Semester baru Puja diawali dengan bangun kesiangan. Sebenarnya tidak akan menjadi masalah yang berarti hanya jika Puja bangun kesiangan di kamar kostnya. Yang ia perlukan hanya sikat gigi, air segayung untuk cuci muka dan sebuah ikat rambut, maka, walaa! Puja siap berangkat ke kampus. Sayangnya, kali ini Puja terlambat bangun di rumahnya yang berjarak dua kali ganti angkot dan tiga kali ganti kereta dari kampusnya.
"Kamu ngapain, Ja? Kayak lagi kesurupan manusia aja." Ayahnya memang selalu bercanda tanpa kenal situasi genting yang tengah dihadapi Puja.
Puja menjawab di tengah kegiatannya menali sepatu. "Ah, setan."
"Puja!"
"Apa sih, Bun? Orang ayah sendiri kok yang bilang anaknya setan, ya bapaknya sama setannya dong?" Puja tidak terima dengan bentakkan ibunya.
Puja menengadahkan telapak tangannya ke arah ayahnya. "Bekal?"
Dagu ayah maju menunjuk ke bagian luar rumah. "Kebetulan ayah habis mecahin gelas tadi jadi belingnya bisa buat bekal kamu."
"Tuh, Bun!"
"Ayah! Kapan Puja jadi feminim kalo tiap hari bercandaan kalian berdua kayak gitu."
"Ngapain feminim? Kalo nggak laku kan masih ada Daffa. Eh, tapi, masa jeruk minum jeruk?" cerocos Sky yang entah dari kapan sudah duduk manis di meja makan.
"Ba to the cot. Bacot."
"Puja! Language!" ujar ibunya lagi yang kali ini sambil urut dada.
Hidup dengan dua saudara kandung yang keduanya laki-laki dan seorang ayah yang bercandanya sama sekali tidak mencerminkan kebapakan membuat Puja tumbuh menjadi seorang perempuan yang bebal dengan kata-kata kasar, seakan hati nuraninya sudah memblokade untuk tidak merasa terhina dengan 1001 macam gunjingan.
"Anjing! Gue tadi kan lagi kesiangan, buset dah. Bun, Yah, pamit." Puja buru-buru mencium tangan kedua orang tuanya.
Ibunya terlihat menyerah untuk menyuruh Puja berlaku sesuai kodratnya sebagai wanita. "Ini kalau Bunda mati muda siapa yang bakal masakin kalian? Ya Tuhan."
"Mau bareng ayah nggak, Ja?"
Puja yang telah siap keluar dari rumahnya langsung memutar bahu. Matanya berkilat-kilat kegirangan. "MAU!"
***
Puja terpaksa bolos di hari pertama kuliahnya. Terima kasih kepada sang ayah yang tanpa merasa bersalah menipu anaknya sendiri. Puja tidak segan mengeluarkan sumpah serapah ketika otaknya memutar kembali kenangan pahit yang baru saja ia rasakan pagi ini.
"Lho? Yah, kampus Puja kan nggak lewat sini."
"Emang ayah bilang kalo mau nganterin kamu ke kampus? Kan ayah cuma tanya mau bareng ayah nggak?"
"Astaghfirullah. Emang seharunya Puja nggak pernah percaya sama omongan ayah. Ya seenggaknya turunin Puja di pangkalan angkot kek, syukur-syukur kalau mau nganterin ke stasiun."
"Males, beda arah. Mending ayah anter kamu ke Lebak Bulus aja."
"Anjir. Yah, turunin Puja di sini Yah!"
"Hahahaha! Nggak akan! Ayah tidak akan menurunkanmu di sini! Ayah tidak akan membiarkanmu dengan mudah sampai ke kampus!"
"Ya Tuhan, aku mau ganti ayah aja! Jadikan Brad Pitt ayahku ya Tuhan!! Yang ini suka nyulik gadis belia dan sengaja di anter ke Lebak Bulus biar anaknya telat ngampus."
Puja menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan ingatan kelam tentang kelakuan ayahnya. "Salah apa gue di masa lalu sampai ayah sendiri tega menganiaya anaknya. Hhh."