Hei, aku Yola Mirella. Lewat ini aku akan bercerita tentangmu, tentang kita. Aku bukanlah puitisi yang pintar berintuisi dan merangkai kata, lewat tulisan ini aku hanya ingin mengabadikanmu dalam ingatanku. Saat aku teringat semua tentangmu aku akan menuliskannya, dan ketika suatu saat nanti aku lupa, tulisan ini lah yang akan kembali mengingatkan kalau kau adalah salah satu bagian terindah dalam hidupku meskipun tak semua cerita berakhir bahagia bukan?.
Bagiku Paris tak seromantis Pare. Bagaimana bisa sebuah kota megah nan indah lagi ternama seperti Paris bisa dibandingkan dengan sebuah kecamatan seperti Pare?. Itulah kenyataannya, nyatanya aku merasakan cinta di kota kecil itu denganmu. Pare mengajarkanku banyak hal, seperti inilah aku sekarang, lebih dewasa dari yang pernah aku pikir sebelumnya.
Stasiun Kediri, tempat pertama kali aku bertemu denganmu. Aku duduk disalah satu kursi yang tersedia disana, Felia - sahabatku- duduk disampingku sibuk dengan ponselnya. Kami sedang menunggu orang yang akan menjemput kami. Ini adalah pertama kalinya kami pergi ke Pare Kampung Inggris. Aku tak tertarik dengan kesibukan Felia tersebut, badan dan otakku cukup lelah setelah menghadapi perjalanan dengan kereta Majapahit stasiun pasar senen Jakarta-Kediri selama 13 jam.
Memperhatikan setiap orang yang lalu lalang di depanku selalu jadi hal yang menarik bagiku saat menunggu. Para anak muda berkelompok membawa koper mereka masing-masing, aku yakin 100% kalau mereka pun mempunyai tujuan seperti kami. Mataku menyapu seluruh bagian stasiun, dan disanalah kau berada. di depanku kau tampak sedikit kewalahan menurunkan kopermu yang besar -bahkan lebih besar dari milikku- dari kereta Malabar. Jujur saja, dari sekian banyak orang-orang yang aku perhatikan entah kenapa wajahmu-lah yang terekam jelas di otakku yang lelah ini. Kau mengenakan jaket coklat meskipun dengan wajah lelahmu itu aku masih bisa melihat pesonamu. Ini bukan cinta pada pandangan pertama, hanya saja aku memang mengakui kalau kau bukan orang biasa. Entahlah, aku tak dapat menjelaskannya, kau punya aura menenangkan dan kecerdasan tertampak jelas dari gerak-gerikmu. Kau berjalan melewati kami saat itu pula kita sempat beradu pandang,
Aku tidak bermaksud untuk menindak lanjuti hal itu karena aku pikir toh kita tidak akan pernah bertemu lagi setelahnya. Tapi kau tahu, takdir berkehendak lain. Di sebuah ruangan office sebuah tempat kursusan kita bertemu lagi. Aku sempat tertegun melihatmu telah duduk disana lengkap dengan koper super besarmu. Aku berbisik pada Felia "Fel, itu bukannya laki-laki yang kita lihat di stasiun tadi?" ujarku.Felia setuju denganku kalau kau adalah orang yang sama yang kami lihat di stasiun.
Keesokan harinya ketika pelajaran baru dimulai. Oh Tuhan, dunia begitu sempit dengan mempertemukan kita kembali. Di kelas Vocabulary 1 untuk pertama kalinya aku tahu bahwa namamu Aska, kau alumni UI tahun 2012 jurusan Teknik Industri, tujuanmu mengambil kursus di kampung Inggris adalah untuk mempersiapkan diri mendapatkan beasisiwa Master di Eropa. Selama kau memperkenalkan diri, Felia malah sibuk mencubiti kakiku, dari bahasa tubuhnya aku tahu kalau dia kagum padamu. Hatiku berbisik 'pantas', hatiku membenarkan kalau mataku tidak salah menilaimu diawal kita berjumpa. Rasa kagum itu masih ada, tapi tidak sebesar yang dirasakan Felia terhadapmu saat ini karena aku sudah merasakannya pertama kali kita berjumpa. Tidak tamggung-tanggung, selama 2 minggu di periode pertama ini kita sekelas untuk seluruh mata pelajaran yang kuambil -Vocabulary 1, Speaking 1 dan Pronanciation 1- itu berarti aku akan melihatmu all day.
Pada hari pertama ada satu kelas dimana aku dipisahkan dengan Felia. Aku memberanikan diri ikut bergabung denganmu dan teman-temanmu untuk mencari kelas selanjutnya. Dijalan kau bertanya tentangku, matamu berbinar saat aku bilang aku baru saja selesai sidang di Akademi Kimia Analisis Bogor. Kau bercerita tentang teman-temanmu yang merupakan alumni kampusku pula, aku tertarik dengan ceritamu karena tak banyak orang tahu tentang kampusku. Di kelas kau membantuku beradaptasi dengan mengenalkan teman-temanmu padamu. Aku ingin sekali mengatakan padamu "Senang bisa tahu kau", sayangnya sampai sekarang pun aku tak bisa mengatakannya.
Hari berikutnya Felia protes mendapatkan kelas yang tidak dia inginkan, pada akhirnya dia diberikan kelas yang sama denganku sepanjang hari -sama dengan kita maksudku-. Hari-hari berikutnya aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Felia di kelas, kau tidak pernah duduk disampingku lagi seperti halnya hari pertama. Saat Rizki bergabung denganku dan Felia membentuk kelompok, aku sering sekali melihatmu melirik kearah kami meskipun kau sedang berdiskusi dengan Rina. Malam harinya di camp aku dan Felia membicaramu tentang hal itu. kuputuskan kalau kau melirik kearah Felia, dan mungkin kau menyukainya. Dari yang kuperhatikan kau adalah orang yang cerdas, ramah, berambisi, dan perfectionist jadi menurutku sangat mungkin kalau kau menyukai Felia yang cerdas, dewasa, optimis, mandiri dan cuek. Rasanya tidak mungkin saja kalau tatapan berisyarat itu ditujukan untukku yang cenderung childish dan careless ini.
Suatu hari kau pernah mengutarakan cita-citamu. Cita-cita yang manis kurasa.
Saat kelas sedang gaduh teman-teman yang lain saling mengobrol satu sama lain, kau yang kebetulan duduk di samping kiriku (tentu saja Felia di samping kanan) kau memecah lamunanku (aku terbiasa seperti orang yang sedang melamun saat sedang memikirkan sesuatu). "Kau tahu, aku punya cita-cita." Katamu sambil sesekali mengoperasikan smartphone-mu yang berwarna putih dan canggih itu.
Aku menoleh kesekitar dan kemudian menanggapimu, saat aku yakin bahwa akulah yang sedang kau ajak bicara. "Apa?" kataku basa-basi. Sebenarnya pikiranku sedang tertuju pada keluargaku yang baru pertama kali aku tinggal untuk jarak yang cukup jauh dan waktu yang lama.
"Setelah dari sini, God willing aku akan melanjutkan kuliah di salah satu Negara Eropa yang menjadi tujuanku. Setahun atau dua tahun disana, aku akan kembali ke Indonesia untuk menikah. Istriku nanti akan aku bawa kesana, syukur-syukur kalau aku dan dia sama-sama kuliah lagi" ujarmu sambil tersenyum membayangkan hal itu.
Aku mengangguk-angguk. Sungguh cita-cita yang manis. Asal kau tahu, aku juga punya cita-cita untuk melanjutkan kuliah keluar negeri, tapi mama melarang aku melanjutkan sekolah yang tinggi sebelum aku menikah. Mama berpikir aku akan sulit mendapatkan jodoh kalau pendidikanku sudah terlalu tinggi, memang pemikiran yang cukup kolot pada zaman modernisasi seperti sekarang.
"Bagaimana? So sweet bukan?" tanyamu. Lagi-lagi membuyarkan lamunanku.
"Tentu saja" jawabku yakin.
Kemudian kita terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya kau menunjukkan smartphone-mu kepadaku. "Ini bagus sekali untuk di subscribe" katamu.
"Apa?" tanyaku.
"email sekolah pernihakan" ujarmu.
Aku tertegun. Pembicaraan ini sudah memikirkan masa depan terlalu jauh. Selama ini aku belum terpikir apa pun soal pernikahan. Aku bingung harus menanggapimu seperti apa.
"aku sudah follow tweet nikah di twitter" kataku polos.
"Bagus sekali" gumammu antusias "tapi sebaiknya kau juga harus men-subscribe email ini pula agar nanti suatu saat kau bisa menjadi seorang istri dan ibu yang baik" lanjutmu mencoba meyakinkan.
Aku tersenyum kaku. Rasanya risih membicarakan masalah pernikahan dengan seorang laki-laki, apalagi sudah kukatakan ditulisan ini sebelumnya bahwa aku belum pernah terpikirkan sedikitpun soal pernikahan.
Sejak obrolan itu, obrolan yang serupa sering terjadi di hari-hari berikutnya. Kau terlihat sangat antusias saat mengetahui bahwa aku belum pernah memiliki hubungan special yang dikatakan 'pacaran' dengan laki-laki manapun, kau juga mengatakan kalau sampai saat ini kau pun juga belum pernah memiliki kekasih. Entahlah itu benar atau tidak, tapi yang aku tahu bahwa aku mulai yakin denganmu. Kau melirik penuh isyarat ketika salah satu tutor kita mengatakan "Kucing menyimbolkan tipe pasangan kalian". Kemudian kau membacakannya kepadaku.
KUCING : makhluk yang lucu, manja, menghapus duka saat berada didekatnya.
Seolah-olah kau menunjukkan padaku pada itulah tipe perempuanm dan hal itu ada pada diriku. Jujur saja, aku benci kau yang seperti ini. Membuatku jadi mengharapkan bahwa aku adalah perempuan yang kau mau.
Hari demi hari bejalan lancar. Aku semakin kau buat besar kepala dengan tanda-tanda yang kau berikan bahwa kau menyukaiku. Kurasa tanpa kusadari aku pun sudah mulai memiliki perasaan itu untukmu. Aku tersenyum simpul setiap kali aku melihatmu seperti mencari seseorang ketika melihat Felia padahal saat itu aku sedang memperhatikanmu, ketika kau mulai menyerah tidak mendapati sosok yang kau cari saat itu pula aku menampakkan diri. See then, matamu berbinar bahagia seperti seorang anak kecil yang baru menemukan mainan kesayangannya.
Kebersamaan itu tak bertahan lebih lama. Felia menganjurkan kami agar pindah camp dan sialnya aku mengiyakan karena rasa jenuh mulai menghinggapiku di camp yang lama. Tidak ada yang salah dari camp tersebut, masalahnya adalah ada pada diriku yang terlalu cepat merasa jenuh pada hal yang sama. Tapi aku berani bertaruh, aku masih ingin melihatmu. Aku pernah merasa cemburu ketika kau terlihat akrab dengan Fira -anak baru tetangga kamarku di camp, dan baru-baru ini pula sekelas denganmu-. Aku tidak ingin cemburu buta, aku sudah menganggap Fira seperti saudara sendiri. Aku, Felia dan Fira sering makan bersama. Pikiran bahwa Fira sudah mempunyai kekasih di Jakarta ditempatnya berasal cukup mendinginkan perasaan meskipun aku sering menangkap pemandangan dia yang ingin mencuri perhatianmu. Pikiran positif yang mengatakan 'jodoh pasti bertemu' seperti salah satu lagu Afgan juga membuatku tenang. Tak ada yang perlu dicemaskan tentangmu.
Setelah kita berpisah tempat perasaanku tetap sama, bahkan aku sering merindukanmu. Kata-kata Yudha padaku saat kami bertemu "kak, sebenarnya dia itu suka kakak sudah lama" tentangmu semakin membuat perasaanku menguat.
Aku merasa sangat beralah pada diriku sendiri karena hati ini sempat tergoyahkan. Di kelas yang berbeda dan tempat kursus yang berbeda aku bertemu orang-orang yang berbeda pula. Tak sedikit dari mereka yang menawarkan perhatian dan hatinya untukku. Dimulai dari mantan tutorku mr Salman (tutor kita di kelas Vocabulary 1 yang lalu), Anton, Krisna, Rinto, hingga Galang. Dari sekian banyak godaan itu, godaan Galang-lah yang paling kuat.
Tubuh tinggi, otak cerdas, sikap baik, hingga backround pendidikannya yang menjanjikan masa depan, dia adalah alumni STAN jurusan perpajakan, tahun kelulusannya sama denganku, semua itu sulit untuk ditolak. Beberapa bulan terakhir, aku dan Galang selalu berada dalam kelas yang sama, dia teman bertukar pikiran yang menyenangkan. Ada beberapa sikapnya sama sepertimu, saat dia sering mencari dan mencuri pandang kearahku. Tapi tak sedikit pula yang berbeda. Dihadapan Galang, aku selalu malu menunjukkan bagian terbobrok dari diriku yaitu nilai yang jelek. Setiap bersamanya dia selalu memperlakukan aku dengan manja, aku senang karena basically aku memang manja, tapi sisi negatifnya aku selalu bersikap lebih childish dari biasanya.
Sedangkan denganmu, kita sering membicarakan masa depan yang terpaksa harus membawaku kepemikirin lebih dewasa. Aku juga tidak pernah malu dengan sisi bobrok pada diriku. Pernah suatu hari aku terdiam di depan kelas ketika ditunjuk secara acak harus mempresentasikan sesuatu dengan spontan, dibelakang kau terus menyemangatiku, setelah aku kembali duduk di tempat dudukku memasang muka manyun sambil menahan tangis karena malu, kau malah diam-diam mengambil fotoku dan mengirimnya lewat whats app, kau tersenyum dan menyemangatiku ketika aku menoleh padamu. Foto dengan ekspresi wajahku yang begitu jelek itu mampu membuatku tersenyum dan kau menghembuskan nafas lega karena melihatku tersenyum lagi. Hal itu hanya kita yang tahu, bahkan Felia pun tak tahu.
'Dan yang pertama akan tergantikan oleh yang selalu ada'. Kata-kata dari temanku itu hampir saja berlaku untukku. Aku nyaris memberikan hatiku untuk Galang karena saat-saat terakhir, dialah yang selalu ada untukku. Aku menguatkan diriku kalau aku bisa bertahan dengan apa yang telah aku pilih. Pada awalnya aku memilih menjatuhkan pilihan hatiku padamu, dan aku akan bertahan. Selama tiga bulan terakhir hanya 4 kali bertemu, itulah yang membuatku hampir menyerah terhadapmu. Aku tidak pernah lagi melihat senyuman ceria, antusias dan polos situ lagi.
Saatnya pun tiba, aku akan pulang ke Bogor untuk waktu yang lebih cepat dari yang pernah direncanakan. Hal yang menyita pikiranku adalah aku pulang tidak bersama Felia. Banyangan kesepian di kereta sepanjang perjalanan menggangguku. Suatu hari aku memutuskan untuk menghubungimu. Seperti biasa, aku menangkap nada antusias dari kata-kata yang kau tulis di whats app menyarankan agar aku bisa pulang bersamamu, lebih tepatnya bersama kalian karena beberapa saat kemudian kau memberi tahuku bahwa Fira juga ikut pulang bersamamu.
Aku tidak peduli bahwa kita akan berbeda gerbong selama 13 jam di kereta Majapahit. Membayangkan bahwa kita akan bersama di kereta jabodetabek menuju Depok dan Bogor cukup menghapuskan rasa rinduku terhadapmu. Aku tahu, aku terlalu berharap dan berkhayal. aku telah berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan jatuh terlalu tinggi kalau itu hanya bisa jadi harapanku.
Nyatanya, aku memang terjatuh sangat tinggi. Di stasiun Jatinegara, awal dari meledaknya sebuah bom atom di hatiku, rasanya sakit sekali. Aku bertemu dengan Fira yang telah lama tidak kujumpai, kami berpelukan dan menghapuskan rasa rindu satu sama lain. Suatu percakapan kami ketika berjalan menuju kamar mandi lah awal dari kesakitan itu.
Kami saling berpelukan " lama tidak bertemu, aku sangat merindukanmu" ujarku sambil tersenyum.
"Aku juga kakak" ujar Fira yang memang memanggilku kakak, beda umur kami 2 tahun.
"Bagaimana kabar pacarmu?" tanyaku setelah kami membahas berbagai macam tema.
Wajahnya berubah serius. "Aku sudah mengakhiri hubungan kami"
Aku merasa bersalah telah menanyakan hal itu padanya tapi rasa penasaran lebih kuat. "Kenapa?"
"Aku sudah memutuskan untuk tidak pacaran lagi. Aku hanya ingin menjalani hubungan komitmen"
Rasa penasaranku semakin menjadi. "Hubungan komitmen? Sama siapa?" tanyaku lagi.
"Itu yang dibelakang" jawab Fira berbinar-binar.
Aku tertegun. Karena yang kutangkap dari jawabannya bahwa kau lah yang dimaksud Fira. "Aska?" tanyaku memastikan.
Fira mengangguk senang.
"Bagus dong!" gumamku sambil menjaga nada suaraku yang mulai melemah kembali normal. "Bagaimana bisa?"
"Selama ini dia sudah baik denganku. Dia yang membantuku, memenuhi segala kebutuhan saat aku sakit liver di camp kemarin. Lalu dia pernah bilang padaku bahwa tujuan kita bukan pacaran, ayo kita bertemu di London. Dia tahu kalau aku punya cita-cita ke London." Fira sangat antusias menceritakan semua itu.
'Dan yang pertama akan tergantikan oleh yang selalu ada'. Kata-kata itu memang tidak berlaku untukku, tapi sangat berlaku untukmu. Ah Aska, kenapa dulu kau mengisi hari-hariku kalau akhirnya seperti ini?. Aku menunggumu, tapi ternyata sekarang kau lebih memilih untuk menunggu orang lain - seseorang yang kukenal- Fira. Tak apa, aku tak menyalahkanmu dan Fira. Tak ada yang bersalah dari cerita ini. Aku akan menganggapmu terlalu tinggi untukku, itu akan menghapuskan sebagian rasa sakitku. Kau memang tidak pantas untukku, perempuan yang senang memakai kemeja kebesaran dan jeans, childish, careless dan cengeng ini. Kau pantas untuk Fira, perempuan yang selalu memakai rok, dewasa, perhatian dan lembut.
"Aku di jemput temanku di depan. Kau tidak apa-apa kalau pulang ke Bogor sendirian?" tanyamu padaku, rasa khawatirmu kini kuartinya sebagai kekhawatiran seorang sahabat.
Aku tersenyum walau sangat kontras dengan kondisi hatiku saat ini. "Tentu saja, aku sudah biasa"
Aku menghela nafas lega. "Baguslah, aku minta maaf ya. Lain kali main ke Bogor boleh kan?" ujarmu.
"tidak ada alasan untuk melarang. Kalau ke Bogor ajak dia yaa" jawabku sambil melirik ke Fira.
Kau hanya tersenyum setelah itu kalian berdua pamit dari hadapanku. Baguslah, disaat seperti ini aku memang ingin sendiri. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaanku kalau aku harus satu tujuan dengammu, mungkin aku akan hancur sehancurnya. Sendirian membuatku lebih baik dan mencoba ikhlas. Ini adalah kali terakhir aku melihatmu.
Tulisan ini untukmu. Aku ingin kau tahu bahwa aku memiliki perasaan terhadapmu, aku sama sekali tak menyalahkanmu, justru aku ingin berterima kasih padamu. Karenamu aku belajar menjadi orang yang lebih dewasa dan menerima keadaan. See you on the top. Love never fails to teach everyone who feels it.Status of Galang on Facebook.
Sometimes, finding the right woman is not all the matter. Eventhough she is the only one who has the capability to complete you, she may leave you anytime. But my feeling strengthen me to be strong enough to chase her to every corner of the world. Yes I will chase her, won't i?