Jenuh

893 30 2
                                    

Hai semua!! Pertama-tama aku mau ngasih tau kalo cerita ini BUKAN aku yang bikin, tapi asli pemikiran Kinsia Eyusa Merry, penulis favoritku. Oke guys, selamat membaca!! :D

      Manda beremu Doni ketika umurnya 17 tahun. Mereka sama-sama mewakili sekolah untuk seleksi Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera) daerah. Saat karantina, Doni menarik perhatian Manda karena pembawaanya yang heboh dan penuh semangat. Kalau makan selalu banyak, tidak suka telur, tidak suka keju, dan herannya tetap tinggi tegap semampai.

      Manda menarik perhatian Doni ketika dia menangis haru sambil memeluk teman-teman sesama pengibar bendera beberapa menit setelah tugas mereka selesai. Well, Doni suka cewek yang perasa.

      Tiba-tiba mereka jadian. Tiba-tiba juga, keduanya terpisahkan jarak. Manda terbang ke Yogya, Doni melanglang ke Bandung. Hubungan mereka masih berjalan dengan cukup bahagia. Bermodalkan Skype dan YM, mereka membuat perjanjian tidak tertulis untuk saling bertukar kejutan secara bergiliran setiap Sabtu malam.

      Sabtu ini, Manda memamerkan Doni lagu random buatannya berjudul “Don Juan”.

      Minggu berikutnya, ganti Doni yang memainkan Pupet Show Wondermanda dan Wonderpanda di depan webcam. Kadang-kadang Manda dan keluarganya berlibur ke Bandung. Doni tentu saja dengan senang hati menjadi pemandu wisata gratisan. Mereka tamasya ke Tangkuban Parahu, minum yoghurt Cisangkuy, beli sepatu Cibaduyut, dan lain-lain. Di lain pihak, Mama Doni juga sangat menganak-emaskan Manda. Wajar, beliau adalah ratu sekaligus komandan bagi lima anak laki-laki dan amat menantikan calon menantu yang singset dan ayu.

      Enam tahun berlalu cepat, keduanya sudah meraih gelar strata 2, sudah mulai bekerja, dan sudah mulai mapan. Ada yang berjalan di luar rencana? Sayangnya ada. Mereka bosan! Manda dan Doni kemudian sepakat break satu bulan untuk kemudian dievaluasi kembali.

      Minggu pertama, keduanya merasa bahagia. Bebas, leluasa, hemat, dan cermat. Biasanya sms minimal sehari dua kali. Sejak break ini, intensitasnya berkurang drastis menjadi dua hari sekali. Manda mulai dekat dengan seorang dokter muda bernama Panji, yang bicaranya medok Jawa, berkulit sawo matang, dan senyumnya manis sekali. Doni ogah peduli dengan urusan cinta-cintaan. Ia memilih cuti kantor beberapa hari, lalu travelling bersama teman-teman kuliahnya yang masih menempuh studi s-2.

      Pada minggu kedua, Doni bikin ulah. Ia lupa mengeluarkan telepon genggam dari saku celananya sebelum naik banana boat. Akhirnya, benda itu rusak karena ikut masuk ke air saat Doni dan teman-temannya ‘dicampakkan’ di tengah laut. Mamanya begitu khawatir dan memutuskan untuk menyebarkan virus kekhawatiran ke Manda. Setelah lebih dari tiga puluh kali percobaan menelepon sepanjang malam, Manda menangis lega mendengar Doni baik-baik saja. Doni pun dipenuhi rasa bersalah.

      Minggu ketiga, Manda pulang ke Jakarta demi ulang tahun mamanya. Entah datang dari arah mana, entah siapa yang mengabarkan, Doni muncul di acara bakar-bakar ayam, membawa ukulele dan menyumbangkan lagu “Selendang Sutra” kesukaan Mama Manda.

      Minggu keempat, saat akan memulai satu presentasi perebutan proyek besar, Doni menerima sms yang tidak disangka-sangka dari Manda, “Oi! Jangan lupa baca Bismillah :)”

      Sebulan berikutnya, sesuai kesepakatan, mereka bertemu lagi di sebuah taman bermain anak-anak; duduk di ayunan yang bersebelahan; memandang langit malam dalam diam.

      Doni memecah keheningan, “Manda, inget proyek besar kemaren? Kantorku dapet lho tendernya.”

      “Wah, selamat ya!”

      “Aku dipromosiin, naik gaji naik pangkat.”

      “Selamat ya!!”

      “Abis ini aku pengen belajar leadership. Pasti jawaban kamu ‘selamat ya!’ lagi nih, pake nada dasar C minor,” Doni iseng meledek reaksi Manda yang kurang variatif. Ia tahu Manda menahan diri karena memendam sesuatu yang penting.

      “Enggak ah siapa bilang? Orang aku mau ngomen ‘Amboi, alangkah bagusnya’.”

      Mereka saling berpandangan ganjil lalu tertawa terpingkal-pingkal.

      “Belajar leadership di mana? Emang kamu mau s-3?” akhirnya, Manda bertanya juga. Doni menggeleng pelan.

      “Aku mau belajar leadership sama kamu.”

      “Kamu ngajak aku s-3?”

      “Lah bukan. Aduh gimana ya ngomongnya? Saudari Manda, maukah kamu, bangun pagi ngeliat saya. Makan pagi eh ada saya lagi. Pulang kantor loh kok nongol muka saya. Sholat berjamaah imamnya saya. Kalau flu yang bikini bubur encer saya. Pas lag pms nggak ada yang ditonjok, ya terpaksa nonjok saya. Kalau ngidam, yang beliin Magnum saya. Bagi tugas ganti popok sama saya. Nyuruh saya yang jawab, kalau anak-anak nanya pertanyaan jebakan kayak ‘mama adik bayi datangnya dari mana’. Diskusi mengenai pilihan unversitas mereka sama saya. Lalu, skip skip skip, sampai nyabutin uban saya. Bikinin saya teh anget kalau masuk angin. Yah, semacam saya lagi, saya lagi setiap hari?”

      Pertanyaan Doni membuat Manda syok. Setelah hening cukup lama, Manda akhirnya mengakui apa yang dipendamnya mala mini. “Saudara Doni, belakangan ini saya dekat dengan pemuda bernama Panji. Dia baik, bermasa depan cerah, wibawa, manis. Saya pikir saya cocok dama dia,” jawab Manda.

      Doni tertunduk. Ia mempersiapkan semuanya jauh-jauh hari, mengantongi sepasang cincin di saku kiri, memilih kata-kata yang tidak berpotensi membuat Manda illfill atau muntah di tempat. Lalu, menghabiska satu bulan untuk merindukan Manda saja. Sejauh ini ia sudah mendengar kata ‘Panji’ dan ‘cocok’, besar kemungkinan akan muncul kata ‘putus’.

      “Tapi, setelah ditimbang masak-masak, I’m not worth enough for anyone but you, because you’ve been there, witnessed me growing, accepted me as me. It will sound like a chessy line from a song of our local boyband, but I think, you know me so well and so do I. Plus we heart each other hard, we agree on that.

      “So, was that a yes?”

      “Nope. I’m going correct your words. It’s not, ‘Kamu lagi dan kamu lagi.’ Tapi, cuma kamu dan cuma kamu. Ahhh, jadi chessy kan,” Manda melempar pandangannya ke jalanan, menyembunyikan wajah yang merah jambu.

      “Kamu nggak bosen sama aku?”

      “Belum. Eh, nggak akan pernah sih. Selama aku masih bisa menghargai hal-hal kecil yang kamu kasih.”

      “Mau permen?”

      “Bukan ‘kecil’ itu, Doniiii. Dodol deh…”

JenuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang