PART 3

19 9 0
                                    

Sampai di rumah, aku masih terus kepikiran dengan ucapan Edward tadi. Dia serius mencintaiku? Sulit bagiku untuk mempercayainya. Sejauh ini dia memang pria yang baik, tapi... Ya sudahlah. Aku akan bisa merasakan sendiri bagaimana dia mencintaiku. Jika dia benar mencintaiku, dia pasti akan melakukan apapun untuk membuatku bahagia dan selalu tersenyum.
Tak lama, ibu datang menghampiriku.

"Emily, kelihatannya kau sedang memikirkan sesuatu. Ada apa?"

"Menurut ibu, Edward itu seperti apa?"

"Edward pria yang baik. Ibu selalu membeli perhiasan di tokonya dan selalu dilayani dengan baik. Edward itu tampan loh. Seusia denganmu dan sudah memiliki usaha sendiri. Memangnya ada apa sampai kau menanyakan itu pada ibu?"

"Tadi ketika Edward membawaku ke sebuah toko musik milik ayahnya, dia memintaku untuk bermain piano. Selepas itu, dia bilang dia mengagumiku,mencintaiku dan ingin menjadi pacarku. Aku kaget,bu. Aku ini buta. Tapi...."

"Oh jadi Edward sudah mengungkapkannya? Ibu sudah tau, Emily. Dia sendiri yang mengatakan pada ibu kalau dia menyukaimu sejak awal melihatmu. Saat itu dia memang tidak mengetahui bahwa kau buta. Tapi disaat dia taupun, itu tidak menjadi masalah buatnya. Karena, dia memang mencintaimu tulus, apa adanya."

"Sulit bagiku untuk percaya, bu. Aku meminta waktu dan aku ingin melihat apa benar dia mencintaiku."

"Itu terserah padamu,Emily. Apapun yang kau lakukan, ibu pasti akan tetap mendukungmu."

Ibu kemudian melangkah pergi dan melanjutkan menyiapkan makan malam. Aku masih terus berpikir soal Edward. Bagaimana kalau aku juga mencintainya dan menerimanya? Bagaimana kalau disaat kita sudah saling serius, tiba-tiba dia malah bersama wanita lain? Atau bagaimana kalau orang tuanya tidak merestui kami? Arrrgghhh!! Pikiran negatif macam apa itu? Aku berusaha memalingkan pikiranku itu.

Tepat didepan meja makan, aku sudah mencium aroma yang sangat lezat. Sup kacang merah! Makanan kesukaanku. Seminggu sekali, ibu selalu menyajikan sup kacang merah buatku. Hari ini terasa indah buatku. Makan malam dimeja makan bersama keluargaku yang lengkap. Bersama ayah. Biasanya, meja makan terasa sepi karena hanya aku dan ibu saja yang duduk disana. Tapi kali ini ada ayah! Ayah yang sangat aku rindukan.

"Emily,besok ayah harus pulang. Kau baik-baik yah sama ibu"

"Terlalu cepat,ayah. Aku masih sangat merindukanmu. Apa tidak bisa ditunda beberapa hari lagi?"

"Tidak bisa,Emily. Ini saja,ayah harus mengatur jadwal yang sangat padat demi ulang tahun ibu."

Mendengar hal itu, raut wajahku berubah kembali menjadi sedih. Tetapi dibalik semua itu ada kesenangan tersendiri juga melihat bagaimana ayahku berusaha untuk membuat ibuku bahagia. Entah ekspresi apa yang aku tunjukkan hingga ayah langsung mengetahui apa yang ada dipikiranku.

"Tidak perlu sedih seperti itu, Emily. Ini sudah biasa kan? Minggu depan ayah pasti pulang lagi kok"

Selepas makan malam, aku kembali masuk ke kamarku. Kuambil buku mungilku beserta pulpen yang terjepit diatasnya

"Cinta pada pandangan pertama
Melihat sekilas dan jatuh cinta?
Aku hampir tidak mempercayai itu
Tapi kali ini semua terasa nyata bagiku
Dia mengenalku tanpa mengenal kekuranganku
Mendekatkan diri padaku
Membuatku merasa nyaman
Tenang dan bahagia
Apakah ini cinta yang kucari?"

Tidak lama, ponselku berdering. Aku memang buta, tapi tidak lambat dalam teknologi. Aku bisa mengangkat telepon yang berbunyi. Entah siapa itu, aku harus mendengarkan suaranya terlebih dahulu.

"Halo?"

"Hey, Emily. Ini Edward."

"Oh,Edward. Senang mendengar suaramu."

"Besok kau sudah ada janji? Aku ingin mengenalkanmu pada keluargaku."

"Hah? Secepat itu?"

"Kau pikir apa? Aku hanya ingin mengenalkanmu sebagai teman."

"Hmm.. Baiklah. Kau tinggal menjemputku di butik. Ngomong-ngomong, kau mendapat nomorku dari mana?"

"Aku memintanya pada ibumu dan dia tidak keberatan memberikannya padaku."

"Oh,baiklah. Sampai ketemu."

Aku menutup kembali ponselku dan sedikit berpikir. Mungkin ada baiknya kalau Edward memperkenalkanku pada orang tuanya lebih awal. Jadi, aku bisa mengetahui apakah orang tuanya menyukaiku atau tidak. Tidak semua orang seperti Edward yang bersedia menerimaku apa adanya dan melihat kekuranganku sebagai sebuah kelebihan.

Let me to be your eyes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang