Zayn terlihat sedang sibuk mencari sesuatu ditumpukan buku-bukunya. Entah apa yang dicari oleh Zayn, terlihat jelas di air mukanya jika benda itu adalah benda yang penting.
"Ouch" ucap Zayn sambil mengelus-ngelus kepalanya yang terbentur benda keras. Dia dapat menebak benda itu adalah bola basket.
Tidak jauh dari tempat duduknya terdengar suara tawa perempuan yang merasa puas dengan lemparannya yang pas mengenai sasaran. Zayn bangkit dan mengambil napas panjang lalu membuangnya perlahan, "Apa kau pikir yang barusan itu tidak sakit ?" katanya sambil kedua matanya melototi gadis di depannya.
Karena merasa terancam gadis itu berlari sekencang mungkin keluar dari rumah sahabatnya itu, tetapi selangkah sebelum melewati pintu besar rumah itu dia merasa baju kaos putihnya tertarik ke belakang. Dengan spontan dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ampuuuunnnn...." kata Nina dengan suara gemetar karena menahan tawanya, "Aku tidak akan melepaskanmu" bisik Zayn lalu menarik Nina ke halaman depan rumahnya.
Setelah sampai dihalaman rumahnya tepat di bawah pohon yang lumayan besar, Zayn memang memilih tempat itu agar sahabat kesayangannya itu tidak kepanasan dengan terik matahari disiang itu. Zayn menghadapkan wajahnya dengan Nina, sedang Nina hanya diam dan terus menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ada apa denganmu ? baru semenit yang lalu kau tertawa terbahak-bahak saat lemparanmu pas mengenai kepalaku tapi sekarang kau ketakutan seperti tikus yang ingin dimangsa oleh kucing" Kata Zayn dengan nada meremehkan tapi tidak halnya dengan raut wajahnya yang tak tahan ingin tertawa. Karena melihat Nina yang tak bereaksi sedikitpun, Zayn lalu mengancamnya jika Nina tak melepaskan kedua tangannya dia akan mengempeskan bola basket Nina yang berada di dalam kamarnya. Spontan Nina membuka tangannya lalu memohon agar Zayn tidak melakukannya.
"I'm sorry Zayn, aku berani bersumpah wajahmu terlihat sangat jelek saat serius makanya untuk mencairkan suasana aku melemparmu bola" kata Nina memelas.
Perkataan Nina barusan sontak mengingatkan Zayn dengan surat kiriman ayahnya yang hilang entah kemana.
"Shit !! aku harus mencari surat kiriman ayahku. aku harus masuk dulu kau pergilah duluan ke lapangan ! aku akan nyusul kesana" ucap Zayn, belum sempat Nina menanggapi perkataan Zayn barusan, lelaki bertubuh tinggi itu berlari kecil menjauhi Nina.
Ayah Zayn adalah anggota militer yang ditugaskan entah kemana. Ayahnya dipindah tugaskan sejak tiga tahun lalu dan harus berpisah dengan Zayn dan juga ibunya tetapi ayahnya rutin mengirimkannya surat dua bulan sekali. Surat terakhir yang dikirimkan ayahnya hilang dan Zayn belum sempat membacanya.
"Surat ini yang kau maksud ?" Tanya Nina lalu mendekat ke arah Zayn. Zayn meraih seracik kertas yang digenggam Nina lalu tersenyum riang, "Dari mana kau mendapatkannya ?" tanya Zayn dengan tatapan manis ke arah Nina, Nina membalas tatapan Zayn dengan tatapan bingung "Bukannya kemarin kau yang menyuruhku memasukkannya ke dalam tasku ? memangnya umurmu berapa ? Why are you so easier to forget something ?" suara Nina meningkat satu oktaf. Bukannya langsung menjawab pertanyaan gadis berambut sebahu itu dia malah menarik tubuh Nina mendekat dan memeluknya
"Seventeen years old madam ! Kenapa kau bertanya sesuatu hal yang jawabannya kau sudah tahu ?" "Hanya memastikan saja" senyum Nina melebar lalu membalas pelukan sahabatnya itu.
Entah sejak kapan jantung Zayn berdegup sangat cepat ketika sedekat ini dengan Nina. Dia berharap Nina tidak mengetahui perbedaan suara detak jantung milik Zayn dengan miliknya karena Zayn bisa mati berdiri jika Nina mengetahui ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Would
FanfictionZayn dan Nina adalah dua sahabat aneh asal Irlandia. Sebagai sahabat Nina selalu berbagi cerita kepada Zayn, begitupun dengan Zayn. Namun, ada rahasia kecil Zayn yang tak diketauhi Nina. Sampai pada saat Nina pindah ke London Zayn tak pernah memberi...