[01]

7.4K 473 24
                                    

1. Bagaimana Semuanya Bermula

30 Mei 2020

Aku duduk manis di ruang tamu, bersama dengan keluarga kecilku. Sudah jadi tradisi keluarga-ku, setiap hari Sabtu kami akan berkumpul di ruang tamu. Terserah ingin melakukan apa, tetapi yang jelas harus berkumpul.

Di sofa panjang sebelah kiri ada Ayah-ku, Rizal, yang sedang membaca koran. Ia sesekali menggeleng-gelengkan kepala-nya.

Di sebelah Ayah, ada Mama. Gak nyambung emang, Ayah sama Mama. Tapi mau gimana lagi? Mereka yang mau. Omong-omong, Mama sedang memakai kuteks di kuku-kuku tangan kirinya. Mau taruhan? Sebentar lagi ia akan menyuruhku menghias tangan kanan-nya.

Di sofa panjang seberang sofa Ayah dan Mama, ada Raja, adik laki-lakiku. Ia sedang memainkan PSP-nya yang baru selesai diservice. Ia memainkan game yang tidak kuketahui nama-nya.

"Aprilly! Sini dong, bantuin Mama!"

Yap. Aprilly. Itulah aku. Siswa kelas 12 yang akan lulus sebentar lagi. Aku sedang dalam masa liburanku seusai Ujian Nasional. Aku mengerang pelan. Lalu aku meletakkan bantal stroberi kesukaanku di tempatku duduk tadi --di sebelah Raja-- dan juga mencopot earphone-ku. Padahal, aku sedang menikmati lantunan lagu Mercusuar dari Denada.

"Aduh, Mama ganggu Prilly aja. Prilly kan lagi denger lagu-nya Denada. Huh."

"Mau Denada kek, Nanda kek, apalah itu Mama sama sekali gak peduli. Cepet bantuin Mama atau kamu gak boleh lagi nyalon gratis."

Penasaran apa yang dimaksud dengan "nyalon gratis"?

Mama-ku mempunyai salon. Satu di dalam rumah namun dibuka untuk umum setiap hari kerja, satu di dalam kompleks (kebetulan waktu itu ada tanah kosong dan Mama membeli-nya, dan kemudain disulap menjadi salon), satu di dekat rumah Nenek, dan satu di sebuah Mall.

"Ih ngancemnya begitu banget," gerutuku, lalu pergi ke sofa di seberang. Aku duduk di samping Mama. Lebih tepatnya di samping kaki Mama. Mama sedari tadi menunduk mengerjakan jari-jari tangan kiri-nya.

"Mama bukannya duduk di bawah, nanti tua-tua jadi Nenek Bongkok gimana?" kataku, mulai mengecat kuku-kuku Mama dengan warna merah marun.

"Heh! Kan Mama jarang kayak gini, biasanya di kamar. Sok tau kamu," kata Mama.

"Iya deh suka-suka Mama."

Dan ya, kira-kira seperti itulah hari Sabtu-ku minggu ini.

[|]

Hari Senin. Aku melirik jam dinding yang ada di kamarku. Pukul delapan pagi. Raja pasti sudah berangkat sekolah, bersama dengan Ayah yang pergi ke kantor.

Mama? Ia baru mulai sibuk pukul 9. Ia akan memastikan karyawan salon yang berada di rumah sudah tiba semua, lalu pergi ke salon kompleks dan memastikan hal yang sama, lalu pergi ke Mall yang tentu saja masih sepi hanya untuk mengecek salonnya, dan berakhir dengan pergi ke salon dekat rumah Nenek. Ia tidak langsung pulang. Ia akan menunggu sampai salon-salonnya tutup, menanyakan bagaimana penghasilan hari ini atau semacamnya, lalu pulang.

Aku langsung pergi membasuh wajah-ku dan menyikat gigi, lalu turun dengan memakai sandal Doraemon berwarna biru kesukaan-ku.

"Mama! Sarapan apa?" seruku dari ruang makan. Hanya ada kotak susu di meja makan. Gak jelas, emang.

Mama muncul entah dari mana, lalu berkata, "tumben udah bangun?"

Segitu kebo-nya kah aku?

"Prilly biasanya juga bangun jam segini kali, Ma. Mama aja yang berangkatnya kecepetan."

Padahal sih, aku biasanya baru bangun jam 10. Entah karena apa hari ini bangun dua jam lebih cepat.

"Emang kamu kira Mama gak liat jam sebelum Mama berangkat?" kata Mama. "Tuh, makanannya di kulkas, Mama kira kamu bangun siang lagi. Jadi Mama taro kulkas. Mama mau siap-siap dulu."

"Oke."

Aku pun berjalan pelan menuju dapur yang tidak terlalu jauh dari tempatku dan Mama berbincang tadi. Aku membuka kulkas dan mengambil makananku di rak ketiga kulkas.

Kulkas-ku, entah bagaimana, mempunyai empat rak. Atau apapun itu namanya. Rak pertama milik Ayah, kedua punya Mama, ketiga milikku, keempat punya Raja. Jadi kami selalu menyimpan makanan kami di rak masing-masing. Tapi bukan berarti kami tidak memiliki buah-buahan dan sayur-mayur atau makanan lainnya. Tentu ada.

Aku mengambil makanan itu. Hanya mashed potato yang ada keju parut di atasnya, smoked beef, mayones dan telur mata sapi.

Aku kadang bingung, Mama kan jago masak, kenapa buka salon? Kenapa gak jadi koki, atau buka restoran? Kan lebih banyak untung.

Aku menghangatkan makanannya lalu mulai makan dengan damai dan tentram tanpa gangguan berisik Raja, candaan Ayah ataupun celotehan Mama.

Baru juga aku bilang tanpa celotehan Mama, Mama tiba-tiba datang dan duduk di sampingku. Aku meliriknya sebentar. Mama sedang membereskan jilbab-nya yang berwarna hitam.

"Mama pake baju item sama kerudung item kayak gitu mau ngelayat? Ngelayat siapa?" tanyaku iseng.

"Iya mau ngelayat kamu," Mama menatapku dengan tatapan membunuh.

Aku meringis. "Prilly kan bercanda, Ma."

"Hm."

Dasar. Emak-emak jutek. Untung Mama sendiri.

"Tumben Mama ke sini, biasanya di kamar tidur-tiduran sambil dengerin lagunya Cherrybelle," kataku. Memang benar. Mamaku kalau menunggu pasti akan mendengarkan lagu Cherrybelle yang katanya membuatnya semangat. "Pasti ada mau-nya."

"Hehe. Tau aja."

"Tau, dong. Kan Prilly anak ma-"

"Anak pembantu. Pasti kamu asal nebak kan biasa-nya kamu belom bangun jam segini, selalu bangun pas Mama udah pergi. Ya kan!?"

Ya ampun. Kayaknya aku memang anak pembantu. Ibu siapa ini yang ada di sebelahku? Aku tidak kenal.

"Terserah Mama deh."

"Jadi gini, Prill," kata Mama. "Kamu kan satu-satunya yang liburan di rumah ini. Mama-Ayah kerja, Raja sekolah. Nah terus Prill, temen Mama tuh yang dari luar negri ada yang ke sini, tapi buat kerja gitu," Mama menatapku. Oke, firasatku benar-benar tidak enak sekarang.

"Terus urusannya sama Prilly apa?"

"Jadi kamu mau kan nemenin anak-nya selama temen Mama kerja? Cowok, Prill. Ganteng. Mereka bakal nginep di sini, di kamar tamu. Nah terus mereka dateng besok, jam 1 siang. Temen Mama bisa bahasa Indonesia, kok. Gatau deh anaknya."

Aku langsung menoleh, menatap Mama dengan kaget. Bagaimana tidak? Mama tau betul jam 1 adalah waktuku bersantai ria seperti di pantai.

"Tapi kan jam 1 itu jam-nya Prilly santai, Ma. Mama kan tau."

"Sekaliii aja. Mama kasih kamu uang jajan deh, ya, ya, ya?"

Aku mendengus. "Iya deh. Kasih tau aja nama-nya siapa, nanti biar Prilly siapin kertas gede-gede. Kalo gak dikasih tau nanti Prilly nulisnya 'Ibu dan Anak dari luar negeri yang mengganggu waktu santai saya' aja."

"Suka asal kamu, ya. Tulis aja 'Syarief' pake i-e bukan i doang."

"Berarti Syari-ef ya."

"Iya."

"Oke, siap laksanakan, Bos!"

30 Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang