Rindu

20 2 0
                                    

Halo, Kamu, apa kabar?
Tiga tahun berlalu, kita terhalang dimensi ruang dan waktu namun masih berada di bawah langit yang sama. Tanpa rasa bersalah atau memang kamu yang tak memiliki perasaan, jarak seolah tak dapat kita tepis meski tekhnologi berkembang pesat pada era modern masa itu.

Awan kelabu hiasi langit Jogja kala senja sore itu. Hembusan angin bersemilir dari arah utara. Rintiknya mulai jatuh membasahi jalanan kota. Orang-orang berlari kecil mencari tempat berteduh, aku pun demikian.

“Mas, secangkir wedang uwuh seperti biasa, yo.” ujarku.

“Baik, Mbak.” jawabnya.

Aku pun meminum secangkir wedang uwuh yang ada di hadapanku. “Halo, Kamu, apa kabar?” batinku.

Hujan selalu memiliki kekuatan magis membawaku hanyut dalam serpih kenangan yang menggetarkan sukma bernama rindu, ya aku merindukanmu. Aku rindu saat pertama kali kita bertemu. Aku rindu keusilan-keusilan dan tingkah konyolmu. Aku rindu pertengkaran-pertengkaran kecil yang kita ciptakan. Aku rindu cara pedulimu, kekhawatiran yang tergambar dari raut wajahmu. Aku rindu suara jernihmu, percakapan indah yang habiskan malam kita. Aku rindu semuanya, semua tentang kita.

“Permisi, Mbak.” sapa seorang lelaki.

“Iya, ada apa, Mas?” jawabku.

“Saya kehujanan, Mbak. Kebetulan saya mampir kesini untuk berteduh dan ternyata tempatnya ramai sekali, sehingga saya kehabisan tempat untuk duduk, Mbak.” kata lelaki itu. 

“Iya gakpapa, silahkan duduk Mas kursinya masih kosong, kok. Saya datang kesini juga sendirian, Mas.” kataku menawarkan tempat duduk.

“Matur nuwun, Mbak.” katanya.

“Sami-sami, Mas.” jawabku sembari kembali menatap hujan dari balik jendela.

“Kenapa liatin hujan terus, Mbak? Kamu suka hujan?” tanya lelaki yang duduk di sampingku.

“Ya, aku pluviophile. Ada hal yang amat aku rindukan ketika hujan tiba. Ada hal yang mendamaikan meski hanya memandang rintiknya.” jawabku.

“Aku juga suka hujan.” perkataan lelaki itu membuatku terkesima. 

“Sungguh? Apakah Mas juga suka novel teenlit seperti remaja pada umumnya?” ucapku.

“Ehem, sepertinya tehku sudah dingin.” ujarnya.

“Aku hanya bercanda, Mas.” kataku sambil menahan tawa, “Maafkan aku.”

“Oh, Ya ampun.” kataku sambil melirik arloji dan membereskan barang-barang, “Aku harus pergi sekarang, Mas. Dosen pembimbing pasti sudah menungguku.”

“Baiklah, hati-hati, Mbak. Sampai jumpa.” katanya.

“Sampai jumpa. Senang bertemu denganmu, Mas.” kataku sambil terburu-buru pergi meninggalkannya.

“Aduh, bagaimana ini aku sudah benar-benar terlambat?” gerutuku.

“Hei, Mbak, tunggu.. tunggu dulu. Kau meninggalkan buku catatanmu.” kata lelaki itu sembari mengejarnya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 17, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TUAN HUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang