Part 11

465 48 8
                                    

[Jangan lupa Vote sehabis baca]

------------------------------------------------

Meera's POV

Sudah genap dua bulan tanpa kejelasan soal Raj.

Jangan kalian kira aku tidak gelisah dan kebingungan sendiri.

Tidak. Mungkin lebih tepat jika menggunakan kata "rindu".

Aku rindu genggaman hangat tangannya.

Aku rindu tatapan matanya.

Aku rindu dimples yang terlihat setiap dia tersenyum.

Aku rindu keusilannya dan kebiasaannya mengajakku jalan-jalan.

Aku rindu suara tawanya.

Aku rindu aroma parfum Lazaro yang tak pernah absen tercium.

Aku merindukan segalanya tentang Raj.

Tapi reaksi datar yang kudapatkan saat bertemu dengannya di butik tempo hari terasa menyesakkan.

Berhari-hari aku uring-uringan gara-gara hal itu dan yang paling sering kena dampak adalah tiga remaja di rumahku. Siapa lagi kalau bukan Ishoo serta si kembar.

Kutatap malas lingkaran merah di kalender. Aku tersenyum miris menyadari kalau Senin ini adalah minggu ketiga sejak aku bertemu Raj hari itu.

Aku melangkah gontai menuju ruang makan. Ishoo dan si kembar sudah duduk manis dengan beberapa tangkup sandwich dan puding apel terhidang di meja makan namun sayangnya gagal membangkitkan selera makanku.

"Morning, Meera didi," sapa Veera ramah. Aku mengangguk.

"Iihh, Meera didi masih galau nih ceritanya?" Goda Ishoo yang langsung kubalas tatapan maut.

"Ternyata sebesar itu ya pesona Bhaiya," celetuk Veer yang disambut tawa oleh lainnya— kecuali aku—.

"Diam sebelum wedgesku melayang ke pipi kalian satu per satu," ancamku.

Mereka cekikikan mendengar ancamanku namun langsung terdiam begitu wedgesku nangkring di meja.

"Masih mau bicara soal dia? Cepat habiskan sebelum moodku memburuk!" Aku bangkit untuk meletakkan piring kotor ke tempat cuci piring tanpa repot-repot mencucinya lalu melenggang memanaskan mobil.

Lima menit kemudian, kulajukan mobil menuju sekolah. Mereka sibuk berceloteh sementara pikiranku melayang pada Raj.

Apa dia sudah makan?

Apa dia sudah mandi?

Apa dia sudah beristirahat dengan cukup atau malah belum tidur sama sekali karena bekerja demi mengalihkan perhatiannya?

Aku terlalu sibuk memikirkannya sampai kusadari tepukan di bahuku.

"Didi, mau kau kemanakan kami? Ini sudah sampai di sekolah," tegur Ishoo.

Aku mengerjap. Aku menunduk seraya mencengkeram kemudi mobil sekuat tenaga. Kuhembuskan nafas perlahan lantas mendongak.

"Hm, maaf. Ya sudah, cepat turun. Nanti terlambat. Jangan lupa makan bekalnya dan dengarkan guru kalian," aku menatap datar dan tersenyum terpaksa.

Untitled LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang