⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
“Kau yakin tidak apa-apa 'kan, Vec?”
⠀⠀
⠀⠀
Telah berkali-kali aku memutar kedua bola mataku dengan gerakan cepat dan sedikit kasar sampai-sampai kurasa di detik kemudian bola mataku akan melompat dari ceruk bundar tempatnya bernaung. Aku menyenderkan punggung di bantal yang sekeras batu, punggungku berdenyut dan nyerinya merambat seperti mendapat setruman kasar di tengkukku, aku menggeritkan gigi menahan nyeri, tanganku mencengkeram seprai agar tidak berjengit sedikit saja, kukuku menancap ke dalam kasur busa. Telah hampir seribu kalinya kuhitung pertanyaan seperti itu terlontar keluar dari mulut Jonathan dan orang-orang lain yang tidak aku kenali, ia, Jonathan berkeras kalau aku akan terjangkit penyakit mematikan setelah kejadian itu apalagi mengingat aku sehabis mendapat kontak fisik dengan Mort.⠀
⠀
⠀⠀
⠀
Ragaku konstan terasa lebih berat dan kotor dari sebelumnya kendatipun tubuhku sudah dibersihkan—mereka menyebutnya disterilkan—setelah kejadian itu, namun hal tersebut tak akan menghindarkan aku dari ngeri. Rambutku masih basah kuyup, airnya menetes meluncur di atas tengkukku. Tubuhku menggigil kedinginan serta disebabkan rasa takut itu sendiri, sorot cahaya mentari yang menjalarkan panas bahkan tidak sanggup menyapu bersih semua rasa yang meradang bagaikan kanker dalam kerangka kaku tubuhku.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀Aku memelototi pemuda berambut pirang kotor itu, lalu sorot belalakan tatapanku berpindah ke arah perawat perempuan di balik bahu Jonathan tengah menahan tawa. Jonathan ikut menengok ke belakangnya akibat menyadari bukan kepadanya aku melotot tapi ke arah lain, perawat itu segera mengalihkan perhatiannya dan berpura-pura kembali tenggelam dalam kesibukannya kini.
⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀“Apa kau merasakan pusing? Sakit perut? Apapun?” Jonathan kembali menatapku, kornea matanya berusaha mendapat kontak balik dari mataku. Aku dengan terang-terangan memejamkan kedua mataku, tidak ingin terlibat sedikitpun dengan kontak mata.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀Dengan menyilangkan tanganku yang sudah terbungkus bebat di depan dada, menepisnya secara tersirat. Akupun bersyukur meski cedera yang kudapatkan masih menyimpan ribuan rasa sakit, perlahan tubuhku kian membaik, setidaknya.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
“Tidak,” aku menepisnya, lalu menurunkan kakiku dari atas ranjang dan berdiri. Seragam lamaku sudah direngut dariku, digantikan dengan serangam bermodel sama namun ukurannya lebih sempit. Jadi sepulang ke rumah nanti, aku tak perlu mencuci seragamku seperti rencanaku sebelumnya. Tulang kakiku menjerit agar aku kembali berselonjor saja, namun tetap kupaksakan melangkah, dan tulang iga serta tulang punggungku sekaligus masih merambatkan nyeri sehingga aku nyaris terjatuh. Pipiku berdenyut bengkak kesakitan, es batu yang diberikan dokter padaku tidak bekerja dengan baik.
⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀Jonathan yang melihatku goyah segera menangkap tubuhku, membantuku dengan pelan-pelan dan saksama duduk di atas ranjang. Tubuhnya lebih jangkung dariku, sehingga bila kau bertanya-tanya, umurku sama dengannya. Aku menggelengkan kepala dengan kasar ketika ia duduk di sebelahku, menolak mentah-mentah kehadirannya. Usahaku untuk beringsut satu senti saja gagal total, anjlok dalam kepingan amat mini dan meredup makin tak kasat mata.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak memelotot pada para perawat yang menatap kami seakan kami adalah hiburan semata di jalanan, mereka menutup kedua bibir menahan cekikikan yang terhambat keluar. Cengengesan mereka akhirnya lenyap pula, kembalilah mereka menunduk dan bekerja.
⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀“Vec, kau tahu 'kan kalau perusahaan bisa saja mengganti rugi jika kau ingin,” cerocosnya. Iris coklatnya yang sewarna lumpur menatap ke atas, berangsur menemukan topik apa saja yang melintas dalam benaknya guna menghalau rasa canggung, namun aku bahkan tidak menikmati topik tersebut sama sekali.
⠀
KAMU SEDANG MEMBACA
Agony
Science Fiction┌ She is a glitch Accidentally hitch It could be snitch © Eva Stapleton, 2016 All Right Reserved Cover inspiration from Reborn by LavenderEyes. ...