Bab 1

117 5 0
                                    

⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Kali pertama aku melihat apokalips atas kehidupanku sendiri telah kepalang lewat begitu lama sekali, tepatnya ketika aku masih delapan tahun. Jangan tanya mengapa, sebab kehancuran kini adalah sahabat terdekatku yang kerap kali menempel, tak mau lepas, tak dapat kuusir pergi sebab aku sendiri telah tamat di dalamnya.
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Saat ayahku melepaskan segala murka atas tiap komplikasi yang kerap kali membiarkannya bersarang dalam benak ayahku sekaligus membunuhnya dari dalam dengan cara menghajar tubuhku hingga seluruh tubuhku dipenuhi memar serta lebam tak terhingga. Sementara ibuku hanya bergeming saja seolah tidak terjadi apa-apa, hanya menonton seolah dengan ayah menderaku sama seperti acara favorit di televisi yang selalu ditontonnya setiap malam.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Pun, semua orang di sekolah begitu menghindariku lantaran luka-luka kentara nan menjijikan pada lenganku. Tak pernah sekalipun aku berkenan menyebut mereka sebagai teman meski hingga saat ini pula aku masih mengingat satu per satu nama mereka. Aku telah berusaha menutupi dan menyamarkan semua luka sialan tersebut yang bersarang atas kulitku, namun seragam yang sudah diberikan pada kami bermodel lengan pendek dengan warna hijau nan memuakkan dan jika aku mencoba merombaknya sedikit saja, bisa-bisa aku kehilangan kepalaku sendiri, terima kasih.
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀
     Pula, para guru mana mungkin akan peduli padaku, siapa pula diriku selain bocah ingusan yang mengabdi secara mau tak mau demi secuil pengetahuan yang bahkan tak ada sedikitpun membantuku bertahan hidup. Tentu saja tidak ada yang peduli. Aku tak lebih bocah kecil, naif, serta lemah yang pada suatu waktu hendak mati kemudian terlupakan seperti nasib lainnya pula. Meski begitu, kiamat aliran pertama pun berakhir ketika tangga umurku mencapai angka dua belas. Tatkala itu tengah malam setelah patroli keempat melewati bagian depan rumah kami, jam malam berlaku begitu ketat serta kejam saat itu. Seorang perwira datang bersama temannya yang juga perwira, kendati penerangan yang lumayan minim namun aku dapat melihat wajah pucat mereka yang cukup kentara. Dalam intonasi suara yang dibuat seolah mereka ikut pilu, kata mereka ayahku wafat dalam pemberantasan para Pemberontak di bagian selatan kota, tertembak sekitar tiga kali dan peluru terakhir tepat mengenai bagian fatal. Tak ada yang menangis pada saat itu, dan tak ada yang tertawa serta menunjukkan mimik bahagia pula.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     Kendati ayahku telah meninggal pada akhirnya juga, hidupku tetap berada di ujung tanduk. Ibu terus-menerus membentakku dengan kasar, mengurungku di dalam kamar selama beberapa hari tanpa memberi makan, dan mencampakkanku seolah aku tak nyata baginya. Setidaknya aku bersyukur untuk ibuku sebab meski sama-sama bertujuan menyakitiku, perlakuan ibuku tidak lebih kejam ketimbang ayah—ia sekalipun tidak pernah menghantamku dengan berbagai benda menyakitkan. Aku belajar bagaimana bertahan hidup tanpa makan dan minum selama berhari-hari. Dari dalam kamarku aku mengintip dari lubang kunci pintu yang meski kecil setidaknya aku dapat mengintip, aku melihat bagaimana Ran kecil yang terus-terusan diberikan kasih sayang tanpa harus dimarahi, dipukuli, dan dikurung, tanpa harus mengetahui keberadaan kakak perempuannya yang menghilang entah kemana nyatanya masih menghirup udara yang sama sepertinya.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Perlakuan buruk ibuku berakhir pula tiga tahun kemudian saat tubuhku semakin kurus ceking terlihat tak lebih dari tulang berbalut kulit saja. Teman-teman perawatnya kerap kali bertanya-tanya setiap kali melihat batang hidungku mengapa aku bisa sekurus ini. Dusta lagi yang keluar dari mulut ibuku. Lagipula jikapun mereka tahu alasannya mengapa, mereka tidak akan peduli amat hingga melaporkannya pada polisi. Barangkali, bukan berarti aku tetap dapat hidup tenang dan bebas, kehancuran tak mungkin pergi begitu saja dari hidupku semudah itu, semua yang telah terjadi yang kini mengubahkanku menjadi seperti apa aku saat ini.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Semua kilasan perjalanan kehidupanku terlintas kembali di benakku, seperti menonton cuplikan film hanya saja aku yang memegang peran utama serta kendali sekian atas semua ini. Aku berdiri mematung, rambut-rambut halus di sekitar lengan serta tengkukku berdiri, sedikit tersentak atas dorongan nanap. Tanpa kusadari truk raksasa itu melesat masuk ke Pintu Barat, melewatiku dengan kecepatan yang cukup hingga mampu menerbangkan kuncir kudaku serta beberapa anak rambut nakal. Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan fragmen segala kenangan buruk satu per satu meski menyakitkan dari dalam pikiranku dan akhirnya berhasil.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Truk itu hampir sepenuhnya berkarat karena termakan usia serta korosi, akan tetapi karat-karat yang menggerogoti serta itu ditimpa dengan warna merah yang cukup menyadau mata. Sementara rata-rata truk yang dikirimkan distrik lain ke sini berwarna putih tidak terlalu intens ketika dalam perjalanan di antara koloni Mort di luar. Rombongan truk yang datang biasanya membawa persedian kebutuhan selama seminggu penuh.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Bunyi pluit terdengar entah dari mana di atasku, dan tembok berangkap baja tebal serta logam gigih lainnya itu kembali tertutup perlahan beserta suara derak bergemuruh yang memekakkan pendengaran. Percikan bunga api terlihat dari lantai batu saat tembok raksasa itu bergeser ke kiri, menggerung bergemuruh ketika bergerak mengisolasi New Californiana dari gurun panas di luar sana hari ini. Tanah di bawah bergetar, tak lama kemudian getaran berhenti total dan tembok tersebut menutup dengan bunyi berdebum yang mengerikan. Bukan merupakan pemandangan yang sudah tak lazim untukku setelah sekian lama beradaptasi dengan pekerjaanku setiap harinya hingga baskara turun dari takhta tingginya di cakrawala.
⠀⠀

⠀⠀⠀⠀⠀
     Regu Penembak mengawasi dari atas menara-menara pengawas yang tinggi mencekam siapapun di bawahnya, mereka berlengkapan senapan laras panjang yang disilangkan di depan dada, semacam senjata otomatis di genggaman mereka yang siap digunakan kapan saja.
⠀⠀

⠀⠀⠀⠀⠀
     “Tembak!” pemimpin mereka berteriak untuk memerintah.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     Mereka menembaki Mort-mort haus darah di luar tembok, aku mampu mendengar suara raungan serta jeritan mengilukan namun sanggup membuat lambungku mual karena pilu. Daya kekuatan senjata itu menciutkan nyali, suaranya jauh lebih nyaring dari yang kusangka. Gaungnya sanggup menggetarkan telingaku dan setiap denyut tubuhku sekaligus. Meskipun telah menghabiskan waktuku dengan bekerja selama beberapa tahun terakhir di sini, tubuhku belum mampu terbiasa dengan suara tembakan serta Mort yang kesakitan di luar sana, semua itu seakan mampu menumpas fragmen-fragmen bagian dalam diriku hingga tuntas.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     “Jangan terus-terusan melamun, Vec.” seseorang menepuk bahuku. Ketika aku berbalik untuk melihat siapa saja pelaku serta pekilik suara tersebut, cengiran Jonathan menyambutku.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     “Oh, kau.” aku berusaha sebaik mungkin menunjukan mimik wajah ceria, tersenyum meyakinkan bahwa diriku baik-baik saja. "Tidak! Oh, aku tidak bermaksud melamun, maafkan aku."
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Jonathan menggaruk tengkuknya dengan gerakan canggung, meringgis kesakitan, lalu menyentuh lenganku. "Jangan lupa periksa truk-truk yang baru masuk itu," beritahunya, kemudian ia melenggang pergi kutebak ia merasa begitu canggung dan masih malu setiap kali berhadapan denganku entah apa alasannya.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     Aku lantas mengangkat kedua tungkai kakiku untuk berjalan menuju blok timur, truk-truk yang baru datang biasanya diarahkan dan diparkirkan di sana untuk diperiksa sebelum muatan yang dibawa dikeluarkan. Petugas yang sedang piket saat itu menatapku amat sinis dari balik meja, tangan kurusnya bergerak malas menyerahkan sebuah senter kepadaku dan catatan kecil.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Aku tak lagi penasaran tentang bagaimana orang-orang ini terus-terusan menampakkan wajah garang, tak pernah sedikitpun tersenyum meski dipaksakan. Sering kali aku mendengarkan cerita-cerita dari mulut orang ke orang bahwa ada saatnya dahulu kala orang-orang di sini lebih sering tampak bahagia dengan gelak tertawa dan lebih ekspresif, namun nampaknya terlalu sukar untuk aku percayai meski aku ingin pula percaya. Semua hal di New Californiana tidak ada pantasnya disyukuri semenjak beberapa waktu ini, konstitusi yang  dikeluarkan makin tidak masuk akal dan makin kejam membatasi banyak hak-hak hidup kami serta persediaan makanan di kota yang semakin dibatasi dan hampir habis, hanya beberapa orang-orang kaya dan memiliki uang lebih saja yang rela mengeluarkan persediaan finansial untuk menjejali perut kosong mereka dengan makanan.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     Para buruh lain tengah menyelam dalam kesibukan mengecek muatan-muatan hajat di dalam kontainer-kontainer tersebut. Mereka terlalu antusias bekerja memeriksa isi kontainer itu sampai-sampai kupikir mereka tidak akan bekerja dua kal lantaran siapa juga yang mau bekerja lebih lembur dua kali di atmosfer yang begitu panas ini. Douglas—salah satu pekerja yang kukenal—mendongak dari dalam kontainer dan melambaikan tangannya padaku.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     "Hei, Vec!" sapanya. Terkecuali hanya dirinya yang masih mampu tersenyum hangat menyapaku di antara para buruh lainnya, tidak peduli ia melakukannya dengam ikhlas atau tidak.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Aku membalas lambaiannya serta senyumannya walau tidak seberapa barangkali, kemudian ia kembali masuk menyelam ke dalam kontainer yang ukurannya tiga kali lebih lipat dari ukuran tubuhnya itu. Aku mendatangi truk yang jaraknya paling dekat denganku, dan cukup kontras di antara truk-truk berwarna netral yang diparkirkan di sekitarnya. Itu truk merah yang baru saja masuk barusan.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Si pengemudi truk membuka kaca jendela berlapis film hitamnya lebar-lebar—yang bergerak turun perlahan-lahan dalam bunyi dengungan, bau apak menyusup keluar dari dalam sana, serta kepala si pengemudi turut menganjur, menghembuskan asap rokok dari celah di antara kedua bibir kehitamannya. Aku mengernyitkan hidungku, mengipasi asap serta bau tengik yang berusaha merayap memasuki lubang hidung suciku. Asap rokok hitam mengepul keluar dari mulut pria itu tak berhenti-henti, tampangnya begitu menyebalkan dan mengundangku untuk meninju wajahnya kapan saja. Aku mengernyit jijik ketika ia mengedip genit ke arahku.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     “Permisi, Tuan. Tolong berikan kunci pintu kontainermu,” ujar aku setelah berdehem keras, menegaskan suaraku dalam intonasi tinggi.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     “Oke, manis.” ia melemparkan kunci berkarat dengan asal ke arahku berharap aku tak dapat menangkapnya, aku ingin tertawa terbahak-bahak saat melihatnya tercengang bahwa aku mampu menangkapnya hanya dengan dua jari.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     Aku mengernyit jijik setelah si sopir akhirnya menutup kembali jendela seraya menghisap rokoknya, aku menahan diriku untuk tidak menyumpahinya mati sesak di dalam sana akibat asapnya sendiri. Aku mesti berjinjit untuk membuka kunci pintu kontainer itu biarpun ukuran tubuhku terbilang cukup tinggi di antara gadis-gadis lain, gagang kemerahan berkaratnya berminyak lengket, aku mengelap tangan yang sudah terkontaminasi pada seragamku setelah berhasil membuka pintu kontainer itu, pulang nanti aku harus segera mencuci seragamku.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Pintu kontainer berderit memilukan ketika terdorong terbuka, mengeluarkan bau apak serta tengil yang menimbulkan gejolak rasa mual terhadap lambungku. Aku melompat untuk naik ke atas sana dan bergidik ngeri melihat isi kontainer tersebut. Cahaya matahari yang menyempil masuk memperlihatkan isi kontainer ini yang amat sangat amburadul tak terurus, tembok-tembok bajanya yang tipis belepotan oleh cairan hitam yang menjijikan. Dalam hati aku berdoa supaya semilir angin lembut di luar mampu mengusir habis bau apak serta bau lainnya yang menghantui tempat ini. Aku merogoh ke dalam saku celanaku dan mengambil sarung tangan plastik sekali pakai yang selalu kusimpan untuk keadaan darurat.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     Aku menendang kasar pintu kontainer agar terbuka lebar. Garis binar mentari siang berangsur-angsur masuk sanggup menerangi lebih dalam isi kontainer ini meski tidak sampai ujungnya. Debu-debu tak kasat mata spontam terhanyut akibat sinar mentari, membuat hidungku bersin-bersin beberapa kali. Terdapat banyak peti kayu di dalam sini, sebuah gabungan rak-rak di sepanjang dinding yang pada awalnya diisi barang namun selama perjalanan panjang yang tak mulus malah berjatuhan, selain itu pula terdapat pada bagian belakang truk itu—bagian yang hanya mampu disorot sedikit cahaya matahari—sebuah kotak metal berukuran cukup besar.
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀

     Pertama-tama aku memeriksa tumpukan kardus terlebih dulu—lebih mudah ketimbang mengecek peti-peti kayu itu. Tidak lebih dari lima menit hingga aku selesai juga memeriksa isi dari kardus-kardus itu. Kebanyakan isinya hanyalah sterofoam. Sisanya berisi botol-botol kaca yang kutebak adalah anggur. Aku memutuskan sehabis ini untuk memeriksa kotak-kotak kayu itu.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     Aku melompat keluar dari dalam kontainer itu, saat kakiku menyentuh tanah dengan keras meniup debu-debu yang menempel pada beton keras. Aku membutuhkan bantuan untuk membuka kotak-kotak kayu itu. Mungkin beberapa kalian sempat berpikir betapa bodohnya diriku bukannya hancurkan saja kotak kayu itu untuk melihat isinya daripada bersusah payah membuka obeng serta paku yang menjaganya agar tidak terbuka dan menumpahkan isinya. Pemikiran seperti itu tidak hanya datang sekali dua kali dalam benakku, namun perusahaan akan marah besar jika menemukan aku menghancurkan peti-peti kayu itu.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     “Hei kau, bisa bantu aku membuka kotak-kotak kayu tidak?” aku menghampiri seorang laki-laki yang memakai kacamata yang kutemui di dekat meja si petugas piket, saking banyaknya buruh di sini aku tak sanggup menghapal nama mereka satu per satu kecuali bagi yang sudah berteman namun tidak terlalu dekat denganku.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Ia berbalik seraya memutar kedua matanya di depanku, tubuhnya ternyata lebih pendek ketimbang diriku. “Baiklah, tapi jangan panggil aku 'hey kau' seperti itu. Namaku Brennan.”
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     “Oke. Tapi aku tidak bertanya padamu,” ujarku, menyengir lebar.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Brennan merengut namun ia terus saja malah mengambil obeng serta perkakas dari tangan si petugas piket. Si petugas piket yang entah-siapa-namanya-itu memelototi kami berdua seolah memfitnah kami sebagai pencuri. Kemudian aku menuntun Brennan ke kontainerku. Ia terus-menerus memelototiku dengan was-was di belakang saat aku mengarahkannya mungkin ia curiga kalau aku malah mengusilinya alih-alih membawanya bekerja, jadi aku sengaja mempercepat langkahku agar aku tidak perlu berhadapan dengan kedua matanya.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
      Aku melompat masuk duluan ke dalam kontainer itu kemudian Brennan menyusulku melompat masuk dan menghasilkan bunyi berdebum, aku dapat mendengar suara gejolak di ruang mengemudi di depan sana yang sepertinya si supir kaget, langkah kami di dalam kontainer berbahan baja tipis menimbulkan bunyi berdebum dengan tempo yang cukup abstrak. Sekilas aku dapat melihat kedua bahunya kembali rileks setelah tahu bahwa aku tidak benar-benar menjahilinya.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     “Ini semestinya mudah." Brennan mendesah lega saat melihat peti-peti kayu yang kutunjuk. Ia melempar-lempar obeng di tangannya dengan enteng.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     Pekerjaan seperti ini jelaslah amat gampang seperti membalikkan kedua telapak tangan bagi Brennan, ia membuka satu-satu sekrup yang menancap di sudut-sudut kotak itu. Sesekali ia mengeluatkan geraman dan berkomat-kamit sendiri karena beberapa sekrup yang macet atau karena tangannya yang terkena sedikit gesekan.
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
     Aku mengambil senter yang aku sangkutkan pada ikat pinggangku, mengaktifkannya untuk membantu memberikan penerangan tambahan meski tidak seberapa ketimbang cahaya matahari pada Brennan. Aku bersiul seraya menontonnya berupaya meras melepas semua sekrup itu. Bau busuk yang entah menyeruak dari mana merambat masuk tercium indera penciumanku, mungkin bau itu berasal dari timbunan sampah di dalam kontainer namun naluriku mengatakan berlainan.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     “Apa sudah selesai?" tanyaku, mengetuk-ngetuk ujung sepatuku di atas lantai baja tipis dengan tidak sabar.
⠀⠀

⠀⠀⠀⠀⠀
     “Bersabarlah, Nona. Sebentar lagi.” Brennan melempar sekrup-sekrup yang telah dilepasnya sembarangan, salah satunya mengenai tungkaiku.
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀
     “Tunggu!” seruku.

⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀
     Tangan Brennan menghentikan pekerjaannya. Aku melangkah dengan pasti mendekati kotak kayu itu, menyentuh permukaan kayunya yang kasar dan bercelah-celah rapat. Dari celah rapat yang membatasi kayu dengan kayu tersebut, aku dapat melihat sesuatu seperti sebuah sosok dalam bayang-bayang di dalamnya bergerak. Aku mendekatkan senterku makin dekat ke arah kotak katu itu, sorot cahayanya lumayan membantu walaupun dengan intensitas yang kecil. Mata merah darah balas menatapku, memantulkan kilauan  senterku. Aku menahan napas cukup lama hingga aku sendiri dapat mendengar jeritan kencang dalam kepalaku, kesadaran sekaligus kengerian dan rasa panik menghantamku sekaligus.
⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀
     “Ada orang di dalam sana!" jeritku panik. Napasku yang sedari awal tergesa-gesa sekarang menderu hingga membuatku hampir kehilangan keseimbangan, jantungku bertalu-talu karena panik sementara kepalaku penuh akan jeritan.
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀
      Brennan segera menggerakan tangannya buru-buru melepas sekrup yang terakhir itu. Kayu tebal penutup peti tersebut segera meluncur turun dengan bunyi berdebum memilukan setelah menghantam baja tipis. Dalam penerangan yang cukup minim, mataku memindai dua sosok siluet dalam gelap yang berdiri dalam peti kayu raksasa tersebut, aku mengarahkan arah sorot senterku ke arah dua sosok itu. Tubuh mereka telanjang, kulit yang satu berwarna biru pucat namun gelap dan satu lagi berwarna ungu pucat hampir menuju warna putih dengan urat-urat kemerahan yang saking menonjol di balik kulit tipis mereka sampai-sampai aku mengira urat itu akan menembus menampakkan diri. Ukuran tubuh mereka  cukup besar hingga mereka mesti menunduk sedikit di dalam peti tersebut dan perawakan mereka sangat asing bagiku, menyerupai perawakan manusia namun pula tidak terlihat mendekato insan yang selalu kulihat sehari-hari dan dipenuhi benjolan besar dan mustahil yang menyembul di kulit mereka.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     “Kalian tidak apa-apa?” tanyaku, pada akhirnya kendali atas tubuhku sekaligus tenggorokanku mampu mengeluarkan sedikit suara meski bergetar hebat akibat kengerian yang melanda. Aku menggigit bibir bawahku, menahan dorongan kuat yang aneh di dalam tubuhku yang saat ini tidak kukenali sama sekali.
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀
     Sosok aneh itu menerobos keluar dari dalam kotak itu sebelum aku bahkan sempat menyadarinya. Aku menatap dalam napas tertahan warna biru dan sepasang mata merah darah membelalak—mimpi buruk yang tak pernah kuharapkan sebelumnya dan amat kudambakan saat itu untuk terbangun namun tak terpenuhi—dan menjerit, aku mencoba berlari atau setidaknya mengangkat kakiku satu senti saja tapi terlambat.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     Sosok itu melompat di udara, mendarat dan menimpa bahu Brennan, merenggutnya dengan tangan-tangan raksasa yang kuat—bahkan sel otakku tidak lagi sanggup memperkirakan ukuran tangannya. Brennan terbanting ke lantai baja dengan bunyi keretak yang memilukan, ia menjerit ketakutan.
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀
     Pun aku mampu menemukan secercah kendali dan rasionalitas, aku berusaha mengendakikan kedua tungkaiku berlari keluar meski berat dan kepalaku belum siap memproses segala hal yang tengah terjadi kini dari dalam kontainer itu, jantungku berdebar-debar dengan amat kencang hingga kupikir di detik kemudian bisa saja melompat menembus dadaku keluar dari tempatnya kini, kepalaku berdenyut pening karena panik ditambah penglihatanku yang buram. Sosok lainnya berlari dengan amat kencang ke arahku, rasa khawatir menggerogotiku, bergidik ngeri apabila sosok itu segera mencapaiku lebih dulu. Aku terbanting ke baja tipis setelah tersandung oleh kayu lapuk, lututku berdenyut kesakitan serta pelipisku terasa perih dan basah mungkin saja karena darah yang mengucur keluar atau bisa jadi keringat, kurasa kakiku terkilir karena aku tak lagi dapat merasakan kakiku lagi saking pedihnya.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     Telingaku menangkap suara jeritan tertahan Brennan dibelakangku, wajah hingga leherku memucat ketakutan. Aku menarik napas tertahan dan menempatkan diri menoleh ke belakang saat sosok kedua berdiri  hanya beberapa sentimeter dariku, cakar tajamnya merengutku, kuku-kukunya yang panjang sekaligus amat tajam seperti mata pisau menggores kulitku cukup dalam, tenaga yang masih tersisa atas tanganku berusaha menolak dan menggebuk keras sosok yang menyerangku, sosok kurus itu berkelebat serabutan di atasku saat ia mengangkatku. Ia monster—kengerian dari mimpi buruk. Mort. Taring-taring gigihnya yang runcing seperti mata pisau membuka dan mengatup, mengeluarkan bunyi gigi-gigi yang membuka dan mengatup yang menyeramkan dan mampu merengut semua kengerian dalam diriku.
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀
     Aku menjerit sekuat tenaga, mengupayakan tenaga yang tersisa hingga kerongkonhanku terasa sangat kering. Aku menyentak tubuhku dari makhluk itu agar melepaskanmu, aku bisa merasakan cengkeramannya padaku melemas. Kakiku menendang perutnya hingga ia terhempas sedikit ke belakang. Setelah ia akhirnya menyerah dan melepaskanku di udara, aku mengendalikan tubuhku agar mendarat pada kaki dengan seimbang dan berhasil. Aku meringis serta mengerang menahan rasa sakit, seluruh rambut halus di tubuhku berdiri, jantungku masih bertalu-talu dengan amat kencang dan belum reda secuilpun, keringat dingin mengalir deras membasahi tubuhku dan membuat seragamku amat basah ibarat sehabis mandi. Sepertinya bila aku masih bisa pulang ke rumah setelah ini, aku akan benar-benar mencuci bersih seragamku nanti. Makhluk itu masih berdiri mematung di lantai namun tidak lebih dekat dari padaku. Aku sayup-sayup mendengar erangan di dalam kontainer, aku tidak dapat melihat dengan bebas sosok Brennan di dalam kegelapan namun dalam hati aku berharap ia berhasil selamat pula.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Kesadaranku berhasil menyentak meski rasanya merisihkan namun aku tetap bersyukur. Aku menggerakkan kedua kakiku meski salah satunya terkilir nyeri untuk berlari atau melompat sekuat tenaga yang masih terbendung tersisa, hanya tinggal satu meter untuk keluar dari dalam kontainer itu dan aku menyentak tubuhku melompat, makhluk yang mengamuk itu berlari dan hampir menyentuh ujung pakaianku, sehingga lompatanku berubah menjadi gerakan menghindar yang membuat aku keluar dar jalur. Dengan memukuli udara, aku jatuh di dengan amat keras di atas tanah. Samar-samar aku sadar bahwa bunyi derak yang aku dengar berasal dari tulang-tulangku saat aku terbanting ke tanah keras, rasa sakit merambat semakin deras di dalam tubuhku, setidaknya rasa sakit menandakan bahwa aku masih hidup.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Punggungku berdenyut nyeri, kurasa aku mendapat banyak cedera serta luka di tubuhku, aku bergelung dengan sisa tenaga terakhir hingga pipiku menyentuh tanah sambil merintih kesakitan. Aku tidak berani menatap ke belakang, enggan berhadapan dengan makhluk itu lagi. Dalam hati aku berdoa supaya semua hal yang terjadi ini hanyalah mimpi semata. Sayup-sayup aku mendengar suara langkah di atas baja, suara-suara teriakan panik dan huru-hara di sekitarku, kemudian aku mendengar bunyi gaung yang nyaring. Telingaku berdenging, aku menutup kedua mataku yang terasa pedih, sesuatu yang basah menintik dari bulu mataku, membasahi pipiku. Aku merasakan cairan hangat dan kental yang terciprat ke wajahku, aku membuka mataku perlahan dan langsung bergidik.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Kepala Mort yang menyerangku terentak dengan keras ke kiri, memutar tubuhnya hingga ia mendarat ke tanah di atas lambungnya tepat di sebelahku hanya sekitar beberapa sentimeter. Meninggalkan bunyi berderak di atas tanah saat tubuhnya terjatuh, aku meringis melihat kepalanya yang bolong ditembus peluru yang membunuhnya secara langsung, darah yang keluar berwarna hitam gelap dan kental seperti oli.
⠀⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀⠀
     Aku terlonjak dan kemudian mundur terhuyung-huyung sambil merangkak dalam kengerian. Aku merasakan ketakutan yang memuncak dalam sentakan adrenalin, masih tak mampu percaya dengan kejadian yang baru saja aku alami beberapa detik lalu.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Aku menahan gejolak asam dalam lambungku yang hendak keluar dalam bentuk muntah, dunia di sekitarku lantas berkeliling-keliling dan berpusing-pusing saat aku memandang tubuh Mort yang kini tak bernyawa itu, waswas andaikata sosoknya kembali hidup tak lama kemudian.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Aku ingat berbagai kisah dari mulut orang-orang yang diceritakan dari mulut ke mulut, mereka bilang di luar New Californiana tinggal monster-monster mimpi buruk menyeramkan yang haus darah. Manusia pada zaman sebelum ini memberinya nama Mortererri albtraumhemar, ironis mengingat bahwa mereka  memberikan nama spesies untuk itu sendiri. Sedangkan kami di sini memanggilnya Mort untuk lebih singkatnya. Mort hanya mengikuti hawa nafsu, mereka punya otak yang telah membusuk di dalam kepala mereka dan tak dapat menggunakannya sama sekali, mereka memakan dan menyerang apa saja yang mereka temukan bahkan sesama Mort sendiri—tragisnya mereka hidup bebas di luar sana. Tidak ada satu pun manusia yang dapat bertahan hidup di luar tembok-tembok raksasa ini. Aku tidak pernah melihat Mort secara langsung sebelum ini, aku pernah membayangkan wujudnya seperti apa, tapi Mort dalam bayanganku tidak semengerikan ini.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Beberapa orang datang dan mengerubuniku. Aku melihat seorang buruh berjongkok di samping wajahku, mulutnya bergerak mengucapkan sesuatu. Ia mengguncang-guncangkan bahuku dengan kencang, dan itu semakin membuat perih rasa sakit yang kudera. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku hingga hidung kami nyaris bersentuhan sehingga pantulan wajahku yang kuyu dan berantakan balas menatapku dari lensa kacamatanya. Ia menampar pipiku keras-keras, dan aku akhirnya bisa menafsirkan perkataannya: “Bangun!”
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Entah bagaimana, aku mampu berdiri. Kemudian aku terbungkuk dan muntah secara reflek. Sudah bertahun-tahun berlalu aku tidak pernah muntah lagi, aku lupa betapa tidak enak rasanya.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Kemudian, tanpa sadar aku sudah maju sambil tertatih-tatih, sebagian besar bobotku ditopang oleh orang itu. Ia memaksaku untuk terus berjalan, meski sepertinya ia sadar tubuhku tengah tersiksa. Aku tidak sanggup memahami perkataannya, namun nadanya terdengar tegas dan mengotot, dibubuhi amarah sekadarnya sehingga mengalahkan rasa ngeri yang berdenyut.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     Beberapa orang membantu menopang tubuhku, beberapa mengecek ke dalam kontainer dan berteriak. Aku melihat salah seorang Regu Penembak yang kerap kulihat beberapa hari terakhir namun tidak kuketahui siapa namanya karena terlalu sungkan berdiri di antara mereka, membawa senapan laras panjang, ia berjalan mendesak kerumunan orang-orang dan mendorong mereka, melompat masuk ke dalam kontainer. Aku menoleh ke belajang dan menyipit untuk melihat jauh  ke dalam kontainer gelap itu dengan penglihatan sekadarnya, dalam intensitas cahaya yang kecil samar-samar aku melihat dua siluet—mereka menggeliat dan meraung-raung seakan hanya kedua hal itu yang dapat mereka lakukan. Cahaya matahari yang menyorot ke dalam sana memantul dari kacamata salah seorang dari mereka. Kemudian, si Regu Penembak menarik pelatuknya dan membunuh kedua makhluk itu hanya dalam sekali tembak.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
     “Pindahkan tubuh mereka!” teriaknya sambil membelah kerumunan dan melompat turun.[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AgonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang