Bab 1

186 14 6
                                    


Cafe dipilih jadi tempat mengobrol dan berbincang karena kenyamanannya. Tapi siang itu, seluruh pengunjung menyesal telah memesan meja; suara-suara pertengkaran menganggu saraf pendengaran mereka, nyaris satu jam dua pemuda yang duduk di pojok itu saling tarik urat saat berteriak dan mengumpat, sama sekali tak memusingkan teguran para pelayan dan dengusan pengunjung yang risih musik santai di cafe dikalahkan suara debat mereka.

"Maumu apa sekarang, Kris?!" Si pelaku kebisingan itu melompat dari kursi, raut wajahnya menggambarkan murka yang sanggup membanting meja, tapi ia menahan diri, berusaha rasional di depan temannya yang terkekeh dari seberang.

"Tenanglah, Baekhyun..." Kris menautkan kesepuluh jarinya, menekan sikunya di permukaan meja saat mendongak, menertawakan Baekhyun yang terengah-engah marah. "Cukup tidak memberitahu siapapun. Dan jangan terlalu mengkhawatirkanku. Cuma itu yang kuperlukan darimu."

"Kau bisa mati sewaktu-waktu! Jangan bersikap enteng soal jantung sialanmu itu!"

"Aku memberitahumu bukan untuk dimarahi. Karena kau sahabatku, seharusnya kau mengerti pilihanku. Kau sudah tahu sakitku tidak bisa sembuh. Jika kau membebaniku dengan aturan-aturan seperti ayahku, aku rasanya... ingin mati saja." Seringainya getir.

Bahu Baekhyun merosot, tubuhnya kembali jatuh di kursi. "Jadi apa rencanamu?" tanyanya. "Kau sengaja bertengkar dengan ayahmu agar kau diusir kan? Buat apa membikin kekacauan? Kalau sudah begini, kau mau tinggal di mana?"

Disemprot begitu Kris justru cengengesan. "Hidupku tidak bisa diselamatkan... itu buang-buang tenaga. Yang aku perlukan sekarang cuma mati dengan tenang, jauh dari bau rumah sakit manapun." Kris mengulum senyum, bukan senyum bengalnya tadi, melainkan senyum miris; upaya menerima masa depannya yang sudah sirna.

"Kau menyerah," tukas Baekhyun dingin. "Kematian bisa kau hindari, dengan berobat setidaknya umurmu bertambah sedikit. Jika kau ingin mati dengan tenang, sini biar aku yang bunuh."

"Baek, manusia juga pasti akan mati, tanpa direncanakan, tanpa diketahui, tiba-tiba bulan depan mereka meninggal, atau besok, atau nanti malam, kita tidak pernah tahu. Dan aku ingin mati yang seperti itu, yang mendadak dan tak direncanakan apalagi ditunggu-tunggu. Biarkan aku lupa takdir itu, biar aku hidup normal sebentar saja."

"Tapi setidaknya,"–Baekhyun bangkit berdiri, menggebrak meja dan mata sipitnya menyorot tajam ke mata Kris yang melebar lugu. "Mendapat perawatan intensif sangat penting. Kau akan membuat aku dan ayahmu menyesal karena tidak melakukan apa-apa. Tidak peduli umurmu hanya bertambah sehari, setidaknya itu sangat berarti untuk kami."

"Aku bawa obat selama perjalanan ke sana. Santai saja, itu kan cuma Daegu, bukan luar negeri."

"Lebih banyak tenaga ahli di sini, di Seoul. Buat apa kau memilih pengobatan alternatif di Daegu? Aku tidak paham jalan pikiranmu. Apa karena dukun di sana cantik-cantik?"

"Tentu bukan," Kris tergelak. "Aku berangkat hari ini. Yah, pamitku memang tidak terlalu menyenangkan, ya? Tapi kuharap kita tetap saling berkomunikasi."

"Aku tidak habis pikir denganmu..." Baekhyun mendengus, kembali duduk dan meneguk kopinya.

Kris ikut meraih gelas air putihnya dan menyeruput, meskipun lidahnya sangat merindukan sentuhan kopi. "Jadi..." Kris berkata setelah gelasnya kosong, ia berdiri. "Aku pergi sekarang. Sampai jumpa."

"Mau ke mana kau?!" sembur Baekhyun, menghentikan gerak Kris yang hampir melangkah ke pintu.

"Ke Daegu," jawabnya polos.

"Biar aku antar." Baekhyun berdiri malas-malasan. Tapi melihat Kris sudah jalan duluan, ia sampai berjingkat mengejar Kris yang tinggi menjulang–lebih tinggi puluhan senti darinya. Para pengunjung cafe serta pelayan diam-diam lega akan kepergian mereka, tapi rupanya dua pengacau itu masih bertahan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Be The HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang