I : Pada Suatu Masa Semua Berawal Di Satu Senja

337 18 20
                                    

Mahameru berkali-kali melihat arlojinya yang sekarang menunjukan angka 16.30, untuk kesekian kali dia terlambat datang untuk menemui seorang klien. Bulan ini sudah tiga orang klien yang dibuatnya menunggu meski pada akhirnya dengan keterampilan berbicara layaknya seorang motivator ulung berhasil merayu sang klien tetap menggunakan jasa Wedding Organizer-nya.

"Iya iya sebentar lagi aku nyampe, kamu jelasin dulu deh paket-paketnya sama klien," nadanya mulai ketus mendapat telepon yang ke lima dari sekretarisnya, "masa gini aja kamu gak bisa handle sebentar aja sih, lima menit lagi aku sampe kok."

"Hei dari tadi kamu tuh lima menit mulu jawabannya, kenapa sih setiap ada ketemu sama klien kamu sering telat, niat kerja gak sih," bukannya sebuah kepatuhan malah repetan emosi yang terluncur dari seberang telepon dan langsung memutuskan.

Siapa bosnya sih Eru menggerutu sendiri sembari menyumpahi dua orang pengendara mobil yang tak ingin menggerakkan kendaraannya barang satu centi dan lebih memilih adu mulut hanya karna sedikit senggolan, membuat jalan semakin macet parah. Di tambah hujan sore hari yang mengguyur sangat deras, heran bisa-bisanya dua orang itu bertengkar di tengah hujan. Repetan klakson dari berbagai macam kendaraan yang merasa terganggu tak dipedulikan, bahkan petir yang menggelegar-gelegar sekalipun.

Setengah jam setelah telepon terakhir si sekretaris, Lelaki dua puluh enam tahun itu barulah sampai pada sebuah cafe coklat, tempat mereka janjian dengan klien. Eru mengibas-ngibaskan rintik air yang sedikit membasahi kemeja merah tuanya dengan garis kantong berwarna abu-abu, sempat kebasahan saat turun dari mobil dan menuju ke cafe.

"Oiii Eru," si sekretaris melambaikan tangannya pada sebuah meja. Di depannya sudah terhampar laptop untuk persentasi, dua cangkir coklat panas dan sebuah tas milik si klien. Eru langsung menghampirinya, tak lupa tersenyum sebagai tanda maaf.

"Kemana klien kita?" tanya Eru merebahkan bokongnya di kursi, lalu menjentikan jari ke pelayan cafe untuk segera memesan.

"Wece," jawab si sekretaris ketus sepaket dengan lirikan tajam dibalik kacamata kotak tipis.

"Hei udah dateng rupanya yang ditunggu," suara lembut seorang wanita mengalun tepat dari arah belakang Eru. Yang membuat si lelaki langsung memutar tubuhnya 180 derajat. Dan disaat itulah kedua mata mereka bertemu, beberapa detik terjadi keheningan, coba mengais kepingan-kepingan memori bertahun-tahun yang lalu.

"Eru?"

"Kiki?"

*****

Kirana gadis enam belas tahun berada diantara dataran yang kini sedang diguyuri hujan dengan sangat kasarnya, memandangi rintikan air dari balik kacamata tipisnya. Cuaca yang sempurna untuk menikmati secangkir teh tawar hangat beraroma melati, serta selembar roti berselai arbei dengan ditaburi irisan kacang.

Kenyamanannya sedikit terganggu saat kilatan-kilatan putih memperjelas wajah tenangnya. Bukan dari cahaya petir yang mengiringi hujan, melainkan dari sebuah kamera DSLR yang ada di balkon seberang.

Mahameru langsung menyembunyikan kamera miliknya di balik jaket kulit bulu warna coklat terang yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Bersiul-siul jahil melihat jauh ke arah langit, sesekali melirik wajah Kirana yang hanya tersenyum dan bergeleng-geleng melihat tingkah lelaki sebayanya yang gemar berbuat iseng.

Kembali Kirana menatap rintikan hujan dan menikmati hidangan yang terpampang di meja. Sedangkan Eru langsung mengambil Tripod yang bersandar di tembok dan berjalan melangkahi tembok pembatas antara balkon rumah mereka. Menarik satu kursi yang ada di hadapan Kirana, merentangkan kaki tripod tepat di depan si wanita dan memasang cameranya di tripod tersebut.

SiluetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang