**Duduk dengan kopi hitam, rambut hitam legam, tatapan gelap, bibir kehitam-hitaman, dan rokok yang berasap abu. Laki-laki yang duduk sendiri, menatap ke jalanan yang tidak pernah sepi. Aku memperhatikannya dari jauh. Selama 21 hari dia melakukan rutinitas yang sama, datang jam 12 siang, membeli kopi hitam, duduk di kursi luar lalu menghidupkan rokoknya. Pada jam 1 siang dia akan beranjak lalu meninggalkan toko kopi ini.
Selama 21 hari itu juga, aku duduk sendiri dengan laptopku, menatapnya dari jauh, mempelajari kebiasaannya. Dia akan menghabiskan sebatang rokoknya setelah habis dia akan tersenyum sekilas lalu menghabiskan kopi hitam tanpa gulanya dengan cepat lalu pergi dari toko kopi ini. 21 hari aku mempelajarinya, mempertanyakaan kebiasaanya.
Hari ke-22 aku datang kembali ke toko kopi itu, aku menemukannya duduk di kursinya seperti biasa, dengan sebatang rokok ditangannya dan secangkir kopi di mejanya. Aku menatapnya lalu dia menoleh dan melihatku yang sedang menatapnya, pandangan kami terputus setelah dia yang memutuskannya. Aku memutuskan duduk di kursi yang selalu aku duduki saat di toko kopi ini. Aku membaca menu sekilas, aku akan selalu memesan teh hangat di toko kopi. Aku mengadahkan kepalaku dan aku melihatnya melakukan kegiatan tidak seperi biasanya. Baru pukul 12 dan dia sudah mematikan rokoknya lalu mengangkat cangkir kopi yang ada di mejanya. Dia berjanjak masuk ke dalam lalu manaruh cangkir kopinya di mejaku. Dia duduk sambill menatapku.
"Sudah 22 hari saya melihat kamu ngeliatin saya." Ujarnya tenang. Aku menundukkan kepala, merasa bersalah.
"Kenapa kamu ngeliatin saya?" Tanyanya, aku membuka mulutku berusaha berbicara namun aku enggan melakukannya. Aku kembali menutup mulutku.
"Kenapa kamu gak jawab saya?!" Suaranya sedikit meninggi membuatku mengeratkan pegangan tanganku kepada tas yang aku aku bawa.
"Kenapa?!" Serunya kasar membuatku langsung berdiri lalu pergi dari toko kopi itu dengan terburu-buru. Jantungku terasa memburu, aku sudah lama tidak di bentak, sudah lama tidak diperlakukan sekasar itu.
Hari ke-23 aku mendapatinya sedang duduk di luar dengan mata terpejam dan tangan yang memegang rokok. Seperti biasa aku duduk di kursi kesayanganku, hari itu aku memainkan telepon genggamku sambil sesekali memandangnya. Aku memesan teh hangat yang aku minum secara perlahan. Aku melihat dia mematikan rokoknya lalu berjalan masuk ke dalam dengan cangkir kopi di tangannya dan duduk di kursi depanku. Hari ini dia tersenyum, tidak seperti kemarin.
"Maafkan sikapku kemaren." Ujarnya dengan rasa bersalah, aku membalasnya dengan anggukan dan senyum tipis.
"Hm.. mungkin hari ini saya bisa traktir kamu buat permintaan maaf." Dia sedikit bimbang dengan penggalan kalimat yang dia ucapkan, aku mengangguk dengan senyum yang lebar.
**
Hari ke-30, perempuan itu tidak pernah mengucapkan sepatah kata apa pun hanya anggukkan atau gelengan. Menjadi kebiasaan baru laki-laki itu untuk bercerita dengannya, perempuan dengan 1001 ekpresi, namun 0 kata. Perempuan yang bisa menjadi pendengar yang baik, menjadi teman yang baik.
"Hari ini, saya ingin jujur," Sepenggal kalimat yang terasa menggantung diucapkan oleh laki-laki itu, perempuan mengangguk semangat dengan senyum.
"Mungkin kamu penasaran kenapa saya selama 21 hari mengalakuin hal itu," Dia mengangguk semangat, namun senyumnya sedikit memudar.
"Karena saya denger butuh 21 hari untuk membentuk kebiasaan, dan saya lagi mencoba membentuk kebiasaan agar bisa terlepas dari kebiasaan sebelumnya." Laki-laki mengutarakan kalimatnya dengan sendu, perempuan itu tersenyum lemah sambil mengerutkan dahinya tipis.
"Ada seseorang yang selalu datang jam 12 membawakan saya makan siang, menemani saya hingga jam 1, tetapi sekarang orang itu sudah pergi dan hal itu masih terasa seperti kebiasaan bagi saya." Senyum laki-laki itu menyertai kalimat yang sangat dalam baginya.
"Saya gak tau cara melupakan kebiasaan, setidaknya saya bisa membuat kebiasaan baru sambil melupakannya." Perempuan itu tersenyum lemah lalu menepuk bahu laki-laki itu pelan, hanya dengan tepukan hangat perempuan itu, laki-laki itu sudah merasa lebih baik.
Hari ke-35, mereka berdua duduk dengan diam, hening menyelimuti suasana. Hari itu , hujan rintik-rintik menjadi teman hari. Teh hangat milik perempuan itu terasa sangat menggoda dicicipi saat dingin menyelimuti. Senyum perempuan itu terlihat sangat lebar hari itu, dan tangan perempuan itu memainkan ujung roknya.
"Kenapa kamu tidak pernah bicara dengan saya?" Tanya laki-laki itu, laki-laki itu mulai penasaran dengan perempuan yang satu ini.
"karena saya su-lit bi-cara ba-" Perempuan itu berbicara dengan logat yang aneh, namun sebelum perempua itu selesai berbicara laki-laki itu memutuskan kalimatnya.
"Oh kamu orang luar negeri, ya? Jadi susah ngomong bahasa." Kalimat itu terdengar riang ditelinga perempuan itu, perempuan itu mengangguk dengan senyum yang berbeda. Tentu saja laki-laki itu mengatakan perempuan itu orang luar negeri, perempuan itu memiliki rambut coklat muda, mata biru gelap, dan kulit putih kemerahan.
Setelah itu, laki-laki itu bercerita tentang bagaimana harinya berjalan, laki-laki bercerita dengan semangat karena dia merasa dihargai oleh seseorang.
Perempuan itu berdiri lalu tanpa sengaja seseorang menabraknya. Baju perempuan itu basah dengan kopi yang panas. Laki-laki itu langsung berdiri lalu mengelap baju perempuan itu dengan sapu tangannya, wajah perempuan itu terlihat kesakitan tetapi yang terdengar hanya geraman pelan.
"Kamu gak apa-apa?" Tanya laki-laki itu dengan khawatir.
Perempuan itu tersenyum lalu mengangguk, perempuan itu menggigit bibirnya sambil menahan rasa sakit.
"Kamu kalo sakit bilang aja! I can speak English!" Serunya pada perempuan itu dengan kasar, laki-laki itu benci melihat perempuan itu tersiksa tetapi berlagak baik-baik saja.
"Please say something, I'm afraid!" Seru laki-laki itu lebih kasar, perempuan itu takut, dia selalu takut saat seseorang membentaknya. Tangannya gemetar tiba-tiba saja, jantungnya merasa tertekan sambil memutar kembali masa lalu kelamnya. Saat ayahnya membentaknya dan memukulnya dengan kasar. Tubuhnya serasa menegang dan bergetar hebat, matanya diselimuti oleh ketakutan.
Perempuan itu membuka telepon genggam lalu berusaha mengetik dengan tangan gemetarnya lalu menunjukkan kalimat yang dia ketik.
"Saya gagu, tidak bisakah kamu menebak itu dari awal?"
Laki-laki itu tercenang, seluruh tubuhnya kaget, kalimat itu menjelaskan semua hal yang dipertanyakan oleh laki-laki itu. Laki-laki itu menatap perempuan itu, mata perempuan itu berkaca-kaca dan tubuhnya bergetar. Lalu perempuan itu pergi meninggalkan laki-laki itu sendiri, perempuan itu ingin kabur tak peduli dengan semua yang ia tinggalkan.
Hari ke-66, laki-laki itu duduk sendiri. Rokok ditangannya, dan secangkir kopi hitam. Laki-laki itu menoleh dengan harapan perempuan itu kembali, namun setelah hari ke-35 perempuan itu menghilang dan belum kembali.
Laki-laki itu selalu menunggunya, setiap hari, berharap setiap saat. Laki-laki itu hanya ingin bertemu dengan perempuan itu, terserah dia ingin menghilang lagi atau tidak, yang laki-laki itu inginkan hanya bertemu lalu mengakhirinya dengan baik dan dengan kalimat selamat tinggal. Selama berhari-hari menunggu dan berharap menjadi kebiasaan barunya.
Hari ke-121, laki-laki itu menemukan perempuan itu duduk sendiri dengan teh hangat dimeja, dengan senyum lebar laki-laki itu mendatanginya dengan tergesa-gesa.
"Akhirnya saya menemukanmu," Ujar laki-laki itu. Perempuan itu menganggguk.
"Maafkan saya, lebih baik saya traktir kamu sebagai kata permintaan maaf." Perempuan itu mengeleng pelan sambil melihatnya dengan dalam, seulas senyum tipis dibibir perempuan itu tidak cukup menjelaskan. Jawaban yang diberikan oleh perempuan itu membuat senyum lebar penuh semangat laki-laki itu memudar.
Perempuan itu berdiri lalu mengetik di telepon genggamnya,
"Selamat tinggal,"
Lalu perempuan itu meninggakan laki-laki itu sendiri, hening tanpa suara.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepenggal Kata Tak Bersuara
Short StorySaat mereka bertemu Tanpa arti Tanpa makna Tetapi tetap dipertemukan Lalu dia mengerti