|•MEET HIM•|
Enggar menatap pemandangan di depannya tanpa selera. Lengan bawahnya yang bertautan bertengger di depan dada--menunjukkan rasa bosan sekaligus malas nan kentara. Punggung ia sandarkan ke dinding berlapis keramik pada setengah bagiannya, agak menekuk hingga tatapan pemuda itu sedikit menghunjam ke bawah beberapa derajat.
Apa menariknya, sih, berdesakan hanya untuk melihat hasil ujian?
Cih. Buang-buang tenaga saja. Toh menurut pemikiran Enggar, tidak ada sekolah yang merelakan satu pun muridnya menerima kegagalan ujian. Bahkan seniornya dulu yang terkenal teramat-sangat-bebal dan berotak-kosong lulus sekolah juga meski dengan nilai minim. Jadi, buat apa sibuk menyalip celah sana-sini kalau hasilnya juga sudah pasti; lulus, entah dengan nilai seperti apa.
Cowok itu masih bertahan pada posisinya. Beberapa pasang mata dari kerumunan di dekat papan hasil ujian menatapnya dengan kesan tidak baik; sedikit cemooh, juga gunjingan karena dirinya memisahkan diri dari sana.
"Itu siapa, sih? Sok banget gak ikutan liat pengumuman. Hahaha. Takut dilihatin soalnya nilainya kecil? Atau gimana?"
"Eh, itu si Enggar kan? Yang kata guru-guru insyaf sebelum ujian?"
"Bentar, deh. Denger-denger, ada dua anak yang nggak lulus, loh. Kasian banget."
Bisik-bisik itu merambat masuk ke telinganya, membuat Enggar mendengus. Ia berpaling dari tembok, melangkah menuju salah satu kelas terdekat yang diyakininya sebagai kelas tempat dirinya belajar.
Ketika tubuhnya melenggang masuk ke dalam sana, bisik-bisik itu bertambah banyak. Dan kali ini, diiringi tawa bermacam nada. Beberapa kali terdengar juga jerit bahagia, disusul dengan tepukan tangan meriah--yang menurut Enggar terlalu berlebihan.
Enggar menggerakkan tungkai kaki menuju salah satu bangku, kemudian mendudukkan badannya dengan nyaman. Ditumpuknya kedua lengan bawah di atas meja, lantas menaruh kepalanya di sana. Napas dia embuskan sedemikian panjang, berusaha menikmati ketenangan kelas yang kosong tanpa adanya penghuni lain.
Menit demi menit berlalu. Pemilik rambut hitam kecokelatan itu nyaris saja tertidur kalau salah seorang temannya tidak menapakkan kakinya ke kelas ini dan memanggil namanya dengan nyaring.
"Enggar! Gua nyariin lo ke mana-mana, tau. Udah sepi, tuh, kalo lo mau liat pengumuman. Gua temenin, deh. Ayok!"
Enggar lantas membuka mata, mengedipkannya beberapa kali agar kantuknya hilang, dan membalas dengan nada tak bergairah sama sekali. Diarahkannya pandangan pada jendela yang berhadapan langsung dengan lapangan, lalu bersitatap dengan manik mata si pemanggil namanya.
"Hmm, ya udah. Ayo liat."
Fajri, orang yang memanggilnya tadi, mengangguk mengiyakan. Matanya berbinar dengan janggal saat beberapa detik lalu Enggar menatap matanya. Entah apa, tetapi yang jelas, Enggar berusaha mengabaikannya. Toh, Fajri ketua murid di kelasnya, yang secara tidak langsung, punya imej yang bagus. Jadi menurutnya, menaruh curiga pada cowok berkacamata itu tak akan berguna.
Terik matahari menyambut kulit mereka saat papan pengumuman ada di depan mata. Masih terlihat puluhan pasang kaki berjajar, berdesakan demi melihat hasil Ujian Nasional. Jumlahnya memang sudah berkurang dari kerumunan tadi pagi. Gerombolan itu terpecah di dua bagian, sayangnya Enggar tidak acuh dengan hal itu.
Niatnya cuma satu, melihat namanya terpampang di kertas-kertas yang kini lecek karena penuh bekas tangan siswa-siswi. Artinya, dua kubu yang bergumul itu tak akan membuatnya tertarik untuk mencari tahu barang sedikit saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurir-Kurir Tuhan
Short StoryDevon dan Enggar, dua remaja yang dipertemukan sebagai sahabat sejati. Bagi Enggar, Devon bukanlah hanya sekedar teman dekat. Devon baginya, ialah seorang istimewa dari segelintir manusia di dalam hidupnya. Karena Devon ... penyelamat hidup Enggar d...