On Rainy Days

147 10 8
                                    

Hari itu hujan mengguyur permukaan dengan derasnya. Menimbulkan decakan sebal dari orang yang merindukan rumahnya, tukang ojek pangkalan, hingga kucing liar yang tidak terbiasa akan tubuh basah.

Lana berdiri dengan tak nyaman di tangga terakhir halte bus. Mulutnya sibuk merutuki keteledorannya yang tidak membawa payung di saat ramalan cuaca jelas sekali mengatakan bahwa hari itu akan hujan. Roknya sudah separuh basah kuyup, dan langit masih belum menunjukkan tanda-tanda hujan akan berhenti.

Pedagang asongan di sisi lain tangga halte mulai tersenyum janggal kepadanya, membuat bulu kuduknya meremang. Jika saja hujan tidak terus turun seperti sekarang, mungkin ia sudah mengambil langkah seribu ke rumahnya. Tapi yah, ia tidak bawa payung, dan hujan masih betah mengguyur dengan kekuatan penuh. Belum lagi ia hanya sendirian di halte bus—dengan sekelompok pedagang asongan mencurigakan di sisi lain halte—Jadi yah, itu menyeramkan.

Hujan bertambah deras saat derap langkah sepatu yang berdecit dengan terburu memasuki telinga Lana. Membuat gadis itu sedikit merapat ke dinding karena—ya ampun, sudahkah Lana bilang kalau si 'pendatang' itu tinggi menjulang? Basah kuyup pula—hawa intimidasi yang dikeluarkannya sangat dingin. 'Pendatang' itu lelaki omong-omong, yang mana sangat disayangkan karena Lana berharap sebaliknya.

Mereka berdua tetap membiarkan kesunyian di antara mereka mengisi kerenggangan selama belasan menit. Tak ada satu pun berniat mengeluarkan bunyi yang bisa mengalahkan suara hujan yang monoton di luar halte. Bahkan limpahan air yang jatuh ke pelimbahan seketika menjadi objek menarik.

Hujan juga masih enggan pergi saat suara senandung dari lelaki itu mengisi kekosongan di setiap jengkal halte bus yang lenggang. Suaranya pelan, terdengar sayup-sayup di antara amukan hujan. Lana tersenyum simpul.

"Hei, suaramu bagus juga," Senandung pelan itu terhenti, digantikan dengan sepasang iris hitam yang menatap Lana intens. "Aku menyukainya."

Segurat senyum terulas samar di wajah lelaki itu. "Awalnya kukira kau tak bisa bicara. Maaf, tapi kurasa hujan takkan reda dalam waktu cepat. Jadi, siapa namamu?"

"Wow, apakah kau selalu berkeliaran saat hujan dan menanyai nama orang asing secara acak? Kau berani juga,"

Gelak tawa terdengar dari lelaki itu, Lana mengangkat alisnya heran. "Maaf nona, belasan menit di halte ini sudah cukup membuatmu tak asing buatku. Dan tidak, aku tidak berkeliaran menanyai nama orang secara acak."

"Dan kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu, huh?" Alis Lana kembali terangkat.

"Ah nona, jawab saja. Toh aku tak berniat jahat padamu." Lelaki itu masih memasang senyum yang sama. Lana menarik napas perlahan.


"Baiklah, Tuan Pemaksa. Alana. Singkatnya Lana. Sesederhana itu namaku. Siapa nama—"

"Bara. Namaku Bara. Dan Lana adalah nama yang bagus, kau tahu." Bara memotong kalimat Lana, disertai dengan cengiran tak bersalah. "Bahkan bukannya tidak mungkin namamu akan bersanding dengan namaku di masa depan, Lan." 

Lana menarik ujung bibirnya simpul. "Jangan terlalu yakin. Tidak ada yang mengetahui takdir," 

"Oh ya? Tapi aku tahu satu hal Lan," Bara mendongak, menatap langit yang sudah mulai cerah. Senyumnya merekah.

"Apa? Oh, hujannya sudah berhenti. Waktunya pergi." 

"Takdir akan mempertemukan kita lagi Lan. Segera." Dan diiringi dengan itu, Bara menghilang di sudut jalan bersama rinai hujan yang tersisa.


-·-

One of These DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang