2. Penjara Laboratorium

84 26 8
                                    

Selang-selang ini melilit tubuhku seperti ular. Menancap di setiap inci kulitku yang telanjang. Bermeter-meter. Aku mengikuti panjang selang ini. Ada enam selang yang dapat kulihat, belum termasuk yang menancap di kulit belakangku. Aku tidak bisa menghitung dengan pasti totalnya, tapi sejauh yang kulihat selang-selang ini menuju ke luar dari sisi-sisi tabung akuarium besar. Dan aku berada di dalamnya. Air mengisi seluruh volume tabung, menenggelamkan seluruh tubuhku. Hal yang membuatku terkejut, aku bisa bernapas dengan normal tanpa bantuan alat pernapasan apapun.

Keterkejutanku tidak berhenti di situ. Ketika aku memandang tempat sekitarku, aku mendapati puluhan-bukan-mungkin mencapai ratusan tabung besar yang sama dan masing-masing berisi anak laki-laki atau perempuan yang kupikir seumuran denganku. Mereka juga dalam keadaan yang serupa. Tapi sebagian dari mereka mengambang dengan cara yang aneh dan mata mereka terpejam. Mungkin sedang tidur, aku tidak tahu. Dan aku tidak mau memikirkan opsi lain. Aku melihat tabung di seberangku. Seorang anak laki-laki sedang memandangku. Dia memiliki tubuh remaja belasan tahun, tapi wajahnya yang masih kekanakan membuatku ragu menerka dengan tepat usia sebenarnya. Dia masih terus memandangiku, membuatku merasa tidak nyaman. Aku membuang muka ke samping bahuku dan setengah berteriak ketika melihat seseorang yang sangat kukenali. Seorang wanita paruh baya sedang menyuntikkan sesuatu ke tabung anak laki-laki di sampingku.

"Mom," aku berteriak tanpa suara. Mencoba menggedor kaca tabung yang bahkan mencapainya aku tak mampu.

Mom. Kali ini aku menendang-nendangkan kakiku berusaha menjangkau kaca. Tiba-tiba, seperti didorong dengan kekuatan seribu kuda, setruman listrik ribuan volt menghantam setiap sel kulitku. Mengalirkan gelombang yang bisa menghanguskan apapun yang disentuhnya. Apapun. Tapi kecuali rasa terbakar yang sangat menyakitkan, tubuhku secara keseluruhan baik-baik saja. Kenapa?

Seiring setruman listrik yang kuterima tadi, beberapa ingatan merasuk ke pikiranku. Aku merasa bukan baru ini berada di tempat ini. Sudah lama sekali. Sangat lama. Entah sejak kapan aku tidak ingat, yang kuingat hanya satu hal. Ibuku yang mengirimku ke sini.

Wanita yang kukenali sebagai ibuku menghampiri tabungku. Tiba-tiba perasaan kebencian yang dalam melandaku. Benci dan.. amarah. Jika untuk mencintai seseorang, kita tidak butuh alasan yang logis. Apakah harus ada alasan untuk membenci seseorang? Entahlah. Aku tidak tahu alasannya. Atau, tidak ingat. Tapi entah kenapa setiap langkah kaki wanita itu, aku merasakan aliran darahku membara. Dia berhenti tepat di depanku. Mengecek monitor kecil yang terpasang di tabungku bagian luar, lalu menuliskan sesuatu di kertas yang dipegangnya. Bahkan dia tidak menunjukkan tanda-tanda mengenaliku. Aku mencoba melihat apa yang ditulisnya. Secara keseluruhan hanya berisi biodata dan kondisiku. Tapi ada satu hal yang menggangguku.

Umurku. Sepuluh tahun.

Terakhir kali, kurasa aku masih berumur delapan tahun. Kenapa dia menuliskan umurku sepuluh tahun? Apa aku tidak mengingat umurku sendiri? Bagaimana bisa kau lupa sudah berapa lama kau hidup di dunia ini? Kecuali jika dia salah menuliskannya. Tapi jika dia tidak salah dan aku benar, maka hanya ada satu penjelasan. Aku sudah berada di tempat ini selama dua tahun. Dan selama itu aku berada dalam keadaan yang bisa dibilang.. koma.

Sama seperti yang dilakukan sebelumnya, dia menyuntikkan sesuatu ke dalam tabungku. Saat melakukannya dia tidak menatapku sedetikpun. Dia terus sibuk dengan pekerjaannya, seolah menghindari kontak mata denganku. Aku melihat cairan berwarna hijau mengalir ke salah satu selang yang menempel di lengan kiriku. Ketika cairan itu sampai ke kulitku dan masuk ke dalamnya, aku merasakan sensasi dingin yang luar biasa. Mula-mula hanya bahuku kemudian merambat ke tengkorakku dan terus merambat ke seluruh tubuh. Seperti disayat-sayat ribuan es tajam dengan suhu ribuan angka di bawah nol. Aku mulai tidak merasakan anggota tubuhku satu per satu. Kebas. Aku menggertakkan gigiku, mencoba melawan rasa dingin yang menusuk tersebut. Sia-sia. Ketika wanita itu pergi, aku menendang-nendangkan seluruh tubuhku. Dia tidak berpaling. Justru semakin aku bergerak, rasa sakit yang tak tertahankan menyerangku. Sial.

Dark InfinityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang