I wanna be like a skyscraper

74 1 0
                                    

Langit menghitam tampak menggantung dengan gagahnya di atas sana. Tetes-tetes air tampak masih berjatuhan dengan seirama, meskipun tak menciptakan aliran yang deras. Namun tetap meninggalkan jejak-jejak sang air langit di atas tanah. Bahkan terkadang menimbulkan genangan yang dapat mengganggu kenyamanan para pengguna jalan yang hendak melaluinya. Sekalipun mereka menggunakan mobil. Mobil mereka yang semula mengkilat berubah kusam akibat terkena genangan air kotor itu.

Sebuah Role Roys sport silver melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan Washington Dc dengan begitu percaya diri. Si pengemudi sama sekali tidak menghiraukan genangan-genangan yang sukses membuat penampilan mobilnya jauh dari kata baik dan bersih. Ia terus memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi seolah takut akan kehilangan nyawanya jika ia mengurangi kekuatannya dalam menekan pedal gas.

Damian Luke Anderson, pria pertengahan dua puluhan itu sama sekali tak mempedulikan suara klakson yang saling bersahutan di sekelilingnya, memprotes cara berkendaranya yang sama sekali jauh dari kata aman. Tentu saja. Dengan kelakuannya itu, ia dapat membuat nyawa orang melayang begitu saja. Namun ia tak peduli. Yang ia pikirkan hanyalah satu. Sampai di tempat tujuannya dalam waktu secepat mungkin. Ia tak punya banyak waktu untuk berkeliling dan menikmati jalanan ibukota yang begitu padat. . Ia harus segera kembali untuk memimpin meeting penting di perusahaannya. 'Anderson Corporation'

***

Direktur muda itu tampak acuh dengan segala bentuk kotoran yang tak sengaja menempel di cashing mobil mahalnya. Entah karena klien bisnis yang hendak membeli saham perusahaannya dengan harga setinggi langit, atau klien lain yang berusaha membangun kerja sama dengan perusahaannya demi merauk keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan yang dikelolanya. Namun sayangnya hal semacam itu bukanlah menjadi alasannya kali ini. 

Pria itu kembali menghembuskan napas panjang. Ini adalah kesekian kalinya otaknya memutar memori itu, memori indah dalam hidupnya, yang kemudian menimbulkan senyum yang tersamar di bibir maskulinnya.

Damian mengurangi kecepatan mobilnya begitu berbelok di sudut jalan kota Washington, menuju sebuah jalan yang tidak bisa dibilang asing baginya. Sebuah jalan yang seringkali ia dan teman-teman terbaiknya lewati. Dulu. Ya, beberapa tahun yang lalu. Senyum kembali merekah di bibirnya. Namun bukan jalan itu inti dari tujuannya kali ini. Melainkan sebuah kafe sederhana yang berada tepat di seberang jalan itu. 

Setelah memarkirkan mobil mewahnya, dan memastikan bahwa mobilnya akan aman, pria berjas gelap itu turun dan melangkah menuju pelataran kafe. Sebelumnya ia melirik sekilas pada jam rolex hitam yang melingkar sempurna di pergelangan tangan kanannya. Terlambat lima belas menit. Ia mendengus. Namun ia meneruskan langkahnya dan tiba di trotoar depannya. Sepasang manik kebiruannya seolah menyiratkan sebuah rindu. Ya-sebuah rindulah yang membawa pria itu sampai ke tempat ini. Sekaligus menjadi dasar-alasan mengapa ia rela mengorbankan waktu mahalnya untuk sekedar pergi ke tempat semacam ini, dan tidak peduli pada mobil mahalnya yang kotor akibat genangan-genangan lumpur yang dilewatinya tadi. 

Dengan sedikit memicingkan mata, pria berambut blonde itu melirik ke dalam kafe, iris biru cemerlangnya bergerak kesana kemari seolah mencari sesuatu. Seseorang, tepatnya. Seorang wanita. Tidak butuh waktu lama, ia dapat menemukan orang yang dicarinya tengah memandang ke luar jendela di sampingnya. Dagunya bertumpu pada sebelah tangannya. Sepertinya wanita itu tak menyadari keberadaannya. Pria itu menyeringai, lantas dengan langkah mantap ia menghampiri wanita itu.

***

Jeane Saffana Rosewood berkali-kali melirik arloji ungu yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit, yang artinya 'orang itu' telah terlambat lima belas menit dari jam yang seharusnya. 

Mendesah, wanita itu kembali melempar pandangan keluar jendela. Sudut matanya menangkap objek yang digemarinya sejak dulu. Embun. Hujan sudah mereda, menyisakan titik-titik air yang menempel pada kaca-kaca jendela. Pasti di luar dingin sekali, pikirnya. Untungnya temperatur di ruangan itu cukup hangat untuk membuat dirinya merasa nyaman. 

I wanna be like a skyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang