-23-

256 10 12
                                    

"Maaf, pak, ada tamu yang sudah menunggu dari tadi," Farah menghentikan Stanley yang hendak memasuki ruang kerjanya.

Penuh tanya, tatapannya mengarah pada perempuan muda berdarah campuran Arab dan Jawa, yang sudah 4 tahun menjadi pegawai kepercayaannya.

Hari ini dia tidak membuat janji dengan orang lain kecuali pak Leo. Karena memang dia sengaja ingin pulang cepat.

"Saya sudah bilang kalo pak Stanley sedang keluar kota, tapi bapak yang tadi sedikit memaksa untuk menunggu," jelasnya lebih lanjut.

"Ya sudah, saya tunggu di ruang saya."

Ruang kerja Stanley dikantor juga tak terlalu besar dan jauh dari kata mewah. Hanya sebuah ruangan berukuran 4×4, dengan sebuah meja kerja biasa yang diatasnya bertumpuk kertas-kertas, juga map. Bagian belakang kursi ada lemari pendek dengan Stereo set diatasnya. Ada pigora kecil beberapa buah berisi fotonya bersama Renata. Lalu tergantung besar didinding tepat diatas stereo set tadi, juga foto dirinya dan Renata, yang diambil , ketika liburan di Bali. Foto itu paling mencuri perhatian, karena begitu membuka pintu, akan langsung terlihat.

Dipojok kiri ada sofa kecil dan meja, sekedar untuk menerima tamu dengan suasana agak santai. Lalu dipojok kanan, beberapa rak besi, dimana tabung-tabung serupa pipa yang didalamnya berisi gambar rancangan rumah dan senenisnya, tersusun sedikit rapi disana. Jangan bertanya tentang TV, karena dia tak begitu suka menonton TV. Jadi tak ada TV disana.

Dengan diantar Farah, masuklah seorang lelaki paruh baya berpakaian sederhana, tapi menebar aura misterius dalam tiap gerak-gerik, juga ketika bertutur kata.

Melihat tamunya, Stanley yang tadinya duduk sambil memegang ponsel, menyempatkan berdiri dan tersenyum menyambutnya. Menjaga kesopanan kepada setiap orang, itu memang harus dilakukannya.

Tangan kanannya langsung terulur dan disambut dengan semyum pula oleh tamunya. "Silahkan duduk, pak!"

Sebuah kursi didepan meja kerja Stanley, langsung menjadi tempat si tamu duduk serta menyandarkan tubuh.

"Saya Stanley. Ada yang bisa saya bantu, pak?"

Lelaki itu tersenyum, "saya tau siapa kamu."

"Ooh...."

Bukannya langsung pada tujuan, lelaki itu justru menebar pandangannya keseluruh isi ruangan. Bibirnya yang kehitaman, sedikit tertarik dikedua sudutnya, sehingga memaksakan sebuah senyuman.

Stanley tak berkata apa-apa, meski dia penuh rasa penasaran akan maksud dan tujuan tamunya datang. Dia justru memperhatikan kemana mata lelaki itu memandang.

"Jadi, foto Renata yang kamu pajang disini," kalimat pertamanya yang terdengar setelah sekitar 5 menitan dia melihat isi ruangan.

"Bapak tau nama istri saya?" Senyum misteriusnya kembali tercipta.

"Kenapa tak ada foto anak kamu?"

"Kami belum punya anak."

"Yang kamu maksud 'kami' itu, kamu dan Renata, tapi kamu dan istri keduamu? Kalian kan sudah punya anak."

Makin kaget Stanley mendengar pernyataan tamunya. Bagaimana dia bisa tahu banyak hal? "Bapak siapa?"

"Orang-orang biasa memanggil saya pak Abu."

"Kok bapak bisa tau banyak tentang saya?"

"Heemm,....saya juga tau banyak tentang istri-istri kamu itu. Tapi jangan ditanya bagaimana saya bisa tau tentang mereka, karena saya tidak bisa menjelaskan."

"Lalu maksud bapak datang ketemu saya?"

Kembali pak Abu tersenyum, sebab dia menangkap kecemasan dalam raut wajah Stanley. "Kamu tidak perlu mikir yang macam-macam. Saya tidak ada maksud apa-apa."

STANLEY CINTA RENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang