Langit biru cerah tanpa awan, sinar matahari tak terhalang. Menyengat memang, tapi pohon-pohon kota yang tumbuh berbaris tak ingin jika dua remaja yang berjalan berdampingan itu diganggu. Diizinkannya dua orang berseragam putih abu-abu itu berjalan dibawahnya, diluar jangkauan sengatan mentari siang hari.
"Rich, tadi Thomas kenapa gak ikut main?" Tanya Anita disela-sela langkahnya.
"Ya gapapa, Thomas emang gitu, hari ini kedelai besok udah jadi tahu bulat, hari ini semangat besoknya males-malesan."
"Dia baik orangnya."
"Iya."
"Iya doang?"
"Ya iya, terus?"
"Udah sana deh, jalan jauh-jauh." Anita mendorong bahu Richie pelan. "Gak enak sampingan sama Richie, ketinggian."
Richie terkekeh. "Lu yang pendek."
"Nggak lah, gua sama cewek lain juga sama aja, lu yang ketinggian." Anita menyetarakan kepalanya dengan Richie dengan tangannya. "Liat tuh, sepundak aja masih kurang dikit."
Richie tersenyum, dia membungkukan tubuhnya agar tinggi mereka setara. "Gua gini aja, biar jalan sama Richie jadi enak."
Anita tertawa. "Justru tambah berasa pendek, udah biasa aja jalannya, ah."
Richie tertawa dan kembali menegakan tubuhnya. "Kalo gak enak jalan sama gua, enakin aja." Richie tersenyum pada Anita, dengan gerakan tiba-tiba tangannya menggenggam tangan Anita.
Anita memandang Richie terkejut, Richie hanya memandang lurus kedepan.
"Rich--"
Belum sempat ucapan Anita selesai, siulan dari bibir Richie memotongnya. Sambil memandang lurus kedepan, Richie bersiul melantunkan lagu milik Jess Glynne.
"Darling, hold my hand..
Oh, want you hold my hand?
'Cause I don't wanna walk on my own anymore
Won't you understand?
'Cause I don't wanna walk alone."Anita tak melanjutkan ucapannya, dia tersenyum sambil menunduk. Ia akhirnya membalas genggaman Richie, tangan mereka bertautan.
Richie ikut tersenyum, senang sekali rasanya. Dirinya baru saja membuat gadisnya tersipu, bahkan hanya dengan siulan kecil.
"Nit, tau gak? Tante Ana udah boleh pulang semalem."
"Serius?"
"Iya, sekarang kondisinya udah mulai stabil."
"Bagus deh, jadi ikut lega." Anita tersenyum.
"Gak mau jenguk? Tante Ana kan belum kenal sama lu."
"Hmm, kapan?"
"Nanti sore bisa? Nanti gua jemput kerumah lu."
"Sore bisa, tapi gak usah jemput, nanti gua kesana sendiri, share location aja."
Richie mengangguk. "Iya."
Selangkah, dua langkah, yang terdengar hanya bisingnya jalanan, keduanya hanya diam.
"Nit, tangan lu dingin. Kenapa? Gugup?" Tanya Richie sedikit terkekeh.
"Gak lah, bisa aja emang dingin."
"Masa dingin? Orang siang-siang gini." Richie tertawa. "Tapi tau gak, Nit? Saat tangan kamu dingin, tangan aku pasti hangat, saat kamu jatuh, aku pasti berdiri tegak, saat kamu gak bisa, aku bisa. Kapanpun kamu gak mampu, tuhan kirim aku buat kamu."
Anita tersenyum pada Richie, genggaman tangannya kian erat. "Aku kamu? Gak pantes banget."
"Ya gapapa, sekali-sekali lah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot and Cold Richie (revisi)
Teen FictionAda kehangatan yang terselubung dibalik tebalnya bongkahan es. Dia sendirian, dia kesepian, mencoba bertahan dalam diam. Dia rapuh, mencoba sembuh tanpa penawar. Cinta datang, cinta menolong, cintalah sang tabib penyembuh, cintalah penawarnya.