Prolog

8.4K 396 29
                                    

A L O N D R A

KRAKK

Kayu itu mengenai lenganku seiring dengan tubuhku yang terjatuh ke lantai. Dari pukulan pertama hingga yang ke delapan puluh tubuhku masih tidak terhuyung karna pukulan-pukulan itu, namun mulai di hitungan ke delapan puluh satu, kurasa akhirnya tubuhku menyerah.

"get up!" ujar pria yang sejak satu jam yang lalu menjadi agen yang mengujiku.

Nyeri yang menjalar membuatku meringis. Tentu saja aku tidak akan menampakkan hal ini padanya. Perlahan aku memaksa diriku kembali berdiri menghadap sosok laki-laki dengan perawakan tinggi dan kumis bak Hitler.

Well, mari lihat apa yang kita punya.

Berumur sekitar 44 – 50 tahun yang ku ketahui dari uban yang mulai muncul di beberapa bagian rambutnya, dengan pistol laras pendek Barreta 92 di pinggang kanannya, seorang polisi yang paling tidak sudah naik jabatan 5 kali dari caranya menembak dan mengayunkan tongkat. Potongan rambut rapi yang mungkin baru di potong beberapa hari yang lalu, jejak bekas sandaran benda tumpul di batang hidung yang kemungkinan adalah kacamata, mungkin ia seorang trainer dari ketegasannya atau seorang tangan kanan kepercayaan. Telah menikah dan hidup dengan keluarga bahagia. Pekerjaannya sering kali membuatnya stres dilihat dari kantung mata yang ia miliki ditambah kerutan di dahinya.

Interesting.

"sebentar lagi umurmu akan genap 18 tahun, Alondra." ujarnya. Ia kembali mengayunkan tongkat kayu yang ia ambil dari tumpukan kayu yang ada di sudut ruangan. Kayu yang disiapkan khusus untuk pengujian ketahanan tubuh terhadap pukulan.

KRAKKK

Sial, tepat di tulang bahu kanan. Membuatku hilang keseimbangan dan terjatuh beberapa meter di depannya.

Tapi tidak cukup kuat untuk membuatku kehilangan kesadaran seperti beberapa temanku yang gagal dalam tes ini pada pukulan ke enam puluh.

"get up!" perintahnya entah untuk keberapa kali. Aku sudah berhenti menghitung saat kusadari sebentar lagi aku akan meninggalkan tempat ini, tempat yang selama lima belas tahun lamanya menjadi rumah bagiku.

Atau lebih tepatnya... penjara. 

Satu hal lagi yang aku sadari dari agen ini adalah ia memiliki suara bariton khas yang dimiliki perokok. Kecanduan? Mungkin. Apakah bisa berhenti? Of course. Ia tipe laki-laki yang akan melakukan apa saja demi keluarganya.

Untuk kesekian kalinya aku memaksakan diriku berdiri. "mungkin sudah saatnya kau mempertimbangkan cuti dan berlibur bersama keluargamu, Agen Robertson." 

Agen itu memiringkan kepalanya, tampak bingung.

"aku tahu kau adalah profiler yang handal, tapi bagaimana kau bisa tahu namaku?" tanya agen Robertson. Terlihat jelas dari bahasa tubuhnya bahwa ia tidak siap dengan apa tindakan yang aku ambil selanjutnya.

"dari name-tag mu."

"oh," pria itu mengedikkan bahu, berusaha bersikap setenang mungkin.

Yeah, itulah masalah yang dihadapi orang-orang dengan kecerdasan tinggi dan umur yang tidak lagi muda, mereka mudah lupa akan detail kecil yang penting. Mereka sudah lupa bagaimana berpikir dengan simpel.

"kau akan hidup di luar sana,"

"i know."

"tentu kau harus bersiap-siap." ujarnya sambil kembali mengayunkan kayu yang mengenai punggungku. 

BRUKK

"ouch." erangan kecil terselip keluar dari mulutku. 

"that was the 101st hit, pretty impressive. Trainee lain bahkan tidak sanggup menembus angka 60," agen Robertson membantuku berdiri, kemudian melanjutkan, "jadi karna kau sudah lulus dari ujian ini, sekarang pergilah ke dorm mu dan bersiap-siap lah. Kau akan keluar dari sini dalam seminggu." 

    ▽△▽△▽ 

Aku telah berada disini sejak aku masih balita. Mereka, para agen berbadan tegap berseragam coklat muda itu melatihku dan mengajarkanku semuanya. Membuatku tahu semuanya, kecuali tentang perasaan.

I'm emotionless.

Well, menurut salah satu sumber informasi terpercayaku, diantara ratusan Trainee yang ada di sini hanya akulah yang mengindap emotionless sydrome. Jika seseorang bertanya padaku apakah aku ingin bisa merasakan apa yang orang lain rasakan, maka jawabannya adalah YA. Informanku bilang sydrome ini dapat disembuhkan namun dengan terapi jangka panjang. 

Masalahnya aku tidak memiliki uang.

Dan jika mereka menawarkanku terapi untuk sydrome ini, berarti aku harus mendekam disini lebih lama. Guys, i want to get out from this boring place. 

Pada akhirnya, mereka melakukan penelitian panjang yang berujung pada reaksi jika seorang emotionless menjalankan kehidupan di dunia luar. Ya, maksudku tentang dunia luar adalah dunia di atas tanah.

Jika kalian kira tempatku berada saat ini ada di permukaan bumi alias di daratan, kalian salah. Tempat ini berada jauh dibawah tanah. Mereka membangun fasilitas canggih di bawah benua Amerika untuk menutup kecurigaan dari media media yang haus akan informasi. Lima belas tahun berada di bawah tanah, aku masih bisa merasakan bagaimana hangatnya matahari, dan dinginnya salju serta menusuknya hujan. Tentu saja dengan alat yang mereka ciptakan untuk meniru hal-hal itu.

Like i said, boring.

Aku berbicara, makan, tidur, memainkan alat musik sama seperti manusia pada umumnya. Bedanya saat aku menangis, tertawa, berteriak, itu semua bukan karna perasaan yang aku rasakan. Itu semua murni perintah dari otakku untuk mendukung karakter yang aku mainkan selama aku hidup. Aku tidaklah lebih dari sekedar mainan atau robot bernyawa bagi mereka. Don't get me wrong, aku juga mendapatkan pendidikan seperti remaja lainnya. Dengan nilai kelulusan sempurna, masuk ke sebuah universitas bukan hal yang sulit. Namun itu bukan lah hal yang aku inginkan. 

Aku ingin menemukan kedua orang tuaku. Apakah aku memiliki saudara? Apakah aku memiliki seseorang yang menyayangiku? Bagaimanakah masa laluku? Apa yang terjadi hingga aku bisa berakhir di tempat ini?

Kurasa setelah keluar dari tempat ini, bertemu dengan orang tuaku akan menjadi prioritasku yang tertinggi.

EMOTIONLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang