[2] Keputusan Cherine

54 6 4
                                    

Siang ini Cherine hanya berbaring di kasur kamarnya. Ia memandang langit-langit kamar yang telah ia hias dengan tempelan kertas warna-warni. Cherine juga memiliki hobi menghias kamar dengan alasan agar dia betah di dalamnya. Benar saja, berkat hasil karyanya itu terkadang membuat dirinya malas keluar dari kamar untuk membantu sang ibu.

Saat ini pikirannya menerawang kemana-mana, ia mempunyai rencana yang telah disusun dengan mantap. Hanya saja ia terlalu takut untuk membicarakannya dengan sang ibu.

Mengingat rencana besarnya memiliki potensi bahaya yang besar dan menyangkut pada kejadian yang menimpa ayahnya, membuat ia semakin tak berani mengemukakan keinginannya untuk kedua kali. Minggu lalu ia kalah telak dengan ibunya dan membuat Cherine harus kembali mengurungkan niatnya.

Cherine mengambil sebuah catatan mantra sihir milik ayahnya dulu. Ia membolak-balikkan halaman buku yang pernah ditulis ayahnya, Hillary Gride.

Cherine meraba tulisan tinta hitam itu dengan miris. Ia sangat merindukan ayahnya.

Hillary Gride dulunya adalah seorang ksatria sekaligus penyihir kerajaan. Hillary juga cukup dikenal oleh sebagian warga Revaille. Bersama teman baiknya, Aria Aslan mereka menjadi dua ksatria kepercayaan Raja Zedd pada awal pemerintahannya.

Namun karena ia seorang penyihir, keinginan untuk meningkatkan kekuatan pun muncul dalam benaknya setelah sekian lama. Awalnya Aria tak setuju dengan rencana Hillary, namun Aria yang hanya manusia biasa tak bisa memaksakan kehendaknya. Akhirnya, Hillary bersama tiga orang temannya melakukan penaklukan bersama. Hillary pergi meninggalkan istri, seorang anak perempuan, dan seorang anak lelakinya yang masih berumur 7 tahun.

Tanpa ia sadari, manik hijaunya mulai kabur oleh gumpalan air. Tak kuasa ia meneteskan air mata dan  membasahi halaman catatan ayahnya. Ia buru-buru mengusap mata dan menyimpan kembali catatan ayahnya.

Baiklah, aku harus mengatakannya pada ibu! Aku harus bisa mengabulkan keinginan ayah! Cherine bertekad dalam hati.

Kini ia beranjak keluar kamar untuk menemui ibunya. Ia mengelilingi rumah mencari sosok wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya kini.

Cherine menyusuri kamar, dapur, dan halaman belakang namun ia tak menemukan ibunya.

Ia terhenyak menyadari sesuatu. Siang ini seharusnya ibu berada di pasar, sedangkan adik lelakinya pasti sedang berkeliaran dengan Zurich.

Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. Cherine sudah lama tidak berkunjung ke makam ayahnya.

Pemakaman umum Revaille, di sana ayahnya dan warga Revaille lainnya yang sudah meninggal dikuburkan. Di Revaille, sudah menjadi keharusan untuk menguburkan orang yang telah meninggal. Tidak dibakar habis ataupun dikremasi dan disimpan abunya.

Cherine berjalan santai menuju komplek pemakaman. Siang ini cukup terik sehingga membuatnya harus menggunakan topi berujung lebar. Namun sialnya, ia malah terlihat seperti turis yang hendak ke pantai.

Cherine terus berjalan tanpa mempedulikan tatapan orang sekitar yang mengarah ke topinya. Ia menelusuri keramaian pasar dan mengambil sebuah gang kecil menuju komplek pemakaman.

Dari pangkal gang, Cherine sudah dapat melihat jejeran rapi batu nisan dengan beberapa pohon rindang. Angin yang berhembus semakin membuat langkahnya terus bergerak menuju makam ayahnya.

Cherine berhenti sejenak dan menatap sebuah gundukan tanah dengan nisan bertuliskan Hillary Gride. Kemudian gadis ini berjongkok di sebelah gundukan itu dan mengusap nisannya perlahan.

"Ayah, apa kabar? Kau baik-baik saja?" tanya gadis ini sambil menahan tangisnya.

"Aku akan melakukan penaklukan ayah, kuharap kau mengizinkanku." Lanjutnya bersamaan dengan hembusan angin yang menerbangkan dedaunan dan menggerakkan dahan pohon.

HIROOZU : Save The PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang