Pulang

3 0 0
                                    

NARA

Dingin.
Aku memutar tubuhku menghadap jendela. Lagi, berkat dari tuhan itu turun, membuat basah. Setetes, dua tetes, lalu menderas. Iramanya perlahan konstan. Bisa kulihat dari jendela ruang kerjaku ini pejalan kaki berlarian, berebut meneduh. Satu-dua berwajah kesal karena bajunya kotor terciprat mobil yang seenaknya ngebut di kubangan. Dan di ujung sana, di halte, dua muda mudi berseragam SMA saling merapatkan diri. Si lelaki memakaikan jaketnya pada yang perempuan, setengah memeluk. Binar bahagia terlihat di wajah mereka.

Sembari membenarkan posisi duduk di kursi kantor ini Aku menghela nafas. Dua muda mudi itu masih disana, terlihat hangat diantara bulir-bulir air yang dingin. Ah, hujan dan romansanya. Sejenak, wajah mungil beralis tipis itu kembali memenuhi pikiranku.

Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku se-romantis itu dengannya.

Kututup laptopku setelah mengecilkan temperatur AC ruang kerjaku. Cukup sudah pekerjaanku hari ini. Dasiku kucopot dan aku bersandar sambil meregangkan otot. Akhir-akhir ini, aku berusaha untuk tidak lembur lagi. Lagipula, terlalu banyak bekerja itu tidak sehat.

Aku tersenyum pahit, mengingat siapa yang selalu mengatakan itu. Mungkin dia sudah bosan mengatakannya sekarang. Tapi, kalau boleh jujur, aku tidak pernah bosan mendengar semua omelannya, aku justru... rindu.

Aku meraih ponselku, menimang-nimang. Aku tahu, kali ini aku tidak akan ragu, karena sungguh... dua minggu membuatku tersiksa tanpa mendengar suaranya.

-

"Ya, Halo. Kenapa?"

Teleponku diangkat pada nada sambung ketiga. Aku memejamkan mata, merekam suara merdu itu baik-baik.

Aku menahan nafas. "Kamu... Apa kabar, Sya?" Sesak. Rindu ini membuatku sesak.

Kudengar kekehan sinis di seberang sana. Aku tahu, pertanyaanku malah membuat kami semakin sesak. Kabar, biasa ditanyakan kepada seseorang yang lama tidak berjumpa bukan? Sayangnya, seseorang itu adalah isteriku sendiri.

Aku menghela nafas. "Kangen, Sya"

Tidak ada jawaban.

"Maaf" ujarku lagi. Hanya helaan nafas yang terdengar. Masih tidak ada jawaban. Aku tidak tahu sampai kapan kita harus seperti ini. Aku hanya ingin keadaan menjadi baik-baik saja seperti sedia kala.

Akhirnya beberapa saat kemudian, ia bersuara dan aku tidak pernah merasa selega ini. Bukan, bukan karena aku sudah mengatakan betapa aku merindukannya, tapi karena yang kudengar adalah,

"Besok pesawatku jam 9, terserah mau jemput apa enggak"

Aku tidak bisa menahan tawa senangku.

Tentu saja aku akan menjemputnya. Dan setelah itu, saatnya merajut kembali benang-benang cerita kami.

-

Bahkan aku sudah tiba dua jam sebelumnya di bandara. Aku sengaja tidak masuk kantor hari ini untuk menjemputku isteriku. Entahlah, biasanya aku paling anti sama yang namanya "bolos" kerja. Tapi kini... aku benar-benar tidak sabar bertemu dengannya. 

Kulirik pergelangan tanganku, jam 8. Masih satu jam lagi.

Aku gelisah menatap layar besar, berulang kali membaca jadwal kedatangan dari Stockholm. Kali ini, negeri asal merek perabot rumah tangga terkenal yang ia kunjungi.

Rasya, isteriku, seorang wanita cantik berparas anggun dan lembut. Tidak akan ada yang menyangka bahwa dalam dirinya, dia punya semangat tinggi untuk bisa keliling dunia, menapaki kakinya di daratan yang bermacam-macam. Dan dia menggunakan uangnya sendiri, hasil dari butik pakaian miliknya yang sukses. Ia tidak pernah memakai uang yang kutransfer padanya setiap bulan untuk kepentingannya sendiri.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 20, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SenadaWhere stories live. Discover now