah pendopo disebuah atap sebuah kantor kenamaan menanti seseorang.

Hujan yang turun akan membuat rencana yang sudah disiapkannya hancur berantakan.

"Ayolah, Cett. Santai aja lo." Celetuk Brian teman kerjanya yang bisa membaca raut gusar wajah temannya itu. Cetta bukan tipe laki-laki yang mudah pesimis tapi karena warna langit, Brian tahu hati laki-laki itu luluh lantah sekarang dipermainkan cuaca.

"Mana bisa." Desis Cetta geram. "Hujan Yan. Dia benci hujan. Ini udah yang kesekian langit mainin takdir gue!" katanya sambil berjalan mondar mandir terus mengutuki langit.

"Gue sudah baca perkiraan cuaca dan nggak hujan. Cuman.. Berawan"

"Berawan lebih dari cukup buat nurunin hujan Briaan"

"Trus harus apa? Manggil dukun? Bakar menyan di sini?"

Cetta mengabaikan omongan Brian dan kembali sibuk dengan dirinya sendiri. Ia lirik arlojinya, pukul lima sore. Sebentar lagi Aileen akan menelponnya.

"Cett lo dengerin gue nggak sih?"

"Lo cuman bikin gue tambah stress Brian. Jangan bikin gue tambah pusing."

Brian mengangkat alisnya bingung. "Cett, Aileen bakal dateng kok." Katanya menyemangati lalu berjalan melewatinya. Meninggalkannya sendirian disana karena tahu temannya itu perlu menenangkan dirinya sendiri sekarang.

Ayen Aileen, will you..
Argh terlalu sederhana..
Diatas sini aku siapkan semuanya Len. Will you..
Terlalu dramatis!
Tuhan.. Demi hujan.. Tolong kali ini..

Saku celana setelan armani Cetta bergetar, tangan kanan itu merogohnya. Mata itu seketika berbinar menatap kedip layar ponselnya. Apa ini pertanda Tuhan dipihaknya?

Dengan satu tarikan napas panjang, laki-laki itu kemudian menekan flap hijau layar ponselnya lalu mendekatkannya ketelinga kanannya.

"Kamu dimana?" tanyanya langsung.

"Whoah.. Santai bruh.. Baru jalan kelift keluar kantor.. Berebut sama Alya.. Katanya diluar bakal hujan.. Kamu jadi jemput? Aku udah dilantai.. 20.."

"Keluar sekarang."

"Hah. Apa?"

"Turun di lantai 20. Naik ke atas sekarang."

"Atas mana? Kamu dimana Cetta? Hei aku udah cap-"

Tut... Tut.. Tut..

Laki-laki itu memandang langit. Awan kelabu semakin bergelung merapat di atas langit Jakarta. Tangan itu memasukkan kembali ponsel itu kesakunya. Ia pandang lagi pendopo didepannya.

Pasrah sudah dia dengan rencananya. Entah berhasil atau gagal. Entah sesuai ekspektasinya atau tidak. Ia benar-benar pasrah.

***

"Siapa Mbak?" Suara Alya -Si gadis junior tim kerja Aileen- menyadarkan ketermanguannya. "Sampe mbak bengong gini."

Aileen masih diam. Hujan gerimis mulai turun, lift yang ada di kantornya ini diciptakan transparan terbuat dari kaca yang tembus pandang, yang bisa melihat pemandangan kelabu ibu kota yang gelap diwarnai awan kelabu serta senja malam. Lantai terus berjalan turun. Lantai 19.

"Mbak?" Tepuk Alya dipundaknya yang membuatnya berjengit kaget. Aileen menoleh, "Mbak gapapa?" tanya gadis itu dengan sirat mata khawatir.

Aileen menekan tombol 18. "Ada barang yang ketinggalan diatas, kamu duluan saja Alya." Ujar Ailen cepat.

"Gak mau saya temani Mbak?" Tawar gadis itu tak kalah cepat.

Aileen menggeleng, "Kayaknya keburu hujan lebat kalau kamu nemenin saya balik lagi ke atas. Lagian ada Cetta dibawah nungguin saya. Jadi gapapa kok."

Alya mengangguk mengiyakan, Aileen berjalan keluar saat pintu lift terbuka. Aileen tersenyum dan berpesan untuk Alya agar cepat pulang sebelum hujan turun menderas lalu pergi kepintu lift sebelahnya. Lift naik.

***

Cetta mematikan lilin yang ada di di sekitar pendopo. Membantu angin meniupkan sumbu apinya. Ikut memadamkan harapannya. Aileen sudah menunggu dibawah sana menunggunya untuk mengantarkannya pulang. Bodohnya ia masih berharap wanitanya itu akan datang saat ini.

Cetta bangkit berdiri, merogoh ponselnya. Lalu menekan beberapa rentetan nomor. Lalu menempelkan ponselnya ketelinga kanannya. Menunggu panggilannya mendapat tanggapan.

"Udah dimana?" Suara itu berubah sendu. Kaku dan parau.

"Kok nanya baalik?" suara diujung panggilan terdengar kesal namun manja.

Cetta tersenyum tipis. "Aku lagi dijalan kok. Tunggu ya. Jangan kemana-mana. Aku bakal lomba sama hujan. Jadi jangan illang naik taksi lagi kaya kemaren okay?"

Hening..

"Len?"

Kening laki-laki itu mengernyit tak suka. "Aileen? Halo?"

Laki-laki itu menurunkan ponselnya, menatap layarnya. Masih terhubung. Ia harus turun sekarang. Firsatnya berkata buruk.

"Maaf aku telat."

Cetta terpana.

Tiba-tiba sepasang lengan kurus memeluk tubuhnya dari belakang nyaman. Mendesirkan darahnya. Membuatnya benar-benar terpaku. "Maaf."

Cetta berbalik dan merengkuh gadis berambut coklat itu erat. Menekan tubuh mungil itu untuk menghilangkan segala jarak. Membuat jantungnya berdetak semakin cepat, membuncahkan seluruh kebahagiaan.

Titik air dari langit turun semakin deras mengubah rinai menjadi hujan bergemuruh. Memandikan keduanya di bawah hujan. Bersama dingin dan riuh hujan yang menyamarkan air mata kebahagiaan Cetta.

Lama keduanya saling menjauhi jarak. Cetta perlahan melepaskan rengkuhannya namun tanpa melepaskan tautan tangannya. Tangan yang tak akan ia lepas selamanya.

Tubuh itu murunduk. Kaki itu berlutut. Wajah itu menegadah. Wajah penuh harapan dan sebuah permonan yang sarat akan ketulusan perasaan.

"Empat tahun Len. Kita bertahan. Kita jatuh. Kita luka. Sampai sekarang.
Empat tahun Len. Kita khayalin semua tentang hari ini. Tentang momen ini. Tentang masa depan hubungan ini.
Hari ini Len, dibawah hujan. Faer Ardhani Cetta melamarmu. Meminangmu. Ingin menikahimu. Ingin menjadi suamimu. Ayah dari anak anakmu. Pelindung sejatimu. Sampai kapanpun. Sampai maut Len. Mau kah kamu.." Ucapan laki-laki itu tertahan karena bahagia, terambung di atas angan tak percaya ia akan menyebutkan kalimat itu. Ia menarik napas panjangnya lalu mengeluarkannya dalam satu tarikan hembusan napas cepat. "Menikahlah denganku, Ayen Aileen"

***

Gadis itu tak bosan menyunggingkan senyuman lebarnya. Senyuman paling menggambarkan apa yang ia rasakan. Seluruh kehagiaan yang tak tertuliskan. Semua kenyataan yang menyatakan kesempurnaan sebuah ungkapan perasaan indah.

Tangannya terulur menyentuh rahang laki-laki dibawahnya. Berlutut melamarnya di bawah hujan. Mempersiapkan semuanya yang kini ia hampir hancurkan.

Gadis itu diam. Lidahnya kelu untuk menjawab apa. Jawaban apa yang seharusnya setimpal dengan pengorbanan laki-laki yang ada didepannya, laki-laki yang berkorban banyak untuknya selama ini.

"Aku menerimamu Faer Ardhani Cetta. Aku sudah menerimamu sejak 4 tahun lalu. Sejak namamu ada dalam garis takdirku. Aku menerimamu."

Laki-laki itu menunduk. Lega mendengar jawaban wanitanya. Jiwanya kini tenang. Ia akan menjadi lelaki sejati mulai saat ini.

Cetta bangkit berdiri. Kembali merengkuh Aileen dalam dekapan lengannya. Mendekap tubuh mungil itu dalam lengannya. Memastikan gadis itu nyata dan ini bukan mimpi. Dan ini memang bukan mimpi, hujan dan langit gelap Jakarta saksinya.

****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 14, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Saat Aku TahuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang