Mereka mengandaikan pertemuan adalah sebuah tatap muka. Mereka bahkan tidak tahu bagaimana cara Tuhan menuliskan drama kehidupan ini. Lahir, tumbuh, sakit, sembuh, bertemu seseorang, jatuh cinta, menikah, punya anak, tua, sakit, lalu meninggal. Tidakkah itu terlalu monoton menurut kalian? Apa? Ini bukan tentang bagaimana aku menghujat caraNya menulis nasib, hanya saja ketika hatimu berkata berbeda... tidakkah nasib mengantarkanmu pada kisah yang lain? Bukankah pada cinta yang hakiki seharusnya kita kembali?***
Aku sampai di tempat ini dengan kedongkolan yang mengakar erat. Tidak ada sinyal, itu artinya aku tidak akan bisa menghujat Gian untuk tiga hari ke depan. Aku masih harus tergabung dalam kegiatan menyebalkan ini meski surga duniaku sedang terhampar luas tanpa bisa kutangkap dalam lensa kameraku. Kekasihku itu sedang dalam keadaan terculik.
"Besok kita mulai mendaki. Siap-siap, ya! Kalian boleh istirahat dulu, besok kita harus mendaki dan melakukan reboisasi!" Irjo memberi aba-aba, disambut dengan semangat peserta. Aku melotot. Hah? Mendaki apa? Ketika mataku menatap Irjo, dia pura-pura tidak tahu.
Ketika para peserta bubar, aku melompat ke arah Irjo dan bersiap menghujatnya. Irjo tergelak geli dengan ulahku, bahkan dia terlihat senang-senang saja ketika aku mengumpat. Astaghfirullah, Mamah... anakmu ini sudah lupa diri!
"Siapa yang menyuruh kita naik gunung?!" tanyaku meledak.
"Harusnya kamu senang, Nan! Nanti... uhuk... di atas pemandangannya lebih bagus!"
Aku melongo. Terkadang aku sangat naif. Hanya dengan iming-iming pemandangan bagus saja aku sudah tergoda. Aku melepaskan cekikanku di leher Irjo. Irjo menaikkan alisnya, lalu mengulurkan kekasihku yang sudah lama dia culik. Akhirnya setelah sekian jam berpisah, aku bisa memeluknya lagi.
"Serius?" tanyaku ragu.
"Kami butuh kamu untuk apa? Tentu saja untuk mengabadikan pemandangan indah."
"Bukan untuk dokumentasi kalian, bukan?" tanyaku lagi. Curiga. Irjo menggeleng kencang. Dia menunjuk panitia yang membawa sebuah kamera digital. Aku mengangguk paham. Jadi memang tujuanku di tempat ini bukan untuk menjadi seksi dokumentasi. Lagipula aku juga bukan panitia, kenapa harus sibuk menjadi seksi foto-foto?
Aku menurut ketika Irjo mengatakan aku harus istirahat untuk memulihkan tenaga. Besok aku harus ikut mendaki. Meski bukan gunung tinggi, namun gunung itu tidak rendah juga. Maksudku, sebuah gundukan pastinya lebih tinggi daripada sebuah dataran. Aku paham kalau para panitia tidak akan membiarkan peserta dalam bahaya, jadi mereka memilih gunung mati seperti ini untuk didaki.
Aku hanya harus istirahat. Harus istirahat....
***
Aku tercekat, terpikat. Mataku terbelalak kaget, mencoba menelusuri rasa yang kian membuncah berantakan dalam hatiku. Berkali-kali kuucap tasbih, namun keindahan masih saja terlihat lebih indah seribu, tidak... sejuta kali lebih indah daripada yang kuduga. Mungkin Allah menciptakan surga dan taman nirwananya yang indah, aku tidak perlu memujinya karena aku tak tahu.
Surga punya sungai susu, namun di depanku bukan sungai susu. Tak masalah, aku tidak terlalu serakah. Jemariku bergerak. Aku menangkap gambar-gambar itu dalam lensaku. Sementara yang lain sedang sibuk mengangkuti bibit pohon dan juga cangkul, aku masih sibuk mengabadikan apa yang kulihat sebelum mentari benar-benar membumbung tinggi.
"Aku bersyukur tidak mengundang anak fotografi lebih banyak." Irjo tersenyum di sebelahku, bermaksud menyindir dengan raut jahilnya.
Aku tersenyum puas.
"Kalau kamu mengundang kami, mungkin kami akan lebih senang keluyuran daripada reboisasi."
Irjo bersiap membuka mulut untuk menghujat, namun aku lebih tanggap. Aku terkikik geli, terbahak kencang. Kali ini nyawaku sudah terkumpul. Aku ingin berkeliling lebih jauh lagi untuk menangkap beberapa pemandangan. Matahari sudah mulai bergerak naik, sementara para peserta sibuk menggali lubang dan meletakkan bibit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Nama Tuhan Kita Berbeda
General FictionIni kisahku dengan seorang lelaki. Lelaki yang bahkan membuatku tak mampu berpaling darinya. Kami berbeda dan sama dalam satu waktu. Aku teguh dengan tasbihku. Dia menyandang ajaran omkaranya. Aku bersujud di sajadahku lima waktu sehari, dia bersemb...