Sejak awal aku tak pernah menyadari, bagaimana aku bisa sampai pada ujung perasaan ini. Aku merasa semuanya mengalir begitu saja. Ketika aku yang tak pernah mendamba teman ini mendapatkannya dalam balutan yang luar biasa. Lengkap. Karena dia hadir, selain sebagai teman juga sebagai hal aneh yang menendang-nendang pintu hatiku. Dia tidak mengucapkan "Assalamualaikum", namun dia mengatakan "Om Swastiastu". Meski cara kami mengucap salam berbeda, namun semuanya sudah sampai di hatiku...***
Awalnya kupikir Navers adalah sebuah komunitas gabungan yang akan segera bubar begitu hari Bumi selesai. Sayangnya ternyata tidak seperti itu. Navers tetap berlanjut seperti biasa. Bahkan sesekali mereka juga mengundang kami untuk berkumpul dan melakukan kegiatan amal. Aku tidak tahu kalau Irjo - otak dari semua ini - dikombinasikan dengan adanya Gian akan mengutusku lagi.
Kali ini aku tidak menolak, melainkan bertanya.
"Dari Hiking siapa yang ikut?"
Irjo menggaruk tengkuknya. Dia menunjuk dirinya sendiri. Aku berdecih. Kenapa dia harus ikut? Mengganggu saja! Dia selalu saja mengacaukan kebersamaanku dan Aftan.
"Aku."
"Selain itu?"
"Aftan tentu saja."
Kali ini degup jantungku menggila. Tidak ada hal yang pantas disandingkan dengan sebuah kebahagiaan yang lengkap tentang bagaimana hati merasa. Aku tersenyum, mengangguk ke arah Irjo dengan raut antusias.
"Aku ikut."
Gian menunjukku. Dia adalah satu-satunya orang super peka yang terlalu menakutkan untuk didekati. Dia seperti sedang membaca hatimu, tahu segala hal yang bahkan masih kamu rencanakan. Dia akan selalu menunjuk, lalu berdehem dan berdecih. Dengan senang hati dia akan bertepuk tangan lalu mengangguk.
"Aku tahu alasannya."
Aku merinding tiap kali Gian mengatakan kalimat itu. Dia akan mendekat, lalu menatap tajam lawan bicaranya dan mulai menebak. Tebakannya tidak hanya tebakan sambal, namun juga komplit dengan bumbu mengadili dan menginterogasi. Sudah cukup aku didesak untuk mengaku hal-hal memalukan yang pernah kulakukan selama di kos.
"Kenapa?" Irjo mengerling. Dia tersenyum jahil menatapku.
"Karena Aftan."
Allahu akbar!
Irjo dan aku terbatuk. Terlebih aku yang menjadi sumber dari segala dugaan dan interogasinya. Gian menunjuk wajahku lalu tersenyum.
"Kalian berdua cocok."
"Cocok dari mananya?" Irjo menyenggol lengan Gian. Aku benci kalau mereka berdua bertemu dan bekerja sama untuk menghujatku. Irjo selalu saja datang ke UKM kami, lalu mulai memperhatikan foto-foto terbaru. Sesekali dia mengomentari hal-hal yang kami jepret, meski aku tahu dia sama sekali tidak tahu apa-apa soal dunia Fotografi.
"Aftan anak yang manis, ramah, dan juga lembut. Dia...?" Gian menunjukku lagi, mulai dari kakiku lalu naik ke kepala. Aku muak. Kesal. Marah. Sayangnya aku tahu kalau apa yang Gian ucapkan memang benar.
"Di Navers aku sering menjadikan mereka partner." Irjo mengangguk cepat. Gian bertepuk tangan puas.
"Mereka akan dekat dengan sendirinya, Jo!"
"Adnan terlalu kaku! Aku tidak suka kalau adik manis kami dianiaya."
Aku berdecih dan berucap cepat, "Siapa yang ingin menganiaya adikmu itu?!"
Gian dan Irjo berpandangan. Mungkin ini lucu. Aftan seperti menjadi adik kesayangan anak UKM Hiking. Tidak, dia juga jadi adik kesayangan di UKM-UKM lain yang berdempetan dengan ruangan mereka. Aftan selalu menjadi adik paling polos yang patut dilindungi, atau dijaga. Meski anak itu terkadang berkeliaran seenaknya. Para dosen seringkali terlihat berbicara dengan anak itu. Aku tidak pernah keberatan kalau dijadikan partner Aftan, hanya saja aku semakin curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Nama Tuhan Kita Berbeda
General FictionIni kisahku dengan seorang lelaki. Lelaki yang bahkan membuatku tak mampu berpaling darinya. Kami berbeda dan sama dalam satu waktu. Aku teguh dengan tasbihku. Dia menyandang ajaran omkaranya. Aku bersujud di sajadahku lima waktu sehari, dia bersemb...