Part 6-Seokjin

277 67 2
                                    


SEOUL

Malam ini tak seperti biasa. Hujan deras tetap turun, langit mendung masih menghias, sama seperti malam-malam sebelumnya memang, namun yang membedakan adalah hilangnya suara-suara bising dari arah dapur apartmen nomor 223.

Gadis berambut urai sepinggang itu berkali-kali melirik jam dinding. Baru kali ini ketika waktu sudah menunjukkan lebih dari jam sebelas dirinya belum juga terpejam. Merasakan kantuk? Ya tentu. Tapi otak tak kunjung mengirim impuls bagi Sang Gadis untuk segera membaringkan tubuh.

Gusar, resah, gelisah, mata dengan bulu lentik itu menerawang jauh di balik kaca jendela kamarnya. Pemandangan malam yang gemerlapan terlihat makin senyap dari lantai apartmen miliknya. Sudah selarut ini, kenapa Seokjin belum juga pulang? Di malam-malam yang lalu, gadis itu akan terbangunkan oleh suara berisik dan aroma masakan dari dapur.

Ryu Sujeong menyandarkan kepala pada kusen jendela. Untuk yang ke ribuan-puluh ribu-hingga ratus ribu kali kesendirian menghantuinya dalam kegelapan. Terjebak dalam rasa sakit, bersamaan dengan sepi yang merayapi. Diam membisu adalah hal terbaik, tapi hatinya berbisik tak karuan.

Tetes embun yang menghias jendela, hitam pekat di angkasa raya. Meski dunia tak ada yang melihatku, tetaplah engkau bersamaku. Hatiku lelah, ingin membersamai mereka yang bebas sudah.

Baru juga dipikirkan oleh gadis itu, akhirnya terdengar suara pintu terbuka. Segeralah Sujeong berlari keluar kamar dan mendapati orang terkasihnya nampak berantakan.

"Oppa! Kau dari mana saja?" seru Sujeong melenyapkan rasa cemas.

Seokjin memandang nanar, terkembang senyum tipis yang memprihatinkan. Wajahnya kusut, seperti gumpalan kertas dalam kotak sampah. Sedang kemejanya lepas dari ikat pinggang dengan kancing atas tidak dikaitkan. Rambut hitamnya yang biasa beroleskan gel kini acak-acakan.

"Kau sudah makan?" Laki-laki itu melemparkan tasnya asal.

"Bagaimana bisa aku makan tanpamu?" jawab Sujeong.

Seokjin memeluk tubuh adik kecilnya itu dengan lembut, membelai surai halusnya perlahan. Tentu Sujeong setengah kebingungan oleh perlakuan aneh kakaknya, sedang setengahnya lagi ia merasa nyaman dalam pelukan itu.

"Kau menyayangiku, kan?" tanya Seokjin.

Dengan mantap Sujeong menjawab, "Lebih dari rasa sayangku terhadap apapun."

Tiga puluh menit berlalu, rutinitas di dapur pun kembali. Hari ini agak terlambat dari yang biasa terjadi. Sujeong siap dengan sepasang sumpit di tangannya, sedang Sang Kakak sibuk dengan perkakas yang seharusnya digunakan oleh wanita.

"Apa kau bertemu dengan lelaki yang kausuka hari ini? Siapa? Kim Taehyung?" kata Seokjin memulai.

"Tidak. Kenapa tiba-tiba bertanya?"

"Aku ingin bertemu dengannya."

"Tidak boleh."

"Kenapa tidak?"

Seokjin menghentikan kesibukan memasaknya. Ia menghadap ke arah Sujeong bertanya-tanya. Tatapan lembut seorang kakak tengah terpancar di wajahnya yang tampan.

"Sujeongie," panggil laki-laki itu dan duduk berhadapan dengan adiknya di meja makan seusai mematikan kompor. "Kau belum mengenal Taehyung dengan baik, kau juga tidak tahu ia orang yang bagaimana, di mana rumahnya, dan apa tujuannya mendekatimu-"

"-memangnya Oppa tahu?" potong Sujeong. "Sebenarnya apa yang ingin Oppa katakan?"

Seokjin menghela napas sesaat. "Lupakan saja perasaanmu itu, lupakan Kim Taehyung!"

Sujeong meletakkan sumpitnya mendengar apa yang dikatakan Seokjin, Seokjin-nya. Sorot matanya seketika meredup. Sementara gejolak di dalam dada mulai menyulut.

"Apa maksudmu?" Sujeong bertanya tajam.

"Kau tak pernah tahu tentang dunia luar, aku tak yakin kau mengenal banyak orang. Beberapa dari mereka tak sebaik kelihatannya. Jadi..."

"Apa Oppa mau menghancurkan kebahagiaanku?" potong Sujeong sekali lagi, membuat Seokjin beku. "Hariku menjadi berwarna semenjak aku mengenal Taehyung. Aku menjadi lebih hidup, terbebas dari keterpurukan, mampu tersenyum, dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangiku, dan merasakan indahnya jatuh cinta. Apa Oppa tahu selama ini aku merasa kesepian dan membutuhkan kawan? Apa Oppa tahu selama ini aku hidup dalam kesendirian? Aku tinggal bersamamu di sini tapi aku merasa sebatang kara! Apa Oppa tahu aku sangat ingin menghabiskan waktu bersamamu setiap harinya? Apa Oppa tahu itu semua? Jadi di mana Oppa ketika aku membutuhkan? Di manakah kau saat aku ingin menangis dan berbagi kesedihan?"

"RYU SUJEONG!" Api amarah yang terpendam akhirnya meledak. Seokjin bangkit dari kursi dan menghentak kasar. "Kau ingin tahu kenapa kau selalu kesepian? Itu karena kebodohanmu yang terlalu larut dalam trauma itu! Bagaimana kau tak kesepian kalau kau sendiri terus mengunci diri di sini? Seharusnya kau bisa berpikir dengan otakmu!"

Setetes cairan hangat mengalir perlahan di pipi mulus Sujeong, gadis itu gagal menahannya. Segala bendungan emosi yang dipendamnya sepanjang waktu kini terluap sudah di depan orang yang paling dicintainya.

"Benar, aku memang bodoh. Aku hanya merepotkanmu. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain bergantung padamu. Aku seperti parasit yang membebani setiap langkah seorang kakak."

Sejenak Seokjin tersadar. "Sujeong-a, maafkan aku." Suara laki-laki itu terlontar parau, lirih terdengar di telinga, menyesali semua yang telah diucapkannya. Namun yang dimintai maaf justru pergi meninggalkan setetes air mata yang membasahi dua sumpit di atas piring.

***

Yang paling menyakitkan tiba juga pada akhirnya. Sujeong yakin yang ia cinta tak selamanya juga mencintainya. Yang ia jadikan pahlawan tak selalu melindunginya. Ia mencoba mengukuhkan pertahanan, namun apa daya hatinya hanyalah setipis kertas.

Meringkuk di bawah ranjang, duduk memeluk lutut, menderaskan tetes air yang meluncur dari mata sayunya. Suara pintu yang diketuk dari luar belum berhenti, membuat gadis yang ada di dalam kamar itu menutup kedua telinganya. Air matanya tetap turun seiring dengan hujan di luar yang tak kunjung mereda.

"Ryu Sujeong, bukalah pintunya!" seru suara dari balik daun pintu.

Tak ada jawaban. "..."

"Sujeong-a, aku benar-benar khilaf. Bukan maksudku berkata seperti itu."

"..."

"Makanlah dulu, kumohon!"

Terjebak dalam labirin hitam, tak ada siapapun di sana, aku menderita! Kenapa terus saja memanggil kalau aku masih saja ditinggalkan? Lebih baik lenyap tak terlihat bersama warna hitam daripada kasat mata tetapi bagaikan sedang berkamuflase di tengah kegelapan.

Aku tahu berat memikulku, memikul beban. Andai saja mereka tahu bahwa sejujurnya aku berharap tumbuh menjadi gadis remaja yang sewajarnya. Tapi ketika kumencoba melakukan itu, begitu sulitnya seperti menerobos pagar besi berduri. Potongan adegan yang tak kuketahui itu... selalu terekam kembali.

Jadi, inilah Ryu Sujeong. Gadis bodoh yang hanya mengekang diri di dalam rumahnya, menggantungkan seluruh hidupnya pada sosok pahlawan yang menjadi tonggak semangatnya. Menjadi seperti ini, sungguh membebani siapa saja. Nirwana pun tahu itu. 

Puzzle of the Memory [TaeJeong Vers.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang