senopati pamungkas - potongan 2

3.2K 21 2
                                    

Bagaimana mungkin bisa berada di kurungan bawah Keraton ini?
Pertarungan Matahari dengan Rembulan
Dewa Maut muncul dari salah satu lorong.
Bibirnya menyunggingkan senyum, lalu menjadi tawa yang mengekeh,
sebelum akhirnya berubah menjadi kecut sewaktu melihat Nyai Demang.
“Hoho, kamu bukan Tole.”
Dewa Maut langsung memutar tubuh.
Nyai Demang meloncat tinggi dan menutup jalan di depan Dewa Maut.


“Tunggu dulu. Masa begitu bertemu langsung pergi begitu saja?”

“Aku mau ketemu Tole. Kini aku tahu bahwa srengenge kalah dening
rembulan. Seumur-umur kita mempelajari pembukaan kitab itu, baru hari ini aku
tahu.

“Tapi aku tak mau memberitahu kamu. Aku hanya mau memberitahu Tole-ku

seorang.”

Nyai Demang bercekat.

Sifat Dewa Maut tetap tidak berubah. Ingatannya yang menceng makin parah.

“Aku tahu tentang Gendhuk Tri.”

“Aku tidak tanya Gendhuk. Aku mau Tole.”

“Baiklah, aku tahu tentang keponakanmu, tentang kekasihmu itu.”

Dewa Maut menunduk malu-malu.

“Katakan lebih dulu, sejak kapan kamu berada di sini?”

“Hoho, sejak aku tahu bahwa matahari bisa dikalahkan rembulan.”

Nyai Demang jadi serbasalah.

Tadinya mengira bahwa dengan bertemu Dewa Maut, agaknya ia mempunyai

harapan untuk lolos. Akan tetapi nyatanya malah membuat makin jengkel.

Namun Nyai Demang tidak cepat berputus asa. Biar bagaimanapun, kini ia
mempunyai teman yang bisa diajak bicara. Kalau sampai Dewa Maut muncul dari
lorong yang lain, berarti ada jalan lain! Tak mungkin Dewa Maut jatuh dari atas tanpa
hancur tulangnya. Walau ilmunya menjadi seratus kali lebih tinggi, tak bakal ada

yang selamat kalau dilemparkan ke bawah.

“Sejak kapan kamu meninggalkan Perguruan Awan?”

“Sejak aku tahu bahwa garuda bisa dikalahkan burung prenjak.”


“Sejak kapan garuda dikalahkan burung kecil?”
“Sejak harimau kalah bertarung melawan menjangan.”
“Aku tahu semua yang kamu katakan.
“Singa bisa kalah melawan kancil, kucing kalah melawan tikus, ular kalah


melawan katak.

“Benar?”

“Ya, kamu mencuri ilmu itu dari mana?”

“Dewa Maut, dengar baik-baik. Kita mempelajari pembukaan Kitab Penolak

Bumi itu secara bersama-sama. Ingat? Ada Adimas Upasara Wulung…”

“…Ya…”

“Ada Paman Jaghana…”

“Hmm.”

“Ada Paman Wilanda, Galih Kaliki…”

Dewa Maut menggelengkan kepalanya.

“Ada Nyai Demang…”

“Hmm.”

“Ada Tole…”

“Ya, mana dia?”

“Dia menunggu di luar. Kalau kita bisa keluar bersama, kita akan bisa

menemuinya.”

Di luar dugaan Dewa Maut menggelengkan kepala.

“Tak ada gunanya. Tole akan menjemputku kemari. Sejak di hutan kami telah

berjanji. Dan aku dibawa kemari oleh orang bertopeng kulit kayu.”


“Kamu mengenal Klikamuka?”
“Dia yang mengatakan aku harus berada di sini.”
“Bagaimana kalau kita keluar bersama-sama?”
“Tidak mau.”
Nyai Demang menyingkir.
“Baik kalau begitu. Aku akan keluar sendiri. Akan kutemui Tole dan akan


kukatakan tak usah menemui Dewa Maut yang sudah tidak waras.”

Dewa Maut jadi ragu.

“Baik, selamat tinggal.”

Nyai Demang masuk lewat lorong dari mana Dewa Maut muncul. Terus
berjalan dengan memilih ancar-ancar kiri-kanan. Akan tetapi sampai berkeringat,
akhirnya kembali ke tempatnya semula. Terpaksa keluar, meneliti jalan yang tadi
menuju tanah lapang.

Dewa Maut masih berada di tempatnya.

“Hoho, akhirnya kamu kembali lagi kemari. Sudah kukatakan di luar tidak

menyenangkan.”

“Aku tak bisa keluar,” kata Nyai Demang lirih.

“Dusta!

“Kamu tak bisa mendustaiku. Lebih mudah keluar daripada masuk. Hoho, aku

tak bakal kena didustai.”

“Bagaimana mungkin begitu gampang keluar?”

“Ya, kamu sudah tahu pembukaan Kitab Penolak Bumi. Sebenarnya kurungan
ini dibuat berdasarkan pembukaan kitab itu. Ketika aku mencobanya, memang
gampang sekali. Tapi aku juga seperti kamu, aku lebih suka kembali ke sini.”


Nyai Demang memandang kecewa.
Kalau kembali lagi, itu sama juga tidak bisa keluar!
Tapi mana mungkin Dewa Maut mempermainkan? Mendadak Nyai Demang


bergerak cepat. Jubah Dewa Maut kena dicekal. Sesuatu yang disembunyikan di balik
jubah bisa diambil.

Nyai Demang tak percaya pada apa yang dilihatnya.

Dua buah gelang!

“Jangan ambil, itu buat Tole.”

Nyai Demang mengembalikan dengan baik. Kini ia yakin bahwa Dewa Maut
benar-benar bisa keluar dan bisa masuk kembali. Gelang itu pasti tidak
disembunyikan ketika ia ditawan. Lagi pula kalau sejak lama berada dalam tempat
yang sama, mana mungkin ia tidak mengetahui sama sekali.

“Ambil kembali gelangmu. Tapi carikan buat aku.”

“Aku takut.”

“Bagus, kalau begitu aku akan mengiringkan di belakangmu. Nanti akan

kuambil sendiri.”
“Hoho, hanya Tole yang bisa memerintah aku. Kenapa kamu tidak pergi

sendiri?”

“Bagaimana caranya?”

“Dalam pengantar Kitab Penolak Bumi dikatakan bahwa burung garuda yang
perkasa kalah dari burung prenjak, harimau kalah oleh menjangan, gajah kalah oleh
macan, matahari kalah oleh rembulan, kucing kalah oleh tikus, anjing kalah oleh
kancil, dan ular kalah oleh katak.”

“Lalu?”

“Kita ikuti saja kata-kata itu.”

Nyai Demang tertunduk lemas.


Ia mencari akal lain. Dengan menyelinap di balik lorong yang ada, ia akan
mengikuti Dewa Maut! Inilah salah satu cara terbaik. Pasti Dewa Maut akan keluar
dari tempat ini.

Mendapat pikiran begitu, Nyai Demang agak tenang.
Apa yang diperkirakan ternyata benar. Tak sampai sore, Dewa Maut sudah berdiri
sambil menghafalkan pembukaan Kitab Penolak Bumi. Nyai Demang mengikuti dari
belakang. Sengaja mempergunakan cara meringankan tubuh agar tidak membuat
Dewa Maut curiga.

Akan tetapi pada suatu tikungan, Dewa Maut lenyap dari pandangannya!

Seperti ditelan bumi!

Dan begitu Nyai Demang mengejar sekenanya, akhirnya kembali ke
tempatnya semula!

Ini benar-benar aneh dan tak bisa dimengerti.

Dewa Maut bisa memecahkan rahasia kurungan di bawah tanah ini dengan
pembukaan dari Kitab Penolak Bumi. Ia bisa mengidungkan dengan baik, akan tetapi
tidak bisa berbuat apa-apa.

Jangan-jangan aku sudah gila, pikir Nyai Demang. Tak ada Dewa Maut. Hanya
karena selama ini aku tak berjumpa dengannya, aku merasa bertemu.

Namun esoknya, Nyai Demang menjumpai Dewa Maut duduk di lapangan
sambil minum tuak, sejenis minuman keras yang dibuat dari buah aren.

Ini berarti bukti yang lain bahwa Dewa Maut bisa keluar-masuk Keraton.
Bahkan bisa mengambil makanan dan minuman.

Ini berarti tetap tak bisa diikuti. Karena justru ia yang waras dan memiliki
ilmu lebih tinggi, tak bisa menguber Dewa Maut.

Benar-benar seperti garuda yang dikalahkan prenjak!

Seperti matahari yang dikalahkan sinar rembulan.

“Dewa Maut, kenapa kamu tidak mengajakku?”


“Aku membawakan untukmu.”
Dewa Maut memberikan kendi yang berisi minuman keras.
Nyai Demang mengembalikan.
“Aku ingin santapan Baginda.”
“Tidak, aku tidak mencuri. Aku hanya mengambil sisa-sisa yang ditinggalkan


para prajurit.”

Nyai Demang menghela napas.

Inilah akhir dari perjalanan hidupnya. Terkurung dalam tahanan bawah tanah,

ditemani seseorang yang bisa keluar-masuk, tapi ia tetap berada di dalam. Betapa
menyakitkan!
Laku, Kunci Segala Kunci
SATU-SATUNYA harapan bagi Nyai Demang hanyalah menggertak Halayudha.


Maka begitu Halayudha muncul lagi sambil membawa makanan serta pakaian
ganti, Nyai Demang memperlihatkan gelang serta makanan dari Dewa Maut.

Halayudha mengerutkan kening.

“Apakah kamu merasa heran bahwa aku bisa keluar dan masuk dari tempat
ini?”

“Betul-betul menakjubkan. Akan tetapi bagaimana mungkin?”

“Sangat sederhana.

“Lorong dalam tahanan bawah Keraton ini disusun sedemikian rupa sesuai
dengan pembukaan Kitab Penolak Bumi.”

“Mustahil.”

“Apa lagi yang kaubanggakan?


“Aku hanya ingin menunjukkan bahwa seharusnya aku dibawa secara baikbaik
dan dilepaskan secara baik-baik. Sebab aku akhirnya toh bisa keluar sendiri.”

Dengan taktik ini, Nyai Demang berharap bisa dibawa keluar dengan baikbaik.


“Aku sudah membaca Kitab Bumi. Baik Dua Belas Jurus Nujum Bintang,
maupun Kitab Penolak Bumi. Dari pembukaan sampai bagian akhir. Rasanya tak ada
yang menjelaskan cara mengatur lorong-lorong di bawah ini.”

“Aha, mana mungkin kamu bisa membaca dengan baik?

“Dengar baik-baik, kalau ingin kupecahkan rahasia itu.”

Halayudha bergerak. Tanpa menggeser kaki. Hanya telapak tangannya yang
bergerak cepat. Mengusap wajah Nyai Demang yang mendadak merasa sangat
mengantuk. Begitu mengerahkan tenaga melawan, keletihan malah membebani.
Antara sadar dan tidak, Nyai Demang sadar bahwa ia terkena pengaruh Aji Sirep
Laron.

“Nyai Demang, sekarang kamu hanya mendengar dan menuruti apa yang
kukatakan. Mengerti?”

“Mengerti.” Nyai Demang tak bisa menguasai bibirnya untuk tetap terkunci.

“Apa benar bahwa kunci untuk keluar dari lorong ini ada di dalam pembukaan
Kitab Penolak Bumi?”

“Ya.”

“Di bagian mana?”

“Pada pembukaan.”

“Aku tahu pada bagian pembukaan. Akan tetapi bagian yang mana?”

Nyai Demang yang memang belum mengetahui, hanya mengulang jawaban.

“Dengar baik-baik. Saat ini aku bisa membunuhmu. Semudah menggaruk
lutut. Mengerti?”


“Mengerti.”
“Dan aku akan membunuhmu, karena kamu telah menjadi bahaya. Aku akan


memusnahkan semua ilmu yang kamu miliki. Mengerti?”
“Mengerti.”
“Harus mau.”
“Ya.”
“Kidungkan bagian pembukaan secara lengkap.”
Nyai Demang duduk bersila. Suaranya mengalun merdu:

Tiada niat
tiada ambisi, tiada minat
sebab itu tak ada
jangan memakai akal pikiran
itu menyesatkan
jangan memakai akal budi
itu jalan buntu


kunci dari kunci
adalah laku
laku itu buat niat
buat minat, bukan akal



bukan pikiran
bukan kunci
laku itu laku
laku
laku adalah pembuka
kitab penolak bumi
sebab laku yang membuat garuda kalah melawan
prenjak, harimau kalah dengan menjangan, singa kalah
melawan kancil, matahari kalah melawan rembulan’
kucing kalah melawan tikus, anjing kalah dengan
kancil, ular kalah dengan kodok
laku itu melawan, laku itu tiada
dibuka dengan laku, itu kitab ini…


Halayudha menggelengkan kepalanya
“Bagaimana cara memahami lorong ini dengan kidungan macam itu?”
“Garuda kalah melawan prenjak, harimau kalah.,.”
“Cukup,
“Nyai Demang, apa boleh buat. Kita berpisah sekarang. Kalau takdir


menentukan lain, kita akan bertemu lagi. Karena saya akan sangat sibuk, saya tak bisa
menengok kamu lagi
“Selamat tinggal, Nyai.”


Halayudha mengusap Nyai Demang, Bukan untuk membebaskan, akan tetapi
untuk menambah pengaruh sirepnya. Kemudian dengan langkah pasti meninggalkan
Nyai Demang,

Tinggal Nyai Demang bersila sendirian

Seluruh pikirannya kacau, Bolak-balik, antara mimpi dan mengigau, Antara
sadar dan tidak, Nyai Demang melihat Dewa Maut muncul, mendekatinya,

Nyai Demang berusaha berteriak, akan tetapi Dewa Maut seperti tak bisa

mendengar

“Kamu kenapa bersila di situ?

“Aku sudah ambilkan makanan Raja. Ini dia.”

Nyai Demang hanya menatap kosong,

“Nyai, kamu ngambek? Marah padaku?”

Dewa Maut menggelengkan kepalanya

“Baiklah, aku katakan saja, Kamu toh sudah tahu bahwa garuda kalah melawan
prenjak, adalah sepuluh langkah. Sedangkan macan dikalahkan menjangan adalah
enam langkah, Lalu dua langkah, empat langkah, sebelas, tiga belas langkah, dan dua
belas langkah, Lalu berulang dari awal lagi,

“Nah, apa lagi yang kau ingin saya ulangi?”

Perlahan Nyai Demang seperti tersadar Bahwa untuk menelusuri loronglorong
itu dengan perhitungan berapa pecak atau berapa langkah sudah ada
perhitungan sendiri jadi dalam melangkahi sama sekali tidak memedulikan lorong kiri
atau kanan, maju atau mundur!

Tetapi lebih kepada hitungan kidungan!


Nyai Demang menangkap sifat-sifat yang disebutkan Dewa Maut dan dengan
mudah menghafalkan. Meskipun jumlah langkah itu tak ada dalam kidungan, akan
tetapi mudah dimengerti Bahwa garuda dikalahkan prenjak adalah sepuluh langkah.

Nyai Demang berusaha bangkit,

Namun malah kembali terguling

Ingin berteriak, akan tetapi tenggorokannya malah sakit, ingin membuka

bibirnya, akan tetapi malah tertekan!
Dewa Maut memperhatikan Nyai Demang, Lama menunggu sebelum akhirnya

mendudukkan

“Apa sebenarnya maumu?

“Kamu ingin aku membopongmu? Menyuapi?

“Nyai Demang, kamu harus tahu, Bahwa selama ini aku tak pernah memegang

tubuh wanita, Aku justru merasa jijik, Kamu tahu kalau aku tak mau menolongmu,”

Dewa Maut segera pergi meninggalkan

Akan tetapi ketika kembali, posisi Nyai Demang sedikit pun tak berubah,

“Hoho, apa sebenarnya maumu?

“Kenapa kamu begitu keras kepala seperti Tole?”

Pikiran waras Dewa Maut memang terganggu, Sejak sebelum ilmu racun
dalam tubuhnya lenyap bersama tenaga dalamnya, Dewa Maut sudah dikenal paling
aneh adatnya.

Namun meskipun demikian, Dewa Maut pada dasarnya manusia yang baik
Apalagi saat-saat terakhir digembleng secara tidak langsung di Perguruan Awan,
Selalu bersama-sama dengan Nyai Demang dan yang lainnya, Yang hidup saling
menolong dan rukun.

Maka Dewa Maut mendudukkan Nyai Demang, Lalu berusaha menyuapi, Nyai
Demang dipaksa membuka mulutnya, Akan tetapi makanan itu terhenti di bibir,
“Kunyah.”


Pandangan Nyai Demang tetap kosong, “Kauminta aku yang mengunyahnya?
“Nyai, aku tak bisa memegang tubuh wanita, Apalagi mengunyahkan

makanan,”

Dewa Maut segera pergi meninggalkan

Akan tetapi ketika kembali, Nyai Demang tetap di tempatnya.

Walaupun kurang waras, pikiran Dewa Maut masih bisa berjalan dengan

normal kalau berhubungan dengan ilmu silat. Meskipun tenaga dalamnya sudah
hilang, pengetahuannya tidak surut karenanya

“Jangan-jangan jalan darahmu kena totok,”

Dewa Maut membulatkan hatinya untuk meraba nadi Nyai Demang di kedua
tangan dan kaki, Tentu saja aliran darah Nyai Demang tetap normal.
Laku, Bukan ilmu

Dewa Maut menggelengkan kepalanya

“Kamu kena aji sirep?”

Dewa Maut bisa mengerti tentang aji sirep justru karena Gendhuk Tri yang
dianggap sebagai Tole-nya pernah terkena aji sirep Pu’un yang berasal dari Banten,

“Pasti, Tapi bagaimana caranya mengatasi?”

Selama Dewa Maut sibuk, Nyai Demang bisa melihat, bisa mengetahui Hanya
saja reaksinya yang tak bisa dikuasai sepenuhnya. Justru di saat ingin menggerakkan
tangan, Jadinya malah kaku.

“Wah, bagaimana obatnya, Nyai?

“Aku tak bisa. Kenapa kamu tak mencoba sendiri? Kamu kan hafal Kitab
Penolak Bumi, Namanya saja sudah tumbal, berarti itu jurus yang serba penolakan,
Apa saja ditolak lebih dulu. Termasuk… hehe, termasuk apa ya?

“Kamu mulai saja, Nyai


“Mulai dengan tiada.,.”

Nyai Demang mulai memusatkan pikirannya Mengikuti petunjuk yang
terdengar di telinga, Akan tetapi hasilnya sama lagi. Begitu mencoba memusatkan
perhatian, Jadinya malah mengantuk Nyai Demang memaksakan dirinya.

“Lho, kok malah mendengkur?”

Dewa Maut menggaruk-garuk kepalanya. Sehingga rambutnya yang putih
rontok. Beberapa kali menggoyangkan tubuh Nyai Demang, ternyata tak ada
gunanya,

“Celaka kalau kamu mati di sini, aku bisa disalahkan Tole, Aku yang akan
dituduh menjadi pembunuh, Ayo, sembuh… sembuh.,.”

Dalam bingungnya Dewa Maut menggoyangkan tubuh Nyai Demang,
Merangkul, membuka mata Nyai Demang.

“Ya sudah, kalau kamu pilih mati!

“Itu maumu sendiri.”

Antara sadar dan samar, Nyai Demang mendengar suara Dewa Maut. Rasanya
yang dikatakan Dewa Maut benar. Daripada menyusahkan diri, kenapa tidak
membiarkan dirinya hanyut dalam kantuk yang bergulung menyeretnya? Kenapa
harus memikirkan garuda dikalahkan burung prenjak dalam sepuluh langkah?

Kenapa menyiksa diri?

Antara sadar dan tidak, Nyai Demang menyerahkan diri kepada seretan tenaga
yang mengisapnya, Muncul dan lenyap bayangan Baginda Raja, Halayudha, Upasara,
Gendhuk Tri, Jaghana, Dewa Maut, suaminya yang dulu, Upasara lagi, peperangan,
Gayatri, Halayudha, dan kidungannya yang belum selesai

Nyai Demang melanjutkan dalam hati:

…laku itu bukan ilmu


sebab ilmu itu keliru
laku itu bukan rasa
sebab rasa itu buta
pikiran tak menyelesaikan
perasaan tak mendamaikan


laku itu
bukan ini bukan itu
itulah laku…


Nyai Demang merasa makin dalam terseret ke pusaran yang tak dikuasai
sedikit pun. Tak tahu bahwa Dewa Maut makin kencang memeluknya, makin Sering
membuka matanya, dan makin kebingungan.

“Celaka, kalau mati begini, bagaimana cara menguburnya?

“Kenapa tidak di luar saja?

“Bagaimana mungkin aku menggendongmu ke luar?”

Berjingkrakan ke sana kemari, akhirnya Dewa Maut jadi lelah sendiri

Akhirnya ia menunggui di dekat Nyai Demang, Sampai beberapa saat ia mendengar
suara lirih.

“Ha, kamu hidup lagi, Nyai?”

Karena dalam gua begitu gelap, Dewa Maut tak tahu apakah suara itu berasal
dari Nyai Demang atau yang lainnya, Lagi pula Dewa Maut tak bisa melihat wajah
Nyai Demang,

“Kamu atau sukmamu yang barusan bicara?


“Dulu aku dijuluki Dewa Maut karena suka mencabut nyawa, Dalam setiap
pertempuran, aku selalu membunuh orang, jadi kalaupun kamu sukma atau setan, aku
tak takut “Nyai.,.”

Dewa Maut kaget karena lengannya dicekal

“Jadi kamu benar-benar hidup?”

Terdengar helaan napas.

Telapak tangan Dewa Maut dicekal kencang.

“Hei, jangan pegang-pegang seperti ini.”

Terdengar lagi tarikan napas.

“Tiada keinginan, itulah keinginan.”

“Bagian dari kitab mana lagi itu?”

“Ayolah, Dewa Maut, bantu aku bersemadi Agar tenagaku pulih kembali.”

“Kamu ini bagaimana? He, di mana wajahmu? Jangan-jangan aku bicara sambil
menghadap pantatmu.

“Kamu bilang tiada keinginan, sekarang suruh membantu memulihkan tenaga.
Apa sebenarnya yang kamu harapkan?”

Nyai Demang menggenggam kedua tangan Dewa Maut.

Perlahan mulai mengatur napas,

Tak ada jalan lain bagi Dewa Maut selain duduk bersila dan mengikuti alunan
napas Nyai Demang yang naik-turun dengan teratur

Memang Dewa Maut tak bisa memahami sepenuhnya apa yang terjadi

Bahkan Nyai Demang pun belum mau percaya!

Sewaktu mengikuti kidungan dalam hati, ketika itu terasa segalanya menjadi
enteng. Nyai Demang mengikuti lirik dalam kidungan dengan sepenuh hati


Tak mengetahui bagaimana proses berikutnya, tahu-tahu bibirnya bisa terbuka
dan mengeluarkan suara, pikirannya mulai jernih.

Pengaruh sirep mulai berkurang, akan tetapi dirasakan tenaganya masih belum
bisa dikerahkan

Apa yang terjadi dalam dirinya setengah disadari, dan setengah lagi tidak Nyai
Demang hanya merasa bahwa justru ketika ia mengikuti bunyi kidungan dengan
segenap hatinya, apa yang dikidungkan benar adanya. Pada saat ia mengerahkan ilmu,
ia justru kalah. Pada saat perasaannya tak bisa mengadakan perlawanan

Laku, ternyata bukan itu.

Seiring dengan pengertian yang perlahan merayapi, Nyai Demang jadi bisa
pulih kembali

Sewaktu sinar mentari mulai terbias ke dalam lorong yang didiami, Nyai

Demang dan Dewa Maut sudah selesai bersemadi

Dewa Maut bisa melihat bahwa cahaya mata Nyai Demang bersinar,

“Kakang Dewa Maut…”

“Aku ini Kakang?”

“Kitab Penolak Bumi sungguh kitab yang luar biasa. Aku tak tahu harus

mengatakan bagaimana. Sekian puluh kali aku menghafalkan di luar kepala, akan
tetapi rasanya baru sekarang ini aku bisa sedikit merasakan.”

“Merasakan apa?”

“Laku, itulah kuncinya, Tetapi juga bukan kunci Pantas saja selama ini tak ada
yang bisa menguasai sempurna, Bahkan Adimas Upasara selalu menemukan jalan
buntu dan kebosanan. Makin dipaksa makin tak kena.”

“He, apa yang kamu bicarakan?”

“Kakang harus mendengarkan. Mau atau tidak, Kakang harus menjalankan bila
ingin waras.”


Dewa Maut meloncat, menjauh,
“Jadi selama ini kamu menganggap aku tidak waras?”
Nyai Demang seperti tidak memperhatikan Dewa Maut
“Sesungguhnya laku itu cara, laku itu usaha. Tetapi dalam usaha memahami


Kitab Penolak Bumi caranya ialah dengan menolak ilmu, menolak akal pikiran,
menolak rasa,

Karena dengan ilmu, dengan akal pikiran, bahkan dengan rasa, kita akan
menemukan jalan buntu,

“Laku dalam memahami ajaran Kitab Penolak Bumi adalah laku.

“Kakang, masih ada kesempatan bagi Kakang. Masih ada kesempatan bagi
Adimas Upasara. Mari segera kita tinggalkan tempat ini.”

Nyai Demang berdiri

Tenaganya memang belum pulih benar, Akan tetapi pikirannya telah jernih
kembali

“Tidak, kamu pergi sendiri”

Nyai Demang menghela napas,

“Kakang mau tetap di sini?”

Dewa Maut mengangguk,

“Baiklah kalau begitu,

“Selama ini kita berdua selalu di sini Banyak hal kita lakukan bersama” sama,
Secara langsung dan tidak langsung, saya, Nyai Demang, berutang budi kepada
Kakang. Saya berjanji tak akan melupakan jasa baik ini

“Maaf, Kakang, saya akan melanjutkan perjalanan sendiri”
Benih Matahari


NYAI DEMANG tak membuang waktu sedikit pun.

Begitu selesai memberi hormat, segera ia meninggalkan tempat itu. Dari mana
pun ia mulai melangkah, ia mulai berhitung bahwa langkah pertama adalah sepuluh
pecak, di mana ada tikungan, tanpa memedulikan kiri dan kanan, langsung berbelok
Enam pecak berikutnya, mengubah lagi Kalau kebetulan lorongnya masih lurus, Nyai
Demang melanjutkan dengan dua pecak berikutnya, disusul dengan empat pecak, dan
seterusnya.

Memang dalam kidung pembuka, langkah-langkah itu tidak dituliskan. Akan
tetapi bagi yang bisa menangkap, hal itu sudah jelas, Dewa Maut pun bisa menandai
bahwa “garuda dikalahkan prenjak” berarti sepuluh, Sedangkan “harimau dikalahkan
menjangan” berarti enam,

Inti untuk memahami pembukaan itu bukanlah dengan pendekatan ilmu,
bukan dipecahkan dengan akal Walau mungkin bisa didekati bahwa “garuda
dikalahkan prenjak” lebih lama waktunya dibandingkan dengan “harimau dikalahkan
prenjak”, sedemikian juga seterusnya. Namun perhitungan akal semacam ini Sering
membuat bingung. Karena justru “matahari dikalahkan bulan” hanya berarti empat,
sementara “ular dikalahkan katak” bisa berarti dua belas.

Namun kini Nyai Demang tak mau mempersoalkan itu.

Ia menerima saja, Sebab inilah laku, Tidak dengan ilmu, tidak dengan pikiran.
Tidak juga dengan perasaan,

Setiap tujuh kali, Nyai Demang mengulang dari awal lagi. Kalaupun
perasaannya mengatakan ia seperti kembali ke tempatnya semula, tak terlalu
dihiraukan.

Hasilnya memang mengejutkan,

Dengan mudah Nyai Demang bisa muncul dari sumur di bagian dapur
Keraton. Pantas saja Dewa Maut bisa dengan tenang mencuri makanan,

Keluar dari sumur, Nyai Demang menyelinap ke arah luar, Tak terlalu menarik
perhatian karena Nyai Demang hafal jalannya dan Penampilannya tak terlalu
berbeda.

Melewati pelataran utama, Nyai Demang berada di bagian luar Keraton.


Bebaslah sudah.

Akan tetapi Nyai Demang justru menuju ke sitinggil atau bagian tanah yang
lebih tinggi yang terletak beberapa ratus tombak dari Keraton, Sitinggil Keraton
adalah bagian yang biasanya digunakan untuk mengadakan pertemuan atau latihan
perang kecuali kalau berada di alun-alun, Di tempat inilah biasanya lebih ramai
daripada di bangsal utama, di mana Baginda Raja mengadakan musyawarah dan
menitahkan segala sesuatu.

Apa yang menarik Nyai Demang adalah bahwa di sitinggil terjadi pertemuan
yang menyebabkan semua senopati Majapahit berkumpul.

Sekilas saja nampak Mpu Nambi, Mpu Sora, Mpu Renteng, bahkan Mpu Kuti
dan Semi.

Kalau semua tokoh Majapahit berkumpul pasti ada sesuatu yang penting.

Nyai Demang mencoba mendesak maju, Cepat-cepat ia memalingkan wajah
ketika Senopati Anabrang menyeruak masuk.

Di tengah ruang sitinggil, ada pemandangan yang ganjil Semua senopati duduk
bersila membentuk lingkaran, Menghadapi dua orang lelaki gagah yang menunduk
Dua lelaki gagah inilah yang menjadi pusat perhatian Bukan karena pakaian yang
dikenakan nampaknya begitu tebal dan membungkus sehingga menimbulkan kesan
gerak Akan tetapi terutama karena kedua lelaki itu menguncir rambutnya ke
belakang. Dan dua-duanya botak di tengah Bukan kotak sembarang botak, kalau
dilihat bahwa rambut di sisi masih kelihatan lebat.

Nyai Demang cukup luas pengalamannya,

Ia pernah mendengar bahwa ada ksatria yang berpakaian rapat dengan rambut
dikucir dan sebagian kepalanya dibotaki. Menurut yang diketahui, para ksatria ini
berasal dari tlatah Jepun, suatu kerajaan yang lebih dekat dengan orang-orang Tartar,
Nama besar mereka terdengar ke seantero jagat, karena para ksatria ini mempunyai
ilmu silat yang kelewat tinggi Kemampuan ksatria Jepun ini terutama sekali
memainkan pedang panjang, yang digenggam dengan dua tangan sekaligus,

Nyai Demang hanya mendengar kisah-kisah mengenai ksatria Jepun
berpedang panjang, Baru sekarang ini bisa menyaksikan!


Sewaktu memperhatikan lebih teliti, Nyai Demang lebih yakin bahwa mereka
berdua pasti dari Jepun, Karena ada sarung pedang yang panjang diletakkan di depan,
Sedangkan sarung pedang yang pendek, nampak bergantung di pinggang,

Barangkali karena Senopati Anabrang juga memainkan dua pedang, maka ia
dipanggil

Yang membuat Nyai Demang sedikit bertanya-tanya ialah bahwa sekarang
yang kelihatan menjadi pimpinan dari semua senopati yang ada adalah Mpu Nambi,
Bisa jadi Baginda sudah mengangkat mahapatih! Dan yang dipilih adalah Mpu Nambi.

“Kisanak, datangmu mengejutkan, membuat kami tak bisa menyambut dengan
baik, Perkenalkan, saya Senopati Nambi yang bertanggung jawab atas keamanan dan
ketenteraman, Boleh saya tahu maksud kedatangan Kisanak berdua?”

Dua lelaki di depannya mengangguk dengan hormat sangat dalam Caranya
menekuk tubuh menunjukkan penghormatan, akan tetapi kedua tangan tetap berada
di lutut,

“Maafkan kami, Mahapatih yang perkasa,

“Dibilang tamu jauh, memang kami dari negeri matahari bersinar ke bumi.
Kamilah yang berasal dari kelahiran matahari Akan tetapi sudah sejak lama kami
berada di tanah India, tanah kelahiran Rama Wijaya, sebelum menetap lama di sekitar
tanah Keraton ini.

“Perkenalkan, Mahapatih, saya dipanggil Kama Kalacakra, dan saudara saya ini
Kama Kalandara.”

Kama Kalandara yang diperkenalkan membungkuk dengan suara tertahan di
perut.

Bagi telinga Nyai Demang, kedua nama itu menunjukkan pengertian yang
aneh. Kama, bisa berarti benih lelaki Sangat jarang dipakai sebagai nama. Meskipun
jelas itu bukan nama asli, agaknya si pemilih sengaja mengambil nama itu. Tanpa
merasa risi Sedangkan Kalacakra maupun Kalandara mempunyai arti yang sama, yaitu
matahari.

Bahwa mereka memilih nama yang diartikan sebagai “benih matahari” tak
begitu menjadi soal. Akan tetapi kedua nama yang artinya sama, memang
mengundang tanda tanya.


Dilihat dari caranya berbicara, Nyai Demang yakin bahwa kedua “benih
matahari” sudah sangat mengenal cara berbahasa setempat.

“Kami adalah gelandangan yang tidak mempunyai rumah dan tempat untuk
berteduh. Kami datang kemari untuk melihat kebesaran Keraton Majapahit, sekaligus
ingin melihat apakah benar di sini disimpan Tumbal Bantala Parwa.”

Senopati Anabrang mengertakkan giginya.

“Kalau benar tersimpan di sini, apa maksud kalian? Kalau tidak tersimpan di
sini, mau apa?”

Kama Kalacakra mendongak

Garis-garis di wajahnya memperlihatkan keteguhan sikap dan sekaligus
kejantanan yang luar biasa.

“Kalau ada di sini, kami mau melihat apakah itu kitab pusaka kami. Kalau
benar ya, kami mau membawa kembali Kalau tak ada, kami akan mencari.”

Jawaban dan sekaligus tantangan

“Tunggu sebentar, Kisanak ” Suara Mpu Nambi tetap merendah nadanya. “Dari
mana Kisanak mendengar kabar kami menyimpan kitab itu, dan bagaimana mungkin
itu kitab milik Kisanak?”

Kama Kalacakra menggenggam pedangnya.

Suaranya menjadi lebih keras.

“Panjang sekali ceritanya, Kami tak tahu apakah para senopati yang sibuk
mempunyai waktu untuk mendengarkan.

“Kitab pusaka milik leluhur kami aslinya berasal dari negeri di mana sekarang
ini dikuasai oleh pendekar Tartar. Dari sanalah mengembara para pendeta ke seluruh
jagat untuk mengandalkan budi luhur, Di antaranya ada yang datang ke negeri kami,
tanah di mana matahari bersinar pertama kali Kitab pusaka itu menjadi bentuknya
yang sekarang karena jasa para leluhur kami, dan hanya keturunan Dewa Matahari
yang boleh membaca atau mempelajari Ketika kitab pusaka itu hilang, kami semua
mencari ke seluruh penjuru, Kami berdua berada di tanah Rama Wijaya, Sewaktu


pasukan Tartar datang ke tanah ini, kami mendengar bahwa di sini juga ada kitab
pusaka yang mirip dengan kitab pusaka kami.

“Itulah sebabnya kami datang kemari Karena tidak tahu kepada siapa bertanya,
kami telah lancang datang ke Keraton

“Sebelum ini kami telah menjelajah ke seluruh wilayah, dan datang ke
Perguruan Awan Karena menurut cerita di sana ada seorang tokoh yang dipanggil
sebagai Eyang Sepuh yang mengajarkan ilmu Tepukan Satu Tangan Dari namanya saja
sudah jelas itulah ilmu utama kami, Menurut cerita juga, ilmu itu diperoleh dari Kitab
Bumi, yang salah satu bagiannya bernama Kitab Penolak Bumi, Karena kitab itu
berada di sini, kami ingin melihatnya.”

Mpu Nambi menganggukkan kepalanya,

“Tak salah Kisanak datang kemari Kalau mencari Kitab Bumi, memang ada di
sini, Akan tetapi karena itu kitab pusaka kami, Kisanak tak bisa sembarangan
melihatnya.”

“Kami telah siap menghadapi segala risiko yang menghalangi terwujudnya
keinginan kami.”

Di Mana Klikamuka

SUASANA menjadi tegang.

Kama Kalacakra sudah mengeluarkan tantangan secara terbuka. Kama
Kalandara yang sejak tadi berdiam diri, sudah mempersiapkan diri

Mpu Sora berdehem kecil

“Kisanak, segala apa yang masih bisa dibicarakan, sebaiknyalah kita rembuk
bersama,

“Kami yang berada di sini, bukanlah pencuri yang menyimpan milik orang lain
itu suatu kehinaan besar, Saya kira di mana pun, seorang ksatria adalah ksatria juga
jiwanya, Tak peduli di tlatah yang mengaku terbitnya matahari, atau di tanah di mana
matahari bersinar sempurna.”

Mpu Sora tak mau kalah gertak,


Juga dalam menyusun kalimat Dengan mengatakan negerinya adalah “negeri
di mana matahari bersinar secara sempurna”, Mpu Sora meninggikan derajat tanah
kelahirannya.

“Apa yang Kisanak katakan sangat tepat. Tetapi kami tak bakal mundur karena
pembicaraan sepanjang hidup kami ini, kami berdua telah menjelajah ke seluruh
wilayah yang bisa didatangi.”

“Maaf, kami tak meragukan hal itu.

“Tapi kami meragukan bahwa Kitab Bumi, milik leluhur kami, adalah kitab
pusaka Kisanak, Kama Kalacakra!

“Dari segi bahasa dan kidungan jelas berbeda, Bagaimana mungkin Kisanak

merasa lebih berhak?”

“Semua akan jelas, jika kami telah membaca.”

Mpu Sora mengeluarkan suara dingin.

“Saya mendengar nama besar ksatria Jepun. Tetapi agaknya itu hanya nama

gertakan belaka.”

“Kita buktikan sekarang juga.”

“Saya tak mau mengambil keuntungan, karena Kisanak hanya datang berdua.

Kami tidak mencari lawan, akan tetapi kalau Kisanak ingin mengganggu kehormatan
kami, alun-alun itu tempat yang longgar.”

Kama Kalacakra membungkuk.

Sebat sekali bergerak Meraih pedang panjang dan berjalan sangat cepat namun
enteng sekali Bersamaan dengan Kama Kalandara.

Bagi yang lainnya, tindakan Mpu Sora seperti gegabah, Akan tetapi Mpu Sora
sebenarnya sedang menebak-nebak, apakah mereka berdua ini bukan Klikamuka?

Dilihat dari kesigapan sangat mungkin sekali Dan mereka datang berdua.

Yang satu selalu diam, yang lain berbicara.


Mpu Sora memberi hormat kepada Mpu Nambi dan segera menuju alun-alun
Senopati Anabrang segera menyusul Akan tetapi Mpu Semi lebih dulu berada di
lapangan.

“Ambil senjatamu, Senopati.”

Mpu Sora menggeleng.

“Selama tangan masih bisa dipakai, untuk apa meminjam senjata?”

Kama Kalacakra mengertakkan gerahamnya.

“Maaf, saya melawan satu orang atau sepuluh orang, melawan yang bersenjata
atau tidak, sama saja, jadi jangan salahkan kalau saya tak bisa menghadapi dengan
tangan kosong.”

“Silakan.”

Bagi Nyai Demang ini tontonan yang menarik Akan tetapi hati kecilnya
merasa was-was juga, Bukan karena meragukan kemampuan Mpu Sora, akan tetapi
ksatria Jepun ini memperlihatkan keteguhan yang luar biasa, Bahwa mereka hanya
berdua berani menyatroni Keraton secara langsung, itu saja sudah menunjukkan
kepercayaan diri yang besar. Yang secara perhitungan, dilandasi oleh kemampuan
mengukur kekuatan

Sementara Senopati Semi meraih tombak untuk menghadapi Kama Kalandara.

Mereka sudah berhadapan.

Kama Kalacakra nampak berdiri teguh. Dengan satu kali gerakan kilat, pedang
panjangnya lepas dari sarungnya. Dipegang dengan tangan kanan, bagian yang tajam
menghadap ke wajahnya sendiri Pandangannya lurus ke depan.

Mpu Sora seperti tak menyangka bahwa lawan sudah mengambil ancangancang
menyerang pada jarak yang masih begitu jauh.

Namun Mpu Sora segera juga mengambil posisi Kedua kakinya menekuk,
kedua tangannya bersiap dengan jari-jari mengembang.

Alun-alun menjadi sunyi


Napas pun tertahan

Agak lama,

Mendadak kemudian berubah, Didahului dengan teriakan keras, Kalacakra
menerjang maju. Berlari cepat sekali, menyerbu secara lurus dan langsung ke arah
Mpu Sora, Pedangnya yang panjang mendadak berkelebat, memotong tubuh Mpu
Sora dalam beberapa bagian.

Sederhana gerakannya, Karena bisa dilihat dengan jelas arah dan sasarannya,
Namun gerakan Kalacakra mengandung tenaga yang kental dan liat Sabetan pedang
panjang seperti menutup ke seluruh bagian.

Kaki Mpu Sora menotol, tubuhnya dibuang ke samping. Tidak ke atas, karena
pedang panjang berkilat itu seperti menguasai bagian atas. Dengan memutar ke arah
samping, Mpu Sora mencoba masuk dari sela-sela sabetan pedang panjang. Berusaha
menanamkan sengatan lebah berbisa.

Hatinya sempat berdesir merasakan kesiuran angin yang ganas.

Lolos dari serangan pertama, Kalacakra berbalik dengan gerakan patah dan
dengan segera menyabetkan pedangnya. Pedang itu menoreh langit ke kiri, ke kanan,
ke kiri, ke kanan, dalam satu gerakan Seakan pedang yang panjang dan berat itu
seperti ranting kecil yang bisa dimainkan secara leluasa, Pergelangan tangan
Kalacakra sangat luwes dan sempurna.

Mpu Sora tak menahan rasa kagumnya,

Tapi ia bukan sembarang senopati Kali ini pun telah menyiapkan diri dengan
sempurna, Dalam beberapa kejap, Mpu Sora mengeluarkan semua simpanannya. ilmu
Bramana atau jurus-jurus Lebah mengalir dengan cepat. Diiringi suara berdesing, Mpu
Sora mengeluarkan jurus Bramara Bramantya, disusul dengan Bramara Bekasakan,
lalu Bramara Braja,

Mengagumkan.

Mpu Renteng memuji kehebatan jurus Lebah yang kini dipertunjukkan lebih
leluasa dan sempurna, Tidak seperti ketika menghadapi Klikamuka, Desingan suara
dari bibir Mpu Sora, ditambah dengan gerakan menyengat yang datang dan pergi
sangat berlawanan dengan gerakan Kalacakra yang serba patah,


Akan tetapi, Mpu Renteng menyadari bahwa perlahan tapi pasti, tekanan
Kalacakra semakin berat Ruang gerak Mpu Sora semakin sempit Sementara
kemungkinan sengatannya yang diandalkan makin tipis mengenai Kalacakra yang
justru menjadi lebih ganas.

Apa yang dialami Senopati Semi kurang-lebih sama, walau cara
perlawanannya berbeda.

Sewaktu Kalandara menyerang, Semi menghadapi langsung. Bahkan boleh
dikatakan lebih dulu menggebrak Tombaknya menyodok, kena ditangkis pedang
panjang, hingga berputar. Dengan jitu Semi memindah tempat pada pegangan tangan.
Tombak tidak lepas, bisa dipergunakan dan tetap mengancam. Akan tetapi empatlima
kali benturan, Semi merasa tangannya tergetar, Dan makin lama makin terasa di
pergelangan, merambat ke arah siku!

Hebat pengaruh tenaga Kalandara.

Semi tidak lagi terus-menerus menggempur untuk adu tenaga. Akan tetapi
justru dengan begitu, Kalandara seperti menemukan kesempatan untuk terus
mendesak

Kalau Kalandara bermain dari jarak jauh masih bisa berloncatan menghindar,
sebaliknya Semi dipaksa untuk adu tenaga, kalau tidak ingin dibelah tubuhnya.

Bahwa kedua Kama bisa segera menyenangkan pertarungan, itu sudah jelas.
Akan tetapi lama-kelamaan keunggulan mereka makin terasa.

Yang tidak diketahui oleh Sora dan Semi ialah bahwa sebenarnya kedua Kama
ini pun merasa penasaran, Mereka berdua adalah unggulan utama yang sudah
menjelajah jagat Selama ini boleh dikatakan tak pernah menemukan lawan yang
berarti Dalam artian bertahan beberapa jurus, Karena ilmu silat mereka justru
mengandalkan permainan cepat Satu-dua jurus saja.

Nyatanya, kini Kalacakra tak segera bisa memenangkan pertarungan melawan
tangan kosong.

Benar-benar lawan yang luar biasa.


Kalau dua orang yang maju secara sembarangan sudah seperti ini, bisa
diperhitungkan bahwa yang lainnya bisa lebih jago. Sungguh tanah Jawa ini penuh
dengan ksatria yang tak terduga!

Sebaliknya, para senopati justru merasa cemas,

Biar bagaimanapun Sora dan Semi makin terdesak Kalau mereka nimbrung
maju, kurang pada tempatnya, akan tetapi membiarkan begitu saja juga tak tega.

Jadinya serbasalah.

Kesiuran angin dari kedua pedang panjang makin lama makin terasa merobek.

“Lho, siapa berani mencari ilmu tongkatku? Hei, tunggu dulu. Kalian pencuri

dari mana?”

Nyai Demang sadar bahwa itu suara Galih Kaliki.

Dan hanya Galih Kaliki yang bisa langsung menerjang ke tengah pertarungan

tanpa merasa risi atau kikuk.

“Sejak kapan kalian mencuri cara menggebuk ini?”

Galih Kaliki maju ke tengah pertempuran dengan tongkat dan dengan sigap

berlari kencang. Tak jauh berbeda dari gerakan kedua Kama.
Sumber itu Satu
SERBUAN Galih Kaliki mengejutkan.


Dengan memanggul tongkat galih asam, ia menyerbu begitu saja, Dan begitu
berhadapan dengan Kalacakra, langsung menyabet, Persis gerakan lawan Dua
benturan terdengar keras,

“Bagus!”

Galih Kaliki memutar tongkatnya, kali ini menggempur Kalandara. Lagi-lagi
benturan keras. Pedang panjang melawan tongkat kayu. Hanya kali ini tidak satu
benturan saja, melainkan tujuh kali benturan Sejak sabetan pertama ketika pedang
mengarah ubun-ubun, mata, hidung, mulut, leher, ubun-ubun lagi, mata lagi

“Bagus, memang mestinya begini!”


Senopati Anabrang terkesima,

Sama sekali tak menyangka bahwa Galih Kaliki bisa mengimbangi dua Kama
yang telah menyudutkan Mpu Semi dan Mpu Sora!

Tak masuk akal sama sekali!

Senopati Anabrang terkesima justru karena tak menduga bahwa Galih Kaliki
yang dianggap tak terlalu istimewa, bisa menjadi dewa penolong. Senopati Anabrang
membandingkan dengan dirinya sendiri Ia bisa dan biasa memainkan pedang, Bahkan
dua pedang sekaligus, Akan tetapi diakui bahwa keunggulan bermain pedang belum
bisa mengatasi keunggulan tenaga Kalandara maupun Kalacakra.

Senopati Anabrang tak malu mengakui.

Mpu Nambi pun tak menduga bahwa justru Galih Kaliki yang bisa
menyelamatkan kehormatan Keraton

Hanya Nyai Demang yang melihat bahwa keunggulan Galih Kaliki
dibandingkan dengan Mpu Sora dan Mpu Semi, terutama sekali karena didasarkan
kepada jenis permainan silat. Bukan hanya keunggulan!

Ini rahasia kecil yang bisa ditangkap oleh Nyai Demang,

Bisa dimengerti karena secara teori Nyai Demang menguasai berbagai jenis dan
aliran dalam dunia persilatan Tidak terbatas pada yang ada di tanah Jawa saja.

Ilmu tongkat Galih Kaliki adalah ilmu yang juga mengandalkan tenaga besar
untuk memainkan Bahkan selama ini dikenal jurus-jurusnya tidak terlalu hebat,
Bahkan terlalu sederhana karena tanpa kembangan, atau perubahan-perubahan yang
berarti Galih Kaliki selalu mengincar batok kepala, Dan tak pernah lain!

Itu juga yang dimainkan kedua Kama.

Bedanya pedang panjang seperti membelah, sedangkan tongkat galih asam
lebih mengemplang.

Sementara itu di medan pertarungan terjadi perubahan


Mpu Sora dan Mpu Semi bisa bernapas lega dan mengambil jarak Dan kedua
Kama jadi memutar tubuh menghadapi Galih Kaliki

“Kalian orang berekor di kepala, sejak kapan kalian mempelajari ilmuku?”

Sungguh pertanyaan yang angin-anginan dan kena sasaran!

Betapa tidak Kama Kalacakra dan Kama Kalandara datang untuk meminta
kitab pusaka yang dikatakan dicuri ilmunya, Dan sekarang justru dituduh mencuri.

“Karena kamu masuk ke gelanggang, berarti siap bertempur.”

“Lho, dari tadi saya ini disangka main-main?

“Saya datang ke sini untuk memaksa kalian mengatakan dari mana kalian curi
ilmu tongkat saya. Dan kenapa bisa juga dimainkan dengan pedang yang tak keruan
bentuknya itu.”
Jujur kata-kata Galih Kaliki.

Apa yang dirasakan, itulah yang dikatakan

Galih Kaliki memang termasuk yang aneh dalam dunia persilatan Terutama
karena asal-usul perguruan ilmu silatnya berbeda dari aliran yang ada. Bahkan sejak
zaman pertarungan para ksatria dalam perebutan takhta Singasari, Galih Kaliki tak

pernah diketahui asal-usulnya,

Siapa nyana justru sekarang agak tersingkap.

“Ayo maju dulu,”

Galih Kaliki bukan menunggu, meskipun seolah mempersilakan lawan mana
yang mulai Justru ia yang maju menggempur Berlari sangat kencang, menghantam ke
depan Tongkatnya digerakkan seperti pedang panjang. Karena kali ini Galih Kaliki
memegang tongkat dengan kedua tangan.

“Bagus. Kalian betul. Begini lebih bagus.”

Kalau Kalacakra begitu tegang, sebaliknya Galih Kaliki bertempur sambil terus
berbicara.

Nyai Demang nggragap setelah beberapa jurus.


Walaupun dengan sangat perkasanya Galih Kaliki berhasil mengimbangi, akan
tetapi terlihat bahwa penguasaannya kalah mahir, Ini bukan karena ilmu Galih Kaliki
kalah dibandingkan Kalacakra, Akan tetapi karena Galih Kaliki mencoba dengan
gerakan yang dimainkan Kalacakra. Dengan sendirinya ia menjadi kalah terlatih.

Kalau tadi Galih Kaliki unggul karena menyamai dasar-dasar gerakan, justru
berakibat terbalik sewaktu mengikuti cara bergerak.

Nyai Demang tak bisa tinggal diam.

“Kakang… sudah jelas sumber air itu satu. Tetapi tidak semua sungai sama
bentuknya. Jadi kenapa harus membuat sungai seperti sungai di Jepun?”

Galih Kaliki berjingkrakan saking gembiranya.

Dalam hidupnya yang luntang-lantung tidak keruan juntrungannya, Galih
Kaliki baru merasa mempunyai arah ketika bertemu Nyai Demang. Galih Kaliki sudah
langsung kesengsem, tergila-gila.

Bahkan waktu ada sayembara memperebutkan putri ayu, Galih Kaliki maju ke
depan. Tidak untuk memperebutkan putri ayu yang disayembarakan, melainkan
mencari Nyai Demang.

Tak nyana tak disangka kalau sekarang ini bakal ditegur begitu ramah dan
mesra oleh Nyai Demang!

Sewaktu meninggalkan Perguruan Awan, Galih Kaliki memang hanya
mempunyai satu tujuan. Mencari Nyai Demang yang katanya mendapat undangan
dari Keraton. Walau Nyai Demang tidak mengatakan begitu, Galih Kaliki diberitahu
Wilanda.

Begitu mendengar penjelasan Wilanda, Galih Kaliki langsung berangkat.
Hanya saja setiba di Keraton, tak ada yang mendengar kabar Nyai Demang.

Galih Kaliki mencari ke mana pun kakinya bisa melangkah. Masuk ke tengah
alun-alun karena melihat pertarungan. Dan karena merasa ada persamaan ilmu
dengan miliknya, tanpa pikir panjang ia ikut terjun ke gelanggang.

Siapa sangka bakal bertemu dengan pujaannya!


Galih Kaliki jadi bersinar-sinar wajahnya.
Tapi tetap saja sama.
“Nyai, aku tidak mengerti apa yang kaukatakan. Omong saja terus terang.”
“Sumber ilmu tongkat kayu sama dengan ilmu pedang panjang. Akan tetapi


Kakang tak usah mengikuti gerak-gerik yang sama. Kakang bisa memainkan gerakan
sendiri.”

Kalacakra tertawa terbahak.

“Majapahit, keraton yang hina. Para ksatria di tanah ini hanya bisa main
keroyokan.”

Menyakitkan kata-kata itu, walau diakui ada benarnya. Setelah Mpu Sora dan
Mpu Semi keteter, muncul Galih Kaliki, dan sekarang Nyai Demang.

Tak salah kalau dikatakan main keroyok.

Tapi dalam hal bersilat lidah, Nyai Demang bukan lawan yang bisa disudutkan
begitu saja.

“Baru saja kalian sesumbar menghadapi secara bersama atau satu demi satu.
Belum kering bibir kalian, sudah merasa jagoan karena dikeroyok.

“Baru saja kalian sesumbar memiliki kitab pusaka yang paling ampuh di kolong
langit, tidak tahunya justru sama saja dengan tongkat kayu yang dimainkan Kakang.”

Kalandara yang sejak tadi berdiam, nampak mengangguk.

Agaknya ia sendiri merasa heran.

“Apanya yang mau kalian sombongkan?

“Kenapa kalian merasa satu-satunya yang memiliki ilmu silat model tongkat
kayu? Dunia ini sungguh luas. Yang muncul di tanah Jepun turunan ilmu dari negeri
Tartar, akan tetapi yang datang ke negeri Tartar juga berasal dari tanah Hindia.

“Untuk apa dipertengkarkan?


“Kitab Bumi jelas milik kami. Tetapi kalau kalian ingin mempelajari atau ingin
mengembangkan, kami tak akan melarang. Kenapa harus dipertengkarkan? Apakah
Jalan Budha, apakah bernama Tepukan Satu Tangan, apakah Kitab Penolak Bumi, atau
Kitab Bumi, atau kitab pusaka kalian, bukannya berasal dari sumber yang sama?
Bukankah kita tak pernah tahu siapa dan negeri mana sumber utamanya?

“Saya bernama Nyai Demang, sama sekali tidak ingin meributkan hal itu. Akan
tetapi kalau kalian berdua ingin menjajal ilmu silat, akan saya layani.

“Pendeta-pendeta dari Jepun tak lebih hanyalah pendeta dengan kaki yang
menginjak tanah, membenam di lumpur sawah, bukan mega-mega yang
bergantungan di langit!

“Di tanah ini juga ada sawah, ada langit.

“Mari kita lihat, kaki siapa yang lebih berbau lumpur.”

Kalandara mendadak membungkukkan tubuhnya. Punggungnya rata dan
merupakan garis patah dengan pinggang.

Nyai Demang berhasil memperlihatkan cara membaca pikiran lawan secara
sangat luar biasa. Nyai Demang tahu bahwa ksatria Jepun sangat memegang ajaran
pendeta negeri Tartar menjadi lumpur di sawah, bukan menggantung di langit.
Perbandingan ini tidak banyak yang mengetahui.

Pedang Matahari

MAHAPATIH Nambi tidak menyangka sama sekali bahwa kedua Kama itu memberi
hormat yang dalam kepada Nyai Demang. Wanita yang selama ini tak pernah
dianggap istimewa, apalagi terhormat.

Berbeda dari semua yang ada di lapangan, Nyai Demang pernah bergaul rapat
dengan para Naga dari negeri Tartar. Dari sanalah Nyai Demang bisa mengetahui asalusul
ilmu silat.

Sejauh yang didengar, segala sumber ilmu silat berasal dari tlatah Hindia, yang
dibawa mengembara oleh para pendeta. Yang sampai di tanah Cina adalah ajaran
Imam Besar Tat Mo yang perkasa. Di sanalah berkembang sumber dari segala sumber
yang disebut ilmu Jalan Budha. Dari tanah Cina sebelum dikuasai oleh bangsa Mongol
atau Tartar, ilmu yang sama sampai ke tlatah Jepun.


Bangsa Jepun mengakui bahwa yang membawa ilmu itu ke tanah mereka
adalah Mpu Bodidarma.

Di tanah Cina ilmu itu berkembang lebih termasuk ke dalam cara-cara
pernapasan dari ajaran Tao, seorang mahaguru yang sakti mandraguna. Sedangkan di
tanah Jepun ajaran tersebut mengalami perbedaan.

Inilah yang dibanggakan bangsa Jepun secara luar biasa. Ajaran Jalan Budha
tidak diterima sebagai ajaran latihan pernapasan dan cara pengabdian semata-mata.
Akan tetapi ditekankan kepada ilmu keras, di mana keunggulan dibuktikan dengan
kemenangan. Di mana mengalahkan dan dikalahkan adalah hal yang biasa untuk
menakar.

Menurut pandangan para empu dari Jepun, ilmu Jalan Budha para pendeta
Cina dianggap terlalu mengawang. Tidak berpijak di bumi. Para jawara Jepun
menganggap bahwa tujuan utama bukanlah hanya mencapai kebahagiaan abadi
sesudah mati, akan tetapi juga kejayaan semasa hidup. Dengan istilah yang mereka
pakai, “ilmu yang membenam dalam lumpur sawah, bukan yang tergantung di langit”
sebagai ajaran kosong.

Pertentangan tentang ajaran mana yang lebih unggul masih selalu terjadi.
Dimana para jawara saling mengunjungi negeri masing-masing untuk mengukur siapa
yang lebih mahir, siapa yang mumpuni, siapa yang lebih menguasai.

Di tanah Jawa, ajaran yang diterima bukan yang melalui negeri Cina ataupun
Jepun. Mereka percaya bahwa seorang pendeta Hindia sendiri yang membawa ajaran
ke tanah Jawa, dan tidak hanya sekali datang. Para ksatria menyebut mereka sebagai
Tamu dari Seberang, seorang tokoh yang sakti mandraguna. Pada zaman awal keraton
Singasari, konon Tamu dari Seberang itu menampakkan diri, juga sewaktu zaman
akhir.

Menurut perhitungan, hanya Eyang Sepuh yang berhasil menemui mereka
yang disebut Tamu dari Seberang. Eyang Sepuh-lah yang dikenal sebagai pendiri
Perguruan Awan.

Kalau dicoba diambil perbandingan, sumber yang sama memperlihatkan
perbedaan perkembangan di masing-masing negeri.

Dipadu dengan ajaran setempat di tanah Cina, norma-norma itu berkembang
menjadi pengabdian kepada raja yang tiada habisnya. Sementara di tanah Jepun
bahkan sebaliknya. Para pendekar berpedang panjang juga tumbuh di luar kalangan


Keraton, sehingga mereka lebih merupakan lawan. Sedangkan di Perguruan Awan
adalah campuran keduanya. Sebagian ada yang menjadi prajurit Keraton, atau bahkan
senopati, sebagian memisahkan diri, tak mau tahu urusan Keraton.

Contoh utamanya ialah Eyang Sepuh yang tidak memperlihatkan diri sama
sekali!

Dan kemudian Upasara Wulung yang lebih suka menghancurkan ilmunya!

Pertentangan-pertentangan ajaran Jalan Budha tumbuh di mana-mana. Di
tanah Cina, cara-cara membakar mayat dianggap bertentangan dengan ajaran
setempat. Demikian juga ajaran kesetiaan di tanah Jepun, yang bisa diartikan
kesetiaan kepada pedang, bukan kepada seorang raja.

Pertentangan demi pertentangan ini yang mengakibatkan tumbuhnya aliranaliran
dalam dunia persilatan. Di tangan masing-masing pimpinan aliran inilah gaya
dan jurus-jurus mengalami perubahan dan kematangan yang berbeda.

Sehingga dari sumber mata air yang sama terbentuk sungai yang berbeda aliran
airnya.

Akan tetapi kalau dilihat dari persamaannya, tetap mengingatkan kepada
sumber yang sama.

Bisa dimengerti kalau kedua Kama ini sangat penasaran ingin mengetahui
Kitab Bumi yang menjadi sumber ilmu Tepukan Satu Tangan. Karena intinya memang
sejenis dengan “bertepuk dengan satu tangan bakal memberikan suara lebih nyaring,
dibandingkan bertepuk dengan dua tangan.”

Dilihat dari sisi ini kecerdasan Nyai Demang memang mengagumkan.

Dalam dunia persilatan ia dipandang enteng. Karena memang tidak terlalu
unggul. Akan tetapi pengetahuannya yang luas membuat dua jagoan dari tanah Jepun
menunduk hormat dengan menekuk tubuh.

Sesungguhnya dari sedikit yang mengetahui Kitab Bumi, Nyai Demang
termasuk yang membaca kidungan secara tuntas. Baik yang disebut Dua Belas Jurus
Nujum Bintang, ataupun Kitab Penolak Bumi yang delapan jurus.


Bahwa penguasaan akan ilmu itu memang membuat Nyai Demang masih kalah
dibandingkan Galih Kaliki yang bahkan mungkin tak pernah membaca sendiri.
Namun dalam pembicaraan, jelas Nyai Demang jauh lebih unggul.

Mahapatih Nambi melihat dari sisi lain.

Keunggulan Nyai Demang bisa diartikan ancaman bagi dirinya. Karena sebagai
pimpinan telik sandi dan kini diangkat resmi sebagai mahapatih, perhitungannya
adalah demi keamanan dan ketenteraman Keraton sebagai yang utama. Kalau Nyai
Demang bisa menguasai kedua Kama ini, bukan tidak mungkin akan dipakai untuk
membalas dendam atas hancurnya Upasara.

Apalagi Nyai Demang secara mendadak muncul bersama Galih Kaliki!

Mahapatih Nambi tak mau memberi kesempatan.

“Kisanak, sebelum kalian lebih dalam menghormati wanita itu, perkenankan
saya menjajal sebentar. Hitung-hitung mencicipi kebodohan.”

Mahapatih Nambi meraih kelewang besar dan berat. Maju ke depan.

Kama Kalandara mendengus.

Tanpa ba atau bu, Kalandara menerjang maju. Kembali pedang panjangnya
menggores langit, membersit di langit sebelum lurus menyabet lawan. Mahapatih
Nambi menyambut dengan keras, hingga menimbulkan suara keras.

Kalandara ternyata menggempur. Tiga sabetan ditangkis, tanpa menggeser
kakinya, tiga sabetan dilanjutkan lagi. Ditangkis secara beruntun.

Mahapatih Nambi mencoba mencari terobosan. Sebelum lawan menyabet,
kelewang berat dan besar mendahului menyodet lambung lawan. Kalandara
mengeluarkan suara dingin. Pedang panjangnya menukik ke bawah. Membentur
keras disertai teriakan keras, dan kakinya menyabet keras.

“Bagus.”

Teriakan Galih Kaliki seakan menunjukan bahwa ia mengenal jurus itu.

Mahapatih Nambi tak ambil peduli. Tendangan ia tangkis dengan tendangan.
Mendadak saja debaran jantungnya seolah bertambah cepat.


Kakinya seperti membentur besi baja.

Yang terayun kedua, ketiga kalinya.

Sementara pedang panjang menyambar dari arah samping. Seakan memotong
tubuh Mahapatih dari pinggang secara miring.

Dua gempuran bagai ombak laut. Beruntun dengan gelombang yang makin
besar. Kalau Mahapatih mengerahkan tenaga ke kaki, berarti pedang Kalandara bisa
menerobos masuk. Kalau mengerahkan tenaga di atas, kaki lawan bisa meremukkan
tulang keringnya.

Mahapatih mengerahkan seluruh tenaganya. Ia memilih jalan keras. Tidak
mau menggeser kakinya atau menghindar.

Mendahului benturan kaki yang keras, Mahapatih menyentakkan
kelewangnya, sehingga membentur di tengah udara. Agaknya Kalandara tak menduga
bahwa kelewang bisa dilepaskan. Sehingga agak kaget karena pedangnya bisa
terdorong miring, sementara gempuran kaki lawan sama kerasnya.

Tapi justru dalam sekejap, posisinya menjadi unggul.

Kalandara berputar, tangan kanan melepaskan pedang panjang yang segera
ditangkap dengan tangan kiri, langsung memotong tubuh Mahapatih.

Kalau ingin menangkis dengan kelewang, jelas Mahapatih kalah waktu dengan
pedang yang memotong tubuhnya. Terpaksa membuang tubuh ke samping, sambil
menjentik kelewangnya. Dengan harapan bisa menyambar kembali. Akan tetapi
Kalandara dengan keras menyabet kelewang hingga terbuang ke luar arena
pertarungan.

Senopati Anabrang menangkap kelewang, dan dengan dingin melemparkan
kembali ke Mahapatih Nambi. Ia sendiri mengeluarkan kedua pedangnya sekaligus.

Kalacakra sudah langsung menggempur.

“Pedang Matahari Menutup Awan,” Kalacakra berteriak mengguntur dan
mendadak tubuhnya berputar kencang sekali sambil menubruk lawan. Kalandara
memakai gerakan yang sama!


Dua tubuh mereka saling sabet, bergulung, dan meluncur.

Kalacakra jadinya berhadapan dengan Mahapatih, sementara Kalandara
mencincang Anabrang.

Ini hebat!

Kama Kangkam, sang Guru

GALIH KALIKI belum sempat mengucapkan pujian “bagus”.

Segala perubahan terjadi sangat cepat.

Kalacakra dan Kalandara berjauhan tempatnya, tapi dengan satu serangan
langsung bertukar tempat. Padahal ini semua dilakukan dengan menggulung tubuh
dan tangan memainkan pedang panjang sambil bersinggungan.

Salah-salah bisa melukai teman sendiri!

Akibatnya memang parah.

Gempuran Kalacakra membuat Mahapatih merasa ubun-ubunnya didesiri
angin dingin, Segenap tenaganya hanya bisa dipakai untuk menangkis, Kelewangnya
tergetar, dan terlempar jauh. Dengan mengegos sedikit, Mahapatih merasa pundaknya
perih. Irisan angin sanggup membuat luka yang langsung membuat pundaknya
berwarna kemerah-merahan.

Hal yang sama dialami oleh Senopati Anabrang.

Begitu Kalandara menyerang dengan gerakan kilat, Senopati Anabrang
mengangkat kedua pedangnya. Satu dipakai untuk menangkis keras, satunya dipakai
untuk mencuri serangan,

Celakanya justru yang dipakai untuk menangkis terseret arus tenaga lawan dan
terpental ke tengah udara, Persis seperti kelewang Mahapatih, Bedanya sekarang tak
ada yang menyambar

Sementara tusukan ke dada lawan seperti mengenai karung berisi angin. Tanpa
merasa sungkan lagi, Senopati Anabrang menjatuhkan diri dan melindungi seluruh
tubuhnya dengan satu pedang.


Pada saat yang sama, Senopati Kuti sudah meloncat ke angkasa sambil
melemparkan senjata andalannya, yaitu tameng, atau perisai, Berbentuk seperti
ceping, perisai ini terlontar tiga buah berturut-turut mengeluarkan desingan suara.

Semua prajurit juga bersiap.

Tanpa memperlihatkan kecemasan dan juga rasa menang, Kalacakra dan
Kalandara saling merapatkan punggung Dengan pedang panjang di tangan masingmasing,
keduanya siap menghadapi keroyokan.

“Bagus ya, Kakang.”

“Bagus sekali, Nyai, Mereka bisa main bersama, Selama ini aku tak pernah
menjajal Nyai mau melatihku?”

“Sekarang pun bisa.”

“Betul? Nyai mau?”

Pertanyaan Galih Kaliki sebenarnya lebih merupakan keheranan karena
selama ini Nyai Demang tak pernah mau bersamanya. Makanya ia mengeluarkan
seruan heran. Sedangkan bagi Mpu Sora yang mendengarkan, menyadari bahwa
keheranan Galih Kaliki disebabkan karena Nyai Demang mau terjun ke gelanggang
pertempuran untuk membela Keraton.

Memang Nyai Demang mempunyai dendam kepada Keraton. Mpu Sora hanya
mempunyai dugaan bahwa hancurnya Perguruan Awan dan cacatnya Upasara
Wulung cepat atau lambat akan membangkitkan balas dendam. Makanya cukup
mengherankan bahwa Nyai Demang sekarang ini mau membela.

Bagi Nyai Demang masalahnya sederhana. Ia menyimpan dendam yang
membuat dadanya yang montok menjadi sesek. Akan tetapi karena kini ada ancaman
dari luar, ia tak bisa berpangku tangan, Biar bagaimanapun, ini soal kehormatan dan
keluhuran tanah air.

Maka Nyai Demang berniat maju.

Dendam urusan pribadi bisa dikesampingkan,

“Bagus, Nyai, Kita maju bersama. Kamu pilih yang mana dan aku yang mana?”


“Kakang bisa menghadapi sendirian.”

“Aku?”

Nyai Demang berdesis.

Suaranya sengaja dikeraskan, agar bisa terdengar telinga lain selain Galih
Kaliki

“Kedua Kama ini hebat kelihatannya, akan tetapi sebenarnya biasa-biasa saja
ilmunya.

“Kelihatan hebat karena dalam sekejap bisa membuat senopati agung
Majapahit yang sombong jadi panas-dingin keringatan. Mahapatih Nambi, Mpu Sora,
Senopati Anabrang, Senopati Semi, bahkan tameng Senopati Kuti tak berbuat banyak.
Besar atau kecil perhitungannya, mereka bisa dikalahkan.

“Dan kalau sekarang akan diadakan pengeroyokan hebat, hanya akan
memperbanyak korban berjatuhan.

“Padahal hanya kelihatannya saja hebat,

Ilmu yang mereka mainkan biasa-biasa saja, Mereka mulai dengan kidungan
Kitab Penolak Bumi yang kita miliki, Dalam kidungan itu selalu dimulai dengan
penolakan, dengan pengingkaran. itu tadi yang dimainkan Kalacakra dan Kalandara,
Sehingga lawan yang dihadapi bukanlah lawannya. Dengan cara begini saja, para
senopati perkasa jadi kelabakan.

“Kakang, maju saja sendiri.”

Galih Kaliki maju ke tengah.

“Dengan cara yang sama Kakang hadapi mereka. Yang menyerang berarti
bertahan, yang bertahan berarti tidak menyerang. Gunakan satu tangan
mengedepankan tongkat. Tak perlu diayun.”

Kalacakra dan Kalandara yang beradu punggung memutar begitu Galih Kaliki
mendekat. Satu pedang terayun. Galih Kaliki mengedepankan tongkatnya. Kalacakra
mendadak menghindar ke arah lain, sehingga Kalandara yang berhadapan.

Galih Kaliki tertawa.


“Bagus, Nyai. Mereka berputar bagai gasing.”

“Yang berputar itu ditentukan oleh yang diam. Gasing hanya berputar di
bagian pinggir. Kakang jangan pedulikan. Jangan bicara. Gerakan tongkat untuk
menjawab. Jangan pedulikan yang kiri atau yang kanan, yang bergerak atau yang
diam, berarti ia sendiri tak bergerak. Sementara yang diam tidak diam, karena ia bisa
bergerak bisa diam.”

Senopati Anabrang memuji keunggulan Nyai Demang. Ketika serangan datang,
lagi-lagi Galih Kaliki mengedepankan tongkat. Sambil terus maju. Mengetok,
menyodorkan, silih berganti.

Justru akibatnya kedua Kama jadi terdesak.

Senopati Anabrang melihat bahwa Galih Kaliki lebih banyak menunggu
serangan. Dengan cara menggerakkan jurus yang sama dan berulang!

Senopati Anabrang jadi ingat ketika berhasil mematahkan barisan sembilan
Gandring! Saat itu ia juga dalam keadaan sangat terdesak, dan mendadak tenaga dalam
yang disalurkan oleh Upasara yang tersarang dalam tubuhnya bagai magma melonjak
ke luar laksana lahar. Memancar begitu saja!

Sekarang ini kurang-lebih sama!

Meskipun kelihatan sekali perbedaan cara mengatur serangan. Kalau sembilan
Gandring mempersatukan tenaga dan kekuatan yang ada, kedua Kama ini
menyatukan diri tanpa masing-masing kehilangan kemampuannya. Seperti
ditunjukkan dengan serangan berlainan arah tadi.

Mahapatih memandang dengan mata menyipit.

Kalau tadi ia merasa pamornya bakal hilang kalau Nyai Demang yang bisa
menyelesaikan persoalan, sekarang pilihannya jadi lain. Ia tak merasa rendah kalau
Nyai Demang dan Galih Kaliki yang bisa mengenyahkan atau membuyarkan kedua
Kama itu. Setidaknya ini jauh lebih baik, daripada Keraton diobrak-abrik tanpa
perlawanan berarti.

“Jangan mendahului, Kakang, tetapi jangan menunggu. Pedang panjang
sebenarnya pendek seperti tangan. Pedang pendek tak pernah digunakan. Satukan


pikiran, jangan melihat lawan. Dengarkan kata-kata saja. Karena lawan di depan atau
di belakang, sebenarnya tak bisa menjauh.”

Galih Kaliki memapaki serangan, mengimbangi dengan kecepatan yang sama.

Kalacakra dan Kalandara makin terdesak. Berputar-putar, dan menjauh dari
Galih Kaliki yang dengan sangat mudah menyatukan pemusatan pikiran. Tanpa
diminta tanpa disuruh, Galih Kaliki sudah dengan sendirinya hanya memikirkan Nyai
Demang.

Mendadak terdengar suara pelan, tidak terlalu berat nadanya, namun cukup
jelas terdengar. Bukan semata-mata karena alun-alun sunyi dan hanya suara Nyai
Demang yang terdengar, akan tetapi karena suara itu dikeluarkan dari tenaga dalam
yang terlatih sempurna.

“Jangan bertanya kanan atau kiri, atas atau bawah, depan atau belakang, kalau
jawabannya akan selalu sama.

“Jangan mendengarkan yang bicara, karena lawan yang tidak berbicara lebih
berbahaya. Seekor burung bisa dilatih berbicara, akan tetapi tak bisa mengerti artinya.

“Jangan memaksa diri. Kalau kalah, kenapa tak mau mengakui?

Kedua Kama mengeluarkan teriakan keras, lalu keduanya duduk bersila di
tanah. Kedua pedang yang pendek yang tadi selalu tersembunyi, kami siap untuk
melakukan bunuh diri.

“Guru, kalau Guru tak mau tangan Guru kotor, biarlah murid yang melakukan
sendiri. Kami mohon petunjuk.”

Yang dipanggil Guru adalah seorang lelaki gagah, usianya lebih tua dan kedua
Kama. Alisnya lebat dan bola matanya sangat galak. Dialah yang memerintah kedua
Kama, yang membahasakan diri sebagai murid, untuk menyerah.
. .

“Kalau hidup pantas dinikmati, untuk apa menuju nirwana? Belum tentu di
sana ada pedang dan lumpur.”

Suara Nyai Demang membuat kedua Kama menunduk. Baru tegak setelah
Guru juga memberi hormat kepada Nyai Demang.


“Sungguh mulia hati wanita sejati. Aku Kama Kangkam atau disebut Benih
Pedang, guru kedua murid yang tidak becus ini berutang budi pada wanita berhati
mulia.”

Nyai Demang tergetar. Kalau muridnya saja begini hebat, apalagi gurunya.
Namanya saja sudah menggetarkan, Benih Pedang!
Pertarungan Garingan
KAMA KANGKAM membungkukkan badannya sekali lagi.

Nyai Demang balas membungkuk sedikit, dengan tangan kanan tertekuk.

“Kenapa begitu sungkan memberi gelaran wanita mulia segala? Di negeri ini
wanita tidak hanya bisa membasuh kaki seperti wanita Jepun.”

“Bolehkah saya mengetahui nama besar Putri?”

“Nama saya tidak memiliki. Hanya sebutan saja, yaitu Nyai. Karena saya sudah
mempunyai suami. Dan karena pangkat suami saya demang, maka saya terbiasa
dipanggil Nyai Demang.

“Kama Kangkam, bahasa yang kamu gunakan sangat bagus.”

“Agak lama berdiam di tanah Jawa, datang bersama pasukan Tartar. Akan
tetapi kemampuan saya sangat terbatas, Nyai. Apalagi ada huruf-huruf yang tak bisa

saya ucapkan dengan betul.

“Maaf, apakah Nyai masih ada hubungan dengan Perguruan Awan?”

“Ada atau tidak, tak ada gunanya ditanyakan. Karena kalaupun bukan dari

Perguruan Awan, saya tak akan membiarkan Keraton diobrak-abrik secara begini.”

“Dua kali maaf, Nyai.

“Kami datang untuk melacak kitab pusaka negeri kami yang hilang musnah.”

Nyai Demang mengibaskan tangannya.


“Kama Kangkam, kamu adalah seorang guru yang berilmu tinggi. Di negerimu
sendiri tingkatanmu bukan hanya ksatria, akan tetapi sejajar dengan pendeta. Untuk
apa berbasa-basi seperti itu?

“Aku tahu kamu datang ke tanah Jawa untuk menunjukkan bahwa kamulah
satu-satunya ksatria tanpa tanding. Di setiap tempat, pedang matahari ingin kamu
tegakkan. Kenapa beralasan Kitab Bumi segala macam?”

Kama Kangkam tegak berdiri.

“Kalau sudah tahu maksud kami sebenarnya, silakan bersiap. Kita akan

berhadapan.

“Silakan siapa yang akan maju.”

Senopati Kuti memberi aba peringatan. Tiga perisainya meluncur dengan
desingan tinggi, saling beruntun. Kama Kangkam mengeluarkan suara ejekan. Tanpa
menggeser kaki dan tubuhnya, tangannya justru menangkap perisai berbentuk caping
itu. Sedikit di bawah caping, dan dengan satu sentakan perisai itu terbang balik.

Tiga perisai terbang balik!

Seperti membalik tangan saja.

Yang luar biasa adalah perisai itu menghantam tiang sitinggil dan amblas ke
dalam bangunan bata. Yang pertama masuk ke dalam tiang, disusul yang kedua dan
ketiga. Semua masuk secara persis, berurutan, mengenai tempat yang sama. Akan
tetapi caping itu tidak sampai jatuh ke luar tiang.

Senopati Kuti mengeluarkan suara kagum.

Mahapatih pun menduga bahwa yang dihadapi memang tidak sembarangan.

Setidaknya satu atau dua tingkat di atas rata-rata mereka.

“Masih ada yang ingin menjajal?”

Galih Kaliki menjadi terbakar.

“Bagaimana, Nyai? Apakah saya maju sekarang ini?”

Nyai Demang tersenyum.


“Dalam Kitab Jalan Budha milik bangsa Jepun, dibenarkan memotong pohon
untuk membuat sawah. Dibenarkan menebas yang atas untuk membuktikan siapa
yang unggul.

“Di negeri ini bisa kita pakai membuka sawah tanpa menebang pohon.”
“Nyai Demang, katakan, aku Kama Kangkam ingin mengetahui.”
“Kita bisa bertanding garingan, tanpa ada yang perlu terluka atau mati. Sawah


siapa yang subur bisa diketahui tanpa harus ada pohon yang rebah.”
“Pengetahuan Nyai mungkin disamai oleh yang luhur.
“Baik, baik. Baru saja Kalacakra dan Kalandara terdesak ayunan tongkat. Boleh

saya tahu apa nama jurus itu dan bagaimana mungkin bisa terjadi?”
Nyai Demang memandang ke arah langit.
“Kama Kangkam, kenapa kamu begitu suka berpura-pura?
“Bukankah itu yang dikenal sebagai pengerahan tenaga ilmu Tepukan Satu

Tangan yang ada dalam Kitab Penolak Bumi} Yang juga kamu kenali dengan baik?
“Intinya adalah laku, pengertian bahwa tepukan satu tangan menjadi lebih
nyaring dari dua tangan. Bagian itu ada dalam Kitab Penolak Bumi. Kidungan yang
menceritakan itu adalah:

Ke mana air mengalir
jawabnya: tepukan satu tangan
ke mana angin bertiup
jawabnya: tepukan satu tangan
kalau hujan dari tanah ke langit
tepukan satu tangan



kalau sirna, tepukan satu tangan

ke depan…

“Galih Kaliki tak memedulikan apakah serangan itu dari Kalacakra atau
Kalandara. Tak peduli ‘angin bertiup ke mana’, tak peduli ‘air mengalir ke mana’,
karena jawabannya sama. Juga lawan tak mengubah ‘hujan dari tanah ke langit’, atau
juga tak ada serangan.

“Kama Kangkam, dengan jitu kamu bisa membaca jurus itu dan segera menarik
dua muridmu.

“Bukankah sebenarnya kamu yang unggul?”

Kama Kangkam menggelengkan kepalanya.

“Kami yang mundur, berarti kami yang kalah.

“Yang menjadi pertanyaan, kenapa Nyai gunakan jurus itu?”

“Gerakan Kalacakra dan Kalandara mengingatkan saya akan jurus dalam
kidungan yang bernama Sigar Penjalin.

“Sigar Penjalin adalah letak tanah yang dikepung dua air, baik keduanya
mengalirkan air ataupun salah satu. Kelihatannya Kalandara dan Kalacakra
menyerang bergantian, akan tetapi sebenarnya berarti menyerang keduanya. Dalam
Kitab Penolak Bumi, jelas-jelas diberikan untuk tumbal itu, yaitu kekuatan diambil
dari bumi, hanya dengan tenaga satu. Maka saya meminta Kakang Galih membuat
gerakan dengan sebelah tangan. Dengan demikian satu tangan bisa menyedot tenaga
dari dalam bumi. Sebenarnya kalau Kakang Galih menggunakan pedang, hasilnya
akan lebih bagus lagi. Karena sifat yang lebih tepat adalah mempergunakan tenaga
atau benda yang sifatnya tajam.”

Wajah Kama Kangkam sebentar-sebentar berubah antara putih dan pucat.

“Ada benarnya yang Nyai katakan. Tapi kenapa kamu tak melihat jurus
Pedang Matahari Menutup Awan?”


“Saya tak berhak memberitahukan kepada para senopati yang lebih hebat
daripada saya.”

Dengan kata-kata itu sekaligus Nyai Demang menampar para senopati yang
ada.

Kama Kangkam berteriak dalam bahasanya, dan dengan cepat Kalacakra dan
Kalandara bergerak seperti tadi. Masing-masing bergulung dan berpindah tempat
dengan sangat cekatan.

Nyai Demang mendehem.

Galih Kaliki berdiri di tempat yang agak jauh.

“Kakang, mainkan Sekar Sinom. Gabungkan dengan pembukaan yang serba

menolak.”
Galih Kaliki bergerak lambat, tongkatnya tegak berdiri di tengah, sementara

kedua tangannya membentuk seperti daun, dan mengarah ke selatan.

Kalau tongkatnya kukuh, tangannya membara!

“Hebat,” puji Kama Kangkam. “Apakah itu yang dinamakan Sekar Sinom?”

“Itulah jurus ketiga dalam Kitab Penolak Bumi. Jurus-jurus yang ada
diciptakan sedemikian rupa untuk memerintahkan, untuk menolak serangan, dengan
kerelaan menjadi tumbal andai keliru.

“Kangkam, jurus Sekar Sinom adalah jurus yang seharusnya dimainkan dari
awal, yaitu jurus-jurus sebelumnya. Sehingga kalau langsung dimainkan agak
berkurang tenaganya.”

“Apa artinya Sekar Sinom?”

“Aha, hitung-hitung kamu belajar dariku.

“Semua nama jurus—atau lebih tepat kidungan—yang ada dalam Tumbal

Bantala Parwa, sebenarnya menggambarkan keadaan tanah. Tanah yang kita injak ini
mempunyai watak. Mempunyai tenaga, mempunyai perasaan memiliki kekuatan.

“Letak tanah yang berbeda memberikan kekuatan yang berbeda pula.


“Melihat jurus Pedang Matahari Menutup Awan, sebenarnya serangan dari
dua arah yang berbeda. Lawan akan dijepit di tengah. Serangan ini sangat
menguntungkan secara tak terduga, akan tetapi ada kekurangannya, yaitu bahwa
pekerjaan yang dilakukan tak bisa sempurna.

“Dalam kidungan mengenai tanah yang disebut Sekar Sinom adalah tanah di
mana ada mata air di sebelah selatan, tanah itu dikepung oleh kampung.”

“Kalau tanah dalam keadaan seperti itu, apa yang menjadi tumbal,
penangkalnya?”

“Tenaga pohon asam di tengah sebagai pusat, dan bentuk pohon delima di
sebelah selatan.”

“Selatan, kenapa selatan?”

Nyai Demang tertawa bergelak.

“Kangkam, orang sebodoh kamu bagaimana bisa mengangkat diri sebagai guru?
Apakah tidak malu?”
Laku Itu Menerima
KAMA KANGKAM menjublak.

Matanya terbuka, wajahnya kosong.

“Kakang, rupanya mereka datang untuk berguru padaku. Bukan untuk tanding
garingan. Percuma saja.

“Mari kita tinggalkan mereka.”

Galih Kaliki mendekati.

“Apa kata Nyai.”

“Mohon Nyai Demang jangan meninggalkan tempat ini.

“Aku memang belum pantas menjadi guru. Sudilah menerangkan sebelum aku
benar-benar menjadi penasaran.”


“Kangkam, kamu bisa memakai kekuatan pedangmu untuk menghancurkan,
tetapi kamu tak akan pernah mengerti apa yang disebut Jalan Budha.”

Kama Kangkam berlutut.

Kepalanya menyentuh tanah berulang-ulang.

“Mohon Nyai Demang memberi petunjuk.”

“Kami hanya mengajarkan kepada anak murid.”

Di luar dugaan, Kama Kangkam mengangguk lagi dalam-dalam. Diikuti oleh
Kalacakra dan Kalandara.

“Terimalah kami sebagai murid.”

Sungguh luar biasa.

Galih Kaliki pun tak menyangka.

“Jika Guru bisa menerangkan, saya akan mengabdi seumur hidup. Jika tak bisa,
hari ini saya akan membunuh Guru.”

Siapa pun yang mendengarkan ancaman Kama Kangkam menyadari bahwa
sikapnya bukan hanya main-main. Dan boleh dikatakan tak terlalu sulit bagi Kama
Kangkam untuk membunuh Nyai Demang. Karena jelas lebih unggul Kama Kangkam.

Kalaupun beberapa ilmu Kama Kangkam bisa dipecahkan dengan jitu oleh
Nyai Demang, itu hanya secara teori.

Karena di dalam praktek, tenaga dalam dan cara memainkan pedang panjang
ketiga Kama guru dan murid ini jauh lebih tinggi.

“Kalau kamu berharap aku bisa memberi jawaban, kamu keliru memberikan
pertanyaan.

“Di bagian depan ilmu Jalan Budha negeri Jepun sudah jelas, seperti di bagian
pembuka Kitab Penolak Bumi.


“Aku tak biasa menerangkan kenapa justru tenaga adalah di selatan. Yang bisa
kujawab, karena kidungan berbunyi seperti itu.”

Kama Kangkam meloncat berdiri.

Bersama dengan itu pedang panjangnya lolos dari sarungnya, menebas sekitar.
Empat tombak putus seketika waktu turun ke tanah.

Memegang pedang di depan wajahnya, Kama Kangkam siap menghancurkan
Nyai Demang.

Galih Kaliki berdiri di depan Nyai Demang.

“Temyata kamu wanita pendusta!”

Nyai Demang meminggirkan Galih Kaliki.

Walaupun berat hati, Galih Kaliki menyingkir.

“Aku bisa jadi pendusta. Siapa yang percaya? Aku bisa mengatakan Kitab
Penolak Bumi adalah pendusta. Siapa yang percaya?

“Selama kita masih curiga, selama itu pula tak ada jawaban yang terdengar.
Karena sewaktu curiga, telinga kita penuh isinya. Kita tak bisa mengisi cangkir yang
tengah penuh airnya.

“Kangkam, kalau aku berdusta, kenapa kamu ragu-ragu?”

“Katakan padaku, kenapa harus di selatan?”

“Karena itulah yang ditulis di kitab!

“Karena kita harus menerima. Itulah laku, itulah penerimaan, tanpa harus

mempergunakan akal, ilmu, dan perasaan. Inilah koan dalam Kitab Jalan Budha.

“Kenapa ketika Mahaguru ditanya, ia hanya menjawab dengan mengangkat
satu tangan? Kenapa tidak dua tangan? Kenapa tidak satu kaki atau dua kaki?

“Kenapa bunga teratai yang dipetik untuk memberi jawaban? Kenapa kita
menganggap itu sebagai jawaban?”


Mendadak suasana menjadi sangat sunyi.

“Kamu berharap aku bisa menerangkan ‘kenapa selatan’. Padahal apa bedanya
selatan atau utara, barat atau timur? Itu hanya mata angin, tapi itulah jawabannya.
Dengan tenaga kanan dan kiri akan terdengar lebih luwes. Akan tetapi nyatanya
ditulis selatan.

“Selama kamu tak bisa menerima selatan, selama itu kamu akan bertanya.

Selama itu pula…”

Nyai Demang terbatuk.

Kama guru menunduk.

Kedua muridnya menunggu. Tersipu.

Galih Kaliki menghela napas.

“Ada ratusan Jalan Budha yang setiap kalimatnya mengandung pengertian

’selatan’. Kamu lebih tahu dariku, Kangkam.”

“Ada 248 Jalan Budha.”

“Seratus atau 248, apa bedanya? Lain guru lain jalannya.

“Dua Belas Jurus Nujum Bintang juga disebut Dwi Dasa Nujum Kartika.
Padahal harusnya dua puluh. Barangkali saja sisanya yang delapan jurus itu yang
disebut Tumbal Bantala Parwa. Sehingga secara keseluruhannya menjadi Dua Puluh
Jurus Bumi.

“Itukah Kitab Bumi atau Bantala Parwa yang utuh?

“Itukah?

“Itu bukan tidak mungkin kesalahan berat.

“Pandangan yang sesat.

“Kenapa tidak bisa kita terima bahwa Dwi Dasa Nujum Kartika itu Dua Belas

Jurus Nujum Bintang sebagaimana adanya dalam kitab itu?


“Kangkam, kamu menjadi murid pun tak pantas.”
Nyai Demang segera berlalu meninggalkan tempat itu.
Diiringi oleh Galih Kaliki.
Sepeninggal mereka berdua, Kama Kangkam masih menunduk. Baru kemudian


berdiri.

Mendadak meloncat ke angkasa, sambil mengeluarkan pedang panjang yang
disabetkan keras.

Pedang itu mengenai tiang di mana perisai Mpu Kuti tersimpan. Yang segera
terlontar ke luar. Kama Kangkam menyambar pedangnya yang panjang. Ketiga perisai

itu disabet dengan satu gerakan.

Ketiganya terbelah.

Persis di tengah!

Pameran kekuatan dan kegesitan yang luar biasa.

Tak pernah ada yang mampu menunjukkan kemampuan begitu luar biasa,

hanya dengan satu sabetan.

Bisa dibayangkan kalau disabetkan kepada manusia!

Semua senopati yang menyaksikan nggragap dan tergetar. Karena ternyata

tiang di sitinggil itu perlahan-lahan rontok. Batu bata dan olesan putih telur yang
dipakai merekatkan bersama madu seperti berubah menjadi bubur kering.

Dengan Kalacakra dan Kalandara berdiri di belakangnya, mereka bertiga
seakan siap untuk menaklukkan seluruh senopati Majapahit.

Ketika itulah Halayudha masuk ke tengah ruangan. Diiringi dua prajurit yang
membawa peti kayu.

“Kisanak ksatria dari Jepun, terimalah Kitab Bumi sebagai tanda persahabatan
Majapahit dan Keraton Matahari.”

Mpu Nambi, sebagai mahapatih, mendesis!


Kemurkaan sudah sampai di tenggorokan.

Dengan menyerahkan Kitab Bumi, berarti Keraton tunduk kepada Kama
Kangkam! Itu tak boleh terjadi. Ini soal kehormatan Keraton. Soal tanah air. Tak
boleh begitu saja menyerah.

Darah boleh membasah jadi sungai, nyawa boleh melayang, akan tetapi untuk
menyerah, itu soal lain!

Bagi para senopati, tindakan Halayudha seperti juga tanda takluk. Tanda
bertekuk lutut!

Mpu Sora merasa terbakar wajahnya.

Senopati Anabrang bahkan segera meninggalkan ruangan.

Halayudha seperti tak terpengaruh sama sekali.

“Kisanak, terimalah persembahan kami.”

Halayudha memberi isyarat kepada prajurit yang membawa peti untuk
menurunkan dan membukanya.

Kama Kangkam menengok ke dalam peti. Dua muridnya maju ke depan,
mengambil klika yang berisi Dwi Dasa Nujum Kartika serta Tumbal Bantala Parwa.
Membaca sekilas, lalu menyerahkan kepada Kama Kangkam. Kama Kangkam
meneliti, untuk memastikan kitab itu asli atau hanya salinan.

“Sebenarnya kitab ini tak ada artinya. Ada yang lebih berharga dari kitab ini,
yaitu Nyai Demang. Akan tetapi sebagai tanda pengakuan kalian, aku terima.”
Kama Kangkam mengembalikan kitab itu kepada muridnya yang segera memasukkan
ke dalam peti.

Halayudha tersenyum.

Dengan mengibaskan tangannya, dua prajurit bergerak cepat. Tali yang tadi
digunakan untuk mengangkut peti sekarang digunakan untuk mengikat Kama
Kangkam, Kalacakra, dan Kalandara sekaligus!

Mata Kama Kangkam mendelik.


“Ksatria Jepun, kamu kira kami menyerah begitu saja. Sekarang ini tangan
kalian akan lemas dan tak bisa digerakkan. Maka terserah Dewa Matahari, apakah ia
bermurah hati padamu atau tidak. Sebelum tenagamu pulih, kami akan mendengar
suara Dewa Matahari-mu. Apakah kamu dibiarkan terikat tali seumur hidup atau
dibuat cacat.”

Mahapatih tak menduga bahwa Halayudha berlaku curang!

Kitab Penolak Bumi telah ditaburi racun sebelumnya.
Bantala Rengka
TINDAKAN Halayudha mengejutkan.

“Ksatria Jepun, terimalah nasibmu. Begitulah kalau merasa paling sakti di atas
bumi. Pohon bisa dikalahkan tingginya, gunung bisa diatasi, bahkan langit. Akan
tetapi manusia tak bisa dihina.”

Dengan memberi isyarat kibasan tangan, ketiga Kama digotong ke luar
sitinggil dengan tubuh terikat tampar, atau tali yang tebalnya sebesar jari.

Suasana masih senyap.

Setelah prajurit yang membawa lenyap dari pandangan, Halayudha mendekat
ke arah Mahapatih. Bersila dan menghaturkan sembah.

Semua yang hadir bertanya-tanya dalam hati.

Apa sebenarnya maksud Halayudha?

Baru saja dengan cara yang licik menjebak ketiga Kama yang beringas. Kini
seakan seluruh kegagahannya lenyap menguap.

Dan menyembah kepada Mahapatih Nambi.

Yang disembah pun tak menduga bakal menerima penghormatan seperti ini.

Meskipun Nambi adalah Mahapatih yang diangkat secara resmi oleh Baginda
Raja, tetapi tak menyangka akan menerima penghormatan semacam ini. Di depan
begitu banyak senopati dan prajurit, Halayudha begitu merendahkan dirinya.


Sebagai pemegang jabatan mahapatih, Nambi ibarat kata raja yang
melaksanakan perintah harian. Memegang kemudi pemerintahan sehari-hari.
Sehingga senopati dan para empu seangkatannya tunduk dan melapor kepadanya
tanpa kecuali. Dan itu memang dilaksanakan. Akan tetapi, karena riyawat dan
perjalanannya hampir sama, boleh dikatakan sembah-menyembah tak terjadi.

Bahkan Mpu Sora pun tak perlu menyembah seperti yang dilakukan
Halayudha.

Dalam posisi ini, Halayudha tak berbeda dari para senopati yang lain.

Pangkat hala sejajar dengan patih, ataupun patih amancanegara yang dijabat
Adipati Lawe.

Halayudha sedikit lebih istimewa karena dialah patih yang sehari-hari
berhubungan langsung dengan Baginda. Bahkan Mahapatih pun tak sesering
Halayudha menghadap Baginda Raja.

“Berdirilah, Paman Halayudha.”

“Duh, Mahapatih,” kata Halayudha tanpa menggeser duduknya. “Saya telah
melakukan kehinaan yang melukai kehormatan semua jiwa agung. Seumpama bumi
saya adalah bumi yang terbelah. Sayalah bantala rengka. Seumpama telur dalam
eraman, sayalah telur yang busuk.

“Saya telah melakukan kehinaan yang paling memalukan. Tak sepantasnya
saya meracuni kitab pusaka, sehingga yang memegang akan kehilangan rasa dan
kekuatan pada tangan dan tubuhnya.

“Saya melakukan semata-mata demi kehormatan kita semua, agar tak diinjakinjak
ksatria berkucir dari Jepun.

“Akan tetapi apa pun alasan saya, sepenuhnya saya bersalah. Hukuman apa
pun, saya siap menerima untuk meringankan dosa yang tak terampuni ini.

“Mohon Mahapatih menyebutkan hukuman apa.”

Cara berbicara Halayudha menunjukkan penyesalan yang dalam, sekaligus
mengakui kekuasaan Mahapatih untuk menjatuhkan hukuman. Sebagai tangan kanan
Baginda, Mahapatih Nambi memang berhak menjatuhkan hukuman.


Memang dalam hal ini Keraton Majapahit mempunyai beberapa perkecualian.
Karena sejarah berdirinya dan diangkatnya para senopati juga berbeda. Yaitu melalui
peperangan bersenjata dalam mengusir lawan-lawannya. Baik Raja Muda
Jayakatwang ataupun pasukan dari Tartar.

Sehingga ada beberapa senopati yang juga mendapatkan sebutan dharmaputra,
putra yang berbakti atau berjasa. Dengan demikian selain jabatan serta pangkat
pangalasan wineh suka atau prajurit yang mendapat hak-hak istimewa. Senopati Kuti,
Sora, Semi, Tanca, Pangsa, Wedeng, dan Halayudha termasuk dalam sebutan
dharmaputra. Sehingga walaupun berhak, Mahapatih juga memandang kekuasaan
Baginda.

Tak nanti sembrono main menghukum saja.

Ini tak mengurangi arti bahwa Halayudha memang bersalah! Berbuat hina!

Akan tetapi pertimbangan lain adalah bahwa Halayudha berbuat sesuatu yang
licik untuk menyelamatkan Keraton. Hanya dengan cara meracuni secara diam-diam,
Halayudha bisa menjebak Kama guru dan dua muridnya. Rasanya kalau bertempur
biasa, belum tentu bisa memenangkan, tanpa banyak korban. Bahkan bisa-bisa jatuh
korban dan tetap kalah.

Dilihat dari sisi lain, Mahapatih jadi ragu.

Menghukum tidak sepenuhnya benar.

Memberi ampunan begitu saja, juga tak bisa dibenarkan.

Sebab yang terutama sekali, kalau cara-cara Halayudha dibenarkan, nilai-nilai
kejujuran, nilai-nilai jiwa ksatria yang luhur yang ingin ditegakkan menjadi mencong
adanya.

Mahapatih menyadari bahwa di antara para senopati sendiri terjadi semacam
kebimbangan dalam hal ini. Terutama karena sikap ini menyangkut sikap Baginda!
Raja yang menjadi satu-satunya pusat kekuatan dan kekuasaan untuk dianut.

Para senopati ada yang tidak sepenuhnya setuju sewaktu Baginda masih
menjadi senopati dan menggempur pasukan Tartar. Cara-cara yang digunakan tidak
sepenuhnya menumbuhkan jiwa ksatria. Bagi Mpu Sora hal itu diperjelas lagi sewaktu
Baginda menitahkan Permaisuri Rajapatni ke Perguruan Awan.


Bahkan semua manusia mungkin sekali-dua melakukan kesalahan, hal itu
wajar dan bisa diterima.

Akan tetapi tidak berlaku untuk seorang raja!

Baginda Raja tak boleh kelihatan salah atau meragukan sifat ksatria! Akibatnya
bisa hancur-hancuran seluruh tatanan yang ingin ditegakkan.

Kekeliruan Baginda ibarat kata bisa meruntuhkan langit dan membuat bantala
rengka.

Keraguan Mahapatih membuat suasana lengang agak lama.

Halayudha menyembah lagi.

Lalu mendadak mencabut keris dari pinggangnya dan dengan gerakan kilat
ditusukkan ke lambungnya sendiri.

Mpu Renteng yang melihat kemungkinan ini, menjulurkan ujung kainnya.
Sementara Senopati Pangsa yang berbeda tak begitu jauh, menyambar pergelangan
tangan Halayudha.

Keris itu hanya menyerempet perut bagian luar.

Mahapatih menghela napas.

Pikirannya berjalan cepat. Tindakan Mpu Renteng dan Senopati Pangsa ini

sekaligus menunjukkan bahwa mereka berdua tidak menyetujui hukuman bunuh diri
yang dilakukan Halayudha.

“Sudahlah, Paman Halayudha.

“Baginda Raja yang berhak menentukan hukuman atau pujian. Masih ada
waktu untuk sowan, menghadap Baginda.”

Mahapatih segera meninggalkan tempat.

Kembali ke tempat istirahatnya dengan pikiran yang penuh. Santapan yang
disediakan tak disentuh, istri utama dan para selir tak berani mendekat kalau
Mahapatih seperti beradu alisnya.


Rasanya setiap hari beban sebagai mahapatih bertambah berat di pundaknya.

Mpu Nambi masih belum begitu percaya, ketika suatu saat Halayudha datang
kepadanya dan menceritakan bahwa Baginda sangat terkesan akan pengabdiannya.
Terkesan akan cara-cara memimpin prajurit telik sandi.

Secara tidak langsung, saat itu Halayudha membisikkan bahwa kemungkinan
Nambi diangkat mahapatih sangat besar. Hanya saja mungkin banyak yang iri.

“Tetapi Baginda percaya, Senopati Nambi akan bisa mengatasi. Kalau perlu
dengan segenap ilmu yang ada.”

Bahkan saat itu pun, Nambi masih menduga-duga Halayudha seperti
menyimpan dan juga menyebarkan benih-benih permusuhan. Membangkitkan

kecurigaan dan permusuhan.

Namun nyatanya benar!

Dalam pasewakan agung, Baginda Raja mengangkat sebagai mahapatih.

Mahapatih Nambi, tangan kanan Baginda Raja. Saat itu pun telah terlihat bibit
permusuhan. Adipati Lawe segera meninggalkan pasewakan agung!

Tindakan yang secara terang-terangan menantang Baginda!

Bagi Mahapatih, bantala rengka bukan berarti perbuatan yang licik saja. Katakata
itu juga bisa berarti bahwa kini tanah telah terbelah. Ada lubang menganga. Ada
keretakan besar!

Persatuan yang utuh saat-saat merebut Singasari tak ada lagi!

Sesuatu yang sangat disayangkan.

Saat itu, selesai pelantikan, Halayudha datang lagi kepadanya.

“Mahapatih Nambi, kenapa Mahapatih justru berwajah sedih?”

“Paman Halayudha, rasanya banyak dharmaputra yang lebih pantas.”

“Mahapatih, hal yang paling tercela dalam hidup ini, kalau saya boleh lancang,

adalah meragukan kehormatan yang diberikan oleh Baginda.”


“Adipati Lawe meninggalkan pertemuan.”

“Adipati Lawe adalah putra Aria Wiraraja yang perkasa dan dihormati.
Keponakan Senopati Sora yang perkasa. Akan tetapi Adipati Lawe tetap seorang
adipati. Dan adipati di bawah perintah mahapatih. Banyak adipati, akan tetapi hanya
ada satu mahapatih! Tak pernah ada dua mahapatih, tak pernah ada dua pimpinan.”

Windu Kuntara

KALAU sudah tenggelam dalam pikiran yang tak bisa segera diatasi, Mahapatih tak
bisa segera tidur, walaupun mata sudah berat. Tak ada nafsu makan, walaupun perut
sudah kosong. Bahkan untuk menenggak minuman pun tak ada niatan, walau
semuanya telah tersedia.

Sejak resmi diangkat sebagai mahapatih, merasakan banyak perbedaan.
Sahabat eratnya menjadi menjauh, baik karena perbedaan kekuasaan atau sebab lain.
Selama ini dirinya masih bisa berbicara dengan Mpu Sora, Mpu Renteng, dan yang
lainnya. Akan tetapi sejak diwisuda menjadi patih amangkubumi, segalanya berubah.

“Menurut perhitungan setiap delapan tahun, saat ini disebut Windu Kuntara,
Mahapatih,” kata Halayudha. “Sejauh yang saya tahu, perhitungan setiap saat bakal
berulang dalam jangka waktu delapan tahun atau sewindu. Satu windu berarti
delapan tahun.

“Dan setiap satu windu mempunyai arti sendiri-sendiri. Windu Adi
mempunyai sifat berlebih. Itu adalah saat-saat banyak bangunan baru. Sedangkan
Windu Kuntara mempunyai sifat serba baru, serba mengada, baik gerak-gerik,
maupun sikap yang lebih mendasar. Windu Sangara membawa sifat berlebihan segala
yang cair. Saat hujan lebat, saat banjir besar, dan saat munculnya kelompok-kelompok
baru. Windu berikutnya ialah Windu Sancaya yaitu saat tumbuhnya persahabatan,
memitran sejati. Yang tadinya lawan jadi kawan, yang tadinya kawan jadi saudara.

“Begitulah yang saya ketahui, Mahapatih.

“Ini menurut perhitungan zaman yang bisa meleset dan bisa diabaikan saja.
Hanya kalau kita melihat kenyataannya, saat ini banyak hal yang baru, yang aneh,
yang sebelumnya tak pernah diketahui.”

Selama ini Mahapatih selalu mencoba menahan diri.


Karena justru Mahapatih mulai memperkirakan, di mana sesungguhnya posisi
Halayudha.

Selama ini kelihatannya serba remang. Itulah keuntungan Halayudha
dibandingkan dengan dirinya. Sebagai mahapatih, sebagai pemimpin prajurit telik
sandi, dirinya ibarat kata berada di tempat yang terang. Segala tindak-tanduk dan
gerak-geriknya bisa dilihat.

Kekuatan dan kelemahannya bisa diukur.

Dalam tata pemerintahan dan intrik-intrik yang masih mengusik, posisi berada
“di tempat terang” lebih banyak merugikan.

Mahapatih Nambi mencoret nama Mpu Sora sebagai lawan yang harus
diperhitungkan. Sebelum ini memang terasa persaingan yang kuat antara dirinya dan
Mpu Sora.

Akan tetapi Mahapatih mendengar sendiri bahwa Mpu Sora lebih setuju tidak
dipilih karena merasa tak pantas. Mpu Sora justru mengucapkan rasa syukur ketika
tahu Mpu Nambi yang terpilih.

Sebagai sahabat lama yang mengenal sifat Mpu Sora, Mpu Nambi mengetahui
kejujuran jago tua dari tlatah Madura ini. Di depan Baginda Raja, ketika dimintai
pertimbangan secara perorangan, hal-hal yang diinginkan tak akan disembunyikan.
Mpu Sora bahkan menyebut-nyebut kegagalannya sebagai pengawal Permaisuri
Rajapatni sebagai salah satu sebab ia merasa tak pantas.

Padahal jelas Mpu Sora akan mendapat dukungan lebih banyak dari kalangan
senopati. Mpu Renteng jelas. Adipati Lawe malah secara terang-terangan mengatakan
bahwa tak ada calon lain selain Mpu Sora.

Mpu Sora atau tak usah ada!

Cara berbicara dan sikap lugas Adipati Lawe membuat ia meninggalkan
pertemuan tanpa pamit.

Bagi Mahapatih sikap Adipati Lawe jelas.

Justru sikap yang tersamar seperti Halayudha ini yang membuatnya berpikir
beberapa kali. Jauh sebelum pengangkatan dirinya, Halayudha sudah mengetahui.


Berarti sudah diajak bicara secara pribadi oleh Baginda Raja. Berarti hubungannya
sangat dekat dengan Baginda, dan kata-katanya didengar.

Sewaktu badai mengancam dengan munculnya ketiga Kama dari Jepun,
ternyata Halayudha yang bisa menyelesaikan. Dengan caranya sendiri!

Lepas dari caranya yang licik, Halayudha bisa melepaskan diri dari ancaman
lawan secara licin.

Bahwa ia bisa membawa keluar Kitab Bumi secara lengkap yang disimpan
dalam kamar Baginda, membuktikan keleluasaan bergeraknya.

Ini bisa menjadi bahaya, karena kalau dilihat caranya, Halayudha tega untuk
melakukan apa saja.

Hanya saja Mahapatih tak melihat adanya bukti-bukti kuat untuk mencurigai
Halayudha.

Sebaliknya Halayudha justru memberi banyak keterangan yang terbukti
kebenarannya.

Jauh sebelumnya, Halayudha sudah memberi kisikan bahwa Mpu Sora akan
diangkat sebagai rakian patih di Daha. Sebagai penguasa di Dahanapura, yang secara
tata pemerintahan bertanggung jawab atas wilayah itu, akan tetapi tetap di bawah
Mahapatih.

Pengangkatan ini ternyata terbukti kemudian.

Dan karena Mpu Renteng masih tetap bertugas di Keraton, persekutuan
keduanya boleh dikatakan terpisahkan.

Satu demi satu para dharmaputra yang mendapat hak-hak istimewa akan
diberi wilayah yang dikuasai Keraton. Ini juga berarti bahwa mereka akan berada di
tempat yang jauh dari pusat kekuasaan.

Berarti juga, penguasaan atas Keraton lebih terpusat di tangannya.

“Kapan Senopati Sora diberangkatkan ke Daha, Mahapatih bisa menentukan
tanggalnya. Siang atau sore.”


Sesuatu yang luar biasa, karena kemudian apa yang disarankan Mahapatih
disampaikan ke Baginda Raja. Dan Baginda sendiri yang menentukan saat
keberangkatan.

Yang menyiksa Mahapatih ialah ia merasa curiga akan kehadiran dan posisi
Halayudha, namun setiap waktu justru Halayudha membantunya.

Seperti serbuan ketiga Kama!

Di depannya, Halayudha bahkan siap melakukan bunuh diri!

Prajurit telik sandi yang ditempatkan di kalahan, atau tempat tinggal
Halayudha, tak pernah menemukan bukti-bukti yang mencurigakan. Bahkan
sebaliknya, selalu memberi laporan yang baik. Bahwa Halayudha, di mana pun
berada, selalu mengatakan tugas utamanya adalah mengabdi. Mengabdi adalah
melayani secara total kepada yang berkuasa. Dalam hal ini Baginda dan Mahapatih.
Kalaupun saat ini diminta nyawanya, ia akan memberikan tanpa bertanya.

Yang lebih membuat Mahapatih merasa tersisih dan rumit adalah kenyataan
bahwa ia tak bisa membagi perasaan hatinya dengan para senopati yang lain. Bahkan
dengan Senopati Anabrang yang agaknya tak terlalu gembira dengan pengangkatan
Nambi sebagai mahapatih pun juga tak bisa. Akan tetapi Senopati Anabrang juga
kelihatan kesal.

Mahapatih berusaha menemui Mpu Sora sebelum berangkat ke Daha. Akan
tetapi pertemuan itu menjadi sangat kaku dan tak banyak pembicaraan yang berarti.

“Saya meminta maaf atas kelancangan keponakan saya, Mahapatih.”

“Kakang, jangan terlalu dipikirkan hal itu.”

“Kelancangan tetap kelancangan. Apalagi sebagai prajurit, tindakan Keponakan
Lawe tak bisa dibenarkan. Kalau Mahapatih menghendaki, saya bisa memberi
pelajaran.”

“Kakang Sora, saya kira saya mengerti perasaan Lawe. Sejauh ini tak menjadi
gangguan bagi saya. Selama ia menjalankan tugas Keraton dengan baik, selama itu
pula semua berjalan sebagaimana biasanya. Gaya masing-masing orang berbeda,
Kakang. Dan rasanya kita telah saling mengenal pada masa-masa dahulu.”

“Pandangan Mahapatih sungguh luas.”


Ucapan-ucapan tulus semacam itulah yang membuat Mahapatih justru
merasakan ada jarak.

Pada saat-saat seperti itu, Mahapatih lebih banyak mendengar dan Halayudha.
Yang meskipun sambil lalu, memberi kabar yang lebih menentukan.

“Baginda mengangkat Permaisuri Indreswari sebagai permaisuri utama,
Mahapatih.”

“Ya, aku mendengarnya, Paman.”

“Berarti putranya kelak yang akan mewarisi takhta.”

“Sudah dengan sendirinya.”

“Maaf, Mahapatih.

“Ini juga berarti keturunan langsung Baginda Raja Sri Kertanegara tidak
menitis ke putra mahkota.”

“Ya, padahal selama ini masih banyak sekali pendukung Baginda Raja Sri
Kertanegara. Terutama dari kalangan para ksatria yang malang melintang di
persilatan.”

“Begitulah, Mahapatih.

“Bahkan sebagian terbesar merasakan penghormatan yang tulus kepada
Baginda Raja, karena Baginda Raja mempermaisurikan keempat putri Singasari

terakhir.”

Dengan nada merendah, Halayudha melanjutkan,

“Sudah barang tentu Mahapatih telah melihat kemungkinan-kemungkinan

yang muncul dari kekecewaan yang bisa mencari tempat penyaluran.”

“Adakah kamu melihat jalan keluarnya, Paman?”

“Saya tak cukup mengetahui situasi sebenarnya, Mahapatih.


“Akan tetapi kalau Mahapatih bisa matur Baginda, mungkin akan lebih baik
jika putra Permaisuri Indreswari kelak langsung diangkat anak oleh Permaisuri
Tribhuana. Sehingga lebih aman.”

Hanya Halayudha yang bisa bersiasat begitu cemerlang!
Sora, Mahapatih Masa Datang
APA yang dirasakan Mahapatih Nambi, juga dirasakan oleh Mpu Sora!

Kebimbangan Mpu Sora mengenai kedudukan Halayudha yang sesungguhnya,
juga memberati pikiran. Ada kecurigaan yang muncul ke permukaan, akan tetapi
rasanya tak ada bukti nyata bahwa Halayudha sengaja berbuat jahat kepadanya.

Justru sebaliknya.

Secara hati-hati sekali Halayudha mengemukakan pendapatnya. Seperti ketika
Mpu Nambi akan diangkat sebagai mahapatih.

“Iya, yang saya dengar dari bisikan Baginda, Senopati Agung Sora yang
bijaksana. Pertimbangan Baginda semata-mata karena Senopati Agung Sora tidak

bersedia menjabat.”

“Saya tidak pernah bermimpi mendapat anugerah pangkat setinggi itu.”

“Maaf kalau saya boleh mengatakan bahwa kepala dan mata orang lain yang

bisa melihat diri kita lebih atau kurang. Kita sendiri hanya bisa melihat sebagian kala
berkaca. Tapi tetap tak bisa melihat punggung sendiri.

“Maafkan saya, Senopati Agung.”

“Pendapat Senopati ada benarnya.”

“Hanya kebetulan saja.

“Akan tetapi pasti bukan secara kebetulan kalau Senopati Agung, yang adalah
salah satu dari tujuh dharmaputra, sekarang ditunjuk menjadi patih di Daha.”

“Di mana pun saya ditempatkan, itulah bumi Majapahit.”

“Saya percaya sepenuhnya.


“Akan tetapi rasa-rasanya Baginda Raja mempunyai alasan tertentu, kenapa
Senopati Agung Sora yang ditempatkan di Daha. Dan bukan senopati atau patih yang
lain. Dan atau bukan di tempat yang lain. Begitu banyak tempat yang lain, begitu
banyak senopati yang ada, akan tetapi hanya Senopati Agung Sora yang dipilihkan
tempat di Daha!”

Mpu Sora menunduk.

“Saya tak mengerti maksud Senopati.”

Ganti Halayudha menunduk.

“Saya tidak berhak bicara lancang.”

“Katakan saja, jangan sungkan-sungkan.” Halayudha tetap menunduk.

Suaranya tetap merendah.

“Saya ini kadang merasa besar kepala. Hanya karena selalu berada di dekat
Baginda. Padahal saya ini tak lebih dari keset, alas kaki untuk membersihkan kotoran
di telapak Baginda.

“Maafkan saya, Senopati Agung Sora.

“Sesungguhnya ini kelancangan saya yang menduga bahwa Baginda
mempersiapkan jabatan yang sesungguhnya kepada Senopati Agung. Baginda tidak
ingin melepaskan pilihannya untuk kedua kalinya.”

“Alasannya?”

“Di Dahanapura sekarang ini berdiam Tarunaraja, raja muda dan juga putra
mahkota, Gusti Kala Gemet. Putra Permaisuri Indreswari dipondokkan di
Dahanapura. Sejak lahir ke bumi, sudah ditunjuk Baginda Raja sebagai putra mahkota.

“Sekarang ini, Senopati Agung diminta Baginda Raja mendampingi, mendidik,
melatih. Sejak masih bayi. Jauh sebelum bisa tengkurap, Senopati Agung telah
mendampingi.

“Apa lagi kalau bukan persiapan takhta yang akan datang dengan
mahapatihnya?


“Maafkan, ini perkiraan saya yang picik. Akan tetapi sesungguhnya, bukan
hanya saya yang bersyukur jika kenyataannya begitu.”

Mpu Sora menahan napas.

Dadanya membusung, tapi tetap menunduk.

“Saya sadari perkiraan Senopati Halayudha terlalu berlebihan.” .

“Saya sadari kepicikan saya. Akan tetapi, seperti saya haturkan, bukan hanya
saya yang akan merasa bahagia jika kehendak Baginda Raja seperti ini.

“Maaf, pastilah Baginda tidak sembarangan menunjuk pendamping Putra
Mahkota.

“Karena kalau berkenan, Baginda bisa menempatkan Putra Mahkota tetap
berada di Keraton dan langsung diasuh oleh Mahapatih Nambi.”

Mpu Sora tergetar dadanya.

Bisa saja Halayudha sengaja mengatakan hal itu sekadar untuk menyenangkan
hati yang mendengarkan.

Akan tetapi Mpu Sora juga mengakui, bahwa yang dikatakan Halayudha
mengandung kebenaran!

“Mudah-mudahan bukan itu yang direncanakan Baginda.”

“Waktu yang akan menentukan dan membuktikan kehendak Baginda yang tak
mungkin diutarakan terbuka. Baginda sangat tidak menginginkan kemungkinan
perpecahan. Saya percaya hati suci dan luhur Senopati Agung. Akan tetapi saya juga
sadar bahwa semua orang tidak mempunyai hati yang sama.”

“Ah, lupakan semua itu, Senopati.”

“Saya berusaha melupakan, akan tetapi dalam tidur mengiang di telinga.”

“Tutuplah lubang telinga.”

“Akan saya usahakan, Senopati Agung.


“Namun kalau saya boleh mengutarakan sesuatu—saya ini sudah telanjur
banyak omong—sesungguhnyalah apa yang diutarakan Adipati Lawe tepat sekali.”

“Ah!”

“Maaf.”

“Lawe keliru. Sangat keliru.”

“Saya sependapat.

“Saya kira semua sependapat bahwa Adipati Lawe keliru. Akan tetapi
barangkali alasan yang dikemukakan berbeda-beda.”

“Bagaimana pandangan Senopati Halayudha?”

“Saya menganggap keliru tindakan Adipati Lawe bukan sewaktu meninggalkan
pasewakan agung. Saya bisa menyadari darah panas dan sikap Adipati Lawe yang
berterus terang.

“Saya menganggap keliru karena sebenarnya Adipati Lawe tak perlu
mengutarakan hal itu!”

Mpu Sora menelan ludahnya.

Seakan menyangkut di tenggorokan.

“Tanpa diutarakan, semua senopati lain sudah merasa bahwa Senopati Agung
Sora-lah yang berhak menyandang pangkat agung itu.”

“Saya tidak percaya.”

“Maafkan sekali lagi, Senopati Agung.

“Saya mendampingi Baginda selama masa pemilihan. Satu per satu para
senopati dharmaputra dipanggil menghadap dan ditanyai pendapatnya.

“Jawaban yang saya dengar selama ini, memang Senopati Agung yang berhak.”

Mpu Sora menggeleng.


Gerahamnya menggertak.
Tangannya mengepal.
Dalam berbagai situasi Mpu Sora selalu bisa menguasai perasaan hatinya.


Namun sekali ini perasaannya bisa terlihat.

Mpu Sora menjilat bibirnya yang terasa kering.

“Saya berjanji tidak akan mengutarakan ini. Tetapi saya tak bisa menahan diri.

Saya sadar bahwa ini akan membuat Senopati Agung bersedih.”

Tangan Mpu Sora terkepal makin kencang.

Dadanya terguncang.

“Senopati Agung bukan sedih karena menolak penunjukan Baginda. Bukan

sedih karena kepercayaan yang diberikan para senopati yang lain.

“Melainkan karena secara tidak langsung menyadari bahwa bumi rengka ada
di Keraton. Bahwa sesungguhnya garis pemisah itu ada dengan diangkatnya Senopati
Nambi sebagai mahapatih.

“Bahwa selama ini bumi yang terbelah itu belum kelihatan benar, karena
kesetiaan dan pengabdian kepada Baginda Raja. Akan tetapi bisa berubah banyak di
waktu mendatang.

“Kalau Mahapatih Nambi tidak bisa menjalankan kewajibannya dengan adil
dan menyelesaikan perkara-perkara yang timbul, tanah yang terbelah itu akan

muncul.

“Bukankah ini yang menyebabkan Senopati Agung bersedih?”

Mpu Sora mengakui bahwa Halayudha bisa menebak jalan pikirannya!

Jauh-jauh dalam batinnya tak ada keinginan untuk mengiri kepada jabatan

yang begitu terhormat. Baginya mengalir darah seorang prajurit yang berdasarkan
pengabdian tunggal. Baginya mengalir darah ksatria yang bersikap jujur secara tulus.

Untuk dua hal ini Mpu Sora tak pernah bimbang serambut pun!


Itulah sebabnya Mpu Sora sama sekali tidak bisa membenarkan tindakan
Adipati Lawe yang meninggalkan pertemuan! Ini tindakan sangat tercela sebagai
seorang prajurit sejati!

“Saya mohon beribu maaf kalau kata-kata saya yang lancang ini menambah
beban pikiran Senopati Agung.”

Mpu Sora menggeleng lembut.

“Tidak, sama sekali tidak, Senopati Halayudha. Saya berterima kasih atas
pandangan yang dikemukakan secara terbuka. Saya tak akan pernah melupakan.”

“Ucapan saya tak ada artinya.

“Kalau ada, pasti Mahapatih tidak menunda-nunda keberangkatan Senopati
Agung ke Daha. Akan tetapi nyatanya sampai hari ini Mahapatih seperti sengaja
menahan agar Senopati Agung tidak segera mendampingi sang Putra Mahkota.

“Biarlah lidah saya kaku, kalau saya tidak mengatakan apa yang tidak berada
dalam hati saya yang paling dalam.”
Dwidasa di Samudra
HALAYUDHA juga mendatangi Senopati Anabrang.

Begitu datang langsung berlutut di depan Senopati Anabrang.

“Saya tak pantas bahkan untuk mencium kaki Senopati yang selama dwidasa
warsa menguasai samudra. Dua puluh tahun menguasai lautan, sungguh tak
terbandingkan dengan seorang yang hina seperti saya.

“Kedatangan saya yang pertama-tama untuk meminta hukuman karena telah
membuat malu seluruh senopati. Terutama telah melukai Senopati Mahisa Anabrang
yang kondang keperwiraannya.”

Senopati Anabrang tersentak.

Ia tak menyangka bahwa akhirnya Senopati Halayudha yang begitu dekat
dengan Baginda Raja datang kepadanya, mengakui kesalahannya.


Kekukuhan hatinya keras bagai baja. Akan tetapi seperti juga baja, justru
mudah patah.

Agaknya ini yang menjadi perhitungan Halayudha!

Dengan mendatangi, merendahkan diri, justru Halayudha bisa menempatkan
diri pada tempat yang tinggi, yaitu kemenangan. Tak ubahnya ketika menyikat ketiga
Kama!

Apalagi Halayudha sengaja membangkitkan kemenangan Senopati Anabrang.
Kemenangan sebagai senopati yang selama dua puluh tahun— meskipun kurang dua
tahun—mengarungi samudra luas. Menjalankan tugas dengan gemilang di tlatah
Melayu.

Halayudha bukan sekadar mengingatkan kebesaran itu, akan tetapi juga
menggunakan sebutan Senopati Mahisa Anabrang!

Ada kata Mahisa yang diucapkan secara mendasar. Diberi tekanan lebih dalam
ketika mengutarakan.

Cara yang sangat jitu!

Halayudha mengetahui dengan persis, bahwa pada kelompok tertentu masih
terbayangi kekuasaan besar Keraton Singasari. Hak yang tak akan bisa terhapus begitu
saja. Keraton Singasari memang pantas dibanggakan karena kebesaran Baginda Raja
Sri Kertanegara dalam memperluas cakrawala jagat raya. Di tangan kekuasaan Sri
Kertanegara-lah lautan mulai dikuasai, sampai ke negeri seberang. Dengan kata-kata
yang membakar semangat: “Di mana ada gunung berdiri, di mana ada sungai
mengalir, di situlah panji-panji Singasari akan berkibar.”

Semangat dan jiwa besar itu masih hidup dalam darah dan mimpi semua
senopati yang pernah mengenal atau mendengar kisah-kisah Baginda Raja Sri
Kertanegara.

Dengan menyebutkan nama Mahisa, Halayudha mengembalikan semua
gagasan Senopati Anabrang kepada masa Keraton Singasari. Di mana nama-nama
Mahisa masih banyak dipergunakan.

Sebagai senopati yang berpandangan luas, Senopati Anabrang tidak gampang
termakan pujian. Walaupun kata-kata Halayudha bisa masuk dan meresap.


Pertimbangan utama Senopati Anabrang adalah bahwa sifat licik Halayudha
pada akhirnya tertuju pada penyelamatan Keraton. Berarti suatu bentuk pengabdian.

Berbeda dari para senopati yang lain, Senopati Anabrang boleh dikatakan
hidupnya murni dihabiskan sebagai prajurit. Didikan sifat-sifat keprajuritan dihirup
bersama tarikan napas yang pertama. Dan dalam perjalanan hidupnya, Senopati
Anabrang hanya mengenal satu kata: pengabdian total kepada Keraton.

Senopati Anabrang tak begitu banyak bergerak dalam kehidupan para ksatria
atau para pendekar silat. Dunia persilatan cukup diketahui, akan tetapi tak digeluti
seperti senopati lain. Di saat dirinya tumbuh sebagai prajurit yang dipercaya menjadi
senopati, sudah langsung dikirim ke negeri seberang.

Praktis agak buta mengenai situasi dunia persilatan.

Karena ketika ia kembali lagi, pertarungan para ksatria sudah selesai. Bahkan
pasukan Tartar sudah berhasil diusir ke tengah laut.

Dan kemudian ia sendiri lebih banyak berdiam di sekitar Keraton. Hanya
muncul sebentar ke Perguruan Awan.

Perbedaan latar belakang inilah yang membuat Senopati Anabrang sedikit
canggung bergaul dalam dunia para ksatria. Baginya ada satu tugas yang terus dijalani:
mengabdi sepenuhnya kepada Keraton. Tanpa dibebani intrik-intrik, atau keinginan
menjajal ilmu silatnya.

Itu pula yang menyebabkan begitu kembali, Senopati Anabrang
mempersembahkan kepada Baginda Raja dua putri yang dibawanya sebagai tanda
pengakuan kekuasaan Keraton.

Baginya tak menjadi masalah kalau dulunya masih Singasari dan sekarang
Majapahit.

Toh ini sama artinya: Keraton!

Maka hati Senopati Anabrang menjadi berang dan terbakar kalau mendengar
sindiran bahwa dirinya hanyalah prajurit yang membawa pulang perempuan! Seperti
yang diteriakkan Adipati Lawe.

Sungguh tak masuk akal, telinganya mendengar cacian yang mungkin agak
terbiasa di kalangan persilatan.


Bagi Senopati Anabrang, hal itu diterima dengan perasaan terluka yang dalam.
Tak bakal dilupakan seumur hidup.

“Maafkan tindakan saya yang lebih rendah daripada anjing tanah busuk,
Senopati Mahisa Anabrang.”

Senopati Anabrang menunduk, mengangkat Halayudha.

“Kita masing-masing mempunyai cara untuk mengabdi kepada Keraton, jangan
terlalu dipikirkan hal itu.”

“Terima kasih atas penjelasan Senopati Mahisa Anabrang. Namun rasanya
berat bagi saya menghadapi Senopati. Setiap kali saya teringat kembali, saya merasa
bersalah dan sangat hina.

“Duh, Senopati, rasanya kalau saya mendapat hukuman dari Senopati, hati saya
akan terasa lebih ringan. Walaupun hukuman itu berupa kematian atau cacat anggota
badan.”

“Kita masing-masing bisa berbuat salah.

“Kalau kita menyadari kesalahan itu dan tak akan mengulang lagi, rasa tobat

itu lebih bermakna dari sekadar hukuman.”

Halayudha menunduk.

“Saya sadar bahwa saya sama hinanya dengan Adipati Lawe, akan tetapi

sungguh berat beban yang saya tanggung.”

Senopati Anabrang termakan kalimat yang menyebut-nyebut Adipati Lawe!
Darah samudra yang mengalir dalam dirinya adalah darah panas yang tak bisa

bersandiwara.

“Senopati Halayudha keliru kalau mempersamakan diri dengan Lawe!

“Lawe terlalu kurang ajar. Itu yang bisa dikatakan: perbuatan terkutuk dan

hina! Bukan yang Senopati lakukan.”
“Bukankah jatuhnya sama saja? Membuat malu semua Senopati?


“Duh, Senopati Mahisa Anabrang yang telah menaklukkan samudra, janganlah
hati saya diperingan oleh hiburan kosong.”

“Tidak,” Senopati Anabrang menggertak. “Tetap ada bedanya. Apa yang
dilakukan Lawe bisa merusak pengabdian murni kepada Keraton. Lawe bisa dikatakan
mbalela, membangkang perintah Raja. Itu sama saja dengan pembangkangan atau
pemberontakan!”

Halayudha membelalak.

Sama sekali tak menduga bahwa Senopati Anabrang menjadi galak.

Beringas pandangannya. Buas wajahnya.

“Seorang prajurit sejati adalah pengabdi tanpa ragu.

“Makin jauh saya mengembara, makin yakin akan bukti-bukti besar itu. Tak

ada keraton yang mencapai kebesaran tanpa pengabdian.
“Apa yang dilakukan Lawe bisa merontokkan citra prajurit sejati jika

dibiarkan.

“Baginda harus tegas.

Kalau tidak, saya sendiri yang akan bertindak.”

Halayudha terperangah.

Tubuhnya gemetar.

“Untuk pertama kalinya saya masih diberi anugerah Dewa yang Maha bijak

untuk mendengarkan suara lelaki sejati.
“Selama ini saya hanya mendengarkan tenggang rasa, timbang rasa untuk tidak

melukai hati yang lain.”

Senopati Anabrang tidak sadar bahwa ia masuk perangkap.

Perangkap gelap yang menyeret kemarahannya.


“Saya tidak dibesarkan dalam tradisi tenggang rasa yang akan meruntuhkan
ketegaran batin kita. Saya dibesarkan dalam tradisi kehidupan laut yang mengatakan
apa adanya.

“Saya tidak buta, bahwa Lawe adalah putra kandung Senopati Agung Aria
Wiraraja yang banyak jasanya dan besar wibawanya. Saya tidak buta, bahwa Lawe
adalah keponakan Senopati Sora yang perkasa dan bijaksana.

“Saya tahu itu.

“Tapi saya juga tahu, bahwa kewajiban prajurit sejati adalah mengatakan yang
benar dan berani pula mengatakan yang salah.

“Hanya Baginda Raja yang bebas dari penilaian. Tetapi, bahkan Mahapatih pun
harus diberitahu secara terus terang apabila keliru. Inilah jalan samudra! Inilah

hukum lautan yang perkasa, yang ksatria!”

Halayudha merunduk dalam.

“Perasaan semacam ini tentulah dirasakan senopati-senopati yang lain. Hanya

Senopati Mahisa yang berani mengemukakan secara terbuka. Sungguh luar biasa
tradisi Keraton Singasari.

“Sayang saya tak mengalami secara langsung.

“Ah, kalaupun saya mengalami, apakah saya yang pada dasarnya telah hina
bisa lebih baik?

“Maafkan saya.

“Beribu maaf saya minta dari Senopati Mahisa.

“Saya tahu di mana Lawe berada, akan tetapi satu kata pun saya tak berani
menghaturkan kepada Baginda. Duh, betapa nista.”

Pedang Panjang bagi Mahisa Taruna
HALAYUDHA tak menduga bahwa tangisnya, kekecutan wajahnya, bisa membuat
Senopati Anabrang meluap.

Dan kalap.


“Sejahat-jahatnya Senopati Halayudha, masih bisa meminta maaf. Akan tetapi
perbuatan Lawe sudah sangat keterlaluan. Hal ini tak bisa dibiarkan.”

“Duh, Senopati Anabrang, janganlah berbuat sembrono.

“Maksud baik belum tentu mendatangkan angin segar.”

“Saya tak peduli.”

“Akan lebih baik jika maksud Senopati Mahisa direstui Baginda Raja. Sehingga
kalau ada suara-suara sumbang, akan terbungkam karenanya.”

“Itu lebih baik.”

“Kalau Senopati Mahisa berkenan, saya akan sowan kepada Baginda dan
mengutarakan bahwa Senopati Anabrang ingin menghadap.”

Senopati Anabrang ragu.

Apakah orang laut seperti dirinya pantas meminta waktu khusus kepada Raja?

Halayudha bisa menebak jalan pikiran Senopati Anabrang.

“Saya hanya sekadar menghaturkan. Kalau Baginda menerima, itu bukan
karena saya. Karena Baginda melihat jasa besar Senopati Mahisa yang perkasa.”

“Jasa?

“Apa yang bisa dikatakan jasa? Semua prajurit mengabdi. Bukan
memperhitungkan jasa!”

“Saya tahu jiwa luhur Senopati Anabrang.

“Akan tetapi sesungguhnya jasa terbesar dari semua senopati yang mengabdi
diri, Senopati Anabrang-lah yang paling terpandang.

“Maaf ini bukan pendapat saya yang picik.

“Inilah yang hamba dengar dari para senopati lainnya. Inilah yang hamba
dengar dari Baginda.”


“Saya tak merasa melakukan jasa yang istimewa.”
“Inilah tanda jiwa besar.
“Tangan kanan berjasa, tangan kiri tak diberitahu. Bahkan kalau tangan kiri


bertanya, tangan kanan tetap tak menjawab.

“Tapi semua mencatat bahwa Senopati Mahisa-lah yang menjadi penerus
Keraton. Wibawa dan kebesaran Keraton akan berlanjut atas jasa besar Senopati

Mahisa.”

“Itu berlebihan.”

“Senopati Mahisa-lah yang membawa Permaisuri Indreswari. Dan Permaisuri

Indreswari-lah yang dipilih Baginda menjadi permaisuri utama, sehingga putranya
sekarang menjadi putra mahkota.”

Senopati Anabrang terbatuk.

Ia tidak biasa dengan pujian seperti ini.

“Saya hanya mengatakan apa adanya.

“Sehingga kalaupun Baginda berkenan, itu karena pribadi Senopati Mahisa.”

Senopati Anabrang tak menduga bahwa Baginda, melalui Halayudha, akhirnya
betul-betul memanggilnya.

Saat menyampaikan panggilan dari Baginda, Halayudha menyerahkan tiga
pedang panjang kepada Mahisa Taruna, putra Mahisa Anabrang.

“Saya tidak pantas menyerahkan ini pada Anakmas Taruna. Sebab pedang
panjang ini bukan milik saya. Akan tetapi karena saya melihat Anakmas Taruna
sangat giat berlatih, barangkali pedang dari Jepun ini bisa dipakai untuk latihan.”

Mahisa Taruna menyembah sebagai tanda hormat dan terima kasih.

Siapa yang tidak berharap mendapat pedang panjang pusaka Kama Kangkam,
Kama Kalacakra, dan Kama Kalandara?


Pemberian Halayudha juga sangat tepat. Karena Mahisa Taruna memang
berlatih mempergunakan pedang, seperti juga ayahnya.

“Terima kasih, Paman Halayudha.”

“Anggap ini hadiah Senopati Mahisa Anabrang dari tanah seberang, yang tak
sempat memikirkan untuk kepentingan sendiri.”
Setiap kata-kata Halayudha mengandung sayap-sayap pengertian yang menyeret ke
arah pemikiran tertentu.

Dengan mengucapkan itu, seakan Halayudha ingin menekankan bahwa selama
ini Senopati Anabrang memang tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Bahkan juga
kepentingan putranya. Dan Halayudha bisa menggantikan peranan itu.

Memang bagi Senopati Anabrang pengabdian sebagai prajurit sejati tanpa cacat
sedikit pun. Bahkan sedemikian banyak waktu dicurahkan untuk mengabdi,
pengawasan kepada putranya sendiri terlewatkan. Dibandingkan dengan dirinya,
Mahisa Taruna masih terlalu rendah ilmu silatnya.

Ini semua hanya karena ia menelantarkan.

Senopati Anabrang merasa bersalah. Maka dalam hati sangat berterima kasih
kepada Halayudha yang membesarkan hati putranya. Yang dengan tekun dan sabar
melatih Mahisa Taruna.

Kalau tidak mendampingi Baginda, Halayudha menyempatkan diri untuk
melatih Mahisa Taruna yang menjadi sangat giat. Belum pernah selama ini ada guru
yang secara khusus menangani.

“Saya tidak menganggap diri lebih pintar, Putra Senopati yang gagah. Akan
tetapi sedikit-banyak saya mendengar tentang kitab yang banyak diperebutkan.

“Mungkin kita akan berlatih bersama.”

“Sungguh, budi baik Paman tak akan saya lupakan.”

“Tak ada utang budi di sini.

“Kalau ayahmu begitu sibuk mengabdi, sudah semestinya saya menggantikan.
Meskipun saya tak bisa dibandingkan dengan kehebatan Senopati Mahisa Anabrang
yang perkasa.”


Mahisa Taruna terlalu polos menduga maksud-maksud Halayudha.

Jangan kata ia yang masih hijau, Senopati Anabrang pun termakan oleh
Halayudha.

Sehingga di depan Baginda, Senopati Anabrang mengatakan bahwa apakah
Baginda tidak perlu menegakkan tata tertib para prajurit yang terang-terangan
membangkang.

Dan Senopati Anabrang tidak mengetahui, bahwa sebelum ia dipanggil

menghadap, Halayudha telah menyampaikan hal ini kepada Baginda Raja.

“Begitu berani Anabrang meminta menghadapku?”

“Beribu maaf hamba meminta ke Baginda.

“Biar bagaimanapun, Anabrang dibesarkan di atas gelombang samudra,

sehingga adatnya berbeda dari yang mengenal kehalusan budi Keraton.
“Bisa dimengerti kalau Anabrang berani mengajukan diri menghadap

Baginda.”

“Apa maksudnya mengetengahkan soal Lawe?”

“Dengan diangkatnya Mahapatih Nambi, para senopati yang lain berlomba
merebut hati Paduka Baginda. Tak terkecuali senopati laut yang dibesarkan sisa
Keraton Singasari.

“Barangkali saja, Anabrang ingin menjajal kelebihan senopati Majapahit.
Kebetulan saat-saat pertempuran yang menentukan, Senopati Anabrang tidak ada di
tempat ini.”

“Apa pendapatmu?”

Halayudha menghaturkan sembah sambil mencium lantai.

“Hamba yang picik tak mampu berpikir serumit itu, Baginda.

“Namun sesungguhnya Anabrang ada benarnya. Ia hanya ingin agar Adipati

Lawe meminta maaf keharibaan Baginda.”


“Ini bisa menjadi salah paham.”

“Kalau Baginda berkenan, biarlah hamba yang mendampingi Anabrang.”
Anggukan Baginda berarti lebih dari segalanya.

Halayudha mengatur siasat. Dengan diam-diam ia melarikan kudanya ke
tempat peristirahatan Adipati Lawe sambil membawa tiga pedang pendek milik ketiga
Kama.

“Maaf, Adipati Lawe, senopati sejati yang gagah berani.

“Saya hanya bisa mengantarkan pedang yang pendek, karena Mahisa Taruna
telah mengambil pedang panjang.”

Adipati Lawe menggelengkan kepalanya.

“Ambil saja. Aku tak peduli pisau mainan seperti ini.”

“Saya sadar bahwa pedang kecil atau pedang panjang tak ada artinya bagi
Adipati. Akan tetapi sesungguhnya Adipati-lah yang lebih berhak menyimpan.
Karena pedang matahari ini pedang keberanian, pedang lelaki sejati, pedang para
ksatria utama, hanya pantas dimiliki yang memiliki sifat itu.

“Bukan yang sengaja mencari kesalahan.”

Dengan caranya yang tepat, Halayudha mengatakan bahwa Senopati Anabrang
dan para prajurit pilihan yang dulu ke tlatah Melayu sedang bersiap untuk menemui
Adipati Lawe. Untuk memaksakan kehendaknya agar Adipati Lawe meminta ampun
kepada Senopati Anabrang!

“Saya bisa membenarkan tindakan Adipati Lawe.

“Karena siapa pun bisa menyetujui pandangan Adipati Lawe yang terus terang.
Sesungguhnya pandangan Adipati Lawe mewakili pandangan semua senopati yang
ada di Keraton.

“Tetapi entah kenapa, Senopati Anabrang merasa tindakan Adipati
menentangnya.


Senopati Anabrang bahkan menyebut-nyebut bahwa Adipati hanya menguasai
pantai Tuban. Bukan samudra luas yang pernah ditaklukkan Senopati Anabrang.

“Sungguh tak pantas saya yang tua melaporkan hal-hal yang remeh seperti ini,
tetapi hati kecil saya tak bisa menerima cara-cara bicara di belakang punggung seperti
ini.”

Adipati Lawe tersentak.

“Anabrang tak perlu datang. Aku yang akan menemui. Sekarang.”

Persimpangan Jalan Budha-Syiwa

HALAYUDHA segera menyemplak kudanya.

Kembali ke Keraton tanpa berhenti sedikit pun. Di benaknya sudah tersusun
kerangka siasat yang bakal lebih ramai dari yang direncanakan.

Saat itu juga langsung menghadap Mahapatih Nambi, dan memberikan laporan
bahwa telah terjadi pertentangan terbuka antara Adipati Lawe dan Senopati
Anabrang.

“Yang membuat saya merasa sedih, duh Mahapatih perkasa, ialah bahwa kedua
senopati unggulan Keraton ini mulai mencampuradukkan masalah keagamaan.

“Kalau ini benar terjadi, bisa dibayangkan bahwa tanah yang terbelah makin
luas dan tak bisa diperkirakan kapan berhentinya.”

Mahapatih Nambi tersentak perhatiannya.

Sebagai penanggung jawab masalah keamanan dan ketenteraman Keraton,
Mahapatih mengetahui kabar yang paling kecil mengenai kemungkinankemungkinan
pertentangan yang bisa menyebabkan kekacauan. Semua hal yang bisa
menjadi ancaman Keraton boleh dikatakan dihafal, seakan berada dalam
genggamannya.

Justru dengan cara itu Halayudha masuk.


Kalau ia hanya mempersoalkan pertentangan Adipati Lawe dengan Senopati
Anabrang dari sisi keduanya sama keras, Mahapatih masih bisa berpangku tangan
dalam artian menganggap ini persoalan pribadi yang bersinggungan.

Akan tetapi kalau yang dikatakan Halayudha benar, ini ancaman
ketenteraman yang harus segera diatasi.

“Belum kering keringat saya dari tempat peristirahatan Adipati Lawe setelah
mencoba mendekati Senopati Anabrang. Akan tetapi semuanya sia-sia.

“Dari hal yang kecil dijadikan persoalan besar.

“Pertama, soal pedang ketiga Kama dari Jepun. Kedua Senopati menghendaki.

Terpaksa saya membagi dua. Tiga pedang panjang untuk Senopati Anabrang dan tiga
pedang pendek untuk Adipati Lawe.”

“Lawe tidak menghendaki yang pendek?”

“Sungguh tepat perhitungan Mahapatih.”

“Lawe menghendaki yang panjang?”

“Begitulah adanya. Walaupun sesungguhnya yang lebih berhak atas semua
pedang itu adalah Mahapatih.”

“Hmmm…”

“Yang membuat saya prihatin, duh Mahapatih… entah bagaimana saya harus
menceritakan ini semua. Saya tak melihat senopati lain untuk menceritakan hal ini.
Sebab kalau sampai Baginda Raja mendengar dan menitahkan suatu keputusan, kedua
senopati akan mendapatkan murka.”

“Apa yang membuat kuatir Paman?”

“Dalam memperebutkan pedang, Senopati Anabrang merasa lebih berhak.
Karena pedang panjang dari Jepun itu sesungguhnya adalah pedang dari ajaran Budha.
Ksatria Jepun ini dari aliran Budha. Maaf, Mahapatih, memang warisan yang agak
membingungkan dari Keraton Singasari di bawah Baginda Raja Sri Kertanegara adalah
rangkulan Baginda Raja Singasari kepada aliran agama Syiwa dan agama Budha.


“Dua-duanya dirangkul dan mendapat tempat dalam tata pemerintahan
Keraton Singasari.

“Sementara sejak awal, Baginda Raja Kertarajasa Jayawardhana menetapkan
ajaran Syiwa yang lebih bisa diterima. Semenjak Baginda naik takhta, sudah
dititahkan bahwa agama Budha tak boleh menyebar di arah barat Keraton, hanya
boleh di arah timur. Sementara agama Syiwa boleh menyebar ke mana saja.

“Menurut pandangan saya yang picik, jelas bahwa pilihan kepada Dewa Syiwa
sudah ditetapkan Baginda Raja, mengingat sejarah para leluhur Keraton sejak sebelum
Singasari adalah pemujaan kepada Dewa Syiwa.

“Yang membuat saya lebih prihatin lagi, duh Mahapatih, ialah kalau
pertentangan antara Dewa Syiwa dan Jalan Budha ini terbuka, akan membangkitkan
pertentangan yang lebih luas. Karena para pengikut yang menempuh Jalan Budha tak
sedikit jumlahnya.

“Menurut perkiraan saya, meskipun ajaran Dewa Syiwa yang terbesar, akan
tetapi pemeluk Budha yang nomor dua.

“Ini berarti peperangan habis-habisan yang bisa menjatuhkan pamor Keraton.
Hanya oleh sebab yang tak berarti.

“Kalau pertentangan ini pecah, berarti para pendeta agama Wisnu dan Brahma
juga merasa tidak aman.

“Jikalau keempat agama yang direstui Baginda Raja sampai terlibat dalam
pertikaian, sungguh tak ada lagi tanah damai yang tersisa di Majapahit.”

“Benar semua yang Paman katakan.

“Masalah agama adalah masalah yang bahkan Baginda Raja berpesan wantiwanti
agar tidak ditangani secara gegabah.

“Kadang ini menyenangkan di satu pihak. Karena Baginda memberi
kesempatan berkembang para pengikut Syiwa, Budha, Brahma, dan Wisnu. Akan
tetapi dari segi keamanan, saya ini yang paling kikuk.”

“Warisan Keraton Singasari akhir…”

“Itu salah satu sebab.


“Sesungguhnya, di antara para raja gung binatara, raja yang besar dan
berwibawa, Baginda Raja Sri Kertanegara satu-satunya raja yang mencoba
menggabungkan kekuatan Dewa Syiwa dengan Jalan Budha. Baginda Raja meraih
keduanya.

“Sampai ke dalam tata pemerintahan Keraton.

“Ada pendeta Syiwa, selalu ada pendeta Budha.

“Kini ketika peranan Dewa Syiwa lebih diberi angin, penganut Jalan Budha
sudah mulai memperlihatkan taringnya. Bahkan menurut dugaan saya, para ksatria
Jepun muncul untuk memperlihatkan bahwa sesungguhnya Jalan Budha adalah jalan
yang terbaik untuk dilalui.”

“Sungguh tepat penilaian Mahapatih.

“Saya tak mampu sekuku hitam pun memperkirakan hal itu.”

Mahapatih Nambi menggelengkan kepalanya.

Seakan menolak pujian Halayudha.

“Pertentangan pengikut Dewa Syiwa dengan penganut Jalan Budha akan

berakibat panjang. Karena ini seperti juga mempertentangkan Keraton yang sekarang
ini dengan sisa-sisa Keraton Singasari.”

“Sangat tepat, Mahapatih.”

“Ditambah munculnya ksatria dan pendeta pengikut Dewa Brahma dan Dewa
Wisnu, sempurnalah sudah kekacauan yang bakal terjadi.

“Jalan keluar terbaik barangkali…”

“Sungguh tepat, Mahapatih!”

Halayudha merasa terlalu cepat bicara.

Mahapatih belum mengeluarkan pendapatnya, ia sudah mengeluarkan pujian.


“Maaf, saya mengira Mahapatih akan menyempitkan persoalan ini menjadi
persoalan pribadi antara Senopati Lawe dan Senopati Anabrang.

“Bukan antara prajurit Tuban dan Keraton. Bukan antara pengikut Dewa
Syiwa dan pengikut Budha.”

“Kalau itu jalan yang kuambil, berarti juga membiarkan Lawe dan Anabrang
berhadapan muka.”

“Sungguh besar jiwa Mahapatih.

“Tetap memperhatikan para senopati bawahannya.

“Akan tetapi ini lebih baik bagi Keraton dibandingkan dengan tumpahnya
darah yang lebih banyak lagi.”

“Bagaimana dengan Kakang Sora?

“Apakah ia tak tergerak jika melihat pertentangan ini?”

Halayudha menghela napas.

Wajahnya menunjukkan rasa bingung.

“Dengan jujur saya haturkan, saya tak mengerti di mana Senopati Sora berdiri.
Karena agaknya Senopati Sora masih mencoba bertahan di Keraton. Masih ingin dekat
dengan pusat kekuasaan daripada menempati Dahanapura seperti yang telah
diisyaratkan oleh Baginda Raja.”

“Dengan kata lain ia tidak segera menjalankan perintah. Apakah ia akan
memata-matai diriku?”

“Saya tak mempunyai dugaan seburuk itu, Mahapatih.

“Walau mungkin itulah kenyataannya.”

Halayudha makin merasa bahwa caranya mengutarakan “tidak mempunyai
dugaan seburuk itu, walaupun itulah kenyataannya” termakan oleh Mahapatih.

Dengan berkata seperti itu Halayudha ingin menegaskan bahwa jalan pikiran
Mpu Sora memang buruk, bahkan tak terbayangkan pikiran biasa.


“Kakang Sora. Aku tak menduga bisa sepicik itu pikirannya. Padahal aku
termasuk yang hormat padanya.”

“Banyak yang terkelabui sikap Senopati Sora.

“Kita semua tak mengetahui sifat aslinya.”

“Agaknya teka-teki juga.

“Sewaktu mengawal Permaisuri Rajapatni, Kakang Sora juga justru
menyembunyikan serangan ganas Jurus Lebah. Aku masih bertanya-tanya apakah ini
disengaja sehingga Permaisuri Rajapatni dibiarkan terculik? Bahkan sampai sekarang
aku tak mendengar lagi jejak Klikamuka.”

“Segalanya akan menjadi terang, kalau pertarungan antara Lawe dan Anabrang
terbuka. Pada saat itu, sifat yang disembunyikan akan luntur.

“Maaf, Mahapatih.

“Barangkali malah lebih baik kalau pertarungan Lawe-Anabrang dibiarkan.
Kita bisa melihat kekuatan-kekuatan yang tak tampak selama ini.”
Enam Dharma Pendeta
MAHAPATIH NAMBI tak bisa menahan diri untuk memuji cara berpikir Halayudha.

Dengan mengorbankan kemungkinan ada yang kalah dan menang antara
Adipati Lawe dan Senopati Anabrang, peristiwa ini bisa memancing kekuatan yang
tersembunyi.

Kekuatan gelap yang selama ini kurang terbaca di mana berkiblat, akan dengan
mudah diketahui!

Berarti Mahapatih bisa menemukan peta kekuatan golongan yang sekarang ini
tersembunyi di bawah permukaan.

Memang patut disayangkan, karena ada kemungkinan terjadi pertumpahan
darah. Salah satu, atau dua-duanya senopati Keraton!


Memang benar, ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan campur tangan
para pengikutnya.

Kalau segera bisa diatasi sebelum menjalar, Mahapatih Nambi merasa
menemukan banyak hal yang perlu diketahui.

Luar biasa, pikir Mahapatih. Senopati Halayudha selalu menunjukkan cara
berpikir yang luar biasa hebat dan tepat. Ataukah barangkali karena ia tidak
mempunyai beban pikiran seperti diriku? Ataukah justru baginya pengabdian kepada
Keraton dan Raja adalah yang terutama dan satu-satunya?

Apa pun alasannya, Mahapatih seperti melihat suatu petunjuk.

Berdasarkan itu pula kemudian Mahapatih menyiapkan langkah-langkah
penjagaan yang tidak dianggap mengagetkan masyarakat.

Maka sewaktu diadakan upacara penyucian tirta di sumber air di desa Kudadu,
Mahapatih datang. Sesuatu yang tak pernah terjadi. Seorang mahapatih bersedia
menghadiri penyucian sumber air yang bukan merupakan upacara besar. Sangat
berbeda dari upacara penyucian candi atau makam.

“Saya datang sebagai utusan resmi Baginda Raja,” demikian Mahapatih mulai
memberikan kata pembuka.

“Ini untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya Baginda Raja selalu menaruh
perhatian utama pada setiap upacara keagamaan di wilayah kekuasaan Keraton
Majapahit.

“Hanya karena kesibukan Baginda Raja, tak bisa hadir di desa Kudadu yang
mempunyai riwayat panjang dalam mendirikan Keraton. Akan tetapi restu dan doa
Baginda datang selalu.”

“Semoga Baginda Raja bersama para Dewa, selamanya,” terdengar jawaban
serentak disertai sembah.

“Baginda mendengar doa yang tulus.

“Saya tak ingin menerangkan ulang mengenai kewajiban kita sebagai manusia
yang memilih jalan hidup seperti yang kita jalani sekarang.


“Saya merasa sangat kagum kepada para pendeta. Dari kelompok Syiwa,
Budha, Brahma, dan Wisnu. Sebab mereka inilah yang menjadi kekuatan batin,
menjadi tiang utama kehidupan Keraton.

“Para pendeta sangat dimuliakan oleh Baginda Raja, karena sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang mulia hidupnya. Orang yang dalam setiap tarikan
napasnya, dalam tidur dan terjaga, mendoakan kesempurnaan hidup dalam dunia
yang sementara maupun dalam keabadian di kelak kemudian hari.

“Para pendeta lebih dari para ksatria, para waisya, terlebih lagi dari kasta
sudra, adalah pilihan Dewa yang Mahabrahman.

“Para pendeta yang menjaga roh Keraton dengan melakukan enam dharma
utama.

“Mengajar, dan belajar.

“Melakukan persajian untuk dirinya dan untuk masyarakat.

“Membagi dan menerima derma.

“Enam dharma. Ketiga yang pertama mengajar, melakukan persajian bagi
masyarakat, membagi derma dari masyarakat yang halus budinya, merupakan sarana
hidup di dunia ini.

“Pendeta, dengan segala hormatku pada penjaga batin kita, sangat mulia. Saya
adalah Mahapatih Keraton Majapahit, tangan kanan Baginda Raja, akan tetapi untuk
menyucikan sumber air ini, saya tak mempunyai wewenang. Untuk membina tanahtanah
perdikan, tanah-tanah untuk pendidikan, tempat-tempat suci, saya terlalu kotor
untuk menangani.

“Saya dan para prajurit hanyalah kelompok ksatria. Kalau pendeta menjaga
roh, para ksatria menjadi badan wadag. Tugas utama para ksatria ialah mengabdi
kepada Raja, yang berarti juga mengabdi dunia, mengabdi tanah yang memberikan
kehidupan. Pengabdian kepada Raja adalah mutlak, tak peduli apakah ia prajurit
penjaga gerbang ataupun tingkat senopati. Karena tanpa pengabdian, yang ada adalah
kekacauan.

“Baginda Raja telah menggariskan tingkat di mana kita berada. Baik bagi para
pendeta, para ksatria, maupun para waisya.


“Golongan waisya adalah para pedagang dan petani. Mengerti tentang cara
berdagang mutu manikam, buah-buahan, serta bisa menanamnya dengan baik.

“Golongan yang tidak mempunyai kemungkinan untuk dwija adalah golongan
sudra. Mereka tak akan dilahirkan untuk kedua kalinya. Tugas golongan sudra yang
terutama ialah mengabdi kepada para brahmana, para pendeta, agar menemukan
kesempurnaan dunia dan nirwana. Para sudra yang mengabdi kepada ksatria dan
waisya hanya akan menemukan ketenteraman dunia saja.”

Suara Mahapatih makin meninggi.

“Semua telah mempunyai tempat sendiri-sendiri. Sehingga tak terjadi
kekisruhan. Sebab kalau kita semua bisa memahami kitab-kitab yang memuat aturan
dan tata krama itu, tak ada golongan waisya atau ksatria yang mencampuradukkan
dengan persoalan para pendeta.

“Saya sebagai pelaksana takhta mengingatkan bahwa di saat-saat tertentu kita
bisa lupa di mana kaki kita berdiri, dan terseret arus yang menyesatkan. “Saya tidak
mengada-ada.

“Ketika kami semua membuka sawah di desa Tarik, di desa Kudadu ini, dan di
tempat lain, kami sudah lahir sebagai ksatria, sebagai prajurit!

“Sekarang ini terasakan bahwa banyak tumbuh keinginan mengubah tata
krama peraturan yang sudah jelas dan gamblang. Ada sebagian kecil yang ingin
membuka perselisihan dengan menyeret golongan yang lebih sakti di atasnya.

“Saya akan mengambil tindakan tegas.”

Pandangan Mahapatih menyapu semua yang hadir.

“Dalam Kitab Kutara Manawa sudah jelas diuraikan. Itulah kitab yang
mengatur tata krama kita semua, tanpa kecuali. Termasuk saya, termasuk para
pendeta, para waisya yang sekarang ada di sini.

“Saya tahu, dari Perguruan Awan ditiupkan angin yang ingin mengubah
tatanan ini semua. Perguruan Awan pun, saya tegaskan, tak akan memperoleh
keistimewaan.

“Para pendeta lebih tahu, bahwa di Perguruan Awan tata krama itu sengaja
ditiadakan. Tak ada perbedaan guru dan murid, tak ada perbedaan ksatria atau waisya


atau sudra. Di sana ada ajaran bahwa sang guru juga belajar silat, berdoa, tetapi juga
menanam pohon dan memetik buahnya.

“Saya tak peduli jika itu terjadi di dalam hutan.

“Akan tetapi saya tak akan membiarkan jika mau ditularkan kepada kehidupan
di luar hutan.

“Saya dan seluruh senopati Keraton akan menghadapi.”

Kalimat Mahapatih meninggi dan menurun, akan tetapi dengan pandangan
yang galak, berwibawa.

Tanpa peduli apakah pendengarnya menyadari apa yang dikatakan, Mahapatih
melanjutkan,

“Di antara golongan-golongan ini, golongan ksatria yang paling ruwet dan
ribut selalu. Yang prajurit merasa dirinya senopati, yang senopati merasa bisa berbuat
semaunya. Dengan mengagungkan sikap ksatria, merasa menjadi pendekar, menjadi
jawara, menjadi yang tak perlu diatur.

“Kalau memang tak bisa diatur, jangan menganggap diri ksatria. Tempat yang
paling tepat ialah menjadi kawula, menjadi hamba.

“Mereka bisa memilih menjadi kawula di bagian mana.

“Mau disebut grehaja, yang berarti memang lahir sudah dalam masa
penghambaan. Mau disebut dwajaherta, kalau mereka menjadi tawanan perang.
Seperti ksatria Jepun, atau seperti ksatria mana pun yang kalah!

“Apa mau disebut bhaktadasa yang menghamba karena untuk mengisi
perutnya. Atau mau disebut dandadasa, menjadi hamba karena tak mampu membayar
pajak Keraton.

“Apa pun sebutannya, mereka adalah kawula, hamba yang mempunyai tuan,
dan tuannya inilah yang berkuasa.

“Ini peringatan pertama dan terakhir.”

Pidato Mahapatih pada upacara peresmian penyucian sumber air di Kudadu
bergema luas.


Halayudha memakai kalimat-kalimat Mahapatih untuk membakar Senopati
Anabrang.

“Jelas sekali, Mahapatih ingin menunjukkan kekuasaannya. Tak seharusnya
Mahapatih mengatakan itu. Kesempatan itu tidak sesuai. Lagi pula kesannya justru
menghalangi Senopati Mahisa Anabrang yang jelas-jelas mendapat restu dari Baginda
untuk memberi peringatan Adipati Lawe.”

“Saya tak akan mundur karena ada peringatan atau tidak.”

Jawaban Senopati Anabrang sama dengan Adipati Lawe.

“Aku tak pernah mencabut kata-kataku. Kalau Anabrang tak datang, aku yang
datang menjelang.

“Selama ini aku hanya merasa sungkan kepada Paman Sora yang kuhormati.
Bukan karena takut. Pun kalau Nambi berada di belakangnya.

“Paman Halayudha, sampaikan tantanganku. Aku menunggu di Brantas. Di
sana akan dibuktikan darah siapa yang lebih merah.”

Gema di Perguruan Awan

KETIKA Halayudha sibuk mengatur angin yang membesarkan bara di mana bisa
panas, saat itulah Nyai Demang dan Galih Kaliki kembali ke Perguruan Awan.

Jaghana yang menyambut mereka pertama.

“Angin gunung, betapapun jauhnya mengembara, pasti akan kembali juga.
Selamat tiba, Nyai Demang dan Galih Kaliki.”

“Bagus, aku sudah lama tidak mendengar suara seperti ini.” Galih Kaliki segera
mengambil tempat duduk di salah satu sudut, di atas rumput. Matanya mengawasi
keliling.

Wilanda sedang duduk bersemadi. Upasara Wulung nampak duduk
termenung, hanya memperlihatkan senyum tipis. Sementara Gendhuk Tri seperti tak
mau peduli.

“Banyak hal telah terjadi di luar, Paman Jaghana.”


“Angin Keraton tak bertiup ke tempat sepi ini, sehingga saya tak mengetahui
apa yang terjadi.”

“Paman Jaghana kenal dengan Kama Kangkam, dengan dua muridnya yang
bernama Kama Kalandara dan Kama Kalacakra?” Jaghana menarik napas dalam.

Dadanya yang telanjang nampak penuh berisi angin.

“Pernah saya dengar, mereka datang bersama pasukan Tartar. Apakah sekarang
sudah kelihatan, Nyai?”

“Sudah muncul untuk meminta Kitab Bumi di Keraton.”

Gendhuk Tri mengeluarkan suara dingin.

Lalu mempermainkan batang hidungnya. Seakan tak sengaja.

“Kitab itu lebih banyak diperebutkan daripada didalami isinya. Itulah takdir
yang buruk.”

“Ah, segala apa dipikirkan.

“Biar saja mereka rebutan Kitab Bumi atau Kitab Langit. Selama mereka tidak
mengganggu kita, biar saja jungkir-balik sendirian.”

Ucapan Gendhuk Tri membuat Nyai Demang tertawa.

“Anak kecil, kamu tahu apa tentang dunia ini?

“Kamu tak mendengar Mahapatih Nambi sudah menyinggung bahwa
Perguruan Awan adalah sarang para sudra yang membangkang?”

“Biar saja, ia punya mulut dan punya kuasa.”

“Kita tak bisa membiarkan begitu saja.

“Aku kembali hanya untuk menyampaikan dan melihat apakah gema itu
terdengar sampai di sini.


“Gendhuk, aku tak bisa seperti kamu yang bisanya hanya mengekor apa yang
dilakukan Adimas Upasara!

“Aku berkepentingan dengan nama Perguruan Awan, dengan Permaisuri
Rajapatni, dengan Kakang Dewa Maut!”

Upasara menahan gelora di dadanya.

Gendhuk Tri langsung berdiri.

Wilanda menyelesaikan semadinya.

Hanya Jaghana yang tenang seperti semula.

“Aku tak peduli dengan Gayatri! Aku tak peduli apa yang mereka katakan
tentang Perguruan Awan!

“Aku cuma mau tahu di mana Dewa Maut!”

Di balik kata-katanya yang keras dan patah-patah, nyata bahwa Gendhuk Tri
terusik hatinya. Terampas perhatiannya. Karena biar bagaimanapun juga Dewa Maut
paling dekat dengannya. Walaupun Gendhuk Tri selalu menunjukkan sikap jengkel
setiap kali bertemu, akan tetapi ini semua tak mengurangi perhatiannya.

“Sejak kapan kamu bisa memaksaku?

“Kalau aku mau cerita tentang Permaisuri Rajapatni lebih dulu, kamu bisa

apa?”

Gendhuk Tri menggerakkan selendangnya dengan kesal.

“Memangnya kalau kamu bercerita tentang Gayatri, apa kepentingannya?”

“Permaisuri Rajapatni adalah wanita, seperti aku.

“Kalau kamu mempunyai hati wanita pasti bisa merasakan yang sebenarnya.”

“Perasaan apa?”

Nyai Demang tertawa senang.


Bukan merasa menang. Melainkan merasa bisa mempermainkan Gendhuk Tri.
Setelah mengalami berbagai pengalaman yang menegangkan, bercanda dengan
Gendhuk Tri merupakan selingan yang menghibur.

“Sewaktu Permaisuri Rajapatni masih dipanggil Gayatri, ia pernah berkenalan
dengan Upasara Wulung. Hubungan ini terputus karena Baginda Raja mengatakan
bahwa Gayatri dan Sanggrama Wijaya diibaratkan Uma dengan Syiwa. Bahwa di
kelak kemudian hari, sesuai ramalan para pendeta, turunan Dewi Uma dan Dewa
Syiwa akan melahirkan raja yang meneruskan kebesaran Keraton.

“Akan tetapi nyatanya ini hanya siasat belaka.

“Nyatanya putri dari Permaisuri tak digubris. Malah putra dari seberang yang

diresmikan sebagai putra mahkota.”

“Lalu apa hubungannya?”

“Hati wanita mana yang tak tersentuh mendengar pengkhianatan ini?”

Upasara menggeleng lemah.

“Rasanya masih saja begitu banyak yang memperhatikan saya. Mbakyu

Demang, terima kasih atas pemberitahuan ini.

“Saya bisa mengerti kalau Tuanku Permaisuri bersedih. Akan tetapi
sebenarnya tak ada gunanya. Perjalanan hidup ini panjang. Kalau bukan putrinya,
bukankah masih ada cucunya? Kalau bukan cucunya, bukankah masih ada cicitnya?

Kalau memang keinginannya adalah meneruskan takhta?

“Kehidupan sungguh panjang.

“Kesedihan tak perlu ada.”

“Nah, kamu dengar sendiri apa yang dikatakan Adimas Upasara? Jadi untuk

apa sedih kalau aku tidak bercerita mengenai Dewa Maut?”

“Baik, kalau tidak mau bicara.

“Paman Galih, di mana Dewa Maut?”

Galih Kaliki membelalak.


“Mana aku tahu?”
Gendhuk Tri mencibirkan bibirnya.
“Lelaki macam apa yang tak berani berada di luar bayangan wanita ini?”
Gendhuk Tri menduga bahwa Galih Kaliki tak berani membocorkan rahasia.


Padahal sesungguhnya Galih Kaliki tak mengetahui Dewa Maut masih berada di
kurungan bawah Keraton!

“Aku tak tahu.”

“Di mana dia, Nyai?” Suara Wilanda sangat rendah nadanya, akan tetapi kuat
rasa ingin tahunya.

Nyai Demang tak bisa memperlama menahan rahasia. Nyai Demang
menceritakan apa adanya. Bahwa ia berhasil menyusup ke kamar peraduan Baginda,
akan tetapi terkena Aji Sirep Laron Halayudha, dan akhirnya disekap dalam kurungan
bawah Keraton. Dan di situ bertemu dengan Dewa Maut yang tak mau diajak pergi.

“Aneh sekali. Bagaimana ia bisa sampai di tempat itu?”

“Mana kamu tahu, Gendhuk. Untuk masuk ke situ jalannya hampir tak
mungkin kecuali masuk ke dalam Keraton. Berarti ia ada hubungan dengan selir-selir

Baginda.”

Wajah Gendhuk Tri menjadi merah.

“Heran, bibir selalu nista begitu masih awet melekat di situ.”

“Begini-begini banyak yang memperebutkan, Gendhuk. Rajamu sampai

terpesona.”

“Siapa bilang rajaku?”

“Nyatanya ia menguasai kehidupan kita. Dan kita tak bisa apa-apa.”

“Omong kosong! Aku akan datang ke Keraton untuk menjemput Dewa Maut!”

Wilanda memberi tanda agar tidak tergesa.


“Kita masih bisa memikirkan cara yang baik, anak manis.”
Gendhuk Tri cemberut.
“Aku sudah tahu jalan pikiran Paman semua atau Kakang Upasara. Jalan


terbaik adalah berada di sini, bersemadi, melihat matahari terbit dan tenggelam.”
“Baru saja kamu bilang sendiri Keraton mau jungkir-balik tak peduli, sekarang

jadi sewot.”

Mendadak Nyai Demang berubah suaranya.

“Yang saya herankan, Dewa Maut bisa membaca lorong-lorong dalam tahanan

bawah Keraton. Bahkan saya tertolong dan bisa lolos karena kidungan dalam Kitab
Bumi.

“Itulah sebabnya saya kembali.

“Barangkali selama ini kita salah membaca kidungan. Tak ada yang
menunjukkan bahwa kita harus berdiam di dalam Perguruan Awan sampai jadi tanah.

“Barangkali menikmati matahari terbit bisa juga berarti memerangi ksatria
yang nakal, membungkam mulut Mahapatih yang ngawur, atau menggempur
Halayudha.

“Saya makin sadar ketika ketemu Kama Kangkam, guru dari Jepun, yang luar
biasa tinggi ilmunya. Yang mengaku pemilik sah ilmu Jalan Budha.

“Jepun bukan Negeri Cina.

“Jepun bukan Tartar.

“Jepun bukan Hindia.

“Jepun akan menghancurkan pohon untuk membuat sawah. Jepun akan
mencabut pedang panjang untuk menciptakan kebahagiaan. Kalau benar itu
persamaannya dengan Kitab Bumi, saya percaya sepenuhnya Eyang Sepuh selama ini
tidak pernah menyembunyikan diri! Tidak mengasingkan diri dan bunuh diri seperti
Adimas Upasara yang pengecut!


“Saya datang untuk pamit dari kalian.”
Tiga Langkah, Tiga Jagat
JAGHANA yang selama ini paling tenang, paling bisa menahan diri dari omongan

yang tak keruan juntrungannya, jadi mendongak.

Nada ucapan Nyai Demang berbeda dari biasanya.

Melengking dan sarat oleh kekesalan.

“Saya, Nyai Demang, mulai hari ini juga tak akan menginjak tanah Perguruan
Awan untuk menyembunyikan diri. Hari ini saya telah puas bisa mengatakan isi hati
saya.

“Paman Jaghana, Paman Wilanda, Kakang Galih, Adimas Upasara, dan juga
Gendhuk, kita tak mempunyai ikatan batin dengan Perguruan Awan. Kalau suatu hari
kelak kita bertemu, tak usah mengikat dan mengingat bahwa kita pernah bersamasama
di tempat ini.”

Galih Kaliki meloncat bangun.

“Nyai, aku boleh ikut kamu atau tidak?”

“Kakang Galih, di sinilah tempatmu.

“Sarang persembunyian yang empuk. Yang menganggap membunuh nyamuk

adalah melakukan dosa, yang membiarkan dunia jungkir-balik, yang menganggap
menikmati sinar matahari adalah jalan ke surga.”

“Tunggu.” Jaghana meloncat menghadang.

“Kalau Paman merintangi jalanku, jangan salahkan kalau aku main kasar.”

“Nyai, aku hanya ingin mendengar kenapa Nyai tiba-tiba berkata seperti itu.”

Nyai Demang menggeleng.

“Tak ada gunanya berteriak di depan orang tuli. Tak ada bedanya menembang
kidungan atau merintih.”


Tangan Nyai Demang terulur cepat.

Dada Jaghana terdorong.

Tenaga Nyai Demang seperti mengenai karung kosong. Tanpa peduli, Nyai
Demang menyusuli dengan pukulan kedua. Jaghana menghindar dengan
menjatuhkan diri secara berguling.

Di luar dugaan, Nyai Demang maju menerkam. Tubuhnya diayun, menjatuhi
tubuh Jaghana dengan cengkeraman langsung ke arah jakun.

Gendhuk Tri berteriak keras.

“Awas!”

Wilanda pun tak menduga bahwa Nyai Demang menyerang secara ganas.
Bahkan ketika tiba-tiba merentangkan tangan dan menghantam dada, Wilanda
menduga ini hanya sekadar pelampiasan kejengkelan saja. Sungguh tak terduga bahwa
Nyai Demang menyerang dengan jurus-jurus mematikan.

Jaghana bergulung bagai gasing. Kepalanya yang gundul pelontos seperti
membenam ke dalam dada. Namun tak urung, pipinya terkena serempetan
cengkeraman. Mengakibatkan luka panjang dan darah merah.

Sewaktu menubruk tadi, Nyai Demang menjatuhkan diri ke rumput. Namun
dalam seketika tubuhnya terayun kembali dengan kekuatan tangan, dan kedua
kakinya menggunting Jaghana yang mau tidak mau terpaksa menangkis.

Nyai Demang mendahului dengan tamparan telapak tangan terbuka, sehingga
Jaghana memiliki jalan mundur. Begitu kakinya menginjak tanah, membuat gerakan
cepat. Maju selangkah, mundur selangkah, dan maju lagi. Gerakan kaki yang
demikian ini tidak pada satu titik sumbu, sehingga meskipun kelihatannya seperti
maju-mundur di tempat, akan tetapi mengurung gerak Jaghana.

Dengan ilmu memutar tubuh bagai gasing, sebenarnya Jaghana tidak sekadar
bertahan, akan tetapi juga memberikan perlawanan. Karena dalam memutar tubuh
pada kecepatan tinggi, kemungkinan untuk mengatur tenaga serangan tak bisa
dikendalikan mana keras mana lunak.

Jaghana menyadari bahwa serangan Nyai Demang bukan serangan main-main.


Kaki kiri Nyai Demang mengurung maju satu langkah, Jaghana terpaksa
mundur, tetapi justru pada saat itu Nyai Demang mundur selangkah menjauh. Ketika
Jaghana ragu, gerakan kaki Nyai Demang sudah maju selangkah!

Secepat kakinya mematok, secepat itu pula tangannya menggaplok.

Jaghana yang berputar, menangkis serangan tangan dan kaki, jadi
mengeluarkan seruan tertahan. Kekuatan kaki Nyai Demang jadi luar biasa
mengagetkan. Seperti sepuluh tenaga yang biasa dikenalnya.

Jaghana tak bisa menahan tubuhnya untuk tidak melorot turun. Saat itulah
telapak tangan Nyai Demang mematok gundul Jaghana.

Galih Kaliki berteriak nyaring sambil mengangsurkan tongkatnya yang
disentakkan ke atas menahan getokan Nyai Demang. Tapi Nyai Demang hanya
mengeluarkan suara dingin. Tangannya berubah menjadi cengkeraman.
Menggenggam tongkat, saling tarik dengan Galih Kaliki. Sekali membetot,
merenggangkan, dan kemudian menyentak keras.

“Lepas!”

Gendhuk Tri masih menduga bahwa tongkat akan dilepaskan Galih Kaliki.
Karena tak mungkin Galih Kaliki bertahan dengan tetap memegangi, sebab ini berarti
adu tenaga dan akan membahayakan Nyai Demang. Dugaan Gendhuk Tri berdasarkan
perhitungan bahwa Galih Kaliki terlalu menyayangi Nyai Demang.

Justru dugaannya meleset!

Galih Kaliki tidak ingin melukai Nyai Demang, memang. Akan tetapi ia tak
melepaskan tongkatnya begitu saja, justru karena menyadari tenaga Nyai Demang
sangat besar. Bisa-bisa tongkat itu mengemplang kepala Jaghana yang gundul
pelontos.

Galih Kaliki lebih suka tetap menahan.

Dan hatinya mencelos, ketika terisap tenaga keras hingga tubuhnya terlontar
ke angkasa. Dan masih ngotot memegangi tongkat. Nyai Demang menggenjot
tubuhnya melayang. Satu pukulan tangan kanan dilemparkan, sebelum menyentuh
lawan ditarik kembali dan diganti dengan pukulan tangan kiri.

Buk!


Tubuh Galih Kaliki berdebuk di tanah.

Jaghana yang kini bisa berdiri tegak, berusaha melindungi. Akan tetapi untuk
kedua kalinya, dengan serangan yang sama, Jaghana kena tendang. Kali ini Gendhuk
Tri yang menerjang.

“Hati-hati, Gendhuk. Ini jurus Tiga Langkah Kresna.”

Suara peringatan Wilanda terlambat.

Siku Nyai Demang mengenai ulu hati Gendhuk Tri yang langsung
membuatnya melorot!

Nyai Demang berdiri garang!

“Dengan sepenuh hati kalian belum tentu menang. Apalagi kalau separuhseparuh
seperti ini.”

Dengan kaki terpincang-pincang, Jaghana menggulung kembali tubuhnya dan
maju menerjang.

Aba-aba peringatan dari Wilanda membuatnya berhati-hati menghadapi Nyai
Demang yang menjadi galak.

Tiga Langkah Kresna atau lebih lengkap disebut Tiga Langkah Kresna
Menguasai Tiga Jagat, juga disebut tiwikrama. Kata ini lebih dikenal dari sebutan
aslinya yaitu triwikrama atau tiga langkah.

Dalam pengertian dari kata-katanya memang bisa berarti tiga langkah.
Langkah maju, mundur, dan maju lagi menggempur. Akan tetapi sesungguhnya
artinya lebih besar dari itu. Tiwikrama bukan hanya berarti tiga langkah, akan tetapi
tiga langkah Kresna. Tokoh pewayangan titisan Dewa Wisnu yang ketika tiwikrama
tubuhnya berubah menjadi raksasa, yang kalau berbaring sanggup membendung Kali
Brantas. Digambarkan mempunyai kepala sepuluh yang siap menerkam.

Tiwikrama sebenarnya tak bisa disebut jurus, karena ini hanya bertumpu
kepada pengaturan tenaga dalam. Tiwikrama baru bisa memberikan tenaga bila
digabungkan dengan jurus lain. Konon, jurus yang sering digabungkan adalah jurus
garuda, sehingga menjadi Garuda Tiwikrama, yang pernah dipakai oleh Raja
Airlangga dalam menaklukkan tokoh misteri Mbok Randa Dirah.


Akan tetapi selama ini Jaghana tak pernah mendengar lagi latihan pernapasan
Tiwikrama. Hanya Eyang Sepuh pernah menyebut-nyebut sebagai cara berlatih napas
yang unggul. Akan tetapi juga berbahaya, karena pengaturan napasnya bertentangan
dengan irama yang wajar. Tidak dimulai dengan menarik napas, akan tetapi dengan
mengembuskan napas lebih dulu.

Menurut penuturan Eyang Sepuh, latihan pernapasan Tiwikrama sudah lama
ditinggalkan para ksatria karena banyak mengandung pertentangan di dalam otot dan
urat tubuh.

Agak mencengangkan juga bahwa Nyai Demang secara tiba-tiba memakai
pengerahan tenaga dalam Tiwikrama. Dan memainkan secara murni dengan tiga
langkah serangan. Tanpa digabungkan dengan jurus yang lain.

Hanya karena dasar-dasar tenaga dalam Nyai Demang tak terlalu istimewa,
pelipatan tenaga dalam tidak menjadi serangan maut. Karena kalau benar begitu,
Galih Kaliki maupun Gendhuk Tri pasti tak sempat merintih.

Peringatan Wilanda membuat Jaghana sangat berhati-hati.

Gendhuk Tri pernah terkubur dalam Gua Lawang Sewu yang menyesakkan napas,
akan tetapi tetap tidak seseram kenyataan yang dialami sekarang ini.

"Naga Alit, inilah takdir."

Tangan Naga Nareswara menyentuh tubuh Gendhuk Tri, menghilangkan
kebekuan urat-urat tubuh dan bibirnya.

"Percuma. Lebih enak beku, Kakek Guru. Bergerak juga susah."

"Nyalimu gede."

"Lebih baik tetap bernyali Naga, daripada bergelar Naga tapi nyalinya lebih
kecil dari tikus. Setidaknya Kakek Guru masih bisa hidup lebih lama dari saya. Tubuh
saya bisa dimakan untuk memperpanjang usia."

Naga Nareswara menggelengkan kepalanya.


"Hebat. Kamu ini hebat. Sekali tarik napas, aku bisa membunuhmu. Tapi kamu
tak gentar. Hebat. Oho, ternyata tanah Jawa ini penuh dengan tikus licik dan Naga
hebat. Kenangan akhir yang kubawa ke kehidupan nanti."

Pengembaraan Bersahaja

KETIKA itu, Upasara Wulung sudah jauh meninggalkan Perguruan Awan.

Berjalan tanpa tujuan di awalnya. Mengikuti suara hatinya. Baru kemudian
sadar, bahwa masih ada yang ingin dilakukan dalam hidupnya. Masih ada dharma
yang bisa dilakukan.

Yaitu membalas budi Pak Toikromo.

Seorang penduduk biasa, yang dalam perjalanan takdir dipertemukan
dengannya. Seorang kusir pedati bersahaja dengan keinginan yang membuat Upasara
merasa begitu mulia. Mengangkat sebagai menantu.

Akan tetapi justru dari keinginan yang begitu sederhana, Pak Toikromo
terseret sampai ke Perguruan Awan, sebagai tawanan.

Selama ini Upasara merasa sangat berdosa kepada Pak Toikromo. Maka
keinginannya adalah menemui Pak Toikromo untuk meminta maaf.

Setidaknya ini akan membuat hatinya lebih ringan.

Upasara merasa banyak kekeliruan yang dilakukan dalam hidupnya, akan
tetapi kekeliruan yang membuatnya menyesal adalah menyeret kehidupan Pak
Toikromo.

Dengan mengandalkan ingatan masa lampau, dan bertanya kiri-kanan,
Upasara berusaha mencari tempat tinggal Pak Toikromo yang belum diketahui.

Maka cukup melegakan bahwa akhirnya rumah itu bisa ditemukan. Sebuah
rumah yang sangat sederhana.

Rumah dari tanah, dengan atap daun kelapa. Di kesunyian rimbunan
pepohonan. Upasara berdebar ketika mencoba masuk ke halaman.

Rumah itu tertutup.


Pedati yang dulu ada di pekarangan sebelah. Tanpa sapi.
Upasara ragu.
Termangu.
"Nak Upa..."
Suara bersahaja yang mampu menggetarkan sukmanya.
Upasara menoleh ke arah datangnya suara.
Wajah seorang lelaki tua, sebagian tertutup caping daun kelapa kering yang


sobek-sobek di bagian pinggir. Dada telanjang, hitam oleh cahaya matahari, dengan
urat-urat yang mirip tanah tanggul di persawahan.

Wajah penduduk biasa.

Wajah sangat sederhana.

"Bapak..."

Entah dari mana datangnya kemampuan Upasara untuk mengucapkan kata itu.
Sesuatu yang tidak dimengerti. Terlontar begitu saja. Meluncur begitu saja.

Dan membuat Upasara seperti dirobek ulu hatinya!

Seumur hidupnya, ia belum pernah mengucapkan sebutan "Bapak". Tidak juga
kepada Ngabehi Pandu yang mendidik dan mengajarinya ilmu silat!

Ucapan yang biasa itu mempunyai makna yang dalam, justru karena Upasara
tak mengenal siapa bapak kandungnya yang sesungguhnya. Apakah Ngabehi Pandu,
atau Baginda Raja Sri Kertanegara!

"Akhirnya kamu datang juga, Nak Upa.

"Masuklah, duduklah di dalam. Rumah ini sejak lama tak pernah dibuka."

Upasara menunggu.


Pak Toikromo membuka pintu dari dalam. Upasara masuk. Duduk di bambu
tua yang sudah kehilangan warna. Tertutup debu.

Entah berapa lama pintu depan tak dibuka. Entah berapa lama bambu ini tak
diduduki.

"Saya datang untuk ngabekti."

"Saya terima pangabektenmu, Nak Upa.

"Ya, begini ini gubuk bapakmu. Gubuk paling gagah di dusun ini. Bapak sudah
tua, tak bisa memanjat pohon kelapa."

Napas Upasara tersengal.

Air matanya menggumpal.

Inilah tangisnya yang pertama yang disadari. Dan Upasara merasa ikhlas, lega,
meneteskan air mata.

Apa lagi yang akan dikatakan atau akan didengar? Yang dialami sekarang ini
lebih jelas dari segala kata, lebih nyata dari segala penjelasan.

Sebuah rumah sederhana. Di tengah pedusunan sederhana. Jauh dari intrik
Keraton. Udara, tanah, yang sederhana, seadanya.

Seorang lelaki, penduduk Majapahit atau Singasari yang tak pernah terlibat
langsung dengan pergantian kekuasaan, tak pernah terikat dengan ayunan pedang
siapa lebih tajam, keris siapa yang lebih mengiris. Tetapi yang tak bisa melepaskan diri
dari terkaman kejadian.

Inilah gambaran kenyataan!

Apa artinya ilmu segala ilmu yang dipelajari, kalau ternyata seorang seperti
Pak Toikromo—yang jumlahnya banyak sekali—tak pernah merasakan artinya?

Apa artinya pembangunan Keraton yang megah dan dahsyat, kalau ternyata
Pak Toikromo tak menikmati?

Apa artinya peperangan demi peperangan bagi seorang Toikromo selain
memperpanjang penderitaan?


Apa artinya disesali, kalau bagi Toikromo sendiri ini semua bukan sesuatu
yang harus disalahkan?

Tak ada tuduhan. Tak ada pertanyaan yang menggugat dalam penampilan Pak
Toikromo. Wajah itu, di mata Upasara, tak menyembunyikan apa-apa.

Bersahaja.

Seperti juga ceritanya, yang disuarakan dengan sikap menerima, dan bahagia.

"Sapi bapakmu ini sudah tak ada, Nak Upa. Diambil yang punya. Anak
bapakmu yang dulu saya janjikan untuk dikawini Nak Upa, sudah ketemu jodohnya.

"Anggota keluarga juga sudah tak ada.

"Tinggal bapakmu ini. Makin tua." "Bapak..."

"Syukur, kamu tetap mau memanggil dan mengakuiku sebagai bapakmu.

"Tenangkan hatimu di sini, Nak Upa."

Tak ada pertanyaan apa-apa dari Pak Toikromo. Tidak juga mengenai peristiwa
di Perguruan Awan dulu itu. Hanya Pak Toikromo merasakan ada kegelisahan dalam
diri Upasara. Itu sebabnya ada kata untuk "menenangkan".

Itu yang kemudian dirasakan Upasara.

Upasara mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa inilah akhir
pengembaraannya. Batinnya telah berkelana begitu jauh, melewati puncak-puncak

yang menegangkan, pertarungan mati-hidup.

Inilah muara.

Inilah rumah.

Upasara mulai dalam kehidupan yang biasa, menemani Pak Toikromo.

Menengok tegalan, melihat tanaman singkong, pepaya, mencari kayu bakar. Mencari
air dari sungai untuk menyirami tanamannya. Memberi makan ayam-ayam.

Tiba-tiba semua menjadi bermakna bagi Upasara.


Jauh lebih berharga dari berbagai pengalaman hidupnya selama ini. Baik
semasa di Keraton, ataupun pengembaraan sampai ke Perguruan Awan.

Cara hidup yang sesungguhnya, kata Upasara dalam hati.

Di Perguruan Awan, ia bisa menikmati matahari terbit dan tenggelam. Akan
tetapi itu dari sudut pandang yang berbeda dari sekarang ini. Betapa sesungguhnya
perjalanan hidupnya selama ini kosong!

Kelelahan malam membawa tidurnya pulas.

Embun dan sinar pagi membangunkan, membuatnya bergegas mencari air ke
sungai, melihat tanaman di tegalan, mencari kayu bakar kembali, dan merebus ubi.

Pergi ke kandang ayam sambil menghitung telur.

"Bapak ini sengaja memelihara ayam, karena percaya suatu hari kamu akan
datang kemari, Nak Upa."

"Barangkali doa Bapak yang menuntun langkah saya."

"Juga tebat di dekat sungai. Di sana ada ikan yang sudah gemuk-gemuk.
Bapakmu ini yang memelihara.

"Kalau mencari ikan di sungai, bapakmu ini akan menyimpan di tebat itu. Bisa
untuk makan Nak Upa nanti.

"Ada saatnya banjir selalu datang, dan tebat itu tergenang. Ikan-ikan kembali
ke sungai. Tebat itu kosong. Tapi bapakmu ini akan mencarinya lagi di saat air sungai
surut. Beberapa ikan yang dulu, yang sekarang bertambah gemuk, masih bisa
bapakmu kenali dengan baik. Meskipun pandangan mata mulai lamur, tapi bapakmu
ini masih mengenali, Nak Upa.

"Akhirnya kamu datang juga, Nak Upa. Dewa yang Mahaagung sungguh
murah dan maha welas asih. Baginda Raja sungguh melindungi doa penyembahnya.

"Kamu datang, Nak Upa."

Upasara makin tenteram, makin kerasan, makin bahagia. Serasa menemukan
apa yang selama ini dicarinya. Rasa bersyukur yang dimiliki Pak Toikromo.


Mengumpulkan ikan dari sungai yang setiap banjir lepas kembali. Rasa syukur kepada
Dewa, dan juga kepada Raja, seolah kemuliaan dan kebajikan Rajalah yang membuat
Upasara datang padanya.

Betapa remuk hati Upasara ketika suatu siang sepulang dari sungai, Upasara
mengetahui rumah yang dihuni Pak Toikromo sudah rata dengan tanah! Pedati yang
telah rongsokan itu pun dihancurkan. Hanya tinggal bulu ayam bertebaran.

Duka Pun Tak Tersisa

SESAAT Upasara seakan tanpa sukma.

Pandangan bengong tak percaya.

Dadanya seolah disodok dengan tonjokan yang membuat seluruh perasaannya
tumpul seketika. Mimpi yang buruk pun tak terbayangkan seperti ini kejadiannya.

Baru dalam napas berikutnya, Upasara sadar bahwa sesuatu yang mengerikan baru
saja terjadi.

Sesaat berikutnya Upasara masih menduga bahwa ini semua ulah Nyai
Demang untuk memancingnya. Seperti dulu juga. Akan tetapi kemudian sadar bahwa
dugaannya adalah dosa yang sempurna. Sejahat apa pun, tak nanti Nyai Demang tega
menghancurkan rumah Pak Toikromo rata dengan tanah. Tak nanti bakal
memorakporandakan kandang ayam!

Harapan Upasara hanyalah bahwa kejadian itu untuk mengagetkan jiwanya,
akan tetapi bukan keselamatan Pak Toikromo. Nyatanya itu harapan yang sia-sia
belaka.

Setelah pandangan Upasara bisa melihat lebih jelas, matanya menemukan
tubuh yang sangat dihormati rebah di bawah roda yang hancur. Tangannya masih
menggenggam erat bulu-bulu ayam, yang agaknya berusaha dipertahankan sampai
titik darah penghabisan. Bagian leher dan dada teriris dengan bekas luka yang dalam
dan lebar. Tiga atau empat tulang iga tersayat putus.

Iblis laknat mana yang begitu kejam?

Apa kesalahan Pak Toikromo sehingga harus dihancurkan secara begitu
mengenaskan?


Ini peristiwa macam apa lagi yang harus dihadapi?

Upasara jongkok. Memangku kepala Pak Toikromo seperti dulu memangku
kepala Ngabehi Pandu. Dengan perasaan pilu yang pekat. Air matanya bahkan tak
bisa menetes lagi. Tangannya yang gemetar dan dadanya bergerak-gerak terseret oleh
getar emosi yang tak bisa dikuasai.

Ngabehi Pandu, guru dan yang dianggap pengganti ayahnya, gugur dalam
pertarungan yang jujur. Pertarungan para ksatria. Sedangkan Pak Toikromo,
meninggal karena perlakuan semena-mena. Kematian karena kekalahan dalam
pertarungan yang tak seimbang! Kematian karena perbedaan kekuatan. Jelas lawan
menggunakan senjata yang berat dan mempunyai kemampuan ilmu silat. Sedangkan
Pak Toikromo hanyalah penduduk biasa.

Upasara mengutuki dirinya!

Jarak antara rumah dan sungai tak begitu jauh. Ia datang dan pergi ke tegalan
untuk mengairi. Tapi toh tetap tak bisa mendengar sesuatu yang mencurigakan.
Sedikit pun tidak. Padahal robohnya rumah tua, hancurnya gerobak, serta jeritan
terakhir Pak Toikromo pastilah cukup jelas terdengar.

Dirinya patut dikutuk!

Dirinya adalah manusia cacat! Tak bisa mendengar apa-apa lagi. Bahkan juga
tak mendengar jeritan kematian ayah yang begitu dihormati.

Tiga hari tiga malam Upasara menunggui di pinggir makam Pak Toikromo.
Tiga hari tiga malam Upasara mencoba merenungkan semua kejadian yang
menghancurkan pribadinya. Sejumlah pertanyaan tak terjawab. Apa sebenarnya
kesalahan Pak Toikromo? Apa sebabnya sampai dibunuh dengan begitu
mengenaskan? Kalau karena perampokan, kenapa begitu keji? Kalau bukan
perampokan, apakah kematian Pak Toikromo karena dirinya?

Upasara makin merasa sesak dadanya.

Tumpat padat berdesakan berbagai macam perasaan. Apakah ia mendiamkan
saja peristiwa ini? Ataukah membalas dendam? Kepada siapa? Apakah ia mampu?

Betapa sengsaranya menjadi rakyat jelata. Di tangan perampok atau jago silat,
ia hanyalah alat permainan belaka. Tanpa bisa membela diri sedikit pun.


Duka pun tak tersisa ketika Upasara terhuyung-huyung meninggalkan tempat
itu, setelah berdoa untuk terakhir kalinya. Di sekelilingnya tak ada tempat untuk
bertanya. Kalaupun ada rumah-rumah lain, letaknya sangat jauh. Akan tetapi Upasara
mencoba mendapatkan berita yang bisa dijadikan titik pangkal membalas dendam
atau menyelesaikan perkara.

Sebab ini berbeda dari pertarungan para jago silat, berbeda dari ketika secara
sengaja ia melepaskan tenaga dalamnya. Ini adalah kesewenang-wenangan yang tak
bisa dimaafkan. Upasara tak akan mati tenteram sebelum mengetahui kejadian yang
sebenarnya.

Betapa kecewanya ia ketika mengetahui bahwa rumah terdekat pun
mengalami hal yang sama. Rata dengan tanah, tak ada lagi yang ditemui selain mayat
suami-istri dengan anak kecil, dengan bekas luka yang sama. Dan pada dua rumah
berikutnya, kejadiannya persis sama.

Dengan penuh hormat, Upasara menguburkan semua jenazah yang ditemui.
Walau kini tenaga dalamnya tak ada lagi, Upasara masih bisa mengetahui bahwa si
pembunuh pastilah orang yang mempunyai tenaga dalam cukup kuat, dan mampu
mengangkat senjata berat. Semua korban terkena satu kali sabetan!

Walau Pak Toikromo dan korban lain bukan jago silat, akan tetapi bukan tak
mungkin mengadakan perlawanan seadanya. Akan tetapi dari bukti-bukti yang
dilihatnya, perlawanan itu tak terlihat sedikit pun. Atau sebelum ada perlawanan
mereka telah menjadi korban Pembunuh Bergolok Berat!

Dalam kobaran nafsu membalas dendam, Upasara mulai menyadari kembali
kemampuannya untuk berlatih pernapasan. Dengan kemampuan yang tersisa, Upasara
berusaha mengalirkan udara lewat hidung dalam satu tarikan kuat, menyalurkan
udara ke atas ubun-ubun, ke bawah lewat tulang belakang, dan dikumpulkan sekuat
mungkin dalam perut. Untuk diempaskan lewat lubang-lubang kulit tangannya yang
mengentak ke depan.

Dengan cara seperti ini Upasara mulai berlatih dari awal lagi. Akan tetapi,
setiap kali mencoba memusatkan pikiran, yang muncul dalam bayangannya adalah
wajah Pak Toikromo. Yang begitu bersahaja. Yang memandang tanpa dendam, tanpa
curiga. Yang pasrah tanpa perlawanan. Atau kadang berganti dengan wajah seorang
lelaki yang berjanggut lebat, membawa golok, matanya merah dan siap membabat
kepala Upasara. Atau tulang iga Upasara.

Sehingga pemusatan pikiran Upasara menjadi buyar.


Makin dipaksa, makin kacau.

Hingga napasnya menjadi tersengal-sengal, terbatuk-batuk, dan dadanya terasa
sakit sekali. Akan tetapi Upasara tak mau menyerah. Semakin sakit, semakin
dipaksanya. Semakin tersengal, semakin bengal ia mengulang kembali. Sampai
peningnya sempurna, dan Upasara seperti terseret dalam lamunan tak menentu. Dan
baru terbangun sendiri dengan pikiran dan raga yang letih.

Upasara memaksa terus.

Baginya hanya ada satu cara. Mengembalikan tenaga dalam sebisanya dan
membuat terang siapa Pembunuh Bergolok Berat atau dirinya menjadi korban
karenanya.

Jalan kedua ini dianggap lebih baik daripada jalan pertama!

Mati pun tak percuma, karena sudah berusaha!

Maka Upasara kembali berlatih.

"Betul-betul edan. Kalau tempayan sedang penuh air, bagaimana mungkin
akan bisa mengisinya?"

Walau kini Upasara bagai orang cacat dan sedang linglung, akan tetapi jalan
pikirannya masih bisa bekerja dengan baik. Apalagi yang berkaitan dengan dasardasar
ilmu kanuragan. Bukan sesuatu hal yang luar biasa mengingat sepanjang
hidupnya selalu bergumul dengan hal itu.

Kalimat yang didengarnya adalah bagian dari dasar-dasar ilmu silat. Bagian
dari cara mengosongkan pikiran kalau mau mempelajari ilmu silat.

Kalau tempayan penuh berisi air, tak ada gunanya menambah air ke dalamnya. Hanya
akan tumpah belaka.

Kalau tempayan itu perumpamaan tubuh Upasara, saat ini sedang penuh
dendam dan panas oleh secepatnya mengembalikan tenaga dalam. Jadi tak ada
gunanya kalau mencoba mempelajari pernapasan.

"Kalau cara seperti itu mau dipamerkan, aku sudah tahu sebelum kamu
mengenal dunia."


Jawaban Upasara membuat tawa bergelak.

Yang tertawa adalah seorang lelaki yang wajahnya tertutup caping. Hanya
tangannya yang memegang tongkat, yang biasanya digunakan untuk menggiring itik,

bergerak-gerak.

"Itu yang namanya edan. Sudah tahu tempayan penuh masih nekat dijejali air.

"Anak muda, siapa namamu dan apa maumu dengan berlatih cara pernapasan

yang sudah tak diajarkan karena sudah kuno itu?"

Upasara mendongak.

Ganti tertawa.

"Orang tua, siapa namamu dan apa maumu sok pamer ilmu pernapasan, yang

tak bisa dibedakan mana yang kuno dan mana yang baru? Selama masih mengisap
udara dan mengatur tenaga di dalam tubuh, apakah itu bisa disebut kuno atau baru?"

"Edan, kamu tahu tentang cara-cara melatih pernapasan. Tapi tenagamu kalah
kuat dibandingkan seekor itik."

"Seekor bebek bisa menggerakkan ekornya untuk mencari tenaga. Seekor
kumbang bisa menggerakkan sayapnya untuk terbang. Itulah tenaga utama. Akan
tetapi seribu ekor itik, seribu ekor kumbang, akan bergerak dengan cara yang sama
sejak diciptakan pertama kali. Tak nanti seekor itik atau bebek bisa menarik seekor
kuda."

Caping lelaki itu bergerak, berputar di kepalanya.

Menimbulkan kesiuran angin tajam.

"Kerahkan tenaga memutar ke kanan."
Bik Suka Bintulu
CAPING yang tadinya berputar ke arah kiri serta-merta berubah ke arah kanan,
sesuai permintaan Upasara. Hanya saja karena gerakannya mendadak, caping itu jadi
terangkat ke atas.


Namun Upasara tak bisa melihat dengan jelas, karena geseran angin dari tutup
kepala itu membuat matanya pedih.

"Itu namanya tenaga separuh yang kamu gunakan," kata Upasara gagah.
"Tempayan yang berisi air separuh, bisa digerakkan lebih mudah."

"Edan. Anak kemarin sore malah mengajari seorang bik suka."

Upasara membuka bajunya.

"Aku tak tahu kalau Paman seorang bik suka. Maaf, terimalah pemberian
milikku seadanya."

Upasara mengerti bahwa yang dihadapi adalah seorang bik suka, atau wiku,
atau biksu, atau pendeta yang meminta-minta. Maka sebagai tanda penghormatan,
Upasara memberikan bajunya, karena tak mempunyai sesuatu yang bisa diberikan.

Bik Suka sekali lagi memutar capingnya, dan baju Upasara tersangkut. Akan
tetapi dengan sekali putaran, baju itu kembali menutupi wajah Upasara.

Walau telah berusaha menangkis, akan tetapi tenaga dan kecepatan Bik Suka
mengatasinya. Sehingga tubuh Upasara bergoyang.

"Apakah Paman Bik Suka Bintulu?"

"Aneh. Kamu ini aneh dan edan. Bagaimana mungkin pengetahuanmu begitu
hebat, akan tetapi kemampuanmu begitu hina?"

Bik Suka Bintulu, atau Biksu Bintulu adalah istilah untuk menyebut seorang
pendeta dari kelompok yang suka menyebut dirinya Bintulu. Istilah ini sebenarnya
mempunyai arti poleng atau kotak-kotak seperti papan permainan catur berwarna
biru dan putih. Kelompok ini memang sebagai pendeta, akan tetapi menolak
pemberian.

Tentu saja Upasara mengetahui, karena selama dalam Ksatria Pingitan, boleh
dikatakan segala pengetahuan dan adat diajarkan.

"Maafkan saya, Paman Bintulu."


"Kamu sudah menghinaku sebagai peminta-minta, bagaimana mungkin aku
memaafkan begitu saja? Kalau setiap kesalahan bisa diakhiri dengan maaf, untuk apa
ada pembunuhan dan kebajikan?"

Upasara berdiri gagah.

"Kalau memang ingin pamer kegagahan, untuk apa bicara soal maaf segala
macam?

"Paman Bintulu, saya, Wulung, meminta maaf. Tetapi tidak berarti meminta

ampunan soal pembalasan penghinaan."

"Anak ayam seperti kamu berani mengaku elang?"

Upasara menjadi gondok. Nama Upasara Wulung adalah namanya yang

sebenarnya. Yang berarti Banteng Hitam. Wulung berarti hitam kebiru-biruan. Tapi
wulung juga bisa berarti elang. Arti terakhir ini yang tertangkap oleh Bintulu.

"Sekali pengemis tetap pengemis.

"Mana ada di jagat ini pengemis memberikan sesuatu, walau hanya maaf?

"Edan!"

"Mana ada seorang mengaku wiku selalu mengeluarkan kata-kata kotor?"

"Edan.

"Eh, Wulung, siapa dirimu sebenarnya?"

"Saya adalah lelaki yang ingin membalas dendam kematian orangtua saya yang
dibunuh secara kejam."

"Majulah.

"Akulah yang membunuh penduduk desa ini."

Tanpa pikir panjang, Upasara menggertak maju. Kedua tangannya terentang.
Kedua kakinya membuka kuda-kuda. Akan tetapi Bintulu hanya menudingkan
tongkat penggiring bebek. Ini saja sudah membuat Upasara menjadi ngilu. Kakinya
yang terangkat seperti kaku. Tak bisa digerakkan.


Karena nekat maju, tubuh Upasara jatuh ke tanah.
"Aku bilang maju, bukan tiduran!"
"Kalau menyalurkan tenaga lewat tongkat, masih harus mengerahkan tenaga di


pusar, kenapa berlagak?"

"Dari mana kamu tahu, Wulung?"

"Karena dada Paman Bintulu digerakkan lebih dulu. Tenaga yang disalurkan

ke tongkat akan menjadi lebih cepat jika disalurkan dari telunjuk. Tongkat itu bagian
dari telunjuk, yang tidak ditentukan keuntungannya dari panjangnya."

Kaki Bintulu mengentak tanah.

Hebat tenaganya.

Getarannya membuat Upasara bangkit kembali, seolah dilontarkan tenaga tak
terlihat.

"Nah, ini baru namanya tenaga kaki yang sesungguhnya. Padahal kalau jari
dilatih, kekuatannya tidak kalah dari telunjuk. Tetapi dasar pendeta gunung, lebih
bisa menggerakkan kaki daripada tangan."

Apa yang dikatakan Upasara membuat Bintulu mendehem kecil.

Apa yang dikatakan Upasara memang benar. Tenaga kaki lebih bisa digerakkan
dari tenaga jari. Kekuatan memainkan kaki memang menjadi ciri utama para
pendekar dari daerah pegunungan. Karena keadaan medan yang tidak rata, dengan
sendirinya latihan gerakan kaki menjadi lebih terlatih. Dengan salah satu cirinya,

tubuh bisa bergerak lebih enteng dan permainan kuda-kuda juga kokoh.

"Setan mana yang mengajarimu, Wulung?"

"Apakah Paman Bintulu hanya bisa menyebut setan dan edan saja?"

"Sudahlah, jangan banyak ngomong. Kalau mau menuntut balas, cepatlah."

"Paman Bintulu, kenapa Paman membunuh Pak Toikromo?"


"Sudah menjadi adat dunia. Yang kuat membunuh yang lemah. Untuk apa
menanyakan alasan?"

"Bapakku tak bersalah."

"Memang tidak.

"Aku hanya ingin membunuh saja. Sekali sabet, selesailah sudah. Kalau kamu
ingin menyusul, majulah. Aku tak akan membedakan cara membunuh."

"Coba saja. Apakah Paman Bintulu bisa merontokkan tulang iga dengan
meninggalkan luka menganga."

Upasara menerjang. Dengan jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka.
Kedua tangannya terkepal dan menyeruduk maju. Tanpa menggerakkan tubuh,
Bintulu menggerakkan capingnya. Angin berputar yang muncul melibat tubuh
Upasara dan membantingnya ke tanah dengan putaran.

Pandangan mata Upasara berkunang-kunang.

Tapi segera berdiri.

"Saya ingin dada saya dibelah, bukan dibanting dengan ilmu gasing anak-anak

seperti ini."
Gertakan Upasara hanya untuk meyakinkan bahwa Bintulu pembunuh Pak

Toikromo atau bukan.

Melihat bahwa Bintulu tetap termangu, Upasara jadi kurang yakin.

"Kenapa Paman mengaku sebagai pembunuh?"

"Apa bedanya aku yang membunuh orangtuamu atau bukan? Aku sudah

banyak membunuh orang tanpa mengetahui nama dan anak-anaknya. Kenapa itu
kaurisaukan benar?

"Majulah lagi, kalau ingin kubelah dadamu."

Upasara berputar.


Tubuhnya berbalik menjauh. Tiga langkah kakinya menjadi berat, dan
tubuhnya terseret. Kembali terbanting.

"Wulung, jawab yang benar. Siapa nama gurumu?"

"Baik, Paman dengar baik-baik." Upasara berdiri dengan gagah. Walau seluruh
tubuhnya ngilu-ngilu tapi digigitnya bibirnya untuk menahan rasa sakit.

"Guruku adalah Ngabehi Pandu."

"Siapa itu?"

Upasara mengentakkan kaki ke tanah.

"Bagaimana mungkin Bintulu yang berilmu tinggi ini tak mengenal Ngabehi
Pandu?

"Kalau tak kenal nama besar guruku, buat apa bertanya?"

"Segala macam Ngabehi saja diunggulkan. Tapi... edan... memang sebenarnya
Ngabehi Pandu membekalimu dengan ilmu yang benar, akan tetapi ternyata kamu
anak ayam yang kerdil."

"Seorang senopati agung dari Keraton Singasari lebih pantas dikagumi."

"O, Ngabehi-mu itu wong Keraton? Siapa lagi yang jadi wong Keraton yang

bisa main silat?"

"Mpu Raganata."

Upasara mulai bisa menebak-nebak bahwa tokoh yang dihadapi ini adalah

seorang tokoh yang belum begitu lama muncul dari pengasingan yang cukup lama.
Maka ia menyebutkan nama Mpu Raganata.

"Apakah ia prajurit baru?"

"Paman Bintulu, Paman sangat keterlaluan!"

Upasara bergerak kembali, akan tetapi sekali ini terasa udara panas membeset
tubuhnya! Dan darah mengucur dari dadanya. Luka melintang! Seperti yang dialami
Pak Toikromo dan beberapa korban yang lain.


Dengan geram Upasara berdiri kembali.

Akan tetapi kakinya makin sempoyongan.

"Ayo majulah. Akan kususul bapakku. Akan kutemani di alam sana."

"Edan!"

Sekali ini tongkat kecil penggiring bebek bergerak cepat.
Bejujag, Tokoh Paling Kurang Ajar
UPASARA berkeringat dingin.

Dalam detik-detik terakhir, tubuhnya meringkuk dengan kedua tangan
berusaha melindungi. Kesiuran angin sangat tajam merobek. Gerakan Upasara adalah

gerakan seadanya, sebisanya seperti perlindungan diri terakhir.

Bahkan kedua matanya tertutup.

Terdengar suara keras, dan pohon mangga di sebelahnya roboh, terpotong

melintang dari satu sisi kanan ke kiri bawah!
Pohon mangga saja terbelah terkena kesiuran angin tongkat penggiring bebek

Bintulu!

"Ilmu iblis apa yang kamu mainkan, Wulung?"

Dalam nada geram, terdengar juga kesan kagum.

Upasara sendiri tak bisa menjawab segera. Tak bisa menerangkan dengan jelas.
Bahwa dari tubuhnya masih bisa keluar tenaga murni Bantala Parwa. Tenaga dalam
yang sudah dimusnahkan itu ternyata masih tersimpan, dan secara tiba-tiba muncrat
keluar, berhasil menangkis kesiuran angin maut Bintulu.

Bahwa inti tenaga murni Penolak Bumi adalah bersifat tenaga tumbal, tenaga
yang muncul untuk mementahkan dan mengenyahkan serangan yang mengancam,
Upasara sadar. Akan tetapi ternyata tenaga itu sekarang ini tak sepenuhnya bisa
dikuasai. Tenaga murni itu mengalir dengan sendirinya!


Karena sebelum keluar, Upasara telah sungsang-sumbel dan hampir saja
binasa. Toh tak bisa keluar.

Upasara bercekat.

Tubuhnya basah oleh keringat.

Sesaat tadi, ia merasa kematian telah datang menjemput secara paksa. Untuk
pertama kalinya, Upasara merasa enggan menerima kematian. Saat ini berbeda dari
saat ia membuang tenaga dalamnya, berbeda dari ketika Nyai Demang mengamuk.
Upasara merasa masih ada ganjalan untuk meninggal.

Masih ingin membalas dendam kematian Pak Toikromo!

Ataukah perasaan ini yang membuat tenaga murni muncul tak terduga?
Rasanya tak mungkin juga. Karena kini, ketika Upasara mencoba mengerahkan
kembali, malah dadanya yang terasa sakit.

Kalau tenaga murni macet, kematiannya hanyalah soal waktu. Maka Upasara

menjadi bercekat, tubuhnya berkeringat, seolah sedang menghadapi malaikat maut.

"Ilmu bisa menjadi iblis bisa menjadi dewa, tak perlu ditanyakan."

"Siapa gurumu?"

"Sudah saya katakan, saya adalah murid Ngabehi Pandu yang terhormat,
senopati Keraton Singasari. Teman baik yang terhormat Mpu Raganata, sahabat erat
Eyang Sepuh."

Upasara sengaja menyebut nama tokoh-tokoh besar, agar Bintulu tak menjadi
ganas karenanya. Karena dengan mendengar nama-nama besar itu, bisa mengingatkan
akan sesuatu. Perhitungan Upasara, sekali lagi, berdasarkan dugaan bahwa Bintulu
adalah tokoh sakti angkatan tua yang kembali.

Dugaan itu benar, akan tetapi Bintulu tetap menggelengkan kepala.

"Mana aku kenal nama cecunguk-cecunguk itu?

"Tapi aku bisa memaksamu mengatakan siapa sebenarnya."

Bintulu menggenggam tongkat kurusnya.


"Begitu sombong Paman Bintulu menyebut dengan kata kotor pada pendiri
Nirada Manggala!"

Kali ini upaya Upasara menemukan hasilnya. Kalau nama Eyang Sepuh, Mpu
Raganata maupun Ngabehi Pandu tak dikenali, nama Perguruan Awan ternyata
membuat Bintulu menahan napas sejenak.

"Apa hubunganmu dengan si Bejujag itu?"

Upasara tak tahu siapa yang dimaksudkan dengan si Bejujag, yang bisa
diartikan sebagai seorang yang kurang ajar. Jangan-jangan salah satu nama yang bisa
dihubungkan dengan pendiri Perguruan Awan. Dan itu bisa berarti...

"Kalau memang kamu murid si Bejujag dan sengaja mau mengintip ilmu
Tongkat Penggiring Bebek, inilah kesempatan terbaik. Aku akan membunuhmu
dalam satu gerakan."

Ternyata tetap saja niat Bintulu untuk membunuh!

"Tak perlu main sembunyi."

Belum Upasara mengerti sepenuhnya, sesosok bayangan telah muncul sambil
mengertakkan gigi dan mengayunkan tongkatnya secara keras.

"Kakang Galih!"

Teriakan Upasara lebih mencerminkan nada kuatir dibandingkan
kegembiraan.

Karena Upasara menyadari bahwa Galih Kaliki yang suka menyerang secara
sembrono bisa menghadapi bahaya melawan Bintulu yang mampu memainkan
tongkat kurusnya.

Gebukan tongkat galih asam ke arah caping Bintulu tak dihiraukan. Hanya
tongkat penggiring bebek disebatkan untuk menangkis.

Tongkat kurus bagai bambu yang sedang tumbuh menghadapi tongkat perkasa
dari hati pohon asam.

Luar biasa!


Upasara seakan tak percaya pada matanya.

Bahkan Galih Kaliki melongo.

Tongkat galih asam terpotong di bagian ujungnya. Terpotong dengan goresan
miring!

Inilah yang tak dinyana tak disangka.

Tongkat galih asam sudah lama malang melintang di dunia persilatan. Puluhan
atau ratusan kali diadu dengan segala senjata tajam pilihan. Akan tetapi selama ini tak
pernah mengalami lecet sekali pun. Maka sungguh tak terbayangkan, hanya dengan
sekali sabetan, tongkat perkasa itu somplak!

Tenaga ajaib macam apa yang dimiliki dalam diri Bintulu dengan tongkat
penggiring bebek, yang kelihatannya terayun-ayun terguncang angin?

"Kakang Galih... tahan "

Jeritan Upasara terlambat. Galih Kaliki telah mengeprukkan tongkat ke arah
caping Bintulu untuk kedua kalinya. Kali ini dengan tenaga penuh.

Bintulu menggenggam tongkat penggiring bebek dengan dua tangan dan
tubuhnya berputar keras. Cepat sekali. Upasara sampai mundur terdesak oleh angin.

Tongkat galih asam membentur tongkat penggiring bebek untuk kedua
kalinya. Upasara menahan getaran dalam tubuhnya.

Tongkat galih asam somplak, terlempar ke udara dan jatuh di dekat tubuh
Galih Kaliki yang juga ambruk. Pada sebelah kanan dadanya terlihat goresan yang
dalam hingga ke pangkal paha sebelah kiri. Luka menganga dan seakan terlihat
tulang-tulang tubuh Galih Kaliki yang dilewati sabetan tongkat kurus itu terputus.

Ajal Galih Kaliki telah sampai sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Sebelum
sempat bertegur sapa dengan Upasara!

Alis mata Upasara bersatu. Seluruh darahnya seakan mengalir ke wajah. Darah
dendam kesumat membahana. Tangannya gemetar meraih tongkat galih asam yang
telah somplak.


"Hmmm, jadi si Bejujag itu menyembunyikan kangkam dalam galih?" Baru
sekarang Upasara sadar bahwa tongkat yang selama ini dipergunakan oleh Galih
Kaliki adalah sarung pedang! Pedang hitam yang tipis. Kangkam Galih yang agaknya
dikenali oleh Bintulu!

Seumur hidupnya Galih Kaliki tak pernah mengetahui hal ini. Bahkan tak
akan percaya andai diberitahu bahwa tongkat andalannya ini sebenarnya hanyalah
sarung pedang! Warangka.

Upasara tak banyak berpikir. Kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih
dengan pandangan bulat.

"Apa pun yang kamu katakan, aku siap menuntut balas kematian orangtua dan
kakangku."

"Edan. Hari ini aku membunuh dengan perasaan senang."

Bintulu bergerak. Upasara tak melihat gerakan, hanya merasakan angin tajam
menerjang keras ke arahnya. Dengan sepenuh tenaga, Upasara mengangkat tongkat
Kangkam Galih—pedang yang tersimpan dalam galih— untuk menangkis dan
menerjang.

Akan tetapi karena tenaganya kurang tersalur sempurna, di samping pedang
tipis hitam itu sangat berat, Upasara menjadi sempoyongan. Tanpa bisa ditahan lagi,
tubuhnya justru terbanting sebelum langkah ketiga!

Bintulu mengeluarkan teriakan dingin sambil meloncat tinggi!

Agaknya tak menduga bahwa Upasara melakukan gerakan yang tak
sepenuhnya dikuasai dan disadarinya. Nyatanya memang begitu.

Sewaktu menangkis tadi, Upasara menggerakkan pedang dengan serangan
yang masih bisa dihafal dan diketahui. Hanya karena tenaga dalamnya tak terkuasai,
tenaga membawa pedang hitam itu membuatnya terhuyung jatuh. Akan tetapi di luar
dugaannya, justru sewaktu tubuhnya akan menyentuh tanah ada tenaga menolak
yang membuat Upasara tegak.

Begitu tegak, Upasara berniat menyerang kembali. Akan tetapi kejadian
berulang. Tubuhnya terseret oleh tenaga Kangkam Galih. Sehingga makin limbung.

Agaknya justru ini yang membuat Bintulu kaget dan meloncat tinggi.


Kalau tadi bisa membunuh Galih Kaliki tanpa mengubah posisi kaki dari
tempatnya berdiri, sekarang perlu menghindar!

Dodot, Kain Panjang untuk Hamba Sahaya

MENGETAHUI ada tenaga yang memberontak dari tubuhnya, Upasara tak mau
menahannya. Ia memusatkan pikirannya, dan membiarkan tenaganya tersalur ke arah
Kangkam Galih.

Dalam sekejap, Upasara telah memainkan jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika
secara lengkap dan sempurna. Angin berkesiuran memancar dari tubuhnya,
mengepung Bintulu yang berloncatan. Karena agaknya Bintulu tak ingin tongkat
penggiring bebek bersentuhan dengan Kangkam Galih. Ini yang membuat dalam
sekejap Upasara bisa mendesak mundur.

Bintulu meloncat mundur sekali lagi, akan tetapi kali ini Upasara menyabet
dengan ganas.

Caping Bintulu terayun ke atas!

Barulah Upasara bisa melihat Bintulu.

Dan cemas dengan sendirinya.

Yang berada di depannya ternyata lelaki yang sudah tua, dengan rambut putih
beberapa helai. Selebihnya adalah wajah yang tanpa bentuk sama sekali! Hanya ada
semacam lubang untuk hidung—ataukah mulut?— selebihnya gumpalan daging.
Bahkan Upasara tak bisa menemukan mana bagian matanya.

Begitu banyak peristiwa ditemui Upasara, akan tetapi sekali ini tak terjangkau
oleh akal sehatnya.

Bintulu, jelas tokoh sakti mandraguna dari suatu masa yang telah lewat.
Dilihat dari usianya, bukan tidak mungkin lebih tua dari Mpu Raganata. Kemampuan
dan ilmu silatnya sungguh tiada tara. Galih Kaliki saja bisa disabet dalam dua gerakan!

Hati kecil Upasara terusik rasa iba.


Bintulu pastilah mengalami sesuatu yang sangat kejam di masa lalu. Sehingga
wajahnya hancur lumat. Tak tersisa mata atau mulut! Neraka iblis macam apa yang
telah terjadi?

Kalau dilihat dari sisi ini, Bintulu perlu dikasihani. Akan tetapi Bintulu pula
yang telah menewaskan orangtuanya, Pak Toikromo! Dan juga Galih Kaliki!

Dan Upasara telah bersumpah untuk membalas dendam.

"Edan!

"Sungguh edan. Apakah si Bejujag itu mampu menyimpan dan mengembalikan
nyawa manusia? Apakah ia telah menjadi Maha wiku seperti yang diinginkan?

"Edan.

"Wulung, apakah yang kamu mainkan barusan ilmu Menyimpan Nyawa si
Bejujag?"

Biar bagaimanapun, Upasara masih mempunyai jiwa ksatria. Hatinya tergetar
melihat penderitaan Bintulu. Maka dengan hormat, Upasara melakukan sembah.
Setelah mengembalikan caping untuk menutupi wajah Bintulu, barulah Upasara
mundur dan menjawab.

"Paman Sepuh Bintulu, yang baru saja saya mainkan adalah jurus-jurus
Dwidasa Nujum Kartika, atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Yang kalau diteruskan
dengan Delapan Jurus Penolak Bumi, dikenal sebagai ajaran Kitab Bumi.

"Apakah Paman Sepuh mengenali?"

"Edan.

"Bagaimana mungkin kamu tanyakan aku mengenali atau tidak, kalau aku

yang menciptakan?"

Ganti Upasara yang menjublak. Berbagai perasaan datang-pergi silih berganti.

"Aku tidak tanya nama jurus mainan anak-anak. Yang kutanyakan apakah si

Bejujag itu telah mampu melatih tenaga dalam Menyimpan Nyawa!"


"Maaf, Paman Sepuh, yang saya latih adalah pernapasan seperti yang diajarkan
dalam Bantala Parwa."

"Ngawur!

"Aku tidak menciptakan cara berlatih napas semacam itu. Itu pasti akal-akalan
si Bejujag yang suka main gila.

"Wulung, kamu ini manusia macam apa sehingga begitu beruntung dalam
hidupmu?"

Kembali Upasara terguncang.

Apa maksud omongan Bintulu yang seperti berusaha menjelaskan sesuatu ini?

"Kamu beruntung mempelajari cara pernapasan Menyimpan Nyawa. Itulah
latihan pernapasan yang dikembangkan oleh si Bejujag, padahal ilmu yang murni,
akulah yang menemukan. Akulah yang menciptakan apa yang kamu sebut sebagai
Bantala Parwa atau Kitab Bumi.

"Tapi Bejujag itu memang nasibnya selalu lebih baik. Kami bertiga sama-sama
manusia berkain dodot, kain panjang dan lebar, sebagai tanda hamba sahaya. Tanda
pengenal kaum paminggir, kaum yang tak diperhitungkan secara resmi. Kaum
pinggiran, kaum dodot.

"Edan.

"Bejujag percaya bahwa cara berlatih napas Menyimpan Nyawa adalah cara
berlatih yang sempurna. Karena tenaga murni latihan ini adalah tenaga yang tak akan
pernah bisa hilang. Tenaga yang kekal abadi.

"Aku tak percaya di jagat raya ini ada cara berlatih pernapasan seperti itu. Tapi
baru saja kurasakan bahwa Bejujag kampungan itu berhasil."

Terdengar helaan napas berat.
Upasara seperti tersadar. Bahwa Paman Sepuh Bintulu mengatakan apa adanya
tentang cara pernapasan yang disebut Menyimpan Nyawa. Semacam latihan
pernapasan, di mana setiap kali dilakukan dua kali dari biasanya.


Dalam Bantala Parwa yang dipelajari, hal inilah justru yang membuatnya
bingung dan putus asa. Karena seolah latihan pernapasan mengulang, dan selalu
dimulai dengan penolakan! Ternyata justru inilah intisarinya!

Tenaga murni Upasara telah dikeluarkan hingga habis tuntas. Akan tetapi,
sebenarnya dalam dirinya masih tersimpan penuh tenaga murni itu. Hanya saja,
tenaga murni semacam ini tak bisa dipergunakan secara langsung. Harus diubah lebih
dulu. Diubah menjadi tenaga murni yang bukan cadangan. Tenaga murni yang bukan
simpanan.

Itu pula sebabnya, seakan tenaga murni itu hanya bisa keluar pada saat maut
nyaris merenggut! Karena pada saat seperti itu, secara tidak sadar tenaga dalam
Menyimpan Nyawa bisa keluar. Dan mengetahui bahwa tenaga murni itu harus
diubah lebih dulu, membuat Upasara sadar sepenuhnya.

Bahkan kini tenaga dalamnya yang dulu bisa dihadirkan kembali!

Tenaga murni yang tersimpan itu diubah menjadi tenaga murni yang bisa
digunakan sewaktu-waktu. Dengan demikian tenaga murni yang sebenarnya tetap
terjaga utuh. Ini yang disebut Paman Sepuh Bintulu sebagai cara melatih pernapasan
Menyimpan Nyawa.

Satu kata kunci saja, membuat Upasara bisa menemukan kembali tenaga
dalamnya.

Dan yang memberitahu, justru musuh besarnya. "Terima kasih atas penjelasan
Paman Sepuh."

"Edan.

"Selama ini aku mempelajari, menciptakan, ternyata sia-sia belaka. Bejujag itu
masih bisa mengatasi."

Upasara menyembah dengan hormat dan tulus.

"Maafkan saya, Paman Sepuh, siapakah tokoh sakti yang selalu Paman Sepuh
sebut sebagai Manusia Kurang Ajar?"

"Siapa lagi kalau bukan Bejujag yang paling kurang ajar?"


"Apakah... apakah... yang Paman Sepuh maksudkan Eyang Sepuh yang
mendirikan Perguruan Awan?"

Caping Bintulu bergoyang-goyang.

"Bejujag itu menyukai nama kosong. Untuk apa kalian begitu menghormatinya
dengan memakai sebutan Eyang Sepuh dengan nada begitu hormat? Ia tak lebih dari
si Kurang Ajar yang tak tahu malu, mengakali ilmuku."

Kali ini Upasara yang menghela napas berat.

Seluruh tokoh di tanah Jawa begitu menghormati nama agung Eyang Sepuh—
mulai dari penduduk biasa, para ksatria, pendeta, sampai dengan Raja—akan tetapi
kini dengan enteng saja disebut Bejujag yang mencuri ilmu!

"Paman Sepuh, tadi Paman Sepuh menyebut bertiga. Siapa tokoh yang
bertiga?"

"Edan.

"Wulung, kenapa kamu memaksa aku mengingat nama manusia yang tak
berbakat itu? Manusia yang lebih mementingkan duniawi daripada yang rohani.
Manusia yang lebih mementingkan raga dibandingkan nyawa? Manusia yang lebih
mementingkan nata atau kebangsawanan daripada dodot sebagai asal-usulnya
sendiri?"

Bagi Upasara, kini segalanya lebih jelas.

Pada masa yang telah lama, ada tiga kaum dodot yang menjadi ksatria. Mereka
bertiga ini kelak kemudian hari terkenal dengan nama yang harum. Yang paling
kurang ajar, kemudian menjadi Eyang Sepuh, tokoh yang paling dihormati. Yang
dianggap mementingkan keragaan, menjadi Mpu Raganata. Yang ketiga, atau yang
pertama, adalah yang tak pernah dikenal selama ini. Yang sekarang dipanggil Upasara
sebagai Paman Sepuh Bintulu.

Ada benarnya, kalau diingat bahwa Eyang Sepuh yang kemudian mendirikan
Perguruan Awan, dan Mpu Raganata yang mengabdi kepada Baginda Raja Sri
Kertanegara.

Agaknya Paman Sepuh Bintulu yang terus-menerus mempelajari dan
menciptakan ilmu.


Kalau benar begitu, kenapa sekarang muncul dari pertapaannya? Apa yang
mampu menggerakkan?
Janji di Tepi Kali Brantas
Upasara gegetun sekali.

Menyesal karena kini berhadapan dengan Paman Sepuh Bintulu, yang dalam
sesaat membuatnya berada dalam posisi yang berlawanan. Sebagai tokoh tua yang
dihormati, yang ternyata adalah tokoh seangkatan dengan Eyang Sepuh. Akan tetapi
juga seorang tokoh ganas yang telah menewaskan Pak Toikromo serta Galih Kaliki.

Upasara gegetun karena mau tidak mau ia akan berhadapan dengan Paman
Sepuh.

Namun agaknya Paman Sepuh seperti tak memedulikan itu semua.

"Wulung, aku ingin menjajal ilmu Menyimpan Nyawa."

"Maaf, Paman Sepuh."

"Cuma aku sudah berjanji kepada si Bejujag dan kepada orang Keraton yang
sebenarnya lebih pantas memakai dodot. Kami bertiga berjanji akan bertemu di tepi
Kali Brantas sambil menunggu datangnya tetamu yang akan meramaikan pertemuan.

"Edan.

"Kalau murid Bejujag seperti kamu, apa murid-muridku bisa menghadapimu?"

Upasara berpikir cepat.

"Paman Sepuh juga mempunyai murid-murid?"

"Bukan murid," suara Paman Sepuh menyesak. "Mereka orang edan tujuh

turunan yang akan kusabet wajahnya!"

"Maaf, bolehkah saya lancang bertanya, siapa murid dan sebutan Paman
Sepuh?"

Caping Paman Sepuh Bintulu bergoyang kembali.


"Tadi kamu sudah memanggil Bintulu. Itu juga namaku. Kamu panggil Paman
Sepuh, itu juga namaku.

"Kenapa kamu meributkan nama?

"Murid, aku tak tahu namanya. Aku cuma ingat kumisnya licik."

"Apakah yang mempunyai gelar Ugrawe?"

"Edan.

"Bisa jadi."

Sangat pantas sekali. Ugrawe sakti mandraguna dengan ilmu dan jurus-jurus
Banjir Bandang Segara Asat, atau Banjir Bah Laut Kering. Ilmu yang menyedot tenaga
dalam lawan. Selama ini asal-usul Ugrawe sangat gelap. Ternyata ia murid Paman
Sepuh.

Akan tetapi kalau disebutkan murid-murid, berarti ada yang lain.

"Siapa murid Paman Sepuh yang lain?"

"Edan.

"Mana pernah aku mengingat nama?"

Upasara menggigit bibirnya.

Lalu dengan satu tarikan napas berat, Upasara berusaha menerangkan. Bahwa
Eyang Sepuh kini telah tidak ketahuan kabar beritanya sejak menghilangkan diri.
Bahwa Mpu Raganata telah gugur sewaktu pasukan Gelang-Gelang yang dipimpin
Ugrawe dan Raja Muda Jayakatwang menyerbu Keraton Singasari. Dan Ugrawe
sendiri telah gugur.

"Tak mungkin.

"Bejujag itu pasti akan muncul. Raga itu sudah jadi bangsawan, tapi masih akan
datang. Kami sudah saling berjanji. Lagi pula akan datang ksatria lain. Mana mungkin
mereka ingkar atau mati lebih dulu?


"Wulung, kamu pikir kami belajar dan melatih diri untuk apa kalau tidak
untuk pamer?"

Berkelebat gambaran masa lampau tentang tiga pemuda, tiga ksatria yang
sangat gandrung ilmu kanuragan. Masing-masing kemudian menciptakan ilmu yang
menjadi tonggak seluruh ilmu silat yang ada.

Paman Sepuh Bintulu .menciptakan apa yang kemudian dikenal sebagai
Bantala Parwa. Sementara Eyang Sepuh lewat Perguruan Awan mengembangkan
sebuah perguruan yang tetap memperlihatkan ciri-ciri kaum dodot, kaum hamba
sahaya yang hidup larut bersama alam. Tonggak yang ditancapkan Eyang Sepuh
adalah cara melatih pernapasan yang disebut oleh Paman Sepuh sebagai Menyimpan
Nyawa. Ada banyak persamaan antara ilmu Bantala Parwa dan ilmu Menyimpan
Nyawa.

Sementara itu, Mpu Raganata lain lagi. Jalan hidupnya menjadi pengabdi raja,
dan tetap mempunyai jarak dengan kekuasaan Keraton. Tonggak ciptaannya dalam
ilmu kanuragan ialah ilmu Weruh Sadurunging Winarah.

Dibandingkan dengan ilmu Bantala Parwa, memang dasar-dasar ilmu Weruh
Sadurunging Winarah mempunyai perbedaan. Barangkali karena memang perjalanan
nasib tokoh-tokoh yang menciptakan berlainan.

Mestinya pada suatu hari mereka saling berjanji akan bertemu di tepi Kali
Brantas. Untuk saling menguji. Dan di samping itu juga akan diundang datang para
ksatria dari negeri seberang.

Kalau Mpu Raganata secara jelas terlihat kehadirannya, dan Eyang Sepuh
terasakan kehadirannya lewat Perguruan Awan, Paman Sepuh Bintulu mengasingkan
diri dan terus melatih ilmu secara murni.

Dan tak cukup tahu apa yang telah terjadi.

Kalau dipikir-pikir, ketiga ksatria ini sangat aneh. Ilmu mereka begitu tinggi,
pencarian mereka begitu mendalam, akan tetapi perjalanan hidup mereka sangat
berbeda satu dari yang lain. Toh begitu akan saling bertemu.

Upasara yakin, jika Eyang Sepuh masih ada, entah di mana, pasti akan muncul
lagi!


Apa pun keadaan dan tingkat keresiannya sekarang ini, Eyang Sepuh tak akan
ingkar janji kepada sahabatnya di masa lalu.

Upasara bisa mengerti kalau Paman Sepuh Bintulu menjadi orang yang
mempunyai perangai aneh. Wajahnya yang hancur menjadi satu petunjuk hidupnya
yang sengsara. Ditambah sekian puluh tahun tak pernah bergaul—dan mungkin sekali
malah dikhianati oleh muridnya yang bernama Ugrawe—Paman Sepuh Bintulu
menjadi tak begitu pedulian. Apa atau kenapa main bunuh saja.

Kebetulan dua di antara korbannya adalah Pak Toikromo dan Galih Kaliki!

Hal ini yang tak bisa dibiarkan oleh Upasara.

Upasara tak meragukan sedikit pun bahwa Bantala Parwa adalah ciptaan
Paman Sepuh Bintulu. Sekurangnya beliaulah yang menyusun dan menuliskan dalam
klika. Dan kitab itu yang dicuri begitu saja oleh Ugrawe! Karena dunia luar
mengetahui Kitab Bumi itu dari Ugrawe.

Upasara sendiri mengenal Kitab Bumi dari Kawung Sen, yang mencuri dari
Ugrawe. Sangat mungkin sekali Kitab Bumi ciptaan Paman Sepuh Bintulu mirip
dengan yang dikembangkan Eyang Sepuh yang kemudian dikenal dengan jurus-jurus
Tepukan Satu Tangan. Dengan perbedaan pokok pada cara pengaturan napas yang
disebut Menyimpan Nyawa.

Upasara juga gegetun karena sebab lain.

Ilmu membuka tempat Menyimpan Nyawa diketahui justru setelah korban
berjatuhan. Bukan sebelumnya!

Inilah yang membuat gegetun. Nyawa Pak Toikromo tak bisa kembali lagi.
Galih Kaliki tak mungkin hidup kembali.

Upasara tenggelam dalam renungannya.

Siapa yang mengatur ini semua? Siapa yang meletakkan pada situasi yang
menyayat ini?

Apa sebenarnya yang dikehendaki Dewa Segala Dewa dengan jalan hidupnya
sekarang ini?


Ini masih harus ditambah dengan sejumlah pertanyaan lain. Siapa murid
Paman Sepuh Bintulu yang setara dengan Ugrawe, yang selama ini tak dikenali?
Apakah ia sama jahatnya dan malang melintang di dunia persilatan, ataukah masih
menyembunyikan diri? Apa yang akan terjadi di tepi Kali Brantas jika ternyata yang
muncul ksatria-ksatria dari tanah seberang? Menjadi pertarungan terakhir?

Satu hal yang membuat Upasara terusik.

Paman Sepuh Bintulu, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata mengatakan
berasal dari kaum dodot. Dari kelompok paminggir, yang juga berarti bukan anakcucu
langsung para raja. Sebenarnya dalam hal ini bisa disamakan dengan dirinya,
dengan Paman Jaghana!

Sekilas ingatan Upasara kembali ke Perguruan Awan.

Dengan peraturan yang tegas, tak ada anak buah Perguruan Awan yang
direstui menjadi prajurit atau senopati. Paman Wilanda adalah contoh utama. Ketika
masuk sebagai prajurit, tidak dianggap sebagai warga Perguruan Awan lagi. Hanya
karena suatu peristiwa yang memperlihatkan jiwa luhurnya dan keinginannya
menjadi warga Perguruan Awan, Paman Wilanda bisa diterima kembali.

Upasara sendiri bisa melihat dirinya berada dalam posisi yang berada di sisi
sana dan di sisi sini sekaligus. Ia dibesarkan dalam lingkungan Keraton sejak lahir.
Akan tetapi ia tetap dianggap kaum dodot, kaum hamba sahaya. Seumur-umur berada
di Keraton, darahnya tetap tak bisa menjadi biru.

Dan ini salah satu kegagalannya untuk mempersunting Gayatri yang sekarang
menjadi permaisuri Raja Majapahit.

Upasara baru menyadari bahwa Paman Sepuh Bintulu sudah lenyap entah
sejak kapan.

Ia menghela napas, bersemadi.

Mengubah tenaga murni yang tersimpan menjadi tenaga murni yang bisa
digunakan. Agar semua tenaga murni cadangan bisa semuanya secara leluasa
dipergunakan. Dan ini berkat jasa petunjuk Paman Sepuh Bintulu, yang akan
dilawannya!

Mbalela, Dosa Utama


PENGEMBALIAN tenaga murni Upasara tak mengalami kesulitan sedikit pun.
Dengan memusatkan pikiran, Upasara mulai menjalin tenaga murni yang tersimpan.

Semua urat tubuh dan lubang kulitnya meregang, seakan mengeluarkan asap
putih. Mula-mula seperti dog amun-amun atau uap air di kejauhan, seperti
fatamorgana. Makin lama makin tebal, menyelimuti tubuh Upasara.

Dari jidat, seakan terlihat cahaya menurun ke sepanjang hidung, melebar ke
arah samping. Pipinya merona, kemudian daun telinga, bibir, dan akhirnya seluruh
wajah.

Sementara dadanya tetap naik-turun dengan teratur.

Semburat warna itu terus menurun dan menyebar ke seluruh anggota tubuh,
hingga ke ujung jari tangan serta kaki. Kembali menggumpal, terpusat di pusar. Dan
dengan mengendalikan jalan pikiran, tenaga itu bisa dikendalikan. Ke arah tangan,
kaki, tersimpan di punggung. Aliran tenaga itu mengikuti kemauan Upasara. Ke mana
pikirannya ditujukan, ke arah itulah tenaga tersalurkan.

Selesai bersemadi, Upasara merasa rongga dadanya sangat lega. Perasaan segar
seakan kembali dilahirkan dari kegelapan yang mengimpit.

Apa yang dilakukan kemudian ialah menguburkan Galih Kaliki dengan rasa
hormat, berdoa di depan gundukan tanahnya.

"Kakang Galih... harap Kakang bisa tenang, untuk sementara Dewa yang Maha
Menentukan. Saya akan selalu mengenang jiwa Kakang yang luhur dan jujur. Saya tak
akan hidup tenteram sebelum membalas sakit hati Kakang.

"Maafkan, saya akan meninggalkan Kakang untuk sementara. Untuk
menyusuri Kali Brantas. Di sana semua dendam akan tuntas."

Baru kemudian dengan perasaan sedikit lega, Upasara melanjutkan perjalanan.
Agar tidak terlalu menarik perhatian, Upasara membungkus Kangkam Galih dengan
tongkat yang telah pecah. Disatukan kembali dengan getah pohon. Meskipun tidak
sempurna, akan tetapi untuk sementara terlihat seperti tongkat biasa.

Dalam perjalanan kali ini, Upasara merasakan betapa bedanya sebagai manusia
biasa dan sebagai pendekar silat. Jarak jauh tidak terlalu menjadi masalah. Perjalanan
bukan sesuatu yang melelahkan. Bisa sekaligus melatih dan memperlancar tenaga
pernapasan.


Lebih dari itu semua, keadaan sekitar seperti dengan mudah bisa terjaga, bisa
diawasi dengan sempurna. Dengan mudah Upasara bisa mengetahui pada jarak
tertentu ada sepasukan prajurit atau setidaknya beberapa ksatria sedang melakukan
perjalanan. Langkah dan tarikan napas mereka bisa dirasakan Upasara.

Sungguh berbeda ketika tenaga simpanannya belum diubah.

Saat itu bahkan tak mengetahui pertempuran-ah, tak bisa disebut
pertempuran-lebih tepat pembunuhan atas diri Pak Toikromo. Upasara menyadari
bahwa Paman Sepuh Bintulu bisa melakukan satu gerakan untuk menghancurkan
rumah, pedati, dan menyobek tubuh Pak Toikromo. Jarak kemampuan dalam
kanuragan antara Pak Toikromo dan Paman Sepuh Bintulu kelewat jauh.

Kalau saja semua pemulihan tenaganya terjadi lebih awal!

Kalau saja Paman Sepuh Bintulu bertemu dengannya lebih dulu!

Akan tetapi dalam kehidupan ini, ada yang tak bisa bersandarkan kepada kalau
saja. Justru karena sejak awalnya serba tak terjadi tanpa kalau saja.

Bukankah Paman Sepuh Bintulu bisa bersikap manis kepada Pak Toikromo,
misalnya meminta makanan? Kalau saja perjalanan hidup Paman Sepuh Bintulu tak
begitu pahit, ia tak akan main bunuh seenaknya.

Tak lebih dua puluh kali tarikan napas, Upasara merasakan bahwa suara
prajurit makin terdengar jelas. Upasara berusaha menghindar. Mencari jalan lain,
karena tak ingin mengganggu dan terganggu. Pikirannya hanyalah mencari tepi Kali
Brantas untuk mengadakan perhitungan, dan barangkali bisa lebih terbuka mengenai
siapa-siapa yang akan datang.

Akan tetapi, langkahnya tertahan.

Karena telinganya mendengar suara Mpu Sora yang menyayat.

"Sejak lahir, aku dialiri darah prajurit. Bagiku, pengabdian adalah yang
terutama. Kalau memang Baginda ingin menghukumku, kenapa harus ditunda?

"Bagi seorang prajurit, pengabdi negara, menerima hukuman dan atau
menerima hadiah dari Raja adalah hal yang biasa. Tolong Senopati Halayudha
menyampaikan hal ini kepada Baginda."


Halayudha menunduk.
"Duh, Senopati Sora yang perkasa.
"Jiwa besar merupakan semangat keprajuritan yang tak bisa diubah. Gunung


karang bisa hancur, akan tetapi jiwa yang mulia akan abadi selamanya.

"Saya hanyalah pesuruh. Saya hanya menyampaikan titah Baginda, bahwa
Senopati Sora dititahkan memangku tugas di Tulembang. Bukan hukuman mati

seperti tertulis dalam kitab Kutara Manama."

Suara Mpu Sora makin menyayat.

"Kematian adalah kebahagiaan, bila itu diperintahkan seorang raja.

"Senopati Halayudha... sekarang ini semua orang menganggap saya wajib

terkena hukuman mati karena telah membunuh Senopati Anabrang dari belakang.

"Dan saya akan menerima hukuman itu.

"Kalau Baginda menghendaki keris Mahisa Taruna bersarung di dada saya yang

tua ini, saya akan menerima dengan bahagia, sebagai penerima titah."

"Duh, Senopati Sora, bagaimana mungkin saya menyampaikan hal ini?"

Mpu Sora bergerak pelan. Tangannya menarik kain putih dengan satu
sentakan terobek rapi. Lalu dengan satu sentakan memotes ranting pohon, dan
dengan getah yang menetes mulai menuliskan. Baik caranya menyobek kain,
memotes ranting, dan memencet agar getahnya terus mengalir, memperlihatkan
kemampuannya yang tinggi.

"Mohon Senopati Halayudha menyampaikan hal ini kepada Baginda."

Halayudha menerima dengan hormat.

"Agar tidak terlalu memberatkan Senopati Halayudha, setelah selesai keramas,

saya akan sowan kepada Baginda."
Halayudha bergerak cepat.


Karena tak ingin membuang waktu sedikit pun, agar semua rencananya tidak
kedaluwarsa. Semenjak meninggalkan gua kurungan bawah tanah, Halayudha merasa
bahwa cepat atau lambat tokoh-tokoh tangguh kelas dunia akan bermunculan. Jika ia
tak bisa memanfaatkan, berarti semua rencana yang diatur dengan saksama akan siasia.


Maka kini Halayudha langsung menemui Mahapatih Nambi, dan
menceritakan apa yang telah terjadi, menurut pandangannya sendiri.

"Senopati Sora malah berani menulis nawala langsung kepada Baginda.
Mahapatih Nambi yang paling berkuasa bisa membacanya. Akan tetapi secara terangterangan
Senopati Sora menolak hukuman menjadi penguasa di Tulembang. Baginya
lebih baik menerima hukuman mati."

"Kenapa itu yang ditempuh?"

"Ini hanya gertakan Senopati Sora, dengan mempergunakan keluhuran dan
kebaikan hati Baginda. Karena merasa berjasa, Senopati Sora yakin Baginda tak akan
menghukum mati.

"Senopati Sora lupa, bahwa Baginda bisa menjadi iba, tetapi di Keraton masih
ada Mahapatih Nambi yang setia kepada Baginda dan tidak mau melihat anak
buahnya mbalela?

Mahapatih Nambi tersulut.

Dengan memakai istilah mbalela, Halayudha berhasil membakar Mahapatih.

Mbalela adalah ungkapan untuk prajurit yang melawan kepada atasan, ungkapan bagi
pemberontak!

Bagi prajurit sejati, dosa yang utama dan satu-satunya ialah mbalela.

"Aku akan turun tangan langsung."

"Semua prajurit, para senopati Keraton, akan berada di belakang Mahapatih.
Sikap Senopati Sora sudah melewati batas yang ada. Bersama dengan seluruh
pengikutnya yang setia ia akan datang ke Keraton untuk menentang titah Baginda
yang begitu baik dan luhur."

Mahapatih Nambi tegang rahangnya.


"Senopati Halayudha, mohonkan kepada Baginda, saya yang akan menjemput
Senopati Sora bila ia datang bersenjata nanti, atau kapan pun ia datang."

Dengan bahasa yang lain lagi, Halayudha berhasil mengutarakan langsung
kepada Baginda.

"Hamba mengetahui betapa risaunya Baginda Raja yang luhur dan agung
jiwanya, yang ingin mengayomi, melindungi seluruh warga Majapahit.

"Akan tetapi alangkah pahit kenyataan yang sesungguhnya. Karena Sora
ternyata menentang kebaikan Baginda, dan lebih suka bermandikan darah di Keraton.

"Kalau Baginda menanyai hamba yang picik, hamba tetap tak berani
mengusulkan. Biarlah Mahapatih yang menemui Sora. Sehingga tangan Baginda tak
perlu menjadi kotor karenanya."

Baginda tak menjawab.

Tangannya bergerak, mengusir Halayudha.

Yang ketika keluar dan menemui Mahapatih, mengatakan bahwa Baginda

menyerahkan persoalan Senopati Sora ke tangan Mahapatih Nambi.

"Mahapatih-lah atasan langsung yang harus menangani.
Dua Cundhuk dari Dua Putri
UPASARA sendiri sebenarnya ingin segera meninggalkan tempat persembunyian dan
melanjutkan perjalanan begitu Halayudha pergi. Akan tetapi sekali lagi, langkahnya
tertahan.

Karena Mpu Sora mengeluarkan dua cundhuk, dua hiasan rambut yang
mengingatkan Upasara kepada putri yang pernah menghiasi mimpinya. Siapa lagi
kalau bukan Gayatri atau Permaisuri Rajapatni!

Hiasan cundhuk itu pernah dipakai Gayatri!

Mpu Sora memandang dua cundhuk sambil menghela napas berat. Berat sekali.


"Juru Demung dan Gajah Biru, kalianlah prajuritku yang paling mengetahui isi
hatiku. Majulah mendekat kemari."

Juru Demung dan Gajah Biru menunduk.

Mereka tidak mendekat.

Dan memang tak perlu.

Karena apa yang dimaksudkan Mpu Sora bukanlah pengertian yang wadag,
yang lahiriah sifatnya.

"Hari ini aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Daha lebih dahulu.
Aku akan menghadap langsung ke Keraton Majapahit. Sowan untuk pasrah seluruh
jiwa-ragaku. Pembuangan, hukuman mati, atau apa pun, akan lebih melegakan hatiku
daripada suasana menggantung tak menentu.

"Kalian berdua yang paling mengetahui, bahwa bagiku pengabdian adalah nilai
utama dan satu-satunya.

"Demung dan Gajah Biru, aku tak bisa memaksa kalian ikut ke Keraton. Aku
juga tak bisa menahan kalian turut serta. Semua kuserahkan kembali kepada pilihan
hati kalian. Sebab apa yang terjadi di Keraton masih tak bisa diketahui.

"Begitu banyak senopati yang menghendaki nyawaku yang tak berharga ini."

Juru Demung dan Gajah Biru menyembah secara bersamaan.

Keduanya mengeluarkan suara bersamaan, dengan nada menggeletar.

"Senopati Sora, sesembahan hamba, tempat pertama dan terakhir hamba

mengabdi.
"Betapa sedih hamba mendengar pertanyaan Senopati Sora, seakan

menanyakan apakah hamba masih setia atau tidak."

Mpu Sora menggeleng.

Menghela napas berat.

"Demung dan Gajah Biru, jangan sampai kita salah paham karenanya.


"Sebenarnya aku lebih berharap kalian berdua tidak mengikuti ke Keraton.
Karena aku ingin menitipkan barang ini kepada kalian."

Untuk beberapa jenak, suasana menjadi sunyi.

"Aku tak tahu apakah aku bisa menyampaikan titipan ini kepada yang
bersangkutan atau tidak, mengingat hari esok tak bisa diperhitungkan.

"Demung dan Biru, prajuritku yang sejati.

"Dua cundhuk ini adalah titipan Permaisuri Rajapatni yang mulia. Titipan
untuk disampaikan kepada seorang ksatria sejati di jagat raya ini, Upasara Wulung."

Mata Upasara bersinar.

Dadanya terguncang.

Hanya karena penguasaan cara mengatur napas yang sempurna, sehingga Mpu
Sora tak mengetahui ada yang mencuri dengar pembicaraannya.

"Aku dan Mpu Renteng, yang telah tenang di dunia tanpa kerisauan, pernah
mengawal Permaisuri Rajapatni. Barangkali karena itulah Permaisuri menaruh
kepercayaan kepadaku.

"Menitipkan dua barang ini.

"Yang pertama diberikan kepadaku ketika putri pertama Permaisuri, yaitu
Putri Tribhuana Tunggadewi, lahir ke dunia. Cundhuk pertama ini minta
disampaikan kepada Upasara Wulung.

"Cundhuk kedua diberikan lagi ketika putri kedua, yaitu Putri Dyah Wijah
Rajadewi, lahir.

"Aku sedih karena tak bisa menyampaikan titipan ini. Pada saat Permaisuri
Rajapatni menitipkan cundhuk kedua, aku sudah menghaturkan bahwa yang pertama
pun belum bisa disampaikan, karena tak tahu di mana adanya Upasara Wulung.

"Akan tetapi Permaisuri Rajapatni tersenyum dan bersabda, 'Paman Sora lebih
mungkin menyampaikan daripada saya. Kalau Kakang Upasara telah meninggal,


tancapkan di kuburannya. Tanpa Paman Sora katakan, sukma Kakang Upasara sudah
tahu bahwa cundhuk ini dariku.'

"Betapa ringan tugas ini.

"Betapa berat melaksanakan.

"Demung dan Biru, itu sebabnya aku menginginkan kalian menyimpan dengan
baik-baik kedua barang berharga ini. Kalau aku tak bisa melaksanakan tugas
Permaisuri Rajapatni, kalian berdua yang berkewajiban menyampaikan.

"Aku tidak meminta kalian berdua merawat anak-istriku. Aku tak meminta
kalian berdua merawat pusara atau menjaga abu mayatku.

"Aku minta kalian melaksanakan tugas ini, karena ini sesuatu yang berarti bagi
Permaisuri Rajapatni, dan tugas yang diberikan adalah kepercayaan."

Upasara berusaha menenteramkan dirinya.

Guncangan dalam dadanya makin riuh berdebur.

Tak bisa dihindari lagi, munculnya bayangan seorang putri yang mampu
mengguncangkan dunianya. Mampu menjungkirbalikkan perasaan-perasaan paling
dalam.

Pengalaman yang tak akan terlupakan.

Itu adalah saat pertama Upasara tertarik kepada wanita. Kebetulan wanita itu
adalah Gayatri, putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang menjadi penunjuk perjalanan
ketika Upasara ingin menyusup ke Keraton Daha.

Jadilah perjalanan yang menumbuhkan daya asmara paling hebat melanda
Upasara. Puncak dari daya asmara yang membahana itu adalah ketika justru Gayatri
yang mengatakan bersedia bersanding dengan Upasara selamanya.

Dalam pertempuran mati-hidup, Upasara berusaha membebaskan Gayatri yang
ditawan. Ia bahkan mengukir kidung asmara di dinding Keraton yang terjal.

Akan tetapi, perjalanan daya asmara kandas.


Karena Gayatri dan Raden Sanggrama Wijaya, dalam perhitungan ramalan
para pendeta, adalah pasangan Dewi Uma dengan Dewa Syiwa. Yang di kelak
kemudian hari akan menurunkan raja yang paling besar dari semua raja yang pernah
memerintah.

Saat itulah Upasara mengundurkan diri.

Bahkan ketika semua pengikut Sanggrama Wijaya memperoleh pangkat dan
derajat yang tinggi, Upasara menolak. Bahkan jabatan sebagai mahapatih pun
ditolaknya.

Baik secara langsung atau tidak, penolakan ini ditafsirkan sebagai pertanda
kekecewaan yang tak bisa ditawar.

Bahkan Baginda juga mengetahui hal ini. Karena dengan terbuka Baginda
mengatakan: Hadiah apa pun bisa diminta Upasara, kecuali Putri Gayatri, karena ia
sudah ditakdirkan bersanding dengan Baginda.

Putri Singasari bukan hanya Gayatri. Ada tiga yang lain yang tak kalah elok
dan rupawan, malah boleh dikatakan lebih jelita. Akan tetapi Upasara lebih suka
mengundurkan diri.

Mengurung diri di Perguruan Awan.

Sampai kemudian Permaisuri Rajapatni dikirimkan untuk memancing Upasara
keluar.

Akan tetapi saat itu pun Upasara memilih tidak mau menemui.

Upasara telah memutuskan bahwa semua hubungan asmara dengan Gayatri
telah selesai. Demi kebahagiaan dan ketenteraman putri yang mencuri hatinya.

Upasara menganggap telah tamat.

Meskipun diakui, diam-diam daya asmara itu tak bisa padam sepenuhnya.
Bagai bara yang masih meletik, manakala Gendhuk Tri atau Nyai Demang
menyindirnya.

Mimpi pun Upasara tak menduga bahwa Gayatri masih memperhatikan.

Masih mengingatnya!


Masih menyempatkan diri untuk memberitahu lewat cundhuk! Betapa
sesungguhnya Gayatri juga tak pernah melupakan. Justru di saat-saat yang paling
bahagia dengan kelahiran putrinya, Gayatri menitipkan sesuatu yang mengingatkan
kembali hubungan mereka.

Daya asmara yang tak bisa musnah.

Daya asmara yang tak: berkurang panasnya.

Bahkan makin terasa terus membara.

Upasara menutup matanya. Mencoba memusatkan pikiran, agar tidak

mengikuti kenangan yang tiba-tiba merobek kenyataan yang ada.

Merajam luka di hatinya yang telah dirapatkan.

"Aku tidak tahu sejauh mana benda ini memberikan makna yang
sesungguhnya. Sebuah atau dua buah cundhuk semacam ini bisa ditemukan di mana
saja.

"Akan tetapi barangkali bersangkut-paut dengan kesia-siaan yang dirasakan
Permaisuri Rajapatni. Karena nyatanya yang diangkat sebagai putra mahkota adalah
Pangeran Muda Kala Gemet, dan bukan keturunan Dewi Uma-Dewa Syiwa.

"Bukankah ini pengorbanan yang sia-sia?

"Demung dan Biru, prajuritku.

"Apa pun alasannya, sebagai prajurit sejati kita menjalankan tugas dan
pengabdian. Aku akan menyampaikan, menjalankan tugas Permaisuri. Kalau umurku
terlalu pendek, aku memohon kalian berdua yang menyampaikan. Terimalah, seorang
satu."

Nujum Pendeta

Juru DEMUNG dan Gajah Biru nampak ragu menerima.

"Demung... Biru, apakah kalian mulai berani membantah?"

Keduanya menjawab bersama setelah menyembah.


"Hamba berdua akan berada di sisi Senopati Sora, dalam keadaan hidup dan
mati."

Keduanya menerima cundhuk dan menyimpan di dalam ikat kepala dengan
hati-hati.

"Demung, Biru, itu yang tidak kuinginkan.

"Hari ini aku memanggilmu, justru untuk memberimu tugas, agar kalian
berdua tidak mengikuti langkahku. Agar kalian berdua menjauhi bayanganku.

"Sebentar lagi udara akan terasa sangat gerah. Makin santer berita akan
munculnya tokoh-tokoh jagat dari tanah seberang yang jauh. Sejak munculnya Kama
Kangkam dengan kedua muridnya, kita sudah bisa membaca tanda-tanda akan adanya
gegeran.

"Sejak Baginda kelihatan gamang dan ragu, akan ada orang kuat yang muncul
merebut kesempatan.

"Demung dan Biru, aku sudah terlalu tua. Sejak Lawe tiada, sejak Kakang Aria
Wiraraja mundur ke Lumajang, semangatku telah hilang.

"Sebentar lagi udara akan bertambah gerah.

"Saat ini Kitab Bumi sudah menyebar. Semua ksatria, ibarat kata bisa
mempelajari dengan leluasa. Pasti akan menimbulkan gelombang pasang yang besar.

"Hal lain ialah nujuman para pendeta akan datangnya raja yang paling besar
dari keturunan Syiwa-Uma. Akan tetapi sekarang ini momonganku Raja Muda Kala
Gemet yang menjadi putra mahkota. Kalau Raja Muda naik takhta, berarti semua
pendeta tak ada gunanya. Kalau nujuman para pendeta benar, akan terjadi pergantian
pemegang utama kekuasaan.

"Demung dan Biru, sadarkah kalian berdua, kenapa aku meminta kalian tidak
mengikuti langkahku?"

Demung dan Biru sekali lagi menyembah secara bersamaan.

"Kami berdusta besar jika menyanggupi kata-kata junjungan sekarang ini
untuk meninggalkan Senopati Sora."


"Akulah yang keliru mendidik kalian.

"Seharusnya kalian lebih mengabdi kepada Keraton dan bukan kepadaku.
Keraton tak bisa salah, sedang aku manusia biasa. Hmmm, masih ada waktu untuk
keramas dan membersihkan diri.

"Esok pagi-pagi benar, kalian berdua memintakan pamit kepada Raja Muda.
Kalau mau, tinggallah di Dahanapura. Kalau tidak, susullah aku."

"Terima kasih, Senopati Sora, atas perkenannya mengikuti langkah yang

benar."

Upasara sebenarnya ingin melangkah keluar.

Akan tetapi merasa bersalah karena telah mencuri dengar beberapa bagian
yang seharusnya tidak perlu didengarkan.

Bagian di mana ada keruwetan mengenai tidak segeranya Baginda
menjatuhkan hukuman. Yang bisa menjadi pertanda kelemahan atau diartikan begitu.
Yang berarti mengundang munculnya seseorang untuk mengambil alih
kepemimpinan.

Hal yang kedua ialah Upasara yakin bahwa seperti yang disebutkan Paman
Sepuh Bintulu, akan ada pertemuan para ksatria nomor satu di jagat. Itu yang
membuat Paman Sepuh Bintulu merasa perlu keluar dari sarangnya.

Hal yang ketiga, lebih merupakan masalah pribadi Upasara Wulung. Yaitu
mengenai putri-putri Permaisuri Rajapatni yang akhirnya tersisih dari pencalonan
putra mahkota. Yang tidak pribadi adalah kemungkinan terpecahnya kekuasaan
Keraton dengan kekuatan batin para pendeta. Perhitungan nujuman dan kenyataan
bisa menimbulkan bibit-bibit perpecahan di kelak kemudian hari.

Raja Muda Kala Gemet pasti tak akan membiarkan adanya perkiraan akan
segera muncul Raja Digdaya yang segera mengalahkannya. Ini bisa berarti membatasi
kekuasaan putri-putri Permaisuri Rajapatni.

Atau bisa lebih buruk lagi!

Raja Muda bisa berbuat lebih jahat pada kedua putri Permaisuri Rajapatni.


Barangkali inilah yang membuat keesokan harinya, diam-diam Upasara
mengikuti perjalanan Mpu Sora ke Keraton. Upasara terpaksa mengambil jarak agak
jauh agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Baru setelah sampai di alun-alun Keraton, Upasara bisa bergabung dengan
penduduk biasa yang banyak berjajar di kejauhan.

Walau keadaan berlangsung dengan tenang, Upasara bisa merasakan
ketegangan tengah berlangsung. Karena rombongan Senopati Sora tidak diterima
langsung oleh prajurit Keraton!

Ini sama juga berarti Baginda menolak kedatangannya!

Ini sama juga malapetaka!

Karena umbul-umbul atau bendera Mahapatih yang terlihat berkibar ketika
ada rombongan muncul dari Keraton.

Dan memang Mahapatih Nambi yang muncul.

Tanpa turun dari joli. Tanpa membuka tirai penutup.

Senopati Sora berdiri tegak. Juru Demung dan Gajah Biru berdiri agak jauh di
belakang. Sementara beberapa prajurit yang mengiringkan berada di kejauhan. Walau
nampak biasa, akan tetapi kalau diperhatikan benar, genggaman pada tombak dan
perisai sangat kuat.

"Mahapatih Nambi yang perkasa, izinkanlah saya sowan ke Keraton."

"Senopati Sora," terdengar jawaban dari dalam joli. "Kita sama-sama berteman
sejak lama. Sebelum menjadi senopati pun kita telah bersama-sama. Kamu pun
mengetahui bahwa hari ini tidak ada pasowanan. Baginda tidak berkenan
menerimamu."

"Baiklah.

"Kalau begitu saya akan menunggu di pintu gerbang." Sejenak Mahapatih
Nambi bimbang.


Ia tak akan begitu saja menerjang Senopati Sora. Karena Senopati Sora dan
pengikutnya tidak berbuat suatu kesalahan. Mau menghadap Baginda. Dan karena
tidak ada izin, mereka mau menunggu. Tak bisa disalahkan.

Mendadak dari arah timur muncul rombongan beberapa lelaki yang menerjang
maju sambil berteriak-teriak.

"Bunuh yang bersalah!"

"Keadilan harus ditegakkan."

"Kitab Kutara Manawa. harus dihormati."

Sekilas saja Upasara Wulung mengetahui bahwa rombongan yang datang
bukanlah masyarakat biasa. Dari langkah dan gerakan tubuhnya, jelas mereka adalah
prajurit-prajurit yang terlatih dalam olah keprajuritan.

Caranya berteriak juga menunjukkan sikap yang sangat mencolok. Penduduk
biasa tak akan meneriakkan kata-kata semacam itu. Hanya akan berkumpul di alunalun
sambil melepaskan baju. Sampai ada yang menanyai!

Bukan seperti sekarang ini.

Jelas bahwa kehendak mereka sudah diatur lebih dulu.

Kemarahan yang sudah dipersiapkan.

Dan mendadak saja terjadi perubahan. Begitu rombongan mendesak maju,
gegeran tak terhindarkan. Dalam sekejap saja, terjadi pertempuran tak terduga. Semua
senjata lepas dari sarungnya, bergemerincing di angkasa, disimbah oleh banjir darah.

Upasara terkesima.

Baru sekarang ini disaksikannya sesama prajurit Keraton saling bunuh dengan
kejam dan telengas. Upasara menyeruak maju. Akan tetapi beberapa kali terhalang
oleh prajurit yang saling bunuh di depannya.

Terpaksa Upasara melayang ke atas, menuju ke tengah pertempuran. Mpu Sora
berdiri gagah dengan kedua tangan terangkat ke atas, sebagai tanda tidak melawan,
ketika tiba-tiba sebatang tombak amblas ke dalam dadanya.


Tubuhnya bergoyang-goyang.

Gajah Biru dan Juru Demung meloncat maju, akan tetapi Mahapatih Nambi
dan sebuah bayangan menggebrak memapaki. Keduanya terjungkal dalam satu
gerakan.

Agaknya, baik Gajah Biru maupun Juru Demung tidak bersungguh-sungguh
mengadakan perlawanan. Sekadar ingin menolong Mpu Sora. Sehingga keduanya bisa

ditusuk seketika.

Upasara menggerung keras.

Kedua tangannya berputar cepat. Puluhan senjata yang ditujukan kepadanya

ditangkis keras. Dengan gagah, ia berdiri di tengah.

Mahapatih Nambi menghentikan serbuan prajuritnya.

Senopati Halayudha berdiri mendengus.

"Upasara..."

Upasara berlutut ke tubuh Mpu Sora yang terbaring di rumput.

"Ada titipan..."

"Saya tahu, Paman Sora yang perkasa. Terima kasih atas budi baik Paman

Sora."

Upasara tak tahu apakah ucapannya masih terdengar oleh Mpu Sora atau tidak.
Karena kemudian tubuh Mpu Sora mengejang sebentar dan kemudian tak bergerak.

Halayudha menyambar dua tombak. Dan dengan gerakan melayang kedua
tombak menusuk lambung Upasara dari arah yang berbeda. Sebat, cepat, dan

menghunjam tepat.

Upasara menangkis dengan tangannya.

Terdengar suara keras.

Dua tombak patah.


Upasara merasakan pergelangan tangannya pedih. Adalah di luar
perhitungannya bahwa tenaga dalam Halayudha sangat besar.

Sabetan Satu Tangan

Upasara merasa tangan kanannya ngilu.

Sampai ke ujung kuku. Di bagian tertentu berubah warnanya menjadi biru.
Legam, seakan darahnya membeku.

Halayudha memang hebat.

Tak pernah diperhitungkan oleh Upasara bahwa tenaga dalamnya begitu ganas
menerobos serta merontokkan urat dan pembuluh darah Upasara, yang seakan
dipaksa menahan beban yang lebih berat dari kesanggupannya.

Dalam hati Upasara menggelegak darah yang mendidih.

Ternyata Halayudha sangat ganas-telengas dalam menyerang. Tanpa sedikit
pun mempunyai pertimbangan bahwa yang digempur adalah sesama senopati
Keraton. Seakan Halayudha secara sengaja menumpahkan dendam kesumat!

Upasara membalik tubuhnya.

Tangan kanannya terkulai. Masih mendenyut rasa sakit yang menggigit sampai
ulu hatinya. Akan tetapi, Halayudha tak memberi kesempatan sama sekali. Begitu
tombaknya kena disampok lawan, dua keris sudah di kedua tangannya, dan dengan
gerakan kilat serta bertenaga, dua keris langsung menusuk ke arah dua mata Upasara!
Dibarengi dengan sapuan kaki, yang masuk dari sebelah dalam. Ini berarti Upasara tak
bisa mundur. Dengan kata lain, kedua biji matanya bakal menjadi sasaran.

Upasara mencium bau amis dari kedua ujung keris yang menusuk lurus, akan
tetapi mendadak membelok bagai hendak mencongkel.

Tangan kiri Upasara berputar di pergelangan. Dan dengan berani memapaki
serangan. Satu tangan mencoba merampas dua tangan berkeris.

Halayudha tak menduga bahwa tenaga yang mementahkan kerisnya begitu
besar. Menggulung dan seakan memusnahkan. Halayudha memindahkan tenaganya
ke kaki. Bukan hanya menahan, kali ini berusaha mengait keras.


Satu congkelan berkait!
Bersamaan dengan itu tangan kiri melemparkan keris! Dan tangan yang kini kosong
masih mencoba menusuk telinga Upasara dari arah yang berbeda dari lemparan
kerisnya.

Mahapatih Nambi menahan napas.

Apa yang diperlihatkan Halayudha bukan hanya luar biasa dari segi gerak.
Serangan secara berantai dan beruntun. Lebih dari itu, seakan tak terguncangkan
untuk menyerang secara tidak ksatria.

Walau tak ada peraturan yang resmi, seorang ksatria tak akan begitu saja
melemparkan kerisnya secara licik. Ia akan mempertahankan di tangan.

Bukan membidikkan. Apalagi dalam pertempuran jarak dekat. Kemenangan
semacam ini tak membuat namanya menjadi harum.

Akan tetapi Halayudha memang tidak memakai pertimbangan ksatria atau
tidak. Apa yang ingin dilakukan adalah meringkus Upasara secepat mungkin. Makin
awal, makin tak terduga, makin besar kemungkinannya berhasil.

Seperti ketika tangan kanan Upasara yang bisa dilumpuhkan!

Upasara masih tetap tak menduga keganasan Halayudha.

Akan tetapi kini lebih waspada. Hanya dengan menarik mundur dan miring
menyamping, tusukan bisa terhindarkan. Dan serangan ke arah kuda-kuda, juga bakal
membuat Halayudha kecele. Halayudha tak memperhitungkan bahwa sejak dulu ilmu
andalan Upasara adalah jurus-jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka. Dengan
sendirinya peranan kuda-kudanya sangat kuat. Apalagi sekarang, dengan tenaga
dalam yang lebih kuat!

Tapi tusukan jari ke lubang telinga memang tak sempat dihindarkan. Upasara
menekuk tangannya, dan dengan sikunya mencoba menangkis tangan Halayudha.

Yang mendadak mengubah lagi gerakannya dengan menarik diri sambil
menjauh. Sementara kerisnya disabetkan keras. Dibidikkan ke arah dada.

Sebat-kelewat-cepat.

Sebelum suara desisan angin, ujung keris telah siap mengiris.


Dengan kuda-kuda yang kukuh, Upasara tak bisa menggeser tubuhnya.

Tapi Upasara yang sekarang bukan Upasara yang tak mempunyai tenaga
dalam. Juga bukan Upasara yang masih berada dalam Ksatria Pingitan. Upasara yang
sekarang adalah Upasara yang bangkit kembali semangatnya, yang berkobar
dendamnya, dengan latihan pernapasan dari Kitab Bumi.

Cepat sambaran keris, lebih cepat lagi tubuh Upasara menekuk secara
melengkung. Seakan dari bagian atas pusar dibuang ke belakang, dengan kaki tetap
bertumpu.

Keris itu hanya lolos sedikit di atas tubuh Upasara.

Tak lebih dari dua jari.

Dalam tarikan napas yang sama, Upasara telah berdiri tegak kembali dengan
tangan kiri mendorong ke depan.

Halayudha sudah meloncat jauh. Sehingga Mahapatih Nambi yang terkena
gempuran hawa panas memberat. Sebagai mahapatih yang dibesarkan dalam dunia
kanuragan, Nambi berusaha memapaki. Akan tetapi tubuhnya terdorong mundur,
hingga menabrak joli yang bergulingan.

"Kepung! Sikat!"

Dua kata dari Halayudha cukup membuat seluruh prajurit Majapahit
mengurung dan mengamuk. Walau sebagian besar para prajurit Keraton yang setia tak
mengerti persoalan yang terjadi, itu tak menjadi halangan bagi mereka untuk
langsung mencincang Upasara.

Tubuh Mahapatih yang terdorong mundur hingga membuat joli bergulingan
sudah merupakan aba-aba buat menggempur si penyerang.

Bagi Upasara, keroyokan para prajurit tak ubahnya lalat-lalat kecil yang hanya
menimbulkan gangguan ringan. Dan sama sekali tidak membahayakan jiwanya. Akan
tetapi bagi para prajurit yang mengiringi Senopati Sora menjadi tarian maut. Karena
mereka yang kena digempur secara serentak dari pelbagai penjuru.

Pertempuran antara sesama prajurit tak terhindarkan.


Darah Upasara makin mendidih karena tak ada aba-aba memundurkan dari
Mahapatih Nambi maupun Halayudha. Sementara prajurit dari Dahanapura, karena
tak mempunyai pemimpin, juga tak mungkin menahan diri dari gasakan yang makin
merapat.

Merasa tangan kanannya masih tak bisa digerakkan, Upasara meraih pedang
hitam, Kangkam Galih. Dipegang erat di tangan kiri, Upasara memutar di atas kepala
satu sebatan, sebelum menghalau para prajurit yang tengah bertempur.

Ayunan pedangnya ternyata berakibat seperti membelah banjir. Serta-merta
para prajurit jadi terdorong mundur. Senjata-senjata yang terkena sampokan angin
Kangkam Galih jadi terlepas. Yang tersentuh, langsung jatuh.

Satu tangan kanan menggantung, Upasara memainkan pedang dengan tangan
kiri.

Ke arah mana Kangkam Galih terayun, ke arah itu prajurit berlarian dan
bubar.

Mahapatih Nambi merasakan getaran yang kuat sedang melanda ke arahnya.
Dengan memberi aba-aba, ia maju memapak. Langsung menghadapi Upasara.

Mahapatih cukup berhati-hati. Walau Upasara hanya melawan dengan satu
tangan dan seorang diri, ternyata tetap tak bisa dikurung. Senjata yang mendekat ke
arahnya terlempar atau kutung seketika.

Mahapatih menggerakkan kedua tangannya, dan dua pengawal pribadi
menyerahkan dua tombak pusaka. Dengan sepasang tombak Mahapatih mencoba
mengimbangi Upasara.

Dua tombak di tangan Mahapatih berubah bagai gunting, yang siap melipat
tubuh Upasara menjadi dua. Dalam satu gerakan juga bisa berubah menjadi tusukan
yang berbeda arah dan sasarannya.

Upasara justru masuk ke arah tengah guntingan.

Kangkam Galih dipegang secara terbalik.

Dengan ujung menuding ke bawah, dan digerakkan ke atas, Upasara
mendobrak maju. Ini berarti adu tenaga. Tenaga dua tangan lawan satu tangan.
Sementara beberapa senopati muda juga mencecar dari berbagai


arah.

Upasara mengeluarkan desisan, sebelum tubuhnya berputar kencang. Bagai
baling-baling, dengan Kangkam Galih menjadi pelindung, Upasara menggasak maju.

Cara Upasara merangsek maju membuat satu-dua senopati muda yang
ayal-ayalan menjadi korban.

Halayudha mengibaskan salah satu bendera dan dengan serentak semua
prajurit pemanah mengurung seluruh alun-alun. Dengan anak panah dibidikkan, siap

dilepaskan!

"Mahapatih, mangga mengker."

Seiring dengan teriakan yang mengharap Mahapatih mengker atau

memunggungi atau menjauhkan diri, Halayudha menebarkan jerat ke arah tubuh
Upasara. Sehingga Mahapatih bisa sedikit longgar.

Bersamaan dengan tebaran jala yang memayungi tubuh Upasara, satu tangan
yang lain memberi komando.

Ribuan anak panah bagai hujan mengarah ke Upasara.

"Beras Wutah!"

Perintah Halayudha bisa diartikan sebagai serangan seumpama beras yang
tumpah. Mengucur ke satu arah, dan seakan anak panah itu bersambungan! Padat!

Sehingga bagi Upasara dan para prajurit yang tersisa, seakan tak merasakan
panasnya sinar matahari yang tertutup anak panah. Akan tetapi akibatnya sungguh
parah.

Kedok Klikamuka
MENGERIKAN, karena hujan barisan anak panah yang mengurung dengan siasat
perang Beras Wutah ini bukan hanya mengenai Upasara. Melainkan juga prajurit
pengikut Senopati Sora. Dan sebagian dari prajurit Keraton Majapahit sendiri!

Mereka tak sempat mundur.


Dibiarkan dihujani anak panah oleh sesama prajurit.

Hanya karena perintah Halayudha.

Puncak kemarahan Upasara sampai ke ujung rambut.

Putaran Kangkam Galih-nya makin kencang. Kini bukan hanya sekadar
sebagai payung, akan tetapi sesekali menyentak keras, sehingga sebagian anak panah
berputar arah. Menancap di dada pemanah!

"Habiskan semua panahmu!

"Aku, Upasara Wulung, tak akan lari."

Upasara malah melesat maju. Mengarah ke tempat Halayudha dan Mahapatih
yang kini berada dekat sitinggil.

Apa yang dilakukan Upasara memang tidak mencerminkan sikapnya yang
sedikit tenang selama ini. Setidaknya sifat yang dikenal oleh sebagian ksatria.

Untuk pertama kalinya sejak mengasingkan diri, Upasara menunjukkan
kemurkaan dan mengumbar nafsunya. Dengan gagah ia terus maju, mengibaskan anak
panah yang terus berhamburan ke arah penyerang. Upasara tak peduli yang terkena
adalah prajurit Majapahit yang dihormati.

Kekesalan Upasara memang membludak bagai bendungan yang jebol.
Semenjak berada di Perguruan Awan yang sunyi, ia telah mengalami beberapa
kejadian yang membuatnya sangat kesal. Makin kesal karena tak mampu berbuat apaapa.


Dan secara berturut-turut ia telah kehilangan Pak Toikromo, Galih Kaliki, dan
baru saja menyaksikan Mpu Sora terluka dengan cara yang keji. Ditambah lagi dengan
cara Halayudha mengorbankan anak buahnya sendiri.

Jerat yang menutup tubuhnya rantas-terobek oleh sabetan Kangkam Galih.
Anak panah tak berarti banyak, walau sedikit merepotkan. Karena kemudian, dengan
satu loncatan tinggi, Upasara melayang masuk ke dalam sitinggil.

Mahapatih berusaha memapaki dengan meloncat terbang, akan tetapi
kemudian terbanting ke bawah.


Tubuhnya sedikit menggigil karena hawa dingin menempel di lehernya. Kalau
Upasara sedikit tega, barangkali kepala itu sudah menggelinding di lantai sitinggil.

Sungguh ilmu yang luar biasa tinggi.

Baru sekarang Mahapatih mengalami sendiri apa yang selama ini diributkan
kalangan persilatan. Apa yang dikuatirkan Baginda. Bahwa dengan menguasai ilmu
Tepukan Satu Tangan, Upasara bagaikan banteng yang tumbuh sayap dan keluar
taringnya!

Mahapatih Nambi bukannya tidak mengenai siapa Upasara.

Pada saat berhadapan dengan pasukan Tartar, Upasara telah diangkat sebagai
Senopati Pamungkas oleh Baginda. Namun saat itu, kemampuan Upasara tidak terlalu
luar biasa. Setidaknya Mahapatih Nambi masih mampu mengimbangi.

Bahkan di saat-saat pertarungan yang menentukan dengan senopati Tartar,
Upasara sudah memperlihatkan beberapa bagian dari latihan Tepukan Satu Tangan.
Yang nyatanya bisa mempecundangi Naga-Naga Tartar.

Akan tetapi, walaupun hebat, tidak terlalu luar biasa. Masih bisa terbayangkan.
Pikiran Mahapatih masih bisa menjangkau. Dan setelah pertarungan itu, praktis
Upasara tak terdengar kabar beritanya lagi.

Selain bahwa sekarang makin menguasai Tepukan Satu Tangan, sebagai inti
dari Bantala Parwa. Akan tetapi sejauh ini belum dialami sendiri oleh Mahapatih.

Pemunculan Upasara di Perguruan Awan ketika itu hanyalah dalam
menyalurkan tenaga dalam.

Setelah itu malah seperti orang biasa yang cacat.

Yang tak bisa mengelak serangan paling sederhana dari prajurit sembarangan.

Sekarang Mahapatih terbuka batinnya.

Bahwa nama besar Upasara Wulung selama ini bukan nama yang dilebihlebihkan.
Bahkan agaknya pujian dan kekaguman masih perlu ditambahkan.


Berdiri di tengah sitinggil, Upasara mengangkat tangan kirinya yang
memegang Kangkam Galih.

"Siapa yang menghendaki kematian lewat pedang hitam ini, silakan maju."

Suaranya bergaung dalam ruangan besar.

Tak ada yang berani bergerak.

"Senopati... terima kasih atas kebaikan Senopati padaku."

Suara Mahapatih yang terdengar merendah membuat para prajurit terkesima.
Bahwa seorang dan satu-satunya mahapatih Keraton Majapahit, memberi
penghormatan begitu mendalam, pasti ada apa-apanya. Apalagi Mahapatih masih
menyebut dengan sebutan senopati. Tidak dalam artian mendudukkan Upasara pada
tingkat di bawah kekuasaan Mahapatih, melainkan sebagai tanda pengakuan akan
pangkat anugerah dari Baginda.

"Mahapatih yang mulia, maafkan kalau aku berlaku kasar di depan Mahapatih.

"Aku tak bisa membiarkan kekejian terjadi di depan hidungku."

Dibandingkan dengan Mahapatih, usia Upasara masih seperti anak kemarin
sore. Upasara lebih menunjukkan wajah seorang perjaka dibandingkan dengan
Mahapatih Nambi. Akan tetapi nada bicara Upasara menunjukkan ketinggian hati.

Atau kekerasan hati yang kecewa.

"Akulah yang telah berlaku kasar, karena tidak mengetahui Anakmas Senopati
di antara pengiring Senopati Sora."

"Mahapatih, kedatanganku kemari tak ada hubungan dengan Senopati Sora.
Kebetulan kami berjalan bersama, berkumpul bersama, karena alun-alun milik semua
kawula.

"Akan tetapi, kekejian seorang senopati yang seharusnya dihormati
membuat..."

Kalimat Upasara belum selesai ketika Halayudha meloncat maju, sambil
melemparkan dua ekor ular. Sekali bergerak, Upasara mengayunkan Kangkam Galih.
Dan dua ekor ular berbisa itu terpotong menjadi delapan bagian!


Dengan satu tangan.
Dalam satu gerakan.
Dengan tangan yang sama dalam gerakan berikutnya, ujung Kangkam Galih

menyobek pundak baju Halayudha, yang ketika mencoba mundur tubuhnya
tersungkur.

Ujung Kangkam Galih satu jari di atas jidat Halayudha.

"Hmmm, ternyata kamulah Klikamuka!"

Kalimat Upasara cukup keras.

Kalau saja Mpu Sora dan atau Mpu Renteng mendengar, langsung hatinya tak
akan penasaran.

Sebab kedua empu itulah yang selama ini telah berhasil dipermainkan
Halayudha.

Halayudha-lah yang bisa mematahkan serangan Mpu Renteng dalam sekali
gebrak, dan juga mengecoh Mpu Sora. Sangat mungkin sekali itu bisa terjadi, sebab
Halayudha mengetahui dengan baik jurus-jurus andalan kedua empu yang tak sedikit
pun menyangkanya.

Itu semua terjadi ketika Halayudha memakai kedok klika atau kulit kayu.
Ketika itu Klikamuka berhasil menculik Permaisuri Rajapatni!

Tak banyak yang mengetahui bahwa Upasara bertemu dan berhasil bertarung,
sebelum Klikamuka menjauhkan diri sambil menjatuhkan Permaisuri Rajapatni.
Meninggalkan begitu saja!

Hanya karena saat itu Upasara mencoba menghindari pertemuan dengan putri
yang menggerakkan daya asmara, maka Upasara tidak memperpanjang persoalan.

Tapi Upasara tak mungkin melupakan semua peristiwa yang berhubungan
dengan Gayatri.

Maka tadi bisa segera mengenali Klikamuka dari gerakannya menghindar.


Halayudha tak nyana bahwa kedoknya bisa terbuka dengan cara yang sangat
sederhana!

Lebih dari itu, Upasara sebenarnya mengetahui bahwa Halayudha atau
Klikamuka lebih banyak bersandiwara. Dulu ketika melemparkan cundhuk hingga
menancap di ubun-ubun prajurit, sebenarnya cundhuk itu diberi tali halus dari
rambut. Sehingga seolah-olah dirinya tokoh yang sakti mandraguna. Juga ketika
melemparkan tombak hingga amblas ke dalam pohon. Sebelumnya memang telah
disiapkan pohon yang dilubangi.

Hingga sekilas nampaknya seperti mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
dahsyat. Sekali bisik, tombak bisa amblas ke tengah pohon.

Yang lebih luar biasa liciknya juga ditunjukkan. Ketika meremas ujung tombak
dan seolah menjadi tanah liat. Hancur berkeping-keping dalam remasannya!

Betapapun hebatnya ilmu yang dipelajari, tak begitu saja suatu campuran baja
dan besi bisa diremas menjadi pasir!

Seperti yang lainnya, hal ini memang sudah disiapkan oleh Halayudha. Agar
rahasianya tidak terbongkar, prajurit yang membawa tombak dengan bagian ujung
dari tanah kering dibunuh seketika itu juga!

Upasara mengetahui kemudian, karena Jaghana memeriksa semua rumput dan
tanah di Perguruan Awan. Akan tetapi sesuai dengan sifat-sifat Jaghana, hal itu tidak
dibicarakan kepada banyak telinga lain.

"Kelakuanmu menjijikkan!"

Titipan Asmara

"TAHAN!"

Seruan tertahan terdengar secara serentak. Mahapatih Nambi maju setindak.
Sementara Senopati Kuti, Senopati Semi, Senopati Banyak, yang sejak tadi tak
bergerak, juga mengelilingi dari arah yang berbeda.

Kalau ketiga senopati tadi berdiam diri, karena merasa ada semacam jarak yang
menghalangi. Bagaimana posisi Senopati Sora yang sebenarnya masih belum jelas
tuntas. Mereka bertiga mengetahui kabar bahwa Senopati Sora datang untuk
menyatakan sikap mbalela. Akan tetapi, ketiganya merasa tak perlu turun tangan.


Pertama, karena Mahapatih sudah mengambil alih persoalan; kedua, karena masih
kurang tega dengan kawan seperjuangan.

Sewaktu Upasara muncul dan mengobrak-abrik prajurit Keraton, ketiga
senopati masih menahan diri.

Akan tetapi sekarang ini tak bisa lagi.

Karena kejadiannya berlangsung di sitinggil, yang jelas merupakan wilayah
kekuasaan Keraton. Siapa pun yang membuat keonaran di situ, jelas-jelas menantang
Baginda. Dan adalah tugas utama prajurit untuk membela rajanya! Kalaupun Upasara
menjadi sepuluh kali lebih sakti, mereka tetap akan maju.

Bagi Mahapatih alasan serupa juga yang dirasakan. Dengan tambahan, ia tak
bisa membiarkan begitu saja salah seorang senopati yang dekat hubungannya dengan
Baginda dalam ancaman bahaya.

Sebagai mahapatih, Nambi merasa bertanggung jawab!

Maka kini, kesiagaannya adalah merupakan jawaban. Yang bisa berubah
menjadi pertarungan.

Karena Senopati Semi, Kuti, dan Senopati Banyak, secara bersamaan
meloloskan keris dari sarungnya.

Upasara Wulung menoleh dingin.

"Betapa makin tampak tingkah yang menjijikkan kalau dilihat masih begitu
tinggi setia-kawan yang dikhianati."

Senopati Banyak mendekat.

Upasara membalikkan tubuhnya.

Senopati Kuti menggebrak dengan dua keris, di tangan kanan dua-duanya.
Senopati Semi meskipun tidak langsung menyerang, melindungi dalam posisi kudakuda
menutup kemungkinan serangan balasan. Mahapatih Nambi mengambil pedang,
untuk mengimbangi pedang hitam tipis Upasara.

Upasara tidak menunggu terlalu lama. Dalam perhitungannya, senopatisenopati
yang mengepung adalah ksatria pilihan yang tak bisa dipandang sebelah


mata. Apalagi kini ia harus melayani dengan satu tangan. Tangan kiri yang
mempergunakan pedang tipis, yang selama ini tak pernah dilatih.

Gerakan Senopati Kuti, diikuti dengan kibasan angin dari pedangnya. Upasara
cukup mengerti bahwa serangan Senopati Kuti bukan serangan maut. Lebih
merupakan peringatan, atau serangan pendahuluan.

Namun begitu Upasara mengelak, Senopati Banyak mengayunkan kerisnya,
menutup ruang gerak. Bersamaan dengan itu Mahapatih Nambi pun memotong
dengan gerakan menyabit rumput. Dada ke atas terkuasai oleh tebasan.

Upasara tidak mempunyai pilihan lain kecuali mulai memainkan Dua Belas
Jurus Nujum Bintang. Dimulai dengan jurus Lintang Sapi Gumarang, yang di tengah
jalan disambungkan dengan jurus Lintang Tagih.

Benturan senjata tak terhindarkan lagi.

Pedang Mahapatih seperti tersingkir. Kalah sentakan dan kalah tenaga
dorongan. Akan tetapi hanya sesaat, karena kemudian kembali maju menebas,
sementara Senopati Kuti, Senopati Semi, dan Senopati Banyak, berganti menyerang.

Sampai jurus ketujuh, Lintang Bima Sekti, pertarungan masih terus
berlangsung seru. Di sitinggil, para prajurit terpaksa minggir, karena kesiuran angin
makin lama makin tajam. Seolah empat keris dan dua pedang menyentuh kulit
mereka.

Sampai di jurus ketujuh, Upasara tetap bisa mengungguli. Bahkan dengan
memainkan jurus Lintang Bima Sekti, atau jurus Bintang Bima Sakti, tenaga dalam
yang besar dan datang secara bergelombang membuat keempat senopati yang paling
diandalkan terdorong mundur.

Jurus Lintang Bima Sekti memang lebih mengandalkan tenaga serangan secara
berulang dan besar. Ibarat kata membuat pohon melengkung tapi tidak roboh,
membuat akar-akar pohon terguncang tapi pohon tidak

terangkat.

Dengan menyambung jurus kedelapan, Lintang Wulanjar, kelihatannya
tekanan serangan berkurang. Karena dalam permainan jurus ini sebagian besar tenaga
serangan ditarik kembali. Bahkan tekanan di atas dan di bawah diatur seimbang.


Sehingga lawan yang terpancing dengan pengenduran penyerangan akan berbalik
menjadi ganas.

Saat itulah Upasara menggunakan jurus kesembilan yang disebut Lintang
Wuluh, atau tenaga dingin yang menggempur. Seumpama kata tenaga yang
digunakan jengkerik menggerakkan sayapnya. Lembut gerakannya, akan tetapi
nyaring bunyinya. Lembut gerakan Upasara, akan tetapi pengaruhnya lebih menekan.
Sifat dasar serangan ini sama dengan sifat musim Kasanga atau musim kesembilan,
yaitu saat bunga berguguran dari pohon.

Kalau lawan masih bisa bertahan, jurus kesepuluh, Lintang Waluku akan cepat
menyambung. Jurus ini mengandalkan tenaga cepat dalam menyerang, membalikkan
tenaga lawan seperti waluku atau bajak membalik tanah. Seperti tenaga seorang ibu
menyerap ke dalam kandungannya.

Dalam keadaan pertarungan semacam ini, Upasara seolah bisa memamerkan
kebolehannya.

Akan tetapi, kenyataannya tak semudah itu.

Sampai jurus kedua belas yang disebut jurus Lintang Tagih dengan tenaga
musim kedua belas yang mengguncangkan, Mahapatih Nambi masih bisa bertahan.
Bahkan beberapa kali mencuri dengan sabetan yang makin menukik ke arah dada.
Sementara tusukan keris dari samping, atas, bawah, semakin gencar.

Beberapa kali Upasara terpaksa mengadu tenaga dalam. Hingga pedang
hitamnya berbenturan secara keras. Satu keris Senopati Kuti terlepas, akan tetapi
tetap bukan pertanda kemenangan atau keunggulan.

Sebaliknya, justru tekanan lawan makin kuat.

Upasara dipaksa berada di tengah sitinggil. Gerakannya ke satu sisi saja,
berhasil dimentahkan.

Sewaktu Upasara melanjutkan dengan jurus-jurus Tumbal Bantala Parwa,
hasilnya juga tak mengubah jalannya pertarungan. Memang dalam hal ini lawan tidak
berada dalam posisi yang lebih baik. Lawan tidak mampu menekan. Namun
setidaknya untuk jarak waktu tertentu tidak berada dalam bahaya.


Upasara mengerti bahwa jurus-jurus yang dimainkan bukan jurus yang asing
lagi bagi lawan-lawannya. Sejak Bantala Parwa diserahkan, sejak saat itu pula para
ksatria secara luas bisa turut mempelajari secara bebas.

Dalam hal ini semua gerakan Upasara bisa terbaca!

Yang menyebabkan keunggulan Upasara, karena tenaga dalamnya masih lebih
tinggi. Sehingga setiap kali benturan dengan pedang atau keris atau pedang dan keris
lawan yang digabung, Upasara masih unggul.

Namun ini berarti juga pertarungan yang panjang.

Tidak menentu.

Kalau saja Upasara bisa memainkan tangan kanannya! Pikiran itu membersit
dalam benaknya. Akan tetapi usahanya untuk menggerakkan tangan kanan malah
membuatnya makin ngilu.

Mendadak Upasara menarik pedang hitam tipis ke depan dada. Pikirannya
dipusatkan ke arah pusar. Mengira lawan mulai kendor, Mahapatih menebas keras.

"Awas!"

Ini hanya semacam peringatan sesama ksatria. Kalau mau licik sedikit, teriakan
peringatan ini tak usah diucapkan. Atau diganti dengan "kena!" setelah serangan
berhasil. Akan tetapi Mahapatih tak serendah itu jiwanya.

Peringatan itu tak ada gunanya.

Karena justru Upasara tidak ingin mendengar. Upasara menyatukan tenaga
dalam pusar dengan Kangkam Galih di tangannya. Ketika tebasan Mahapatih masuk,
Upasara membiarkan pergolakan tenaga yang menggerakkan pedangnya!

Seperti pengaturan tenaga melawan Paman Sepuh Bintulu!

Justru karena itulah terdengar kerontangan yang keras. Pedang Mahapatih
terpotong menjadi dua bagian. Sementara Upasara Wulung terhuyung-huyung oleh
tarikan tenaganya. Gerakan sempoyongan ke arah Kuti ini yang menyebabkan
benturan kedua, dan keris Senopati Kuti pun kutung!

Terkejut yang melihat. Apalagi yang mengalami.


Senopati Semi mencoba meraih perisai dan Senopati Banyak yang ingin
memasang kuda-kuda tahu-tahu diserang. Rasanya pedang hitam itu sudah berada di
depan hidungnya. Digerakkan dari bawah ke atas. Benturan dengan kerisnya
membuatnya melepaskan pegangan. Keris Senopati Banyak tidak kutung karenanya,
akan tetapi terlepas dari tangannya!

"Upasara, bunuhlah aku lebih dulu!

"Sebelum kamu bunuh, biarkan kusampaikan titipan ini padamu."

Meskipun Upasara tidak membagi pemusatan pikirannya, akan tetapi suara

Halayudha terdengar jelas. Dan pandangan Upasara bersinar, matanya terbuka lebih
lebar, manakala melihat di tangan Halayudha tergenggam sepasang cundhuk!

Itu pasti dari Gayatri.
Kalau Tak Bisa Hidup Bersama, Kenapa Tak Mati Bersama
RANGKAIAN serangan Upasara terhenti.

Sitinggil menjadi sunyi.

Seekor nyamuk terbang pun barangkali akan terdengar bunyinya.

Tidak terlalu berlebihan, karena semua yang berada di sitinggil terpaku tanpa
gerak.

Seluruh prajurit dan juga yang berada di alun-alun bahkan menyatu dengan
pepohonan besar yang diam tanpa angin.

Mahapatih, Senopati Kuti, Senopati Semi, dan Senopati Banyak terdiam karena
menyadari bahwa dalam satu serangan mendadak, mereka semua tanpa kecuali bisa
ditundukkan. Setelah dua puluh jurus lebih mereka bertarung dalam keadaan imbang,
mendadak Upasara mengubah serangannya dan berhasil.

Ini sungguh luar biasa.

Bahkan untuk tingkat para senopati, apa yang dilakukan Upasara tetap
menimbulkan kekaguman.


Bahwa seorang ksatria mengubah cara bersilat, hal itu sangat lumrah. Makin
luas pengalaman dan makin banyak gerakan yang dikuasai, kemungkinan itu bisa
terjadi sendirinya.

Namun yang diperlihatkan Upasara berbeda dari kebanyakan para jago silat.
Upasara tidak terlalu mengubah gerakannya. Seakan masih bisa dikenali gerakangerakan
jurus Dwidasa Nujum Kartika. Hanya pengaturan tenaganya yang berbeda.

Pengaturan tenaga memang merupakan kunci utama.

Pengaturan tepat, tenaga akan berlipat. Seseorang yang sedang meloncat
mundur, dengan sedikit tenaga mengait kaki lawan, akan menyebabkan kejatuhan
yang lebih keras dan berdentam. Pengaturan tenaga ini berhubungan dengan
keseimbangan tubuh. Baik tubuhnya sendiri maupun tubuh lawannya.

Pengetahuan dasar ini diketahui semua ksatria yang belajar ilmu kanuragan.

Yang membuat kagum ialah bahwa Upasara dalam seketika bisa menemukan
cara pengaturan yang cepat dan tepat. Di tengah pertarungan lagi!

Upasara sendiri tak menduga sebelumnya bahwa dengan cara menyatukan
tenaga dalam dan Kangkam Galih akan menundukkan keempat lawan yang
mengepung.

Ia lebih mendasarkan pada usaha untuk mengubah serangannya yang terjadi
menjadi pertempuran yang bertele-tele tak menentu. Satu-satunya jalan yang terlintas
dalam benak Upasara adalah mencoba menyatukan Kangkam Galih sebagai bagian
tubuhnya. Bukan sebagai senjata.

Hal ini sebenarnya juga sesuatu yang luar biasa.

Karena juga diajarkan sejak pertama memasuki perguruan yang mana pun.
Bahwa senjata adalah bagian tubuh yang bisa digerakkan secara leluasa seperti
menggerakkan jari atau kaki. Bahkan semua anggota tubuh bisa dipakai sebagai
senjata. Tak terkecuali rambut yang panjang, ujung kain, ataupun siku.

Yang nampak menjadi istimewa hanyalah karena Kangkam Galih agaknya
justru lebih cocok dimainkan dengan tenaga yang terpadu dari pusat tenaga, yaitu
sedikit di atas pusar.


Ini menunjukkan bahwa Kangkam Galih memang senjata pusaka yang tepat
bisa dipakai untuk menyalurkan tenaga!

Dan karena penguasaan tenaga dalam Upasara boleh dikatakan di atas lawanlawannya,
maka dalam satu rangkaian gebrakan pedang keris menjadi buntung dan
keris yang lain terpaksa dilepaskan pemiliknya kalau tidak ingin kehilangan tangan.

Hanya penguasaan Upasara belum sempurna benar.

Belum menjadi ilmu yang sejati. Kalau ia tertegun, karena memang tidak
seketika bisa mengatur gelombang tenaga yang seakan masih bergolak mencari
penyaluran. Direm secara mendadak, Upasara merasa gempuran tenaga itu
mengguncangkan dadanya.

Hingga diperlukan beberapa kejap untuk menormalkan, untuk
menyeimbangkan kembali.

Kalau saat itu diserang, perlawanan Upasara tak akan berarti.

Tetapi para senopati yang mengepungnya tak melakukan itu. Tetap tidak,
andaipun tahu pergumulan yang dihadapi Upasara. Kecuali barangkali Halayudha.

Cerdik dan licik jalan pikiran Halayudha, akan tetapi tetap tak bisa
mengetahui kelemahan tenaga dalam Upasara. Halayudha terpengaruh dengan
kemunculan Upasara yang mendadak dan ternyata tetap lebih unggul.

"Bunuhlah aku, Upasara.

"Akulah yang bersalah. Tetapi terimalah titipan benda ini."

Halayudha mengangsurkan dua cundhuk ke tangan Upasara. Sekilas
Halayudha ingin membokong Upasara saat menerima cundhuk. Akan tetapi pikiran
itu dibuangnya jauh-jauh.

Terlalu mengundang risiko apabila ia mencuri kesempatan. Karena sedikit
meleset perhitungan tenaga membokong, akibatnya kepalanya bisa terpenggal oleh
Kangkam Galih yang dengan mengeluarkan deringan kecil sudah mampu membuat
keris dan pedang menjadi buntung karenanya.

Halayudha lebih percaya taktiknya dengan mempermainkan perasaan Upasara
pada kenangannya!


Sebagai orang yang bisa menyusup ke sana-kemari, Halayudha mengetahui
Permaisuri Rajapatni menitipkan cundhuk kepada Mpu Sora. Sejak itu Halayudha
sudah mempersiapkan sesuatu yang sama. Karena akal liciknya membisiki hatinya
bahwa suatu saat pasti ada gunanya.

Nyatanya perhitungannya benar.

Upasara berhenti sejenak, menerima cundhuk dan menyimpan di balik kain
yang disumpalkan di pinggang.

"Bukan hanya aku yang dititipi benda ini, karena pengirimnya berharap salah
satu akan sampai ke tanganmu."

Halayudha tetap memainkan kecerdikannya. Dengan sengaja tidak menyebut
nama Permaisuri Rajapatni. Kalau di kemudian hari Upasara mengetahui bahwa
cundhuk itu bukan berasal dari Gayatri-nya, Halayudha tak bisa disalahkan.

Halayudha tak pernah menyebut nama itu.

"Sekarang, kalau kamu menganggap pembunuhan Senopati Sora karena aku,
bunuhlah aku. Kumohon, jangan kamu campur adukkan dengan Maha-patih dan para
senopati yang lain.

"Akulah yang bersalah. Dan biarlah aku yang menanggung.

"Lakukan sekarang juga. Aku tak perlu menyesali lagi, karena semua pesan dan
tanggungan telah kusampaikan. Kalau tak bisa hidup bersama, kenapa tidak mati
bersama?

Halayudha tak pernah kehilangan akal untuk menyelusupkan segala
kemampuan akal bulusnya.

Dengan kata-katanya yang diucapkan cukup keras terdengar Mahapatih,
Halayudha seakan hanya menanggung satu dosa, yaitu terbunuhnya Senopati Sora.
Dengan pengakuan ini, Halayudha malah akan mendapat dukungan dan pengayoman
dari sekalian yang hadir. Di samping berhasil memancing rasa hormat, karena seolah
Halayudha yang mengambil alih tanggung jawab.

Kening Upasara sedikit berkerut.


Bagi Upasara, Halayudha tetap licik. Karena membelokkan pembicaraan
mengenai Mpu Sora dari segi yang lain. Di samping menyembunyikan masalah
Klikamuka!

Upasara sesaat bertanya-tanya dalam hati. Bahwa Halayudha adalah
Klikamuka, Upasara tak ragu sedikit pun. Akan tetapi bahwa Halayudha ternyata
mempunyai ilmu yang begitu tinggi, itu tak diduganya sama sekali. Justru karena
sewaktu menyamar sebagai Klikamuka, yang lebih dimunculkan adalah tipuantipuan.


Jadi di mana posisi Halayudha sebenarnya?

Kenapa agaknya hal ini tidak disadari oleh senopati yang lain? Atau justru oleh
Mahapatih sendiri?

Upasara berusaha keras mengesampingkan pikiran yang dianggapnya terlalu
mencampuri masalah Keraton. Hanya kaitan dengan Gayatri membuatnya terguncang
lagi.

Cara berpikir Upasara yang jujur dan lurus memang tak pernah menduga
bahwa Halayudha hanya mempermainkan saja. Upasara merasa bahwa Gayatri benarbenar
ingin membuktikan adanya daya asmara, lewat berbagai cara. Dan kalau
dititipkan pada Halayudha juga masuk akal. Mengingat Halayudha paling bisa
berhubungan dengan Permaisuri. Paling bebas bisa masuk kaputren.

Bahkan karena jujurnya, Upasara menduga bahwa penculikan yang dilakukan
Klikamuka atas Permaisuri Rajapatni dulu juga cara yang direncanakan Gayatri!

Sedikit-banyak perasaan ini membuat niatan Upasara untuk mengobrak-abrik
sitinggil menjadi reda.

"Dosa mengenai pembunuhan Mpu Sora, bukan wewenangku. Yang
kutanyakan ialah disimpan di mana adikku Gendhuk Tri dan Dewa Maut sahabatku."

Nada bicara Upasara terdengar kaku.

"Akulah yang bersalah menghukum mereka.

"Upasara, kalau kamu ingin mengetahui keadaan mereka berdua, aku akan
mengantarkan."


Halayudha memberi sembah kepada Mahapatih, lalu menyilakan Upasara
berjalan masuk ke dalam Keraton. Setelah menyilakan, Halayudha berjalan lebih
dulu.

Mahapatih akhirnya mengetahui bahwa ada yang ditahan dalam kurungan
bawah Keraton. Dan kalau sekarang Halayudha mengantarkan ke dalam kurungan,
hal itu tak bisa ditahan. Itu masih lebih baik daripada melanjutkan pertarungan.

Mahapatih tak menyadari bahwa Halayudha sudah menyiapkan rencana yang
tak mungkin diatasi oleh Upasara. Ilmu yang tinggi masih bisa dikalahkan oleh akal.

Kalau Tak Bisa Hidup Bersama, Kenapa Tidak Salah Satu

KALAU Mahapatih saja tak bisa menduga, apalagi Upasara!

Setitik pun tak ada bersitan dalam bawah sadar perasaan Upasara, bahwa
Halayudha menyiapkan rencana busuknya yang paling akhir-jika rencana sebelumnya
gagal.

Halayudha merasa sebagian rencana kurungan bawah Keraton gagal sejak
diketahui bahwa Nyai Demang ternyata bisa lolos. Dan kurungan di bawah kamarnya
juga bisa diterobos Gendhuk Tri. Maka satu-satunya jalan yang terbaik adalah
menutup gua bawah tanah. Dengan mengubur hidup-hidup Gendhuk Tri maupun
Raja Segala Naga atau Naga Nareswara.

Hal yang sama akan dilakukan Halayudha.

Tapi ia sendiri tak mau ikut terkubur hidup-hidup. Bukan hal yang gampang.
Karena itu ia harus bisa memainkan perannya dengan teliti dan cermat.

Halayudha berjalan mendului tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun.
Langsung menuju kurungan di bawah Keraton. Ia yang melangkah masuk lebih dulu.
Upasara mengikuti.

Begitu keduanya sampai di dalam, mendadak Halayudha mengentakkan
kakinya dengan keras dan tangannya menghantam ke arah pintu dari mana ia datang.

Kembali terdengar suara keras.

Tanah berguguran, sebagian bagaikan lumpur. Menutup jalan masuk.


Upasara menarik napas.
Tertahan.
Halayudha tertawa lepas.
Suaranya dipantulkan oleh gema, seakan lebih ganas.
"Upasara, selesailah sudah tugas kita berdua. Sekarang bunuhlah aku.


Makanlah dagingku untuk memperpanjang umurmu."
Barulah Upasara mengetahui bahwa kini mereka berdua terkurung hidup


hidup. Tak mungkin membuka jalan dari arah mereka datang.

"Memang sayang bagimu, Upasara.

"Kamu masih muda. Umurmu belum ada 25, belum separuhku. Kamu ksatria

sejati dengan ilmu yang tak tertandingi. Dicintai Permaisuri.
"Tapi kamu berada dalam satu kuburan denganku, yang sangat licik, hina, dan

suka menipu.

"Kalau bukan karena takdir, apa lagi namanya?"

Upasara mencengkeram pedangnya lebih erat.

"Aku telah kalah.

"Kalah dalam segala hal. Kedokku telah kamu buka. Siasatku menjerat Mpu

Sora berhasil, tetapi kamu mengetahui. Tak ada tempat aman bagiku.

"Barangkali cara mati begini lebih baik."

"Di mana Gendhuk Tri dan Dewa Maut?"

Gema tawa Halayudha kembali bersahutan.

"Dewa Maut telah lama menjadi debu. Kalau kamu jalan-jalan di sekitar

tempat ini, mungkin masih bisa kamu kenali tulang-belulangnya.


"Dia terkubur lebih dulu, dan lebih lama di sini. Nyai Demang pasti sudah
bercerita."

"Gendhuk Tri?"

"Ia kesasar ke dalam gua yang kupersiapkan. Sayang karena akhirnya Naga
Nareswara ikut terkubur juga. Sayang aku belum sempat memeras semua ilmunya."

Secara ringkas Halayudha menerangkan bahwa Naga Nareswara atau Raja
Segala Naga adalah pemimpin tertinggi seluruh senopati Tartar yang dikirimkan ke
tanah Jawa.

"Aku tak akan disebut pahlawan, walaupun musuh yang sakti mandraguna itu
berhasil kulenyapkan. Aku tak akan disebut prajurit pengabdi, walau selama ini aku
berhasil memperkuat kedudukan Baginda dengan menyingkirkan segala begundal dan
cecunguknya.

"Nasib yang busuk selalu menyertaiku.

"Tapi aku ingin kamu menemaniku."

Upasara lebih sadar bahwa ia kini berada dalam tempat yang telah tertutup
jalan keluarnya. Kurungan bawah Keraton yang rumit. Yang banyak loronglorongnya,
yang setelah ia mencoba mengitari lewat lapangan terbuka, akhirnya
kembali ke tempat semula.

"Kalau Dewa Mahaagung memberkatimu dengan sayap, kamu bisa keluar dari
persembunyian ini."

Upasara menggelengkan kepalanya.

"Aku tak mengerti apa sebenarnya di balik keinginanmu yang sangat busuk
ini."

Halayudha mengangkat tangannya.

Seolah putus asa.

"Tak ada gunanya kita saling menyimpan rahasia. Sebentar lagi kita akan mati
bersama. Atau salah satu lebih dulu.


"Upasara, dengarlah baik-baik.

"Kamu tahu siapa yang ada di depanmu ini? Seorang senopati yang cukup sakti.
Seorang prajurit yang penuh pengabdian. Seorang yang memberikan jiwa-raga kepada
Keraton. Kepada Baginda.

"Jauh sejak dalam pengabdian kepada Baginda Raja Sri Kertanegara, aku telah
mengabdi. Tapi aku tak pernah dipedulikan. Aku selalu diperlakukan sebagai si busuk
yang selalu licik.

"Baginda Raja Sri Kertanegara bahkan tak pernah memperhitungkan diriku.
Seolah aku bukan ksatria. Seolah aku bukan laki-laki!

"Sewaktu Sanggrama Wijaya melarikan diri, akulah yang selalu menyertai.
Selalu menemani.

"Tetapi aku dianggap tidak ada. Sewaktu menggempur Raja Muda
Jayakatwang, sewaktu mengusir pasukan Tartar, aku tak pernah mendapat tugas
dalam peperangan.

"Seolah aku tak pernah becus apa-apa!

"Selain menjadi alas kaki Sanggrama Wijaya!

"Aku selalu menjadi gedibal, menjadi pesuruh yang hina, justru ketika prajurit
yang lain diangkat menjadi senopati agung. Diangkat menjadi mahapatih.
Dianugerahi gelar dharmaputra.

"Aku terlupakan.

"Halayudha dianggap bukan ksatria.

"Halayudha bukan laki-laki.

"Halayudha adalah gedibal, adalah pesuruh, adalah si licik busuk. Kalau aku
juga dianugerahi gelar sebagai senopati, aku tak mempunyai prajurit sebagaimana
senopati yang lain. Aku tak mempunyai tlatah secuil pun. Aku tetap dianggap tak ada.

"Dosa apa yang kulakukan sehingga semua orang memandang dan menilaiku
begitu hina?"


Halayudha seolah menatap jauh.
"Aku dendam.
"Aku manusia biasa yang bisa mendendam.
"Di sinilah timbul keinginanku membuktikan bahwa aku lelaki sejati. Bahwa


aku prajurit utama. Bahwa aku sejajar dengan para ksatria.

"Aku mempelajari ilmu silat dari arah mana pun. Aku menjajal kemampuan
otakku yang dikatakan sangat licik dan culas. Aku justru ingin membuktikan diri

sebagai si sangat licik yang hina!

"Nyatanya hampir berhasil.

"Adipati Lawe bisa lewat. Senopati Anabrang tewas. Pengikut Mpu Sora

terberantas. Akan kuhabisi semua dharmaputra seangkatanku. Akan kuliciki semua
senopati yang selama ini memandang rendah diriku.

"Termasuk kamu, Upasara."

"Kesalahan apa yang kulakukan padamu?"

"Banyak sekali.

"Kamu disanjung semua kawula-bahkan semua senopati, bahkan Baginda.
Kamulah lelaki sejati, lelananging jagat. Sedangkan aku yang paling hina.

"Kenapa Dewa yang Maha bijak membedakan nasib begini jauh berbeda?

"Terakhir kamu menggagalkan niatku menyapu bersih semua senopati sebagai
balas dendam! Masihkah kamu bertanya apa salahmu padaku?"
Upasara termakan nada getir Halayudha.

Halayudha memang ingin meyakinkan Upasara bahwa ia tengah berada dalam
situasi yang sangat kritis. Seolah perlu menumpahkan segala unek-unek, segala
pikiran. Karena sebentar lagi akan mati!

Kalau Upasara terpengaruh hal ini, pasti tak akan begitu curiga lagi. Tak akan
terlalu mengawasinya.


Itu berarti ia bisa meloloskan diri!

Karena ia tahu satu-satunya jalan untuk meloloskan diri. Ia menyisakan satu
jalan yang lain. Selebihnya telah ditutup. Dan jika ia telah lolos, tinggal menutup mati

jalan itu.

Berarti Upasara akan terkubur hidup-hidup juga.

Kalau tak bisa hidup bersama, kenapa tidak salah satu yang hidup?

Kalau tak bisa mati bersama, Halayudha tetap tak mau mati bersama.

Halayudha yakin bisa memperalat Upasara. Bisa menyesatkan jalan pikiran.

Justru karena Upasara terlalu bersih dan lurus jalan pikirannya
"Halayudha, maaf kalau aku belum sudi menyebut paman atau sebutan lain

yang lebih menghormat, siapa sebenarnya gurumu?"

"Aku belajar sendiri."

"Tak mungkin. Kamu tak bisa mendustaiku. -Ilmumu cukup tinggi. Bahkan

tanpa kelicikan pun kamu bisa mengalahkan ilmu Mahapatih. Apalagi senopati yang
lain. Siapa yang mengajarimu awalnya? Pasti juga bukan Naga Nareswara!"
Gajah Mahakrura
PANDANGAN tajam Upasara membuat Halayudha cemas.


Sekelebat ia merasa sangat kuatir secara tiba-tiba. Kalau Upasara
menghajarnya, ia tak bakal bisa mengimbangi. Dan ini berarti semua kesempatan dan
kelicikan yang telah diatur begitu sempurna akan hancur!

Tapi bukan Halayudha kalau tidak berdusta.

"Kamu akan mengenal nama besarnya. Kiai Gajah Mahakrura."

Upasara mendesis seperti menelan asap tembakau yang dibakar. Dengan cepat

Halayudha melanjutkan kalimatnya.

"Kamu pasti telah mengenal nama besar senopati agung dari tlatah Campa
yang terkenal. Kiai Gajah Mahakrura yang sejajar dengan nama besar Naga


Nareswara, setingkat dengan Eyang Sepuh, ataupun Kiai Sambartaka dari tlatah
Hindia, juga Kama Kangkam, ksatria perkasa dari tlatah Jepun."

Sengaja Halayudha menjajarkan nama-nama yang sebagian sudah dikenal oleh
Upasara. Agar tak ketahuan bahwa nama yang disebutkan adalah asal menyebutkan
saja.

Akan tetapi, Halayudha bukan menyebutkan secara ngawur. Pengetahuan luas
yang dimiliki, digabung dengan kelicikan, menyatu bagai jebakan halus yang
menjerat.

Naga Nareswara atau Raja Segala Naga, pastilah dikenal namanya oleh Upasara.
Karena ia mengenal kesaktian Naga-Naga yang lain. Bahkan secara langsung pernah
beradu pikiran dengan Kiai Sangga Langit, sesepuh tiga Naga utusan Raja Tartar.
Sedikit-banyak pasti juga sudah mendengar kehebatan Kama Kangkam. Dengan
menyebutkan nama Kiai Sambartaka, Halayudha hanya untung-untungan saja.
Karena selama ini ia sendiri baru mendengar nama itu dari Naga Nareswara.

Menambahkan nama Gajah Mahakrura, atau gajah yang sangat bengis dari
tlatah Campa, juga bukan tanpa perhitungan. Hubungan raja-raja di Jawa dengan
penguasa tlatah Campa sangat erat. Beberapa senopati dan ksatria silih berganti
berdatangan. Nama para ksatria Campa cukup dikenal. Di antaranya adalah para
ksatria yang berasal dari tlatah Mada, suatu wilayah di Keraton Campa. Suku Mada
sangat terkenal keberaniannya dan sekaligus juga ketelengasannya. Tidak terlalu sulit
bagi Halayudha untuk sekadar mencari nama Gajah Mahakrura!

Meskipun dari Campa, para ksatria atau pendekar yang sudah lama berdiam di
tlatah Jawa memang sering memakai nama setempat.

"Saya tak begitu mengenal nama besar beliau," suara Upasara merendah
nadanya. "Akan tetapi mengingat apa yang kamu lakukan, sangat mungkin nama
besar itu sesuai dengan sifat-sifat licik yang kamu perlihatkan.

"Tangan kanan ini terkena getahnya."

Halayudha menghela napas yang sengaja dibikin-bikin.

"Kamu bisa membalas dendammu sekarang."

Upasara mengangguk.


"Itu lebih baik. Membunuh orang durjana bukanlah tindak kejahatan.
Halayudha, bersiaplah!"

Halayudha menggelengkan kepalanya.

"Melawan atau bertahan, akan berakhir sama. Untuk apa membesarkan diri
dengan harapan yang jelas sia-sia?

"Seorang permaisuri masih mempunyai harapan, maka ia menitipkan cundhuk
padaku, tetapi melawan kesaktianmu, siapa yang saat ini mampu menahan?"

Dada Upasara terguncang.

Halayudha memang tahu bagian mana yang harus diserang.

"Akan saya katakan kepada Gajah Mahakrura, bahwa Upasara Wulung yang
bertanggung jawab atas pembalasan kematian muridnya."

"Tak" ada gunanya. Kamu tak akan mengenali. Guru Gajah Mahakrura sudah
lama tak mau mengakui."

Geraham Upasara menyatu.

Apakah ada di dunia ini seorang guru tak mengakui muridnya?

"Kamu tak akan mengenal duniaku, Upasara. Kamu murid yang baik. Kamu
tak bisa membayangkan di dunia ini ada pertengkaran antara murid dan guru.
Pertentangan antara senopati yang tersisih macam diriku.

"Semua itu bukan duniamu."

Halayudha kembali menghela napas.

Nadanya memelas, minta dikasihani.

"Saya tak mengenal siapa Gajah Mahakrura, akan tetapi jelas cara

mengerahkan tenaganya bisa saya kenali.

"Halayudha, katakan terus terang, apakah Ugrawe masih saudara
seperguruanmu?"


Mendadak wajah Halayudha pucat.
Tubuhnya menggigil.
"Jangan sebut-sebut manusia terkutuk itu!
"Dialah yang telah menghancurkan kami semua. Tak ada semut atau cacing


mau mengaku saudara dengannya.
"Kami dulu sama-sama berguru kepada Gajah Mahakrura, dan Ugrawe

manusia laknat itu mencuri kitab-kitab Bapa Guru. Dan akulah yang dituduh."

Ganti Upasara yang menelan ludah.

"Apakah Kiai Gajah Mahakrura juga disebut sebagai Paman Bintulu, karena

memakai kain belang hitam-putih seperti yang dikenakan tokoh pewayangan
Anoman atau Bima?"

Halayudha mengeluarkan jeritan tertahan.

"Upasara, apakah benar kamu mengenal Bapa Guru Dodot Bintulu?"

"Saya pernah bertemu dengan Paman Sepuh belum lama ini."

Mendadak Halayudha merebut pedang di tangan Upasara, dan dengan cepat
menebaskan pedang itu ke arah lehernya.

Upasara tak menyangka Halayudha akan menjadi begitu nekat. Tangannya
masih sempat menarik kembali, dan empat jari Halayudha terpotong ketika berusaha
mencengkeram.

"Bunuh aku! Bunuh aku!"

Bagi Upasara apa yang dilakukan Halayudha benar-benar tindakan nekat.
Belum pernah dilihatnya Halayudha begitu cemas, ketakutan seperti sekarang.
Bahkan ketika berada di ujung pedangnya sewaktu dikalahkan pun, Halayudha tak
segemetar sekarang!

"Bunuh aku!"


"Jadi Paman Halayudha adalah murid Paman Sepuh Dodot Bintulu yang juga
guru Ugrawe?"

Dugaan Upasara tak jauh meleset.

Bahkan sejak tangan kanannya terhantam balik tenaga Halayudha yang kuat
dan menyengat, Upasara teringat bahwa ilmu membalik tenaga dalam itu dulu hanya
dimiliki tokoh yang bernama Ugrawe. Tokoh sakti mandraguna yang berdiri di
belakang Raja Muda Jayakatwang dalam menaklukkan Keraton Singasari.

Ugrawe-lah yang mencuri semua kitab pusaka, termasuk di antaranya Kitab
Bumi atau Bantala Parwa. Dari sinilah Ugrawe menciptakan rangkaian jurus-jurus
Sindhung Aliwawar, yang puncaknya dinamai jurus maut Banjir Bandang Segara Asat.
Jurus Banjir Bah Laut Kering, pada zamannya adalah jurus yang tak tertandingi. Bila
ilmu itu dimainkan, dan lawan terkena pukulannya, dengan serta-merta tenaga dalam
akan terisap.

Lawan menjadi lautan yang terisap, sementara dalam tubuh penyerang terjadi
kelebihan tenaga ibarat banjir.

Laut yang besar menjadi kering, airnya berpindah ke darat.

Sungguh perumpamaan yang tepat menggambarkan betapa dahsyat pukulan
itu. Bisa dibayangkan bahwa saat itu Ugrawe benar-benar bisa merajalela tanpa lawan,
karena setiap kali tenaga dalamnya bertambah besar dan semakin kuat.

Kelemahan utama jurus Banjir Bandang Segara Asat adalah bila ternyata
tenaga dalam lawan lebih kuat. Bisa-bisa tenaga dalamnya sendiri yang terisap.
Berbalik menjadi loyo. Salah seorang putra Raja Muda Jayakatwang pernah menjadi
korbannya!

Akan tetapi sesungguhnya itu disebabkan oleh penguasaan yang belum
mencapai tingkat kasampurnaning ngelmu, atau tingkat sempurna. Karena, menurut
Ugrawe justru kalau tingkat penguasaan sudah sempurna, dalam keadaan kalah kuat
tenaga dalam pun tetap bisa mengisap. Karena, banjir di darat memang dengan cara
menguras air di laut!

Sayang, atau bahkan mujur, sebelum menguasai secara sempurna Ugrawe telah
gugur di medan laga. Saat-saat terakhir dalam hidupnya, tokoh sakti yang dikutuk
semua ksatria itu melakukan tugas yang mulia.


Upasara bisa menelusuri kembali karena kini telah menemukan kunci
pemahaman cara pernapasan Tumbal Bantala Parwa. Bahwa tenaga dalam bisa
disimpan sebagian, untuk kemudian diubah kembali. Dan bisa dipergunakan.

Dalam jurus Banjir Bandang Segara Asat, cara pengaturan mengisap tenaga tak
jauh berbeda. Hanya saja, dan inilah yang menjadi biang kejahatan Ugrawe yang
ganas, ia mengambil tenaga dalam orang lain. Dengan cara yang sama, mengubah
tenaga dalam lawan, menyatukan dengan tenaga dalamnya sendiri, sehingga bisa
dikuasai, dan dipergunakan menurut kehendak hatinya!

Pencerahan yang diterima Upasara terutama ketika bisa memulihkan tenaga
dalamnya. Ini secara langsung atau tidak, berkat petunjuk Paman Sepuh atau juga
Paman Dodot Bintulu! Yang adalah guru Ugrawe dan Halayudha.

Upasara menjadi serbasalah kalau membiarkan Halayudha bunuh diri.
Makanya ia menarik pedangnya.

Empat jari tangan Halayudha terputus karenanya.

Justru di saat Upasara ragu, Halayudha merebut kesempatan!

Kubur Kedua

HALAYUDHA berlari keras. Darah masih mengucur.

Cara berlari Halayudha sedemikian rupa sehingga mengesankan sedang
bingung atau sangat ketakutan mendengar nama Paman Sepuh Dodot Bintulu.

Memang Halayudha lebih berani menghadapi seribu mayat yang hidup
kembali daripada mendengar nama gurunya!

Itu lebih mengerikan daripada bumi yang terbelah atau langit yang runtuh
patah menimpanya!

Sejak Halayudha melarikan diri dari gurunya, sejak itu hanya ada satu yang
ditakuti. Yaitu bila gurunya hidup kembali.

Upasara tidak mengejar karena menduga toh Halayudha akan berputar-putar
dan akhirnya kembali ke tempat semula.

Memang nyatanya begitu.


Dua kali Upasara melihat Halayudha berputar kembali ke tempatnya.

Akan tetapi tidak untuk ketiga kalinya!

Inilah Halayudha!

Bisa menggabungkan antara kesungguhan dan kelicikannya! Tanpa bisa
dibedakan lagi.

Sewaktu mendengar nama gurunya disebut-sebut, Halayudha memang
ketakutan setengah mati. Baginya lebih baik bunuh diri daripada mati disiksa oleh
sang guru yang kejam!

Sejak kecil Halayudha terasing dari lingkungannya. Anak-anak sepermainan
tak pernah mengacuhkannya. Ia dianggap anak yang lemah, tak mampu berenang di
Kali Brantas, tak mampu mengambil sarang burung di ujung pohon.

Nasibnya berubah sewaktu ia bertemu dengan orang tua yang kemudian
mengangkatnya sebagai pembantu. Sejak itu Halayudha menjadi abdi setia yang
melayani, dan kepadanya diajarkan cara-cara pernapasan. Barulah kemudian
Halayudha mendengar bahwa gurunya tokoh sakti mandraguna seangkatan dengan
Eyang Sepuh maupun Mpu Ragana Halayudha belajar dengan tekun.

Sampai setahun kemudian ia kembali ke desanya dan membunuh habis semua
teman yang dulu mengejeknya!

Barulah Halayudha kembali berguru, melayani Dodot Bintulu untuk
mencarikan buah segar, mencucikan baju yang dikenakan. Dan diajari cara-cara
pernapasan.

Segalanya berjalan dengan lancar, sampai kemudian Guru Dodot Bintulu
menemukan anak kecil lain yang dianggap lebih berbakat darinya.

Anak kecil itu tak lain dan tak bukan kelak kemudian hari dikenal sebagai
Ugrawe, mataharinya matahari!

Halayudha begitu dendam melihat kasih sayang gurunya yang berlebihan
kepada Ugrawe. Satu-satunya siasat yang dilakukan adalah mencoba mencuri Kitab
Bumi! Halayudha ingin bisa mengalahkan Ugrawe yang memang bisa mempelajari
sangat cepat.


Agaknya Ugrawe mencium keinginan busuk Halayudha.

Karena Ugrawe juga merencanakan hal yang sama.

Bedanya, Ugrawe berhasil mencuri kitab-kitab pusaka. Dalam kalutnya,
Halayudha mengambil sisa-sisa yang tak diambil Ugrawe. Setelah lebih dulu
membokong gurunya yang tengah bersemadi.

Gurunya selalu berdiam bagai patung, bagai batu, jika melakukan latihan
pernapasan. Itulah saat terbaik bagi Halayudha menjalankan tipu muslihatnya.

Halayudha mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul hancur wajah sang
guru. Kurang puas dengan itu, Halayudha melemparkan batu-batu keras ke wajah
gurunya, menimbuni dengan batu keras. Menunggu beberapa hari. Baru kemudian
meninggalkannya.

Sejak itu Halayudha mengembara dan akhirnya nyuwita atau mengabdi
kepada- Raden Sanggrama Wijaya.

Kembali kegusaran mencapai ulu hatinya dan mulai menggerogoti dirinya
ketika mengetahui bahwa adik-muridnya nyuwita kepada Raja Muda Jayakatwang
dan menjadi senopati utama! Sekali lagi ia kalah!

Merasa selalu kalah!

Karena takut bakal diketahui oleh Ugrawe yang lebih sakti, Halayudha
menyembunyikan diri. Makin parah hatinya, karena teman-teman seangkatan
dengannya menjadi senopati yang gagah perkasa, sementara ia harus menahan diri
menjadi bahan ejekan sebagai senopati utama tanpa memiliki prajurit dan kesaktian.

Justru itulah yang dipakai senjata oleh Halayudha.

Ia selalu memperlihatkan diri sebagai si dungu. Sambil menunggu waktu
untuk melampiaskan dendam. Sebagaimana ia masih kanak-kanak dulu.

Adalah keinginannya untuk menguasai ilmu dan menjadi lebih sakti sehingga
lebih mudah membalas dendam.

Lebih menggembirakan lagi karena secara diam-diam ia bisa berguru kepada
Naga Nareswara.


Hanya saja karena kini ia berada di tengah percaturan Keraton, strategi yang
dijalankan juga berbeda.

Namun Halayudha tak bisa menahan rasa takutnya. Karena ketika kembali ke
tempat perguruannya, ia tak menemukan tulang-tulang gurunya. Setelah batu-batu
yang menumpuk disingkirkan, tulang-belulang Kiai Dodot Bintulu tak ada!

Tidak juga rambut atau giginya!

Ketakutan utamanya adalah bahwa Kiai Dodot Bintulu atau gurunya ini masih
hidup dan kini tengah mencari-carinya. Halayudha tetap merasa tak bisa melawan.

Maka ia selalu ketakutan jika nama Kiai Dodot Bintulu disebut-sebut.

Tapi Halayudha tetap mempunyai siasat yang membakar darahnya. Pada
putaran berikutnya, Halayudha sadar bahwa ini adalah kesempatan untuk melarikan
diri.

Maka Halayudha mengambil putaran lain, dan membiarkan darahnya
mengucur, agar Upasara terjebak ketika mengikuti!

Ia sendiri kemudian mengisap jari-jari yang putus, sehingga darah tak mengalir
lagi.

Kemudian mengambil jalan yang benar dan keluar dari gua bawah Keraton!

Dan tentu saja kemudian menutupnya. Sebagai tutupan terakhir! Yang berarti
gua itu tertutup untuk selamanya.

Tak mungkin Upasara bisa menembus lapisan tanah. Pun andai dibantu oleh
Kiai Dodot Bintulu!

Upasara belum sepenuhnya mengerti bahwa sebenarnya Halayudha telah
meninggalkannya. Pikirannya masih dipenuhi dengan Kiai Dodot Bintulu, alias
Paman Sepuh.

Jadi benar dugaannya selama ini!


Paman Sepuh satu angkatan dengan Eyang Sepuh dan Mpu Raganata. Tiga
nama yang menjadi cikal bakal dunia kanuragan di sekitar Singasari dan kini
Majapahit!

Paman Sepuh Dodot Bintulu dengan dua muridnya, Halayudha dan Ugrawe;
Eyang Sepuh mendirikan Perguruan Awan dengan sekian banyak muridnya, di
antaranya Jaghana dan Wilanda; sementara Mpu Raganata secara diam-diam
mengajarkan ilmunya kepada Jagaddhita dan juga Gendhuk Tri.

Upasara sendiri sebenarnya berada di luar ketiga jalur yang mempengaruhi
dunia persilatan. Ia dididik dengan ilmu Keraton yang sebenarnya lebih dekat dengan
ajaran Mpu Raganata. Di mana pengolahan kepada raga atau jasmani lebih mendapat
perhatian utama. Sesuai dengan keinginan Baginda Raja Sri Kertanegara. Maka jenis
dan jurus-jurus yang diajarkan Ngabehi Pandu penuh dengan permainan tenaga keras.
Seperti yang dibuktikan dengan jurus-jurus ciptaannya, Banteng Ketaton. Jurus-jurus
Banteng Terluka adalah jurus-jurus yang lebih mengandalkan kepada raga, kepada
kekuatan lahir.

Yang berbeda adalah perjalanan hidup Upasara.

Ia juga mempelajari ilmu-ilmu dari Eyang Sepuh yang berdasarkan pada
kekuatan batin, bukan kekuatan raga. Bahkan boleh dikatakan mendalami dari awal
sampai akhir kidungan-kidungan Bantala Parwa.

Lebih dari itu Upasara juga mempelajari beberapa bagian utama dari cara
pernapasan ilmu Kiai Dodot Bintulu atau Paman Sepuh yang lebih murni.

Bagi Upasara hal ini tak menimbulkan kesulitan.

Karena walau berbeda cara dan penekanan, dasar-dasar ajaran yang diterima
tak jauh berbeda. Karena sesungguhnya Eyang Sepuh, Mpu Raganata, dan Paman
Sepuh juga mempelajari dari sumber yang sama.

Ditambah dengan pengalaman bertemu Kiai Sangga Langit yang membawa
ilmu Jalan Budha, boleh dikatakan saat ini Upasara telah menyerap semua ilmu yang
ada.

Inti segala ngelmu, banyak atau banyak sekali dikecap dan dipelajari.

Dengan latihan dan penguasaan, Upasara akan masuk ke tahap di mana
kasampurnaning ngelmu itu bisa dijadikan bagian dari dirinya.


Dalam keadaan seperti ini, sepuluh Halayudha tetap tak akan bisa
mengalahkannya. Akan tetapi, ternyata satu Halayudha saja tak bisa dikalahkan.
Bahkan berhasil menguburnya hidup-hidup.

Berulang kali Upasara berusaha mencari jalan keluar, dan selalu berakhir di
tempat yang sama. Berulang kali Upasara berusaha menggempur ke arah dari mana ia
datang, tak ada hasilnya. Tanah lembek yang bercampur putih telur dan tingginya
bagai gunung anakan itu tak bergoyang.

Makin digali, makin banyak tanah yang berguguran.

Berarti tetap saja tak bisa keluar.

Hanya langit yang samar bisa dikenali siang hari. Dan kadang bintang atau
bulan terlihat sekilas bila malam tiba.

Burung Pun Tak Turun

BEBERAPA malam berlalu.

Hanya perubahan terang dan gelap yang menjadi tanda. Selebihnya tak ada
tanda-tanda lain.

Upasara duduk di ruang terbuka.

Saat-saat matanya memandang ke atas, hanya lapisan langit yang menutup.
Seakan selimut yang diletakkan persis di mulut gua. Upasara menyadari bahwa tak
ada tanda-tanda kehidupan yang lain. Tidak juga seekor burung yang berani terbang
rendah, masuk ke dalam gua.

Kalau ada yang harus dipuji, pujian itu diperuntukkan bagi para empu yang
telah memanfaatkan gua yang lubangnya bagai tujuh belas sumur bersambungan.
Dinding-dinding gua terdiri atas batu yang sangat keras. Hanya di bagian terowongan
ada lapisan tanah. Akan tetapi sia-sia kalau ingin menjebolnya. Satu lubang dibuat,
tanah di bagian atas akan berguguran.

Namun yang akan menyulitkan lagi ialah bahwa bagian lorong yang terdiri
atas tanah tak bisa dipastikan mana ujung dan mana pangkalnya.

Memang sebuah kurungan yang sangat sempurna!


Upasara tak terlalu menyesali kalau harus terkubur hidup-hidup. Satu-satunya
yang masih mengganjal dalam hatinya ialah ternyata segala ilmu yang dipelajari tak
mempunyai arti untuk meloloskan diri.

Kemampuan untuk meringankan tubuh tetap tak banyak mengubah. Upasara
sudah menjajal. Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, tubuhnya melayang
ke atas dua tombak. Mencoba hinggap di salah satu dinding. Dengan memakai tenaga
loncatan keras, tubuhnya melayang ke dinding sebelah lain. Dari tempat itu pula
mencoba meloncat ke atas lagi.

Akan tetapi dengan lima kali berloncatan, tenaganya makin merosot, dan
dengan berjumpalitan keras, Upasara bisa turun ke bawah dengan selamat.

Beberapa kali Upasara menjajal, akan tetapi hasilnya sama.

Upasara menjajal dengan bantuan Kangkam Galih.

Sekali ini ia meloncat ke atas dengan pedang hitam kurus di tangan.

Pada loncatan yang tertinggi, tangan kirinya mengayun keras. Berhasil! Kangkam
Galih bisa menusuk dinding batu yang keras.

Dengan satu kali tarikan, Upasara berusaha meloncat naik lebih tinggi. Dengan
menancapkan Kangkam Galih untuk kedua kalinya.

Berhasil!

Upasara makin bersemangat.

Akan tetapi, Kangkam Galih terlalu tajam. Bisa menusuk dinding batu, akan
tetapi seperti menyelusup ke tengahnya! Sehingga diperlukan tambahan tenaga untuk
mencabutnya. Agak sulit, karena dengan itu pula harus mengayun tubuh ke atas.
Sehingga jarak loncatan ke atas makin lama makin pendek.

Delapan kali loncatan, Upasara sudah kehilangan kekuatan. Sehingga loncatan
berikutnya adalah cara paling selamat untuk turun kembali ke dasar gua.

Dengan cara yang sama ketika mendaki.


Upasara tidak menyerah begitu saja. Pada waktu senggang, Upasara bersemadi
untuk memulihkan tenaga dalam ke arah tangan kanannya. Meskipun tak lagi
menimbulkan rasa nyeri, akan tetapi belum bisa digunakan secara leluasa.

Setelah pulih, kembali Upasara menjajal naik.

Tak banyak artinya.

Kalau seekor burung pun tak berani menjajal masuk, apalagi yang tak

mempunyai sayap!

Upasara mencoba mengukur tingginya lubang gua dengan cara melemparkan
batu ke atas. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, batu di tangannya
disambitkan ke atas.

Batu itu meluncur ke atas dengan dorongan tenaga penuh. Hingga seakan
lenyap dari pandangan mata. Berubah menjadi satu titik hitam tak berarti.

Namun dalam waktu beberapa kejap, batu itu jatuh kembali ke bawah. Hancur

berkeping-keping.

Berarti gua ini memang tinggi, seakan tanpa tepi.

Berarti satu-satunya jalan harus melalui lorong dari mana ia masuk.

Justru itu yang tak mungkin.

Halayudha tak memberi kesempatan yang paling kecil sekalipun.

Tak ada cara lain, selain harus menunggu datangnya kilatan pikiran baru.
Upasara berusaha pasrah, berusaha menyerahkan pikiran agar membersit suatu
petunjuk. Suatu wangsit.

Wangsit atau petunjuk atau bersitan pikiran yang bisa pasrah secara total.
Karena justru pada saat pikiran bisa dikosongkan, percikan pikiran bisa datang
menyusup.

Bagi Upasara hal semacam itu tak terlalu sulit dilaksanakan.

Maka Upasara bisa tenggelam dalam semadi.


Dan sedikit heran ketika terbangun dari semadinya sudah ada buah-buahan di
dekatnya. Semula Upasara merasa bermimpi, akan tetapi ternyata buah yang
dipegang, digigit, dan dimakan bukan khayalan.

"Itu buah pertama."

Upasara tak bisa menyembunyikan rasa herannya.

Karena yang berada di depannya adalah Dewa Maut!

"Tak sia-sia aku menanamnya. Kalau Tole datang, bisa makan bersama.

Upasara, kenapa kamu datang sendirian?

"Mana Tole-ku?"

Upasara teringat keterangan Nyai Demang, bahwa Dewa Maut terkurung

dalam gua. Dan nyatanya masih ada sampai sekarang. Tubuhnya kelihatan segar
bugar, seluruh rambutnya yang putih berkibar-kibar.

"Paman Dewa Maut masih mengenali saya?"

"Masih. Kamu kan Upasara yang disegani Tole. Di mana Tole-ku sekarang ini?

"Ini tempat yang diciptakan Dewa Maha Pencipta untuk didiami. Maka aku
lebih suka berada di sini, ketika senopati mabuk itu menutup semua pintu keluar.

"Kukira tak ada lagi yang datang.
"Ternyata kamu datang juga, Upasara."
Upasara merasa gembira sekaligus berduka.

Gembira karena bisa bertemu dengan Dewa Maut. Gembira karena meskipun
Dewa Maut yang selama ini dikenal hilang akal sehatnya, nampak lebih segar dan
bergairah.

Tapi juga berduka karena Dewa Maut menyukai tempat ini. Dan walau
mengetahui Halayudha menutup semua jalan keluar-juga jalan yang terakhir, Dewa
Maut sama sekali tidak berusaha menghalangi. Atau bahkan sama sekali tidak
memedulikan.


Bukan tidak mungkin Dewa Maut mengetahui kedatangan Upasara dan
Halayudha sejak pertama kali masuk.

Namun Dewa Maut lebih suka menekuni beberapa tanaman yang
dikembangkan di bagian lain dari lorong yang ada. Di situ Dewa Maut merawat
tanaman, buah-buahan yang bijinya diambil dari luar, sewaktu ia masih bebas bisa
keluar-masuk.

Upasara makin bisa mengerti kisah yang diceritakan Nyai Demang. Bahwa
sesungguhnya Dewa Maut tidak ingin keluar. Merasa telah menemukan dunianya!

Itu sebabnya tak peduli sewaktu Halayudha menutup semua jalan keluar.

"Bukankah begitu, Upasara?"

"Paman sangat tepat sekali."

"Aku heran. Kenapa kamu masih bersemadi, bernapas dengan aneh? Di sini
kita tak perlu berlatih pernapasan. Di sini kita bisa mengamati tumbuhnya daun,
tumbuhnya akar. Seperti bayi yang lahir dan menjadi dewasa.

"Ajaib. Tole-ku pasti senang mendengar cerita ini. Aku cukup sabar menunggu
ia datang.

"Bukankah begitu, Upasara?" Anggukan Upasara melegakan Dewa Maut .
"Paman..."

"Sssttt... jangan berisik. Dengar baik-baik... itulah suara akar yang tumbuh...
Dengar...

“Sssttt..."

Dewa Maut berdiam diri. Memejamkan mata.

Mengikuti irama tumbuhnya akar, yang hanya bisa dirasakan sendiri.

Kembali Upasara termenung dan menghela napas dalam. Suara helaan
napasnya membuat kepala Dewa Maut menggeleng, seperti terganggu.


Merayap kesadaran lain ke dalam tubuh Upasara. Dewa Maut, dalam arti
sebenarnya, lebih waras dari dirinya sendiri. Dewa Maut yang dianggap kurang waras,
sesungguhnya justru sehat. Justru lebih benar!

Tak ada gunanya melatih pernapasan atau mengatur tenaga dalam. Adalah
lebih mulia mendengarkan tumbuhnya akar, yang suaranya dan perubahannya seperti
pertumbuhan bayi!

Betapa mulianya.

Betapa besar jiwa Dewa Maut.

Secara tidak langsung Dewa Maut menjalankan semua ajaran Perguruan

Awan. Dalam hal menikmati alam secara total. Dalam hal mengambil apa yang
ditanam dengan tangannya sendiri.
Hidup tanpa dendam. Tanpa kecemburuan.
Tanpa nafsu duniawi.


Kalau untuk seluruh hidupnya berada di dalam gua, Dewa Maut tidak
merasakan sesuatu yang merugikan hidupnya, itu berarti baginya bukan merupakan
hukuman.

Tapi Upasara tak bisa menahan keinginannya untuk keluar.
Dengan Tanah, dengan Air, Itulah Kehidupan
PERASAAN ingin melepaskan diri dari kurungan itu yang membuat Upasara gelisah.

Berusaha keras mencari jalan keluar.

Tiap kali menjajal, tiap kali pula gagal.

"Aku bisa memelihara ular atau kelabang di sini. Tetapi aku tak ingin

menyakiti mereka.

"Bukankah itu baik, Upasara?"

"Baik, Paman Dewa Maut."


"Aku selalu baik."
"Paman masih menunggu Tole?"
Alis Dewa Maut yang putih terangkat.
Wajahnya menunjukkan kegusaran.
"Kalau kamu ikutan menyebut Tole, aku tak mau bicara padamu. Hanya aku


yang boleh mengucapkan sebutan itu."

"Maaf, Paman..."

"Enak saja meminta maaf. Kenapa tidak kamu coba menanam sendiri maaf itu

sehingga kamu tak usah meminta. Buah-buahan ini juga kutanam sendiri."

Sekilas omongan Dewa Maut seperti ngawur. Melantur ke segala arah, dan
salah jawaban dari pertanyaan. Akan tetapi di telinga Upasara terdengar ada benang

merah yang bicara tegas mewarnai kebenaran yang diungkapkan.

"Baik, saya akan belajar menanam."

"Nah, begitu."

"Supaya kalau Gendhuk Tri datang, saya bisa memberikan padanya."

"Itu juga baik."

"Kalau Gendhuk Tri tidak datang, saya akan menjemputnya."

Dengan kalimat ini, Upasara bermaksud memancing agar Dewa Maut tergerak
hatinya untuk keluar. Sebab, menurut pikiran Upasara, sangat mungkin sekali Dewa
Maut melihat jalan keluar itu! Kalau mengingat bahwa ia cukup lama berada di
tempat ini.

Bukankah Nyai Demang sendiri yang bercerita bahwa pemecahan untuk jalan
keluar dulu itu justru dari Dewa Maut?

Kalau dihubungkan dengan Tole, sebutan untuk buah hatinya, sangat besar
kemungkinan Dewa Maut tergerak hatinya.


Nyatanya tidak.
"Buat apa dicari.
"Kalau datang pasti kelihatan. Kalau pergi pasti tak kembali. Bukankah begitu,

Upasara? Bukankah kamu datang begitu saja? Bukankah perempuan yang tubuhnya
subur itu pergi begitu saja?"

Upasara mengangguk.

"Benar, saya datang kemari untuk mencari Paman dan Gendhuk Tri."

"He, siapa menyuruhmu memanggilku Paman?"

"Maaf, Eyang..."

"Aku masih cukup muda untuk kamu panggil Kakang! "Bukankah begitu,
Upasara?"

"Ya... ya... tepat sekali, Kakang Dewa Maut." '

"Panggil aku Paman saja."

Upasara makin bisa merasakan apa yang diceritakan oleh Nyai Demang.
Terkurung berdua dengan Dewa Maut yang tetap berbelit jalan pikirannya.

Hanya saja saat itu Nyai Demang bisa keluar.

"Kenapa tidak mau dipanggil Kakang?"

"Perempuan ayu itu sudah memanggilku Kakang. Ia baik hatinya. Hanya saja
tubuhnya sering disenggol-senggolkan"

"Kalau begitu kita cari dia, Paman.

"Lewat jalan yang mana?"

Dewa Maut menggeleng.

"Tak usah. Aku malu melihatnya. Aku pernah memeluk tubuhnya. Merangkul
lama. Membaui tubuhnya.


"Aku malu.
"Bukankah begitu, Upasara?"
"Bukan!"
"Kamu tak tahu. Aku tak pernah memeluk wanita lain. Membaui tubuh wanita


lain, selain kekasihku dulu itu, tak pernah!

"Aku mencintai kekasihku!

"Tapi nyatanya aku memeluk, dan membaui tubuh wanita itu."

"Tubuh Nyai Demang? "

Jadi Paman... Paman..."

Wajah Dewa Maut nampak jengah.

Kali ini Upasara juga menjadi malu. Merasa kurang enak, melanggar kesopanan

yang membuatnya risi. Tak seharusnya ia memperjelas apa yang dilakukan Dewa
Maut bersama Nyai Demang!

Jelas Dewa Maut tidak berdusta!

Ini yang menjadi beban hidupnya.

Upasara hanya bisa mengira-ngira. Sebagai ksatria yang tangguh, Dewa Maut
pernah malang melintang dalam dunia persilatan. Namun yang bisa menundukkan
adalah seorang kekasih. Itulah daya asmara!

Entah kenapa, hubungan Dewa Maut dengan wanita kekasihnya tidak
berlangsung selamanya.

Sejak itu Dewa Maut mengasingkan diri dengan berdiam di atas perahu yang
terus berlayar bolak-balik sepanjang Kali Brantas. Bisa jadi saat bersama kekasihnya,
Dewa Maut berjanji tak akan bersentuhan dengan wanita yang lain.

Sehingga lebih dekat dengan sesamanya, yaitu Padmamuka. Hubungan ini
tidak melanggar sumpah setianya.


Bahwa kemudian sebagian tenaga dalam yang bersifat racun dalam tubuh
Padmamuka berpindah ke tubuh Gendhuk Tri, maka Dewa Maut juga menganggap
Gendhuk Tri adalah Tole-nya!

Yang luar biasa adalah bahwa selama ini Dewa Maut tak pernah menganggap
Gendhuk Tri sebagai anak gadis.

Melainkan tetap sebagai penjelmaan Padmamuka!

Upasara menertawakan tingkah Dewa Maut. Dalam hati.

Menertawakan dengan perasaan yang getir.

Karena sesungguhnya, apa beda dirinya dengan Dewa Maut dalam soal
terpengaruh oleh daya asmara?

Tak ada bedanya.

Bahkan barangkali dirinya lebih bisa ditertawakan. Daya asmara Gayatri-lah
yang, kalau mau diakui, menyeret semua tindakan ini. Sejak menolak pangkat yang
diberikan Baginda dan memilih mengasingkan diri di Perguruan Awan.

Bukankah ini sama dungunya dengan kesetiaan yang ditunjukkan Dewa Maut?

Bukankah dengan menjauhkan diri dari Gayatri, sebenarnya sebagai
pengakuan bahwa ia masih terikat?

Bedanya hanyalah bahwa Dewa Maut sepenuhnya larut dalam suasana, dan

dirinya bisa melihat dari suatu jarak. Akan tetapi selebihnya tetap tak berbeda.

"Paman lebih bahagia," kata Upasara lirih. "Sesuatu yang tak berani saya akui."

"Omong kosong!

"Kamu juga bisa. Apa susahnya bertanam?

"Omong kosong kalau kamu tak berani mengakui.

"Bukankah begitu, Upasara?"


Kening Upasara berkerut.
Mendadak tangan kirinya terkepal.
Matanya mendongak ke arah langit.
"Benar, Paman!
"Omong kosong kalau tak bisa. Sumber segala kehidupan di jagat ini adalah


tanah dan air. Baginda Raja Sri Kertanegara adalah raja yang perkasa karena
mengetahui kekuatan air. Mengetahui kekuatan gelombang lautan, sehingga bisa
menjelang ke segala pelosok jagat!

"Tanah adalah kehidupan.

"Air adalah kehidupan."

Ganti Dewa Maut yang menatap heran.

"Tanah di sini adalah batu gunung yang menjadi dinding tak tertembusi. Tak

mungkin ditanami, bahkan oleh lumut sekalipun."

"Ya, tapi masih ada tanah di bawah buat ditanami."

Upasara menggeleng. Suaranya mengandung semangat tinggi.

"Tidak, Paman.

"Justru tanah batu keras inilah yang akan menghidupi. Kalau kita tak mampu

memahami hakikat tanah dan hakikat air yang sesungguhnya, kita akan menyalahkan
dinding batu.

"Paman... gua ini ibarat batang bambu. Lurus mendongak ke langit, dengan
bagian pinggir yang licin, keras tak tertembusi."

"Bambu? Aku sudah lupa seperti apa bambu itu."

"Kita adalah dua binatang kecil yang terkurung dalam bambu. Tak bisa
mendaki ke atas. Tak bisa menembus dinding."

Tapi masih ada budaya air.


"Paman, mari kita persiapkan. Kita mengumpulkan kayu. Suatu kali akan
turun hujan lebat. Jika dinding-dinding batu ini tak membuat air merembes ke luar,
tempat ini akan tergenang.

"Dan air makin naik ke atas.

"Kita bisa keluar!"

"Untuk apa?"

Wajah Upasara penuh harapan.

"Mari kita usahakan agar air hujan tidak terserap oleh dasar tanah. Paman

membantu membuat alas gua yang tak merembeskan air.

"Kita tinggal menunggu hujan besar."

Dewa Maut terkekeh. "Mustahil. Aku sudah menjajal. Dan gagal. Aku sudah

menyaksikan beberapa kali musim hujan.

"Bukankah begitu, Upasara?"
Dua Cundhuk Asmara
Upasara terdiam sesaat.

"Paman, ada dua cara. Yang pertama kita menunggu kiriman air hujan hingga
menggenangi lubang ini. Sehingga kita berdua bisa lebih dekat ke atas permukaan
tanah.

"Yang kedua, kita bongkar bebatuan di dasar ini. Kita keduk sehingga
mengeluarkan mata air. Paling tidak, air akan menggenangi setinggi permukaan air di
sumur. Dengan demikian lebih mudah bagi kita untuk meloncat ke luar.

"Hanya dengan demikian, kebun Paman akan tergenang."

"Itulah yang paling tidak kusukai. Kita merusak apa yang tak perlu kita
lakukan."

Suara Dewa Maut sangat memelas.


Seakan menyesali keputusan Upasara.
"Bagaimana, Paman?"
"Di jagat ini selalu yang memegang pedang lebih tajam yang menguasai alam.


Kalau maumu begitu, kenapa harus menunggu?

"Bukankah begitu, Upasara?"

"Agaknya ini satu-satunya cara keluar.

"Nyai Demang pernah terperangkap di tempat ini. Berdasarkan tembangan dan

kidungan Paman Dewa Maut, bisa meloloskan diri. Pasti bukan hanya satu atau dua
jalan keluar. Namun Halayudha telah menutup semuanya."

"Semuanya."

"Kita tak mungkin bisa menembusnya."

"Mungkin saja." Suara Dewa Maut meninggi. "Itu lebih baik daripada
menenggelamkan kebun sayurku.

"Senopati busuk itu menutup semua jalan keluar. Akan tetapi pasti
kekuatannya tidak sama.

"Bukankah begitu, Upasara?

"Ada yang bisa ditutup kuat dengan tanah dicampur adonan telur atau tetes
tebu. Sehingga liat. Tapi mana mungkin semua bisa sekuat itu?"

"Kalau begitu kita coba.

"Siapa tahu justru bisa menunjukkan tempat di mana Gendhuk Tri dikurung."

"Tole-ku dikurung?"

Upasara menghela napas.


"Gendhuk Tri langsung menuju Keraton begitu mendengar Paman Dewa Maut
terkurung. Ingin membebaskan. Akan tetapi sejak masuk kemari, saya belum pernah
bertemu.

"Paman sendiri belum bertemu dengannya...

"Berarti begitu banyak gua kurungan di sekitar sini."

Di luar dugaan, Dewa Maut segera menunjukkan berbagai jalan keluar yang
sudah ditutup. Lalu di setiap jalan keluar yang sudah ditimbuni, Dewa Maut
berjongkok, menempelkan daun telinganya ke tanah.

Beberapa kali diulangi di berbagai tempat.

"Ini salah satu yang paling ringan."

Alis Upasara berkerut.
"Aku tahu, tahu pasti. Aku sudah lama berada di sini, Upasara. Aku mengenal segala
getar alam. Suara kibasan angin di mana-mana. Suara akar tumbuh dan daun yang
menguning. Aku menanam mangga, jambu, maja, sejak masih biji hingga beberapa
kali berbuah.

"Kau tak usah meragukan.

"Bukankah begitu, Upasara?"

Upasara tak membuang waktu lagi.

Perhitungan Dewa Maut sangat masuk akal. Walau semua jalan keluar telah
ditutup, pasti cara menutupnya tidak sama kuat. Dan ini sangat masuk akal, karena
tidak semua jalan keluar kurungan ini dikuasai siang dan malam.

Salah satu yang mungkin tidak cukup kuat ialah jalan keluar yang bermuara di
kaputren!

Bukan kaputren yang lebih menyemangati Upasara. Akan tetapi kini lebih
melihat kemungkinan untuk bisa keluar. Maka segera Upasara memainkan Kangkam
Galih. Di tangan kirinya Kangkam Galih bergerak menembus, mendongkel, dan
Upasara menendang guguran tanah berbatu-batu dengan kedua kakinya.

Tanpa kenal lelah Upasara terus menjajal.


Bahkan ketika malam hari pun, ia terus menggebrak. Batu besar disingkirkan,
batu kecil dibuang ke kiri dan ke kanan. Hingga tak cukup lama sudah bisa digali
terowongan sampai tiga tombak.

Tanpa memedulikan keringat, Upasara hanya beristirahat untuk
mengembalikan tenaga, lalu menyelusup maju. Membuat terowongan. Walau makin
lama batu-batuan yang menghadang makin banyak yang buatan manusia, Upasara
sebaliknya malah makin bersemangat. Karena ini berarti makin dekat.

Tiga hari Upasara menjadi manusia tikus yang terus-menerus menggali,
akhirnya berhasil juga.

Dengan satu gempuran keras, batu terakhir yang menghalangi tergeser.
Tinggal bata-bata tanah yang sekali sentak berlubang!

Upasara berdiri tegak.

"Paman."

Dewa Maut menggeleng.

"Tak selalu tempat di luar lebih baik, aku akan menunggu Tole di tempat ini."

Sekejap darah Upasara berdesir lebih cepat lagi.

Dewa Maut tetap menunggu Gendhuk Tri. Yang sekarang ini tak diketahui
mati-hidupnya!

Upasara menunduk. Tubuhnya membungkuk, dengan tangan terlipat. Tangan
kanannya yang masih kaku tertekuk, dengan ibu jari tertuju kepada Dewa Maut.

"Kalau Paman lebih suka di sini, saya akan keluar lebih dulu. Suatu hari saya
akan balik kemari, menjemput Paman dan kita kembali ke Perguruan Awan."

"Bukankah begitu lebih baik, Upasara?"

Upasara memberi hormat sekali lagi. Satu sentakan, tubuhnya menerobos
tembok bikinan. Dan lolos melalui sumur mati. Tak terlalu sulit untuk meloncati.


Dengan satu loncatan, Upasara sudah berada di tengah, dengan tangan
bertahan satu sisi, tubuhnya meloncat keluar dan membuyarkan penutup sumur yang
terdiri atas kayu-kayu gelondongan.

Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Upasara mengembalikan kayu-kayu itu
ke tempat semula.

Kini ia kembali di udara bebas.

Sinar matahari senja terasa begitu indah. Setelah sekian lama terkurung dalam
gua dan hanya sempat menyaksikan matahari persis di tengah langit, sinar senja itu
terasa lunak dan enak di mata. Apalagi sinar senja itu terbiaskan oleh tanaman bunga
yang ditata dengan tangan dan perawatan penuh kasih.

Sejenak Upasara termangu.

Tak masuk akalnya, bahwa di jagat ini ada tanah luas yang ditata begitu
sempurna, hanya untuk mengejar keindahan pandangan mata.

Sungguh terenyak ia ketika mendengar suara-suara kecil. Dengan sedikit
berendap, ia menuju ke bagian samping. Yang ternyata lebih indah, lebih teratur,
dengan berbagai kolam dan ikan-ikan yang juga terawat sempurna.

Tak salah lagi, inilah kaputren!

Tempat para putri Raja.

Meskipun waktu kecil dibesarkan di Keraton Singasari, Upasara tak sempat
menikmati pemandangan yang memesona seperti ini. Akan tetapi perhatiannya lebih
tertuju kepada dua putri kecil.

Ludah Upasara tertahan di tenggorokan.

Siapakah dua putri ini?

Sekilas Upasara menemukan wajah yang selama ini dirindukan dalam diri
anak-anak itu. Wajah wanita yang pernah mengguncangkan jiwanya. Wajah Gayatri!

Wajah yang selalu membayangi. Yang cundhuk pemberiannya masih tetap
disimpan.


"Kakangmbok Ayu Tunggadewi, tangkapkan kupu-kupu itu."
Yang dipanggil Kakak Tunggadewi meloncat pendek, akan tetapi kupu-kupu


yang tengah diincar lebih dulu menghindar.

"Susah, Yayi Dewi... kupu-kupu punya sayap."

Dada Upasara terguncang hebat.

Tak salah lagi, kedua anak ini adalah putri Permaisuri Rajapatni. Yang tua
adalah Tribhuana Tunggadewi dan adiknya Dyah Wijah Rajadewi. Bahkan cundhuk
yang dikenakan sama seperti yang diberikan kepadanya oleh Halayudha!

Upasara menyalurkan tenaga dalam lewat tangan kirinya. Mengibas pelan ke
arah kupu-kupu yang diincar. Sehingga kupu-kupu menjadi oleng terbangnya dan
bergoyang, berbalik mendekat ke arah Dyah Wijah Rajadewi.

Apa yang ditunjukkan oleh Upasara adalah penguasaan tenaga dalam murni
yang tinggi. Yang digebrak adalah angin, dan dengan tenaga itu mendesak seekor
kupu-kupu, tanpa mencelakakannya.

"Kakangmbok Ayu, kupu-kupu ini datang sendiri."

"Sssttt, jangan-jangan ada demit."

Dyah Wijah Rajadewi menangkap kupu-kupu itu dengan hati-hati.

"Saya tak takut demit atau setan, kalau ia baik dan mau menangkap kupu


kupu. Lebih banyak lebih baik."
Upasara menggerakkan tangan kirinya lagi. Kali ini bukan hanya satu jari,

melainkan kelimanya. Dalam satu tarikan, kelompok kupu-kupu yang sedang terbang
jatuh ke pangkuan Rajadewi.
Putra Mahkota yang Berkuasa
Tentu saja Rajadewi berteriak-teriak kegirangan.


Sebaliknya, Tunggadewi memandang sekeliling dengan curiga. Untuk usianya
yang masih di bawah delapan tahun, ini bisa ditebak dari kain yang dikenakan,
Tunggadewi termasuk putri yang cerdas.


"Yayi... di tempat ini ada demit... amit-amit..."

"Kakangmbok Ayu, sudah saya katakan. Kalau demit begitu baik, kenapa kita
takut?"

Dibesarkan dalam tradisi Keraton, Upasara cukup mengerti beberapa peraturan
yang sangat ketat. Apalagi ini adalah putri langsung Baginda Raja. Semasa masih di
Keraton Singasari dulu, Upasara bahkan tak pernah melihat bayangan Gayatri!

Tapi, walaupun tumbuh dalam pergaulan yang sangat ketat dan terbatas,
keduanya menunjukkan perbedaan.

Tunggadewi lebih waspada dan sangat hati-hati, sementara Rajadewi lebih
terbuka dan berani.

"Demit yang baik, maukah kamu mengambilkan burung di pohon sawo itu?

"Saya sudah lama ingin memelihara... ingin sekadar melihat, seperti apa
sebenarnya burung itu.

"Tolonglah, demit yang baik, nanti saya akan memberimu bunga dan
kemenyan yang harum baunya."

Upasara berbunga-bunga dadanya.

Ada perasaan aneh yang selama ini belum pernah dirasakan. Berhubungan
dengan anak-anak. Anak-anak Permaisuri Rajapatni.

Sungguh aneh. Tapi inilah yang terjadi.

Dirinya disangka demit atau hantu oleh putri kecil yang memakai cundhuk
yang sama dengan yang sekarang masih disimpannya erat. Daya asmara menyeruak
kembali ke dalam seluruh pembuluh darahnya.

Upasara mengambil tanah dan memelintir dengan dua jari. Dibidiknya seekor
burung kecil yang tengah berloncatan di antara dahan pohon sawo kecik.

Pohon-pohon sawo kecik sengaja ditumbuhkan di pelataran Keraton, baik di
kaputren maupun tempat lain. Karena terawat sempurna dan boleh dikatakan tak
pernah diambil buahnya, pohon itu menjadi surga bagi berbagai burung.


Agaknya inilah yang menggoda Rajadewi.
Setiap hari menyaksikan, mendengar ocehannya, akan tetapi tak pernah


mengetahui bentuk sebenarnya.

Itulah putri Keraton!

Dalam usia yang sama, Gendhuk Tri bukan hanya telah mengenal berbagai
burung, akan tetapi juga segala jenis binatang buas yang lain. Malah boleh dikatakan
seluruh binatang hutan dikenalnya!

Tanah yang dipelitir Upasara cukup keras, akan tetapi tak membuat burung
kecil itu terluka. Terbang jatuh dan dengan terburu-buru Rajadewi menangkapnya.
Burung kecil itu hanya sekali bisa meloncat lagi, sebelum akhirnya tertangkap.

"Kakangmbok Ayu... lihat. Bagus sekali."

Tunggadewi menjauh.

"Benar-benar demit itu ada.

"Dongengan itu tidak berdusta."

"Lihat, Kakangmbok Ayu. Apakah Kakangmbok Ayu juga ingin memiliki

sendiri?"

"Ya."

Belum selesai tarikan napas Tunggadewi, seekor burung lain telah terbang ke

tanah di dekatnya.

Rajadewi makin gembira sehingga berloncatan.

Suaranya yang nyaring membuat emban pengasuhnya datang mendekat dan

menyembah.

"Kalian pergi dulu, aku masih ingin bermain-main."

"Gusti Putri, sekarang sudah sore..."


"Kalau kamu tidak pergi, aku akan menangis dan menjerit."
Upasara merasa geli.
Untuk sesaat terhibur segala duka yang baru saja dialami. Terlupakan


kehidupan dalam kurungan bawah tanah.
Rajadewi, dengan segala kenakalan dan akalnya, bisa menyuruh emban

pengasuhnya mundur kembali.

Merasa tak dimata-matai, Rajadewi mendekat ke arah Upasara.

"Aku sudah puas melihat burung ini. Nah, sekarang kulepaskan kembali,"

Rajadewi melepaskan burungnya. "Kupu-kupu ini kusimpan sebentar.

"Ibu Permaisuri suka melihat kupu-kupu.

"Demit, kamu tidak marah, bukan?"

Hampir saja Upasara terpancing mengatakan tidak.

"Kalau tidak, kamu gerakkan bunga Puspanyidra di dekatku ini."

Upasara memang tak mengenal jenis-jenis bunga, akan tetapi ia mengikuti

petunjuk tudingan jari Rajadewi.

"Jadi kamu tidak marah?"

Kembali batang pohon Puspanyidra bergoyang.

"Bagus, bagus. Kita bersahabat. Nanti malam akan kubawakan kemenyan dan

bunga seperti janjiku.

"Kita akan main-main terus.

"Mau?"

Tunggadewi memegang erat tangan adiknya.

"Demit, kenapa kamu tidak mau menunjukkan dirimu? Apakah benar tubuh

manusia panas bagimu? Apakah wajahmu sangat mengerikan?"


Upasara menggerakkan Puspanyidra seakan menggeleng.
"Iiii, lucu sekali. Ibu Permaisuri bakal senang sekali."
Tunggadewi berdiri ke depan.
"Kamu yang menguasai taman ini?" Pohon Puspanyidra mengangguk.
"Selain burung dan kupu-kupu, kamu bisa memberikan apa lagi?" Upasara tak


pikir panjang melemparkan cundhuk. Tunggadewi terperangah.
"Adik Ayu Rajadewi, ini cundhuk milik kita yang dikatakan hilang oleh Ibu

Permaisuri."

"Ya. Ya. Benar.

"Jadi kamu mencuri, Demit?"

Pohon Puspanyidra menggeleng.

"Waktu cundhuk ini hilang, Ibu Permaisuri tidak marah.

"Eh, Demit, kamu mengenal Ibu Permaisuri tidak?"

Pohon Puspanyidra mengangguk.

"Kalau tahu, siapa namanya?"

Upasara mengambil selembar daun, menuliskan nama, dan melemparkan.

Tunggadewi memungut.

Wajahnya cemberut.

"Salah. Nama Ibu Permaisuri bukan Gayatri, melainkan Ibu Permaisuri

Rajapatni!"

Sudah barang tentu, Tunggadewi dan Rajadewi tak mengetahui bahwa ibu
kandungnya lebih dikenal Upasara sebagai Gayatri.

"Demit, siapa namamu?"


Upasara sedang menyiapkan daun kedua, ketika mendengar langkah kaki

mendekati.
Seorang bocah, sedikit di atas usia Tunggadewi, masuk ke dalam taman. Yang
membuat Upasara sedikit heran adalah pengiringnya sangat banyak sekali. Dan bocah
yang berkulit lebih putih dari kebanyakan orang ini memakai kalung bertatahkan
hiasan berkilauan.

Tunggadewi dan Rajadewi berjongkok, menyembah.

"Adik Dewi, sejak sekarang kalian berdua tidak boleh ke taman sendirian.

Mulai hari ini tak boleh ke taman lagi, untuk seterusnya."

Tunggadewi lebih tenang. Menunduk dan menyembah.

Rajadewi berguncang dadanya.

"Aku yang memutuskan. Tak ada yang membantahku.

"Selesai.

"Pergilah.

"Ini perintah Putra Mahkota."

Upasara melihat bahwa Putra Mahkota Kala Gemet nampak begitu yakin

dengan penampilannya. Cara tangannya memberi aba-aba mengusir, kelihatan sekilas
sudah sangat terbiasa.

Dan tanpa menoleh sedikit pun, terus melanjutkan perjalanan. Hilang di
bagian lain bersama para pengikutnya.

Sementara Tunggadewi dan Rajadewi sudah dibimbing para emban pengasuh.

"Kakang Raja jahat sekali, Kakangmbok Ayu."

"Apa kata Kakang Raja, terjadilah."

"Saya masih ingin bermain dengan Demit."


"Pasti ia akan ke kamar menemui kita. Demit bisa berada di mana-mana."

Kalau tidak menyaksikan sendiri, Upasara tak akan yakin bahwa Putra
Mahkota Kala Gemet demikian keras pengawasannya kepada kedua adiknya.

Bukan tidak mungkin, seperti banyak cerita yang didengar, Putra Mahkota
perlu mengawasi Tunggadewi dan Rajadewi dalam segala hal. Karena sebagai putra
mahkota yang dinobatkan sejak kecil, sejak lahir, para pengasuh Kala Gemet sudah
mengisiki bahwa Tunggadewi dan Rajadewi bisa menjadi persoalan di belakang hari.
Karena keduanya adalah putri Permaisuri Rajapatni. Yang jika kelak kemudian hari
mempunyai suami, bisa menjadi ancaman. Paling tidak, bisa merasa berhak atas
takhta!

Ini yang tak dikehendaki!

Maka segala sesuatu yang bisa tumbuh di luar pengawasan, sedini mungkin
dihapuskan.

Alangkah menderitanya Tunggadewi dan Rajadewi dalam pengawasan
kakaknya.

Kaukah Itu, Kakang...

UPASARA setengah menyalahkan dirinya sendiri. Menyalahkan jalan pikirannya
yang begitu mudah mendakwa Putra Mahkota Kala Gemet.

Belum tentu sejahat yang dipikirkan.

Hanya saja, suara Putra Mahkota yang bergema keras, membuat Upasara
berpikir kembali.

Untuk seorang putra mahkota, rasanya tak perlu berkata dengan nada yang
begitu tinggi. Kecuali kalau sedang marah.

"Paman... siapa namamu? ...Taman kaputren ini sungguh bagus. Terawat
dengan baik.

"Kenapa Paman Sora tak pernah bercerita padaku mengenai hal ini?"

Yang dipanggil dan tak dipanggil menunduk, menghaturkan sembah hormat
yang dalam.


"Duh, Pangeran Pati sesembahan kawula seluruh Majapahit, kalau Yang Mulia
Pangeran Pati menghendaki, hamba akan mengusahakan taman seperti ini di
Dahanapura."

Putra Mahkota Bagus Kala Gemet mendongakkan wajahnya sambil menarik
udara dari hidungnya.

Dari tempat persembunyiannya, Upasara bisa melihat jelas sikap unggul yang
dilihat.

Sebutan sebagai Pangeran Pati, atau pangeran putra-mahkota, agaknya
merupakan sebutan yang biasa didengar. Untuk memberikan penghormatan dan
sekaligus juga membedakan dari para pangeran yang lain, bahwa hanya dialah yang
menjadi putra mahkota yang akan menggantikan kekuasaan atas Keraton di kelak
kemudian hari.

"Makan waktu lama, Paman.

"Ingsun ingin segera menikmati. Daripada susah-susah membuat taman seperti
ini di Dahanapura, bukankah akan lebih baik kalau ingsun yang pindah kemari?"

"Kehendak Pangeran Pati seperti juga kehendak Baginda. Terkabul sesuai
dengan keinginan."

Tanpa terasa Upasara mengatupkan gerahamnya.

Ada perasaan tidak enak menyeruak dari benak Upasara. Pertama, cara Putra
Mahkota menyebut dirinya sendiri sebagai ingsun. Meskipun ingsun juga berarti saya,
akan tetapi cara membahasakan diri seperti itu hanya biasa dipergunakan oleh Raja.
Kurang pas jika Putra Mahkota menggunakan istilah itu.

Pengalaman hidup di Keraton Singasari mengajarkan hal ini. Ditambah sebagai
Ksatria Pingitan, Upasara memang mau tak mau mempelajari segala adat-istiadat yang
berlaku dalam Keraton. Bahwa akan lebih baik lagi kalau mau sedikit merendah.

Bukan sebaliknya seperti yang digunakan oleh Putra Mahkota!

Sebab kedua adalah mengetahui cara berpikirnya. Bahwa karena tidak mau
menunggu lama, akan lebih mudah kalau dirinya pindah. Tak menjadi halangan
benar. Karena apa yang diinginkan bakal terlaksana.


Ditilik dari usianya, Putra Mahkota sekarang ini masih sekitar dua belas tahun.
Namun keinginannya tidak kalah dengan mereka yang telah lama memegang kuasa.

Upasara menghela napas.

Barangkali juga bukan kesalahan Putra Mahkota sepenuhnya. Sejak lahir
Baginda telah mengangkat sebagai pewaris takhta. Dengan demikian segala perlakuan,
sejak masih bayi sudah menjadi sangat istimewa. Hal ini secara tidak langsung sudah
tertanam dalam diri para pengasuh dan pengikutnya.

Kalau ia bertindak seperti sekarang ini, bisa jadi biasanya sudah seperti itu.

Upasara menunduk. Ia sadar bahwa pikirannya lah yang terlalu lancang. Biar
bagaimanapun, dirinya tak bisa dibandingkan dengan Putra Mahkota! Dalam segala
hal berbeda, bukan hanya dalam hal daya asmara, seperti ketika ia mengharapkan
Gayatri!

Ah, putri Keraton Singasari!

Andai dirinya seorang yang dilahirkan secara resmi oleh raja, akan lain
ceritanya. Akan bisa memahami Putra Mahkota.

Tetapi tidak juga. Para pangeran dalam Keraton Singasari terdidik dalam
suasana yang berbeda. Sejak kecil justru lebih dulu diajari untuk tidak berlaku
semena-mena, untuk menahan diri bila menginginkan sesuatu.

"Kalau begitu, sampaikan kepada Mahapatih Nambi dan Halayudha bahwa
mulai malam nanti ingsun akan bermalam di sini."

Para pengikutnya serentak menyembah.

"Tempat ini jauh lebih asri daripada di Dahanapura."

Tentu saja lebih asri, pikir Upasara. Dahanapura, walau pernah menjadi pusat
pemerintahan, tak bisa dibandingkan dengan Keraton yang baru dibangun.
Dahanapura tak lebih dari kadipaten, dibandingkan dengan Keraton pusat.

Meskipun Putra Mahkota mendapat perlakuan yang teramat istimewa, akan
tetapi tetap saja merasa kalah dengan apa yang dialami sekarang ini.


Upasara ingin segera meninggalkan tempat persembunyiannya. Karena merasa
kurang senang mendengarkan. Karena pikirannya seperti membenarkan dugaannya
bahwa perlakuan kepada Putra Mahkota membuatnya seakan bisa berbuat apa saja.

Kalau dugaan ini benar, kesimpulannya yang pertama yang benar. Bahwa
Tunggadewi dan Rajadewi sepenuh-penuhnya berada dalam pengawasan Putra
Mahkota.

Ibarat kata, tak akan seekor nyamuk bisa menggigit Tunggadewi atau Rajadewi
tanpa diketahui oleh Putra Mahkota, atau tanpa izinnya.

Upasara jadi bertanya-tanya sendiri.

Kenapa ia begitu memikirkan Tunggadewi dan Rajadewi?

Mereka berdua bukan apa-apanya. Mereka adalah saudara Putra Mahkota!

Satu-satunya hubungan yang ada ialah bahwa Upasara pernah terkena daya asmara
Gayatri. Dan sekarang Gayatri yang telah berubah menjadi Permaisuri Rajapatni itu
mempunyai dua putri.

Lalu kenapa ia begitu menguatirkan?

Lalu kenapa ia mulai memperhitungkan bahwa sebagai lelaki, Putra Mahkota
tak diperkenankan masuk ke dalam kaputren. Suatu pantangan besar. Walau hanya
menemui saudaranya. Untuk hal semacam ini ada tempat pertemuan tersendiri.

Tak perlu datang ke kaputren.

Begitu pula sebaliknya. Para putri tak diizinkan masuk ke gerbang ksatrian!

Nyatanya Putra Mahkota masuk dengan leluasa, bersama para pengawalnya
yang setia.

Untuk apa sesungguhnya ia memikirkan ini semua?

Meskipun Upasara Wulung dikenal di seluruh jagat sebagai ksatria yang sakti,
yang menguasai ilmu Bantala Parwa, akan tetapi dalam hal usia dan pengalaman
hidup masih sederhana. Apalagi yang menyangkut daya asmara. Boleh dikatakan
hanya tahu satu hal.


Bahwa sepanjang hidupnya, ia pernah hampir tertarik kepada Nyai Demang.
Dan kemudian benar-benar tertarik dan berangan-angan hidup bersama Gayatri.

Bagi Upasara, Gayatri adalah satu-satunya wanita yang pernah menghiasi
mimpinya, serta disebut namanya dalam doa dan semadinya.

Sewaktu kemungkinan untuk mendapatkan musnah, Upasara tak tahu lagi
harus berbuat apa.

Seperti sekarang ini.

Perhatian kepada nasib Tunggadewi dan Rajadewi adalah perpindahan dari
perhatiannya terhadap ibunya.

Itu yang menyebabkan Upasara tidak segera meninggalkan persembunyiannya.
Sampai Putra Mahkota dan rombongannya meninggalkan taman. Sampai burungburung
tak lagi berkicau. Sampai purnama memancarkan sinarnya.

Upasara tak beranjak dari tempatnya.

Menunggu kalau-kalau bayangan Tunggadewi dan Rajadewi muncul kembali.
Betapa menyenangkan kalau ia bisa menghibur. Mencarikan kupu-kupu atau

menangkapkan burung.

Tetapi tak ada bayangan yang ditunggu.

Tak ada suara kaki anak-anak yang lembut beringsut. Yang terdengar adalah

langkah lembut bergeser, seakan ada kain yang disapukan ke lantai kaputren.

Tiga langkah yang berbeda.

Satu langkah sangat ringan, sedangkan dua langkah yang lain kelihatan berat,

ragu, dan berada di belakang.

Mulut Upasara terkunci, manakala mengetahui suara langkah kaki itu
mendekat ke arahnya.

Dan dari ujung muncul bayangan, hampir seluruhnya gelap oleh cahaya bulan
yang membelakangi ketiganya.


Kalau dua bayangan itu dayang-dayang Keraton, berarti yang satunya adalah
tuan putri.

Darah Upasara makin cepat berdesir. Pandangannya menyipit. Apakah yang
muncul itu Gayatri? Permaisuri Rajapatni yang menyempatkan diri datang? Karena
mendengar cerita kedua putrinya yang memperlihatkan cundhuk padanya?

Nyatanya begitu.

Bayangan yang di depan terus mendekat ke arah Upasara.

Sementara kedua tangannya mengibas pelan, dan dua dayang yang seakan

menjadi bayangannya berhenti, dan duduk bersila.

Bayangan yang mirip Gayatri itu mendekat.

Lembut langkahnya. Seirama dengan sinar bulan, dengan alam kaputren.

Lalu berhenti beberapa saat.

"Kakang, kamukah yang menjadi demit itu?

"Benarkah kamu Kakang Upasara, kakangku?"
Inilah Kakangmu, Yayi...
SUKMA Upasara melayang sempurna.

Seakan moksa, lenyap bersama raganya. Tubuhnya tetap berada di tempatnya,
akan tetapi serasa tak ada.

Suara itu adalah suara lembut yang pernah mengusik telinganya, menerobos
jantungnya, dan mengalir dalam darahnya. Suara Gayatri, wanita pertama yang
mengguncangkan kesadaran Upasara akan sesuatu yang lain.

Setelah mengenal Gayatri, Upasara menemukan makna-makna yang lain, yang
berbeda dari yang selama ini dialami. Dinding gerbang Keraton Majapahit
mengingatkan dinding gerbang Keraton Singasari, di mana ia pernah memahatkan
kidung kerinduan. Menaiki seekor kuda, Upasara terbetot kembali sukmanya.

Hanya karena ia pernah berkuda bersama.


Betapa tiba-tiba alam sekitar dan suasana memperlihatkan warna yang tak
dikenali sebelumnya. Adalah aneh bahwa pohon yang sama dengan buah yang sama,
seakan bisa bercerita panjang tanpa awal tanpa akhir, tanpa pembuka tanpa penutup.

Upasara tak pernah mengalami sebelumnya.

Sepanjang hidupnya, ia bisa memusatkan pikiran dengan penguasaan yang
selalu dipuji gurunya yang pelit memberikan rasa kagum. Akan tetapi sekali ini, justru
ketika ia mengalihkan ke arah lain, bayangan Gayatri makin jelas.

Dan sekarang, yang begitu dirindukan itu berdiri di depannya,
menengadahkan wajah ke arahnya. Dengan suara alam yang dulu, dengan perasaan
yang menyambar-nyambar jantungnya.

Suara yang secara tak sengaja menyelinap dalam mimpi dan lamunan. Suara
menggeletar seakan berbisik di daun telinganya seperti dulu juga.

"Kakang, aku datang untuk menemui Kakang.

"Sewaktu putriku datang dan bercerita tentang demit pembawa cundhuk yang
pernah kutitipkan Paman Sora, aku yakin Kakang yang datang.

"Kakang, aku tak tahu apakah Kakang telah menjadi demit atau roh yang
gentayangan karena penasaran.

"Aku berdoa kepada Dewa yang Maha agung, agar Kakang mendapat tempat
yang sempurna-bahagia-selamanya."

Tidak, Yayi, tidak. Akulah Upasara Wulung, bersembunyi di sini, masih hidup.
Aku belum menjadi demit. Aku masih di jagat dan lebih bahagia di sampingmu, Yayi.
Memandangmu.

"Kakang, kudengar berita Kakang muncul di alun-alun. Rasanya aku tak
percaya Kakang mau datang ke Keraton. Rasanya tak mungkin Kakang mau menemui
bayanganku lagi.

"Aku tak cukup berharga untuk ditemui.

"Tetapi aku tak bisa menutupi keinginan dalam doa-doaku, bahwa sebelum
aku menuju alam nirwana, aku bisa melihat Kakang."


Upasara menutup matanya.

Bibirnya gemetar, menahan getaran dadanya yang bergelombang.

Itulah Gayatri!

Tetap Gayatri yang dikenalnya dulu. Yang lembut tetapi menyimpan
kekerasan. Pelan bicaranya, akan tetapi menggantungkan kepastian yang begitu
mendalam. Gayatri-lah yang berani memulai membicarakan hubungan mereka
berdua. Gayatri yang putri Baginda Raja Singasari yang mulai membuka persoalan dan
mengakui bahwa ia akan menerima Upasara andai Upasara datang memintanya!

Sesuatu yang tak pernah mampir dalam benak Upasara.

Seorang gadis, apalagi bunga segala bunga Keraton, lebih dulu membuka
pembicaraan ke arah itu. Dengan mata bening menatap ke arah Upasara.

Sambil mengatakan bahwa bibirnya terpaksa memulai bicara karena yakin
Upasara tak pernah berani memulai. Nyatanya begitu.

Upasara tak tahu harus berkata bagaimana saat itu. Hatinya dipenuhi dengan
bunga-bunga harapan, bunga-bunga impian. Sedemikian penuhnya sehingga hanya
bisa menunduk bisu.

Sesungguhnya Upasara tak tahu harus bagaimana.

Daya asmara telah menutup semua kemampuannya. Selama hidupnya Upasara
hanya mengenal dua wanita yang pernah membuatnya tertarik. Diakui bahwa yang
pertama adalah Nyai Demang. Wanita gemuk dengan pantat besar itu sangat
menggoda berahinya yang sedang tumbuh. Namun kemudian Upasara menyadari
bahwa hal itu akan dialami semua lelaki yang berhubungan dengan Nyai Demang.

Dengan cepat Upasara bisa melupakan tanpa beban.

Sungguh berbeda perkenalannya dengan Gayatri. Di mata Upasara, Gayatri
wanita yang sangat sempurna. Bukan hanya karena putri Baginda Raja, bukan karena
cantik jelita, melainkan juga karena seolah Gayatri menjawab semua kerinduannya
akan wanita.


Kerinduan akan wanita yang berkulit halus, yang lembut gayanya akan tetapi
mampu berterus terang. Kerinduan akan wanita yang sebenarnya.

Gayatri menjawab segalanya!

Sejak pertemuan dan perjalanan bersama dari desa Tarik menuju Singasari,
sejak itu pula bersemi semua akar asmara. Daya asmara yang lekat tumbuh di semua
bagian tubuh Upasara. Dalam pertempuran antara mati-hidup melawan Naga-Naga
dari Tartar, Upasara nekat menyabung nyawa. Demi Gayatri. Justru ketika Sanggrama
Wijaya merasa tak memperhitungkan lagi.

Betapa luas dan dalam pengaruh daya asmara.

Pertarungan yang bukan hanya mempertaruhkan nyawa, akan tetapi seperti
anai-anai menyerbu ke api. Para senopati pilihan tak bisa menang dalam pertempuran
utama. Tetapi Upasara nekat maju menggempur.

Betapa bahagianya Upasara ketika usahanya berhasil. Membebaskan Gayatri.

Betapa sakitnya ketika Sanggrama Wijaya mengatakan bahwa Gayatri akan
dipermaisuri olehnya karena suratan para Dewa yang didengar para pendeta adalah
Gayatri tak akan terpisahkan dari Sanggrama Wijaya.

Upasara memilih mundur.

Menyembunyikan diri di Perguruan Awan. Menolak segala anugerah,
termasuk menjadi mahapatih. Menolak menemui Gayatri yang sudah bergelar
Permaisuri Rajapatni ketika diculik Klikamuka yang ternyata adalah Halayudha.

Upasara menghindar karena tak ingin melukai perasaan Gayatri. Baginya,
penderitaannya tak menjadi suatu apa, asal Gayatri bahagia sebagai permaisuri.

Adalah di luar jangkauan pikirannya, bahwa justru Gayatri yang merasa
berdosa. Gayatri-lah yang merasa bersalah karena meninggalkan Upasara. Sehingga
merasa pantas jika Upasara tak sudi menemuinya.

"Kakang, katakan apa keinginan Kakang.

"Aku akan melakukan sebisaku, agar Kakang tenteram dan bahagia. Katakan,
kakangku."


Sukma dan raga Upasara hanyut.

Terserap kekuatan yang tak mampu dikuasainya. Walaupun dirinya disegani
semua lawan dan kawan karena ilmunya yang tinggi, tetap saja ia seorang yang tak
mampu menguasai terkaman daya asmara. Dalam Kitab Bumi yang dikuasai, tak
pernah disebut-sebut mengenai daya asmara. Tidak juga jurus-jurus yang dikenal
sebagai Jalan Budha ataupun Tepukan Satu Tangan.

Daya asmara yang dijabarkan adalah daya asmara untuk menyatukan dengan
Dewa Segala Dewa, untuk berbakti kepada tanah air kelahiran, untuk menjunjung
tinggi Keraton.

Bukan daya asmara antara lelaki dan wanita.

Sekian tahun Upasara menyembunyikan perasaannya. Bahkan kilasan
lamunan pun ditolak. Akan tetapi ia tak bisa mendustai sudut hatinya yang suci.

Bahwa Gayatri tetap mampu menggeletarkan hatinya. Tetap dirindukan, di
atas segalanya.

Dan ternyata Gayatri pun merasakan hal yang sama. Tetap menyempatkan diri
untuk menitipkan cundhuk. Tetap datang ke taman begitu merasa bahwa Upasara
muncul.

Bagi permaisuri, apa yang dilakukan Gayatri adalah pertarungan nasib yang
luar biasa. Betapa aibnya jika diketahui bahwa Permaisuri Rajapatni yang jelita itu
keluar dari kamarnya, untuk menemui lelaki!

Aib dan hina.

Nista yang akan disandang semua anak-cucunya. Tak bisa disucikan dengan
menyiramkan seluruh air Kali Brantas sekalipun.

Kalau bukan karena daya asmara yang sama, tak mungkin Gayatri mencarinya.

"Kakang..."

Yayi...

"Kakang..."


"Yayiku..."
Upasara tersentak.
Tersadar bahwa ada suara lain yang mengutarakan isi hatinya. Betapa kaget


Upasara melihat bayangan mendekati Permaisuri Rajapatni dan sekaligus memanggil
"yayiku".

Raja Kertarajasa Jayawardhana!

Suaminya, rajanya, pemiliknya!

"Yayi Ratu... sudahlah... Jangan membiarkan tubuhmu disinari bulan tengah
malam. Kurang baik. Temani aku di dalam. Yang lalu biarlah berlalu.

"Rembulan dan matahari mempunyai tatanan sendiri.

"Kenapa berharap rembulan kalau ada matahari bersinar terang?"

Baginda menggerakkan tangannya lembut dan berlalu.

Gayatri menyembah, mengikuti dengan menunduk. Tak sedikit pun
menengok ke arah Upasara.

Semuanya berlalu, begitu cepat dan sempurna.
Jalan Keutamaan di Trowulan
UPASARA masih terkesima.

Pandangan kosong tak bertenaga.

Kosong yang berbeda dari beberapa kejap sebelumnya. Kosong yang sekarang
ini adalah kosong nelangsa, kosong yang hampa.

Belum satu tarikan napas, sukmanya seperti dilambungkan ke langit tingkat
tujuh. Segala impiannya berubah menjadi kenyataan. Bahkan lebih dari yang
diharapkan. Gayatri datang menemuinya.

Hanya sekejap.


Berubah menjadi kenyataan lain.
Gayatri adalah Permaisuri Rajapatni, yang kemudian mengikuti langkah kaki


Baginda.

Tak bisa lain.

Selesai.

Kembali seperti semula.

Kenyataan yang ada, bahwa kerinduannya adalah siksaan yang sia-sia. Bahkan

wanita yang dipujanya adalah permaisuri seorang raja yang berkuasa.

Sejak semula Upasara menyadari hal ini. Sejak melepaskan niatnya untuk
mendampingi Gayatri. Sejak mendengar Gayatri mempunyai putri. Akan tetapi dalam
kenangan Upasara, Gayatri masih Gayatri yang dulu menyertai. Putri-putrinya adalah

putri yang manis pemberian Dewa.

Sekarang, matanya melihat sendiri.

Gayatri-nya adalah Rajapatni yang menyertai suaminya, rajanya, pemiliknya

yang sah. Berjalan bersama, menuju tempat yang tak diganggu sinar bulan berhawa
dingin.

Beberapa kejap Upasara masih bengong.

Sebelum akhirnya memutuskan untuk segera meninggalkan tamansari.
Bayangan ingin menemui Tunggadewi dan Rajadewi mendadak sirna. Yang ingin
dilakukan seketika adalah meninggalkan kaputren. Dan itu yang segera dilakukan.

Dengan sekali menjejak tanah, tubuh Upasara melayang melewati dinding
kaputren. Tanpa menimbulkan kecurigaan penjaga, Upasara meloncat ke arah
bangunan Keraton.

Pandangannya sempat melirik ke bawah.

Di salah satu bangunan itu, Gayatri bersama Sanggrama Wijaya.

Ah, bagaimana nasibnya?


Bukankah Baginda mengetahui apa yang dikatakan Permaisuri Gayatri?
Mendengar jelas apa yang diucapkan dengan suara lembut? Yang berarti mengetahui
kenangan Gayatri akan Upasara?

Kemurkaan macam apa yang akan ditumpahkan?

Dosa dan hukuman apa yang akan ditanggung?

Upasara merasa bingung. Semalaman penuh ia berlarian kian-kemari di atas

bangunan Keraton.

Upasara berharap mendengar tangis Gayatri atau penyiksaan. Itu satu-satunya
alasan untuk mendobrak, dan dengan Kangkam Galih di tangan kirinya, ia akan

melabrak masuk.

Menyapu bersih yang menghalangi.

Tapi tak ada isak tangis.

Di kamar peraduan, Permaisuri Rajapatni tak meneteskan air mata. Hanya bisa

menunduk, tepekur, ketika Baginda menghela napas.

"Yayi Ratu, aku tak percaya ketika para emban melaporkan bahwa Yayi Ratu
menuju tamansari di tengah malam. Hanya untuk bercakap dengan sukma Upasara.

"Yayi. Aku merasa bersalah karena tak memberitahumu. Bahwa Upasara

Wulung memang telah terkubur hidup-hidup di dalam gua bawah Keraton.

"Kalau aku tahu, aku akan mencegah Halayudha melakukan hal itu.

"Tetapi semuanya telah terlambat.

"Apakah kamu menginginkan aku menghukum Halayudha?"

Permaisuri Rajapatni tetap menunduk.

Tak bergeser seujung rambut caranya duduk.

"Kamu ini aneh, Yayi Ratu.


"Dengan arwah bisa bicara panjang-lebar, akan tetapi dengan raja yang masih
berkuasa, kamu membisu.

"Apa sebenarnya kekuranganku?

"Apakah ada lelaki di jagat ini yang bisa menyamaiku? Apalagi melebihiku?
Katakan, aku bisa melihat siapa lelaki ajaib itu.

"Tak ada, Yayi.

"Tak ada.

"Dari ujung kaki langit hingga ujung kaki langit yang lainnya, tak akan ada
yang menyamaiku.

"Katakanlah. Atau dengan mengangguk saja, aku bisa memperlihatkan kepala
Halayudha di depanmu."

Permaisuri Rajapatni bergeming.

Suasana sangat hening.

Kecuali suara Baginda yang melengking.

"Yayi Ratu Rajapatni.

"Kamulah satu-satunya sumber kekuatanku. Kalau kamu tersenyum sedikit
saja sejak semula, aku tak akan menunjuk Bagus Kala Gemet menjadi putra mahkota.

"Tetapi kamu selalu membisu.

"Tertipu oleh bayanganmu.

"Sesungguhnya, Yayi Ratu, kamulah wanita yang paling bahagia, tetapi
sekaligus juga paling sengsara. Aku mendapatkan tubuhmu, tetapi bukan sukmamu.

"Tetapi kamu tak mendapatkan apa-apa.

"Upasara tak mendapatkan apa-apa.

"Tidak sukma, tidak juga raga.


"Bukankah aku tetap tak bisa dikalahkannya?"
Tak ada isak tangis.
Tak ada air mata.
Tetapi lolongan serigala yang kesakitan, ringkik orang hutan yang kesakitan,


kalah menyayat dengan apa yang dirasakan oleh Gayatri. Juga oleh Baginda.

Dan oleh Upasara. Yang masih terus mengelilingi Keraton hingga fajar dini
hari. Baru ketika embun pagi terasakan, Upasara melompat keluar dari benteng

sebelah luar.

Berjalan tanpa tujuan.

Mengitari dinding alun-alun. Pandangannya tertegun melihat satu rangkaian

tulisan yang dipahatkan di dinding:

satu-satunya jalan keutamaan

hanya di Trowulan

satu-satunya lelaki sejati

bisa melewati

menjadi lelananging jagat

Yang membuat Upasara bertanya-tanya ialah bahwa tulisan itu dibuat dalam
beberapa bahasa dengan beberapa huruf. Seakan ditujukan untuk mereka yang tak
mengerti bahasa setempat.

Upasara jadi teringat bahwa akan ada pertemuan para ksatria seluruh jagat. Di
antaranya, Paman Sepuh Dodot Bintulu, yang keluar dari sarangnya. Jika benar
begitu, tulisan di dinding itu juga ditujukan kepadanya. Meski tanpa itu pun,
barangkali Upasara akan berangkat ke sana. Bukan karena ingin berebut gelar sebagai
lelananging jagat atau ksatria nomor satu di seluruh jagat, akan tetapi karena masih
ada yang perlu dibuat perhitungan dengan Paman Sepuh.

Yaitu soal balas dendam kematian Pak Toikromo dan Galih Kaliki!


Hanya ini yang tersisa dalam diri Upasara sebagai sesuatu yang harus dilakukan
sebelum akhirnya tak peduli dengan sisa hidupnya.

Tanpa membuang waktu, Upasara segera berangkat menuju desa Trowulan.
Untuk mencari tahu siapa-siapa yang datang yang berebut gelar, dan mencari Paman
Sepuh.

Upasara makin yakin karena di berbagai tempat juga ada tulisan terpahat
dengan bunyi yang sama yang disalin dalam beberapa huruf dan bahasa. Di antaranya
adalah bahasa dan huruf yang dulu digunakan oleh pasukan Tartar. Serta huruf-huruf
dari tlatah Hindia.

Walau keinginannya menggebu, Upasara tak mau bertindak sembrono. Karena
mengetahui bahwa yang akan datang ke Trowulan adalah jago dari segala jago, ksatria
dari segala ksatria. Yang kalau dilihat sekelebatan mungkin tak ada bedanya dengan
penduduk biasa.

Akan tetapi pasti, beberapa ksatria dari penjuru yang lain berdatangan.
Undangan terbuka di dinding pasti terbaca dan terpahami oleh yang lain.

Upasara merasa yakin, ketika dalam perjalanan melihat bayangan tubuh
Jaghana dan Wilanda di tepi Kali Brantas.

Paman Jaghana dan Paman Wilanda.

Dua tokoh utama yang sejak awal tak pernah meninggalkan Perguruan Awan.
Yang tak terpengaruh oleh angin dan badai yang betapapun hebatnya terjadi dalam
dunia persilatan.

Apalagi untuk waktu sekarang ini.

Sewaktu memperhatikan lebih teliti, Upasara makin yakin bahwa wajah-wajah
yang ditemui seperti berasal dari wilayah yang lain. Cara mereka berdiam, tanpa
banyak kata, juga seakan menyembunyikan asal-usul kedatangan mereka.

Upasara makin berhati-hati. Dulu semua ksatria juga datang ke Perguruan
Awan karena perangkap yang dipasang Ugrawe. Bukan tidak mungkin hal yang sama
bisa terjadi. "Walau Ugrawe telah tiada. Upasara tak menduga bahwa Halayudha yang
memasang jerat!

Membasmi Hingga Cindil Abang


Halayudha sudah menyiapkan semuanya.

Begitu lolos dari kurungan bawah Keraton, Halayudha langsung menghadap
Baginda. Serta-merta menyerahkan diri, minta hukuman mati.

"Menjatuhkan hukuman mati bagimu, tak perlu mencuci tangan lebih dulu.
Tetapi katakan, apa kesalahanmu."

Dengan segala kecerdikannya, Halayudha menyusun laporan bahwa
sebenarnya ia sangat berdosa, karena bersedia dititipi cundhuk kenangan dari
Permaisuri Rajapatni buat Upasara. Selama ini ia tak berani melapor ke Baginda.
Namun ia mengambil prakarsa sendiri untuk mengurung Upasara secara hidup-hidup.

Itulah yang diakui sebagai dosa.

Hal yang kedua yang disampaikan ialah bahwa para jago silat akan berebut
kesaktian. Maka Halayudha ingin mengalihkan medan pertempuran ke Trowulan.
Agar pihak Keraton tidak terseret, sebaiknya Halayudha secara pribadi yang
menangani. Mohon petunjuk Baginda.

Dalam situasi seperti itu, Baginda lebih terpukul oleh berita bahwa
permaisurinya ternyata masih menyimpan kenangan terhadap Upasara. Maka
keinginan Halayudha diluluskan, sementara Baginda ingin menyelidiki Permaisuri.

Kepada Mahapatih Nambi, Halayudha menjelaskan bahwa sebenarnya ia
hanya menjalankan tugas menangkap Upasara-hidup atau mati. Karena Upasara
sangat kurang ajar berani berhubungan dengan Permaisuri.

Karena Upasara mempunyai pengikut yang banyak, atas nama Baginda
Halayudha akan membawa senopati pilihan menuju Trowulan. Padahal ia sendiri
yang menyebarkan undangan bahwa tempat pertemuan di Trowulan.

Dengan membawa senopati pilihan, Halayudha siap melaksanakan semua
impiannya. Menyapu bersih lawan-lawannya. Bagi Halayudha tumpes tekan cindil
abang, atau menumpas hingga anak tikus yang masih merah, adalah siasat habishabisan.
Artinya akan menumpas lawan hingga habis.

Cindil adalah anak tikus, abang, berarti merah. Jadi bahkan bayi tikus yang
masih merah pun harus dibasmi, kalau ingin memusnahkan lawan hingga ke akarakarnya.



Halayudha tak mempunyai pilihan lain, karena sekarang ini yang
bermunculan adalah tokoh-tokoh sakti mandraguna, dalam tingkat yang sulit
ditandingi.

Paman Sepuh Dodot Bintulu, yang adalah gurunya sendiri, tak mungkin bisa
dihadapi. Untuk itu satu-satunya cara menghadapi adalah mengadu dengan Kiai
Sambartaka-yang pernah disebut-sebut Naga Nareswara. Atau juga dengan ketiga
Kangkam yang rasanya setanding dengan mereka. Dengan perhitungan masih
mungkin muncul empu-empu yang kampiun, Halayudha menyiapkan satu medan.

Saat itu ia justru akan melibatkan para senopati Keraton, termasuk Mahapatih
Nambi. Sebab ganjalan utamanya tinggal Mahapatih Nambi. Kalau Mahapatih bisa
ditarik ke medan pertempuran, berarti pulang hanya tinggal nama.

Ia bisa merebut posisi.

Ia bisa mengganti.

Apa susahnya melaporkan kepada Baginda, bahwa Mahapatih Nambi sudah
diberitahu untuk tidak terlibat, akan tetapi ingin memperlihatkan kekuatannya.

Halayudha sedikit kecewa, karena sebenarnya ingin mengajukan satu nama
agar sepadan. Yaitu Raja Segala Naga atau Naga Nareswara. Hanya saja ia telah
telanjur menguburnya hidup-hidup dengan Gendhuk Tri.

Kalau tidak, ini benar-benar menjadi pertarungan puncak di atas puncak. Para
pendekar utama dari Tartar, Hindia, Jawa, Jepun, bertarung menjadi satu.

Dari sekian banyak nama, Halayudha hanya takut pada satu nama, yaitu
gurunya sendiri. Rasa bersalah tidak terlalu menghantuinya, akan tetapi kalau
mengingat pembalasan yang akan diterimanya, membuat tetap gelisah.

Banyak tipu muslihat bisa dilakukan dengan sempurna tanpa berkedip. Namun
sekali ini Halayudha bergidik. Karena tahu persis apa tindakan yang akan diambil
gurunya yang sakti.

Halayudha terpaksa memutar otak untuk tidak sampai bertemu dengan
bayangan gurunya!


Satu-satunya jalan ialah mengundang para ksatria. Semakin banyak ksatria
bermunculan, dirinya akan semakin tersembunyi. Maka yang dikerahkan ikut muncul
secara diam-diam adalah para senopati pilihan.

Halayudha melihat bahwa undangan yang digoreskan di dinding banyak
menarik perhatian para ksatria. Dalam perjalanannya, ia segera mengenali bahwa
kedua belas murid Kiai Sumelang Gandring ikut datang. Lengkap seluruhnya.

Demikian juga Jaghana dan Wilanda yang datang tanpa penyamaran. Satu
langkah telah berhasil. Menggerakkan semua ksatria ke suatu tempat.

Yang segera bisa dikenali ialah hadirnya Kama Kalacakra dan Kama Kalandara.
Karena ikatan kucir di rambutnya maupun kepalanya yang separuh botak. Hanya saja
Halayudha masih was-was karena guru mereka berdua-tokoh utamanya, Kama
Kangkam-belum kelihatan.

Dukuh Trowulan mendadak berubah dengan datangnya tokoh-tokoh yang
kelihatan saling berdiam diri.

Upasara yang sepenuhnya menyembunyikan diri merasa bahwa udara di
dukuh itu makin panas dan berbau kematian. Kekuatiran terbukti ketika keesokan
harinya sebagian atau seluruh penduduk Trowulan terbunuh.

Tubuhnya terbelah dengan sabetan miring!

Ini berarti Paman Sepuh Dodot Bintulu sudah bereaksi untuk memperlihatkan
diri. Tokoh sakti yang sejajar dengan Eyang Sepuh dan Mpu Raganata ini ternyata
begitu ringan tangan untuk menyapu bersih semua penduduk setempat.

Menyaksikan begitu banyak mayat bergeletakan, Upasara tak bisa menahan
dirinya lagi. Dengan gagah perkasa ia menuju ke suatu tanah terbuka.

Satu tangan memegang Kangkam Galih, Upasara berteriak mengguntur,

"Kesaktian dan bukan kesaktian tidak dibuktikan dengan membunuh
penduduk tanpa dosa.

"Kalau memperebutkan Jalan Budha, kenapa harus melewati jalan yang sesat.


"Hari ini aku, Upasara Wulung, menunggu di sini. Aku datang untuk
menerima undangan, dan siap dengan segala apa yang terjadi. Bukan seperti
penduduk setempat yang tidak tahu segala apa.

"Hari ini, aku menunggu di tempat ini."

Serentak dengan itu semua pandangan tertuju kepada Upasara. Wilanda dan
Jaghana segera meloncat mendekat dan saling melemparkan senyum hormat.

Kelihatan jelas dari pandangan mereka berdua banyak yang ingin dibicarakan,

akan tetapi bisa dipendam.

"Aku, Upasara Wulung, dari Nirada Manggala, menunggu di sini."

Belum habis ucapan Upasara Wulung, kedua belas murid Kiai Sumelang
Gandring sudah membentuk barisan yang mengepung. Bagian awal serangan
Jiwandana Jiwana.

"Kami murid Kiai Sumelang Gandring mohon dengan sangat diikutkan dalam
memilih jalan utama ini."

Kama Kalacakra dan Kama Kalandara juga maju sambil membungkukkan
badan.

"Kami berdua mewakili guru kami untuk menanyakan mengapa bukan Eyang
Sepuh sendiri yang datang menyambut, mengingat kami datang dari jauh."

Upasara balas menghormat.

"Maaf, Kisanak dari Jepun. Saya tak bisa mengatakan apa dan bagaimana
mengenai Eyang Sepuh pepunden, yang kami muliakan. Beliau telah menyerahkan
segala tanggung jawab Perguruan Awan kepada kami."

Jaghana dan Wilanda ikut mengangguk hormat.

"Kalau begitu caranya, rasanya tak perlu guru kami datang sendiri. Cukup
diwakili kami berdua."

"Kalau itu yang dikehendaki, silakan."


Mendadak terdengar sindiran halus tapi menyayat.

"Segala tikus celurut Jawa ini hanya pintar memutar lidah. Mana mungkin
kalian tetap menghormati Eyang Sepuh yang bahkan muncul pun tak berani?

"Bagaimana kalian bisa mengatakan menciptakan ilmu Tepukan Satu Tangan
kalau tak berani mempertanggungjawabkan? Cabut kembali ucapan pemilik Kitab
Bumi."

Ternyata Naga Nareswara yang mengucapkan itu. Ia tetap duduk bersila,
hanya saja tubuhnya terangkat setengah tombak dari tanah.

Yang membuat Upasara merasa heran ialah ternyata di sebelah pendeta Tartar
ini ada Gendhuk Tri!

"Kalian semua salah tampa. Akulah penulis Bantala Parwa dan bukan si bejujag

yang mengaku mendirikan Perguruan Awan.

"Kepadakulah kalian meminta pertanggungjawaban.

"Namaku tak ada, tapi mereka menyebutku Dodot Bintulu!"

Dengan wajah tetap tertutupi caping besar, Paman Sepuh Dodot Bintulu

duduk di atas tongkat bambu yang kurus. Walau tubuhnya bergoyang-goyang seakan
mau jatuh, akan tetapi ternyata kelihatan enak.

"Kalau semua sudah datang, alangkah baiknya kita mulai pertemuan ini.

"Sebelumnya aku minta maaf, kalau di antara yang datang masih suka makan
nasi, harap menyingkir."

Terdengar suara sangat berat sekali nadanya. Membuat sesak!
Pertarungan Penghabisan di Trowulan
UDARA seperti terimpit. Seperti menyempit di tenggorokan.

Betul-betul pameran tenaga dalam yang sangat sempurna.


Untuk sementara Upasara tak bisa menentukan siapa yang berbicara. Baru
kemudian menyadari bahwa arah suara dari sebelah kanannya, dari seorang lelaki
yang tinggi, dengan tangan terlipat di dada. Tanpa menggerakkan bibir.

Yang lebih membuat Upasara bertanya-tanya ialah bahwa Nyai Demang ada si
samping tokoh sangat jangkung itu.

"Selamat datang, Kiai Sambartaka, aku sudah menunggu lama."

"Aha, kamu tak pernah mau kalah. Aku membawa wanita, kamu juga
membawa. Untuk sementara, kita berdua belum ada yang kalah. Untuk sementara ini
saja."

Upasara memang tak begitu mengenal nama Kiai Sambartaka. Akan tetapi
melihat bahwa hanya dengan suara perut-tanpa menggerakkan bibir-bisa menguasai
seluruh udara di tanah terbuka, ini sungguh luar biasa.

Kesempurnaan penguasaan tenaga dalam yang Upasara pun merasa tak mampu
melakukan.

Bahwa yang mengenali dan mengenalkan adalah Naga Nareswara, agaknya
antara dua tokoh sakti itu sudah ada hubungan sebelum ini.

"Sahabat-sahabat lama, aku senang dengan pertemuan ini.

"Tak percuma Dodot Bintulu datang kemari.

"Mari kita mulai saja, daripada yang Naga juga menjadi tikus celurut karena
banyak bicara."

Tanpa terasa Upasara memegang erat Kangkam Galih. Jaghana dan Wilanda
mengumpulkan tenaga di dada.

Siapa pun yang berada dalam keadaan seperti sekarang ini, rasanya tak bisa
menyembunyikan ketegangan yang ada. Perkecualian utama barangkali hanya pada
Kiai Sambartaka, Naga Nareswara, maupun Paman Sepuh.

"Mana bisa main gempur seperti semut?"

Mendadak Nyai Demang berteriak nyaring.


"Kalau kita semua menginginkan disebut sebagai pewaris tunggal sari ajaran
yang kita agungkan, kita bisa bertarung satu lawan satu."

"Tak perlu, tak perlu.

"Wanita selalu merepotkan. Biar saja kita bertempur terus. Siapa yang berdiri
terakhir, itu yang berhak mengaku paling murni ilmunya."

Paman Sepuh nampak bergoyang-goyang tubuhnya.

"Paman Dodot Bintulu, kalau Paman tak mau diatur, silakan mulai saja."

"Memang!

"Ayo, siapa yang akan mulai?

"Naga tikus yang berani mengatakan aku mencuri ilmunya? Ayo maju saja.
Akulah yang menciptakan Bantala Parwa. Kutulis sendiri, dengan tanganku yang ini."

"Baik, Kakek Guru, sekarang saatnya memperlihatkan ilmu yang
sesungguhnya. Itu sudah jelas lawannya."

Suara Gendhuk Tri membuat Nyai Demang mengerutkan keningnya.

Apakah tak salah dengar, sampai Gendhuk Tri memanggil Kakek Guru kepada
Naga Nareswara?

Kalau Nyai Demang merasa heran, Gendhuk Tri pun sebenarnya tak mengerti
bagaimana Nyai Demang bisa mendampingi Kiai Sambartaka!

Padahal kalau diterangkan dengan satu-dua kata, bisa saling mengerti.

Pertemuan Gendhuk Tri dengan Naga Nareswara boleh dikatakan pertemuan
tak sengaja. Setelah terjebak dan terkurung, Gendhuk Tri mulai menggali tanah.
Terus-menerus tanpa peduli lelah dan istirahat. Naga Nareswara jadi tergerak hatinya.

Dan melihat bahwa Gendhuk Tri tetap mempunyai semangat hidup yang luar
biasa. Tak surut sedikit pun! Sesuatu yang tak diduga Naga Nareswara. Bahwa ada
"tikus" yang melihat jauh ke depan.


Usaha Gendhuk Tri memang melelahkan dan nyaris membuat putus asa.
Hanya karena kebetulan pernah terkurung dalam gua saja, maka Gendhuk Tri
mempunyai harapan. Pasti ada jalan keluarnya. Masalahnya hanyalah apakah ia
mampu berpacu dengan maut yang datang atau tidak?

Mengingat itu Gendhuk Tri jadi makin bersemangat.

Itu pula yang menggerakkan Naga Nareswara ikut menggangsir tanah. Tentu
saja lebih cepat.

Beberapa hari tanpa makan tanpa minum, akhirnya tembus juga!

Tepat di tempat Upasara dikurung. Dan dengan bantuan Dewa Maut akhirnya
bisa lolos.

Satu-satunya yang menyebabkan Gendhuk Tri hampir menangis ialah bahwa
Dewa Maut yang begitu gembira berlonjakan melihatnya, tetap tak mau ikut keluar.

Gendhuk Tri tak tahu apakah itu berarti Dewa Maut sudah tak tertolong lagi
jiwanya atau malah sudah waras!

Dalam hati, Gendhuk Tri sangat iba. Terasa betul betapa sangat dekat
hubungan mereka selama ini, dan ia lebih banyak mengabaikan.

Keharuan ini sedikit cair karena mendengar cerita bahwa belum cukup lama
Upasara meninggalkan tempat itu. Maka ketika melihat undangan di dinding,
Gendhuk Tri segera mengajak Naga Nareswara menuju Trowulan!

Hanya Gendhuk Tri sangsi apakah Upasara sudah kembali seperti sediakala
atau masih cacat. Kemungkinan kedua yang masuk akal baginya. Sehingga Gendhuk
Tri seperti tak memedulikan Upasara, karena takut semua perhatian tertuju ke arah
Upasara yang sudah dikondangkan sebagai pewaris Kitab Bumi!

Hal yang sama, bukan sesuatu yang aneh, juga dirasakan oleh Nyai Demang.

Kekuatiran akan keadaan Upasara-lah yang menyebabkan ia setengah
menyembunyikan sikap akrabnya.

Perjalanan hidup Nyai Demang bisa bersama Kiai Sambartaka, meskipun bisa
disebut aneh, tidak terlalu mengherankan. Nyai Demang selalu berkelana, dan
kemampuannya menguasai berbagai bahasa dengan mudah membuat Kiai Sambartaka


erat dengannya. Nyai Demang bisa bercakap dengan Kiai Sambartaka dalam bahasa
Kiai Sambartaka, sementara Kiai Sambartaka bisa lebih berlatih. Lebih dari semua itu,
pandangan luas Nyai Demang akan berbagai ilmu membuat Kiai Sambartaka sangat
terikat. Apalagi Nyai Demang memperlihatkan bahwa ia cukup mengenal beberapa
jurus dari Tartar.

Bahkan bisa menghafal cara berlatihnya.

Benar-benar merasa mendapat sahabat yang diturunkan oleh Dewa di Langit!

Nyai Demang mendengar penuturan bahwa selama ini memang ada persaingan
antara Kiai Sambartaka terutama dengan Naga Nareswara. Maka kalau bisa lebih
mengenal, Kiai Sambartaka mau memberikan apa saja!

Kalau tadi Nyai Demang mengusulkan ada aturan pertarungan, semata-mata
untuk melindungi Upasara.

Kalau kemudian Gendhuk Tri membujuk Naga Nareswara menghadapi Paman
Sepuh, juga untuk melindungi Upasara.

Baru setelah kalimat itu diucapkan, baik Gendhuk Tri maupun Nyai Demang
menjadi merah wajahnya!

Gendhuk Tri, yang sudah bertambah umurnya beberapa tahun, merasa malu.

Hanya Upasara yang sama sekali tidak merasa bahwa sesungguhnya ia begitu
diperhatikan oleh Gendhuk Tri dan Nyai Demang.

"Kama murid, kalian berdua menghadapi anak-anak kecil. Yang tua urusan
saya."

Kama Kangkam maju ke gelanggang.

Pedang panjang dan juga pedang pendeknya digenggam bersamaan di depan dada.

"Saya Kama Kangkam, khusus datang dari Jepun untuk minta pelajaran.
Apakah ajaran di tanah Jawa, di tanah Hindia, atau di negeri Cina yang lebih benar?

"Biarlah anak-anak bermain sendiri, kita yang tua segera menyelesaikan
perkara."


"Bagus," kata Kiai Sambartaka. "Semua sudah lengkap. Saat ini kita tuntaskan
semua, dan mulai sekarang tak perlu lagi adu mulut untuk perkara semacam ini."

Paman Sepuh meloncat turun dari tongkatnya.

Naga Nareswara menurunkan kakinya.

Kini berdiri gagah. Membentuk lingkaran bersama Kama Kangkam dan Kiai
Sambartaka.

"Tak begitu mudah menganggap kami kanak-kanak." Mendadak dua belas
murid Kiai Sumelang Gandring meloncat maju secara bersamaan.

Nyai Demang menarik napas.

Ia paling mengenal kehebatan barisan Jiwandana Jiwana atau Tembang
Kehidupan. Apalagi kini dimainkan secara komplet. Dua belas orang. Sembilan orang
saja sudah sangat merepotkan!

Namun agaknya mereka salah perhitungan!

Salah besar.

Karena hanya dengan menggerakkan tongkat bambu tipis, anginnya sudah
cukup untuk menjatuhkan salah satu dari dua belas murid Kiai Sumelang Gandring.
Mati seketika dengan luka panjang miring dari samping. Yang di dekat Naga
Nareswara remuk kepalanya terkena tongkat emas. Yang di dekat Kama Kangkam
tertebas batang lehernya. Di dekat Kiai Sambartaka, jatuh muntah darah.

Suara Tanpa Nada, Angin Tanpa Suara

Bahwa yang berkumpul jago di atas jago, dewa dari semua tokoh persilatan, Nyai
Demang maupun Gendhuk Tri atau bahkan Upasara Wulung sudah tahu. Sudah bisa
memperkirakan keunggulan di atas keunggulan.

Akan tetapi tetap tak terbayangkan bahwa ilmunya sudah sedemikian tinggi,
sehingga dalam satu gebrakan sanggup menewaskan murid-murid pilihan Kiai
Sumelang Gandring, yang justru masuk serempak dengan komplet.

Hanya dalam satu gebrakan saja, sepertiga murid utama Kiai Sumelang
Gandring mati terbunuh!


Ini berarti kalau yang tersisa membuat gerakan menyerang yang sama,
hasilnya juga sama.

Diulangi lagi, berarti tamatlah riwayat anak turunan Kiai Sumelang Gandring,
empu sakti yang mengembara ke tlatah kulonan, ke wilayah barat. Dan dugaan Nyai
Demang tak meleset.

Empat bersaudara terbunuh tanpa sempat mengetahui gerakan lawan, delapan
yang tersisa justru menggempur maju. Dan kembali terlihat gerakan setengah terlihat
setengah tidak. Empat korban jatuh kembali.

Satu korban terbelah mencong dari bagian pundak menyamping. Satu lagi
tertebas lehernya. Yang ketiga rontok isi kepalanya bagai bubur. Yang keempat,
muntah darah hitam pun tak selesai. Gendhuk Tri mengeluarkan keringat dingin.

Pemandangan kali ini sungguh luar biasa. Ia mengikuti banyak pertempuran.
Bahkan terakhir kali bersama Naga Nareswara yang ganas lidah maupun ancamannya.
Namun baru sekarang terbuka matanya, bahwa Naga Nareswara memang pantas
mengumbar suara. Kalau tidak, tak mungkin bisa mengulangi gerakan yang sama
dengan hasil yang sama. Apalagi kalau diperhitungkan bahwa murid Kiai Sumelang
Gandring mempunyai kemampuan rata-rata sejajar dengan dirinya. Dan kalau
bergabung, bisa berlipat ganda kekuatannya. Toh nyatanya, mereka semua kelihatan
tak berdaya seperti nyamuk kelelahan yang tak bisa menghindar.

Keringat dingin Gendhuk Tri menjadi lebih banyak mengalir, jika mengingat
jangan-jangan para jawara ini sengaja memamerkan keunggulannya satu sama lain
dengan memakai korban mereka yang lancang menyerang.

Satu gebrakan lagi, benar-benar tamatlah barisan Jiwandana Jiwana.

Gendhuk Tri tak tahu harus berteriak menahan atau mengoceh seperti
biasanya. Pikirannya sangat kacau. Dan sebelum sadar sepenuhnya, terdengar aba-aba
dari empat murid sisa Kiai Sumelang Gandring.

Ada beberapa gerakan di tengah udara.

Dengan hasil akhir yang sama.

Satu tertebas kepalanya sebatas leher, satu luka menganga menyamping, satu
lagi remuk batok kepalanya, dan satu lagi mati dengan muntah darah!


Jaghana menghela napas sangat berat.

Setelah Upasara, Jaghana yang menyadari bahwa tiga kali serangan satu
gebrakan, dengan hasil yang sama ini, memperlihatkan beberapa perbedaan
mendasar.

Memang pada gebrakan yang pertama, Paman Sepuh yang membelah serong
lawan yang berada di dekatnya. Akan tetapi sebenarnya pada gebrakan kedua, bukan
Paman Sepuh Dodot Bintulu yang menyobek dengan gaya menebas semacam itu.
Melainkan tokoh lain. Kalau bukan Kama Kangkam, Naga Nareswara, atau Kiai
Sambartaka!

Ajaibnya, tokoh-tokoh unggul ini mengganti pula jurusnya dengan jurus yang
diandalkan tokoh lain!

Sementara Paman Sepuh mengganti jurus dengan meremukkan kepala seperti
yang dilakukan Naga Nareswara, sementara itu pula Naga Nareswara menebas leher
seperti yang dilakukan Kama Kangkam. Dan Kama Kangkam menirukan ilmu
Sambartaka, dan Kiai Sambartaka menggunakan jurus Paman Sepuh.

Hanya Jaghana tidak bisa memastikan siapa memakai jurus siapa pada
gebrakan kedua dan ketiga.

Nyai Demang yang menyadari kemudian menjadi terbatuk. Sebaliknya
Gendhuk Tri makin banyak keringatnya.

"Dalam satu gebrakan saja, para jawara ini bisa menirukan gebrakan maut
lawan, seakan tanpa cacat," katanya dalam hati. "Ini barangkali satu tingkat di atas
kesempurnaan.

"Walau Kakang Upasara adalah tokoh yang paling disegani selama ini dengan
penguasaan ilmu Kitab Bumi, rasa-rasanya masih tak mampu melakukan hal ini.

"Kalau bisa terpancing keempat tokoh yang bertarung ini, tanpa melibatkan
Kakang, barangkali..."

Gendhuk Tri pucat wajahnya, karena justru Upasara mengangguk dalamdalam,
sambil menggeser ke tengah arena pertempuran.


"Saya belum mampu menirukan kekejaman tanpa ampun yang kini tengah
dipamerkan. Akan tetapi bukan berarti wakil dari Perguruan Awan sebagai
pengundang bisa dikesampingkan begitu saja."

Dari kata-katanya jelas terbaca, bahwa Upasara Wulung siap dilibatkan dalam
pertarungan habis-habisan.

Wilanda dan Jaghana paling bisa mengerti bahwa tindakan Upasara terutama
karena beberapa kali disebutkan bahwa Eyang Sepuh yang menjadi pengundang.
Sungguh tak masuk akal, kalau sekarang Upasara Wulung yang menjadi penghuni
utama, dan dianggap guru dari Perguruan Awan, mencuci tangan. Apa pun alasannya!

Naga Nareswara mendesis.

"Tubuhnya masih bau air susu kerbau, bagaimana mungkin lidahnya bisa
memaki kita sebagai peniru?

"Apakah seorang ksatria sejati begitu pengecut sehingga takut dikatakan
meniru?

"Upasara, tikus gunung yang suka makan angin, sebelum ini aku mendengar
namamu sekilas disebut-sebut. Tapi agaknya kamu belum pantas mewakili siapa pun.
Carilah kesempatan lain. Di pasar malam, di alun-alun waktu terang bulan, kamu
akan menemukan kesempatan yang baik untuk memamerkan kebolehanmu.

"Bukan di sini."

Upasara menggenggam Galih Kangkam erat-erat.

"Saya yang menyingkirkan ketiga Naga dari Tartar, sudah sepantasnya saya
menjajal Naga yang menganggap dirinya raja. Atas nama penghuni Nirada Manggala,
Upasara Wulung siap menghadapi kedatangan Naga Nareswara..."

Nyai Demang menjerit.

Gendhuk Tri berkomat-kamit.

Tubuh Naga Nareswara bergerak, anginnya menggeleser, dan mendadak
tongkat emas menyabet ke arah Upasara! Tongkat yang dengan satu kali gebrakan
membuat batok kepala seperti adonan lumpur! Yang bisa untuk menebas leher sama
runcingnya seperti pedang panjang Kama Kangkam.


Wilanda yang berada di dekat Upasara terdorong mundur, karena dadanya
seperti ditusuk dengan sodokan berat yang membuat ngilu. Bahkan Jaghana pun
terpaksa memundurkan kakinya sampai empat langkah, surut ke belakang!

Sebaliknya, Upasara tidak beringsut sedikit pun.

Seluruh tenaga menggumpal di dada begitu kesiuran angin menerkam. Pedang
tipis hitam ditarik, dengan tangan tertekuk di depan dada. Pandangan Upasara tidak
ke arah tongkat emas, melainkan menatap lekat ke arah Naga Nareswara.

Begitu tongkat emas menyapu, Upasara menangkis dengan menusukkan Galih
Kangkam ke arah lingkaran-lingkaran berlubang di ujung tongkat pusaka!

Begitu bersentuhan, Upasara merasakan tenaga pusaran yang luar biasa
kuatnya mengisap. Seperti pusaran puting beliung, yang dahsyat mengisap, akan
tetapi juga sekaligus bisa berubah arah dan sasarannya.

Ini yang membuat Nyai Demang menjerit.

Pengetahuan secara teori, mengajarkan kepada Nyai Demang bahwa tongkat
pusaka para pendeta yang kebetulan datang dari Tartar adalah pusaka yang istimewa.
Bukan hanya karena terbuat seluruhnya dari logam emas dengan campuran istimewa,
akan tetapi justru lubang-lubang berbentuk lingkaran di bagian atas tongkat sengaja
untuk meredam semua senjata dan kekuatan lawan. Apa pun bentuk dan
kekuatannya-tombak, keris, gada, cemeti, panah-kalau sampai masuk ke dalam
lingkaran bisa dimentahkan. Karena dalam hal ini tinggal adu tenaga dalam.

Kalau ada yang berbeda dalam serangan pertama Naga Nareswara hanyalah
karena tongkat pusaka itu tidak dipegang secara langsung. Namun untuk tingkatan
tokoh sakti mandraguna, hal itu tak banyak bedanya.

Upasara menusuk ke tengah pusat kekuatan, dan menerobos semua getaran
panas-dingin silih berganti, sambil mencoba mengangkat dan membalikkan.

Naga Nareswara menggerakkan bibirnya, ketika tongkat pusaka kembali ke
arahnya dalam gerak sedikit oleng!

Ini berarti kekuatan tenaga dalam yang disalurkan Upasara mampu
menggoyang tongkat emas kebanggaannya.


"Tidak jelek, tidak terlalu jelek tikus gunung ini."

Baik Jaghana maupun Wilanda menduga komentar ini terdengar dari bibir
Naga Nareswara. Akan tetapi Gendhuk Tri menggeleng. Walau nada dan caranya
persis sama, Gendhuk Tri yakin bukan suara Naga Nareswara yang dikenalnya.

Ataukah ini suara Kiai Sambartaka, Kiai Kiamat yang mampu bersuara tanpa
menggerakkan bibir? Sebaliknya Nyai Demang yakin bahwa bukan Kiai Sambartaka
yang bersuara. Tak mungkin ada pujian darinya.

Berarti ada tokoh sakti yang lain lagi!
Gerak Tanpa Getaran

BEGITU tongkat emas kembali ke genggaman Naga Nareswara, Kama
Kangkam memegang pedang panjang dengan dua tangan.

"Aku ingin menguji sebelum kamu secara resmi ikut dalam pertarungan ini."
Pendek dan singkat kalimat Kama Kangkam yang langsung bersiap. Kedua tangan
menggenggam pedang panjang yang dipegang menjulang di tengah jidatnya.

Pandangan matanya sangat tajam. Kucirnya tak bergerak. Rahangnya kaku.

Upasara mengangguk.

Pedang tipis hitam diangkat, tangan kirinya ditekuk, dan sikapnya kurang


lebih sama dengan Kama Kangkam. Hanya saja bagian yang tajam menghadap ke arah
wajah Upasara Wulung!

Dengan satu tangan!

Tangan kiri.

Sementara tangan kanannya terkulai.

Kalau Kama Kangkam berdiri dengan posisi kedua kaki setengah mengangkang
terbuka, dengan kaki kanan sedikit di depan kaki kiri, sebaliknya kedua kaki Upasara
lurus.

Jarak keduanya tak lebih dari tiga tombak.


Dibarengi dengan teriakan yang menyayat, kedua kaki Kama Kangkam
bergerak sangat cepat sekali, dengan langkah yang berat dan kukuh, pedang
panjangnya menyabet begitu dekat dengan Upasara Wulung!

Sesuai dengan posisi kakinya yang sudah bersiaga menyerang!

Upasara membalik pedangnya dengan sama gesit dan cepatnya, dan dengan
membabat berusaha menangkis. Serangan Kama Kangkam memutar ke arah pundak
kirinya sendiri. Yang berarti menghantam dengan tebasan kuat dari arah kanan.

Napas Nyai Demang jadi ngos-ngosan!

Dadanya seperti ditindih oleh balok-balok yang makin lama makin berat
mengimpit.

Wilanda bahkan mencelos dan merasa harapannya habis karena melihat
pedang hitam tipis Upasara terlepas dari tangan dan melayang di tengah udara.
Teriakan... Radeeeen... barangkali telah terlepas dari bibirnya, atau barangkali hanya
jeritan dalam hati saja.

Gendhuk Tri bahkan tak sempat berteriak. Wajahnya berpaling ke arah lain!

Untuk pertama kalinya, Gendhuk Tri yang suka ugal-ugalan, yang tega melihat
segala macam bencana, memalingkan wajahnya! Tak tahan melihat apa yang terjadi.

Bahkan juga Jaghana meletakkan kedua tangan di depan dada, sebagai sikap
pasrah sumarah, apa pun yang terjadi.

Secara keseluruhan, baik Nyai Demang, Gendhuk Tri, Wilanda, maupun
Jaghana, tidak menganggap bahwa Upasara Wulung bakal bisa dikalahkan dalam satu
gebrakan. Rasa was was muncul, justru karena selama ini Upasara dikenal tidak
seperti dulu. Itu yang pertama.

Bahwa kemudian Upasara bisa pulih kembali seperti sediakala, jelas itu
menunjukkan kualitas yang luar biasa. Akan tetapi ini tak mengurangi rasa cemas!

Karena yang dihadapi sekarang ini justru tokoh-tokoh puncak yang tak bisa
diperkirakan sampai di mana tingkat ilmunya. Itu yang kedua.

Sebab yang ketiga memang karena hubungan emosi yang ada. Namun
kalaupun tanpa hubungan emosi, kekuatiran itu tetap ada. Karena tokoh-tokoh sakti


mandraguna ini, sudah berada pada tingkat di mana ilmu yang dimainkan tak bisa
dimainkan setengah-setengah atau sepertiga. Dalam pengertian, bahwa andaipun
Kama Kangkam tidak menyerang dengan sepenuh tenaga-andai!-akibatnya tetap fatal.

Dua belas murid utama Kiai Sumelang Gandring yang belum kering darahnya
dan belum dingin mayatnya bukti yang masih bisa dilihat dengan mata telanjang. Dan
mereka semua menyaksikan secara langsung!

Jaghana yang melihat secara jelas beradunya dua tebasan keras itu.

Begitu pedang panjang Kama Kangkam menebas pinggang dengan songkelan
ke atas, Upasara menangkis dengan gerak yang sama. Beradunya dua senjata andalan
utama meninggalkan bunyi tipis, membersit, seolah merobek udara. Pada saat itu,
Galih Kangkam terlepas ke udara!

Justru pada saat yang sama, Kama Kangkam mengayunkan tebasan kedua,
sebagai bagian kelanjutan dari gerakan tebasan yang pertama.

Jaghana sedikit-banyak mengenal kehebatan gerakan samurai yang selain
mengandalkan kekerasan tenaga dan kecepatan gerak, juga jenis serangan, sabetan
yang satu mudah ditangkis, tapi seketika itu pula dilanjutkan dengan sabetan yang
lain.

Perbedaan utama dengan jurus yang biasa dimainkan di tanah Jawa maupun
dari Tartar ialah, bahwa kebiasaan mengadu kekuatan dan senjata dengan
membenturkan diri tidak terlalu menonjol. Satu tebasan lebih banyak dihindari dan
melancarkan serangan balasan.

Sementara Kama Kangkam justru berlari kencang, menebas, dan sambil
berbalik tubuhnya masih menyertakan tebasan kedua. Yang tak kalah ganasnya.
Karena yang diarah adalah pangkal leher Upasara.

Padahal posisi berdiri Upasara bukan berada dalam keadaan untuk meloncat
menghindar, dengan merendahkan tubuh, atau membuang tubuh.

Cara Upasara membentuk kuda-kuda, paling banter hanya untuk digerakkan
satu atau dua langkah. Itu belum cukup, karena daya jangkau samurai yang panjang.

Dengan kata lain, lehernya tetap bakal tertebas, ke mana pun kakinya
membawa pergi.


Apa yang dikuatirkan dan diperhitungkan Jaghana dengan teliti, bukan tak
terpikirkan oleh Upasara. Dengan penguasaan Kitab Bumi, kemampuan Upasara lebih
dari sekadar mengenal jurus-jurus yang diajarkan. Akan tetapi juga berhasil
menyerang inti ilmu tersebut.

Barangkali titik kecil ini yang membedakan Upasara dari mereka yang samasama
mempelajari Kitab Bumi. Pada yang lain, sesuai dengan pengenalan pertama,
lebih menjadi titik pokok mempelajari dan mematahkan jurus-jurus yang disebut Dua
Belas Jurus Nujum Bintang, serta Delapan Jurus Penolak Bumi. Sementara Upasara,
selain mempelajari dan mematangkan jurus-jurus, juga berusaha mempelajari intisari
utama. Sesungguhnya pada bagian inilah Upasara sempat terombang-ambing
pikirannya, antara meneruskan dan tidak. Karena seolah menemukan jalan buntu.
Sehingga tak ada jalan lain kecuali melepaskan kembali semua tenaga dalamnya yang
dianggap sia-sia!

Akan tetapi perjalanan hidupnya tidak berhenti ketika itu. Sebaliknya menjadi
semacam titik balik. Menjadi hidup kedua kalinya, apalagi setelah bertemu dengan
Paman Sepuh Dodot Bintulu yang secara tidak langsung mengajarkan bagaimana
mengubah tenaga simpanan menjadi tenaga yang bisa dipergunakan.

Maka, boleh dikatakan Upasara telah siap menghadapi apa yang terjadi
sekarang ini.

Sewaktu menghadapi serangan uji coba dari Naga Nareswara, Upasara berani
langsung menusuk ke pusat tenaga pusaran. Karena di situlah inti kekuatan. Dalam
ilmu Kitab Bumi, inti kekuatan juga sekaligus inti kelemahan. Kalau ia berhasil tepat
memasukkan tenaga, berarti menguasai sepenuhnya kekuatan lawan. Nyatanya
begitu.

Menghadapi Kama Kangkam, Upasara menyadari bahwa tumbal atau tenaga
penolak dari jurus yang sama bisa gagal. Karena Kama Kangkam mengatur tenaga
yang sama di seluruh pedang panjangnya. Bahkan juga pada sabetan kedua atau ketiga
tak berbeda jauh dari tenaga sabetan pertama.

Ini terlepas apakah sabetan kedua perlu ayunan panjang atau gerakan pendek.
Inilah kehebatan pedang Jepun!

Pada benturan pertama, tenaga Kama Kangkam seolah sengatan matahari yang
mengiris. Akan tetapi bukan karena itu pedang Upasara terlepas. Justru dilepaskan
untuk menolak tenaga yang menebasnya. Dengan melepaskan, tenaga itu akan
diterima alam semesta.


Buyar!

Pada saat yang tepat Galih Kangkam ditarik kembali, dan begitu tebasan kedua
datang, kuda-kuda Upasara jauh lebih kuat daripada Kama Kangkam yang tubuhnya
berbalik.

Sehingga benturan kedua itu mendorong pedang Kama Kangkam mendekat ke
arah tubuhnya sendiri.

Kama Kangkam cepat berbalik, dengan dua tangan siap memegang hulu

pedang.

Sebaliknya Upasara siap seperti semula.

"Saya, Kama Kangkam, menerima Saudara ke dalam pertarungan ini..."

Kali ini bahkan Wilanda pun tahu bahwa bukan Kama Kangkam yang

mengucapkan itu! Karena kemudian Kama Kangkam mendongak ke arah langit dan
berteriak mengguntur,

"Apakah Eyang Sepuh masih perlu menyembunyikan diri lagi? Kenapa kita
semua orang tua di sini dianggap anak-anak?"

Wilanda dan Jaghana berlutut tanpa terasa.

Upasara menggigil. Siapa lagi tokoh yang mampu bergerak tanpa membuat
getaran, bersuara tanpa nada, berkata tanpa membuat angin bergerak, selain Eyang
Sepuh?

Tokoh pepunden, tokoh pujaan para ksatria, ternyata muncul juga pada
akhirnya.
Pukulan Beku
KIAI SAMBARTAKA memiringkan wajahnya.

Wajahnya yang gelap, tanpa mengungkapkan perasaan yang mudah terbaca,
menatap ke arah Upasara.


Tanpa memperlihatkan bahwa ada perubahan tarikan napas, Kiai Sambartaka
merenggangkan jarinya.

Upasara melepaskan pedang hitam panjang. Bersiap menghadapi dengan
tangan kosong.

Keduanya bertatapan. Sama tajam dan menusuk pandangannya. Upasara
menatap langsung ke biji mata Kiai Sambartaka yang menukik, mempengaruhi, dan
sekaligus menguasai.

Hanya Kiai Sambartaka yang agaknya tak tergoda melirik sedikit pun, sewaktu
mendengar nama Eyang Sepuh disebut-sebut. Kalau Kama Kangkam sampai perlu
mengucapkan nama dan menaruh hormat, Kiai Sambartaka seperti tak menganggap
sebelah mata. Pusat perhatiannya kepada Upasara Wulung. Yang dalam anggapannya
menunjukkan sesuatu yang luar biasa.

Diperhitungkan dari usianya, Upasara masih sekitar 25 tahun. Usia yang masih
terlalu muda, bahkan untuk menjadi cucu murid tokoh kelas utama. Akan tetapi
dilihat dari kemampuannya, sungguh memperlihatkan kelas utama. Tongkat emas
sakti Naga Nareswara bisa digagalkan. Dan juga sabetan pedang panjang Kama
Kangkam yang merupakan jurus maut-ganas-telengas, berhasil dimentahkan.

Tua dalam usia, matang dalam berbagai pengalaman, Kiai Sambartaka tetap tak
bisa menahan diri untuk menjajal.

Sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang luar biasa. Di kalangan jago silat,
keinginan menguji ilmu, mengadu kepandaian, adalah hal yang sangat lumrah. Dalam
berbagai keadaan dan situasi, keinginan yang utama adalah membuktikan
kemampuan, menakar keunggulan lawan. Apalagi kalau dirasakan ada ilmu yang
belum diketahui.

Bagi Kiai Sambartaka, penampilan Upasara sangat menarik perhatiannya.
Puluhan tahun ia melatih ilmunya, dan merasa telah mencapai puncak yang paling
tinggi, ia diakui di negerinya sendiri. Nama dan julukan sebagai Kiai Kiamat, lebih
ditakuti daripada malaikat pencabut nyawa sekalipun. Dan setelah sekian lama
mengembara, nama besar itu tetap tak tertandingi. Dan itu pula sebabnya, Kiai
Sambartaka melanglang buana, menuju tanah Jawa. Untuk merebut gelar sebagai
lelananging jagat, ksatria yang paling ksatria, pendekar nomor satu di dunia.


Kiai Sambartaka tahu bahwa yang bakal ditemui adalah juga dewa-dewa dunia
persilatan yang tak kepalang tanggung. Maka sangat mengherankan hatinya, bahwa
ada seorang anak muda yang terjun ke gelanggang!

Itu betul-betul di luar perhitungannya!

Tak masuk akal ada anak muda yang mampu menyejajarkan dirinya di
kalangan sesepuh yang memerlukan waktu lebih dari usia Upasara untuk
memantapkan latihan tenaga dalam.

Lebih mengejutkan lagi, justru Upasara bersiap menghadapi dengan tangan
kosong!

Memang di kalangan yang sudah mencapai puncak kemahiran, senjata ampuh
atau sebatang ranting, tak banyak menentukan. Akan tetapi adalah sangat luar biasa,
kalau Upasara berani menghadapi dengan tangan kosong. Ini berarti, bersiap
menghadapi dirinya yang justru kondang tanpa tanding dalam tangan kosong.

Dari sekian banyak yang menjadi kuatir dan cemas, Nyai Demang-lah yang
paling was was. Nyai Demang menyadari bahwa Kiai Sambartaka memiliki pukulan
yang disebut Pukulan Beku, atau pukulan Mandeg-Mangu. Atau dalam arti
harfiahnya adalah pukulan Terhenti-Termangu. Jenis pukulan yang menjadi andalan
dalam khazanah ilmu dari tlatah Hindia.

Sudah menjadi rahasia di kalangan tokoh persilatan dan keagamaan, bahwa
jago-jago utama dari Hindia selalu merasa lebih hebat ilmunya, lebih tua
penguasaannya daripada jago-jago di tanah Jawa. Bahkan hampir semua jawara Hindia
menganggap bahwa ilmu yang ada di tanah Jawa hanyalah ilmu tetiron, atau ilmu
tiruan dari Hindia. Hal ini termasuk dalam berbagai ilmu yang kini diterapkan dalam
pemerintahan Keraton. Segala jenis peraturan, perundangan, semua mempunyai asalusul
sari perundangan yang ada di Hindia!

Ada semacam kesombongan akan adanya pengakuan, bahwa segala yang lebih
dari tanah Jawa, hanyalah bayangan perpanjangan dari apa yang ada di tanah Hindia.

Anggapan ini tidak sepenuhnya salah.

Bahkan kitab-kitab utama juga berasal secara langsung dari Hindia. Maka
ketika Eyang Sepuh mengeluarkan tantangan untuk mengadakan pertemuan, Kiai
Sambartaka tak terlalu memperhitungkan. Yang lebih diperhatikan adalah


kemunculan Naga Nareswara dan Kama Kangkam. Perebutan utama sumber ilmu silat
memang berkisar dari tiga negara ini.

Maka sungguh tak terduga, bahwa ada seorang Jawa yang mampu
menunjukkan awal yang sama. Bahkan langsung berdiri sama tinggi. Walau bukan tak
percaya bahwa Naga Nareswara dan Kama Kangkam sengaja memberi kesempatan,
Kiai Sambartaka ingin menguji sendiri secara langsung.
Upasara menggeser kakinya.

Tangan kirinya bergerak perlahan, dari bawah, berhenti di dekat pusar,
sementara pandangannya lurus ke depan. Gerahamnya beradu. Perlahan telapak
tangan kiri yang membuka bergerak naik, sama perlahan, seakan mengurut udara
mengumpul di dada. Tangan kanannya masih terkulai, agak ditarik ke belakang
karena tubuhnya sedikit miring.

Angin dingin mengalir seakan disemburkan dari suatu gua entah di mana.

Nyai Demang mundur dua tindak. Pukulan Beku, bukan hanya andalan dan
memperlihatkan ciri khas pukulan tanah Hindia, akan tetapi juga pukulan maut yang
tiada duanya.

Merupakan ciri khas, karena dalam Pukulan Beku ini terkandung segala ajaran
mengenai ilmu keras dan ganas, yang dibumbui dengan beberapa ajian tertentu. Lebih
dari negara lain, pukulan dari tanah Hindia mengandung tenaga-tenaga yang tidak
sewajarnya. Ada pengembangan ilmu kebal yang berbeda dengan ilmu kebal dari
negeri Tartar, misalnya.

Melatih otot menjadi kuat, kulit tidak mempan kena sabet, adalah hal yang
biasa. Akan tetapi ilmu dari negeri Kiai Sambartaka lebih khusus mengembangkan
lagi. Sehingga adalah hal yang biasa jika dalam keadaan sehari-hari pun mereka selalu
melatihnya. Tidur di atas tumpukan pedang, keris dengan menusuk punggung atau
dada adalah merupakan latihan sehari-hari. Di tengah kepulasan tidur, ditusuk
merupakan kebiasaan sehari-hari.

Demikian juga halnya dengan jenis-jenis pukulan yang dilancarkan. Ada
campuran antara tenaga dalam murni dan tenaga yang untuk mereka yang berasal
dari wilayah lain masih misteri. Karena bahkan tanpa bergerak pun, pukulan bisa
dilontarkan, dan segala jenis paku, keris, pedang, tiba-tiba saja bisa menyusup ke
dalam anggota tubuh lawan!


Bahwa jenis ilmu semacam itu juga banyak berkembang di tanah Jawa- atau di
mana saja-sebenarnya juga bukan sesuatu yang luar biasa. Hanya saja Nyai Demang
mengetahui bahwa jenis pukulan semacam itu digolongkan dalam pukulan hitam.
Yang dianggap tidak cukup ksatria. Karena bersekutu dengan tenaga setan-iblis-hantu
yang tidak suci.

Namun, setan atau bukan, keganasan ilmu itu diakui.

Dan kini dimainkan sendiri oleh salah seorang empu yang menguasai. Yang
dijuluki Kiai Kiamat. Karena setiap kali pukulan maut bekerja, lawan tamat
riwayatnya.

Keunggulan utama Pukulan Beku, terutama sekali bukan karena pengerahan
tenaga yang luar biasa besar, atau meremukkan batu gunung. Justru sebaliknya,
keunggulan Pukulan Beku terutama sekali mengarah kepada usaha menghentikan
atau membekukan kekuatan lawan pada satu titik yang lemah!

 Kalau pukulan Kiai Sambartaka bisa menyambar lengan Upasara, pada saat itu
pula lengannya akan membeku. Semua darah, urat, nadi, otot, saraf di bagian itu akan
membeku. Mati rasa! Bisa dibayangkan akibatnya jika Pukulan Beku singgah di
tempat yang berbahaya. Jantung atau ulu hati akan membeku selamanya. Satu tarikan
napas sangat berguna bagi kelangsungan pertempuran atau justru kehidupan. Kalau
terhenti sesaat atau beberapa saat bisa diperkirakan sendiri akibatnya!

 Nyai Demang telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kehebatan
Pukulan Beku.

 Selama berkenalan, Nyai Demang menyaksikan bahwa sebatang pohon yang
diusap oleh Kiai Sambartaka menjadi beku. Bagian yang tersentuh itu mendadak mati
seketika. Sehingga kelangsungan proses kehidupan secara keseluruhan terganggu.
Diusapkan ke kaki seekor kuda, kaki itu seketika membeku: aliran darah, urat nadi,
saraf, tak bekerja lagi. Melepuh dan menjadi hitam kaku tanpa bisa digerakkan.

 Untuk lawan yang bergerak pun, keampuhan Pukulan Beku tak menjadi
berkurang karenanya. Dalam perjalanan menuju Trowulan, Nyai Demang melihat
Kiai Sambartaka bisa menangkap ikan di Brantas hanya dengan menepuk air sungai.

 Seketika ada bagian air yang membeku, seolah menjadi es. Berikut binatang
yang tengah berenang di air tersebut. Ketika bongkahan itu diangkat, ikan yang
berada dalam air membeku itu telah matang dan siap disantap.


 Kalau ini mengenai jalan darah atau jalan napas Upasara, nasibnya sama
dengan dua murid Kiai Sumelang Gandring.

Suara Lewat Gendang Telinga

DUA murid Kiai Sumelang Gandring juga tewas karena Pukulan Beku. Bahkan untuk
muntah darah pun tak sempat!

 Bagi Naga Nareswara, ilmu pukulan dari tanah Hindia memang mengandung
teka-teki. Di negerinya yang berkembang adalah ilmu menotok jalan darah. Dengan
totokan ini jalan darah membeku, dan orang yang terkena akan kaku karenanya.
Namun, dibandingkan dengan pukulan Mandeg-Mangu, tidaklah terlalu ganas.
Karena totokan hanya menghentikan sementara, sedangkan Pukulan Beku agaknya
justru diciptakan untuk akibat seterusnya! Dan wilayah yang terkena pukulan bukan
hanya satu titik dalam aliran darah, melainkan bisa di mana saja, dengan wilayah yang
lebih luas.

 Paman Sepuh Dodot Bintulu yang sejak tadi berdiam diri, kali ini sedikit
menggerakkan caping penutup wajahnya. Seakan ingin melihat lebih jelas apa yang
dilakukan Kiai Sambartaka.

 Upasara mengangguk pendek.

 Separuh anggukan, karena Kiai Sambartaka sudah bergerak. Membalikkan
tubuh, bergulung maju, dengan kedua tangan langsung ke arah leher, jantung, ulu
hati, pusar Upasara.

Benar-benar pukulan maut!

 Naga Nareswara sendiri tak menggeser kakinya ketika menjajal Upasara. Kama
Kangkam meskipun bergerak maju, akan tetapi jelas arah sabetannya, walau
mengarah leher, tidaklah seganas Kiai Sambartaka. Yang sekali menggempur
mencakup semua bagian sumber kehidupan.

 Upasara tidak mendengus, tidak menarik napas lebih panjang. Pandangan
matanya tetap ke arah Kiai Sambartaka, seakan ingin menguasai lewat mata. Tangan
kirinya yang terbuka sampai di depan dada, disorong ke depan.

 Dua pukulan Kiai Sambartaka seakan dibiarkan menerobos masuk, memilih
sasaran yang empuk.


 Tapi pada saat yang bersamaan, tangan kanan Upasara bergerak bagai kitiran
lepas. Memutar dan menghadang!

Blek. Blek.

 Bukan suara plak atau adu tenaga yang keras. Melainkan suara lembek. Dua
serangan Kiai Sambartaka berhasil menyentuh tangan kanan Upasara Wulung!

Tapi sebaliknya tangan kiri Upasara seakan bisa menempeleng Kiai
Sambartaka, yang terpaksa secepatnya membuang diri ke belakang dalam suatu
putaran cepat sekali!

 Lagi terdengar suara menirukan nada Kiai Sambartaka!

 Seakan mewakili sikap Kiai Sambartaka yang tak mau mengakui kekalahannya.

 Sebenarnya, bagi yang berpandangan sangat jeli, dalam satu gebrakan ini boleh
dikatakan Kiai Sambartaka bisa dikalahkan dengan telak. Lebih dari Naga Nareswara
maupun Kama Kangkam. Dua dewa utama hanya berhasil dibuyarkan serangannya,
akan tetapi Kiai Sambartaka kena gempur!

 "Baru sekarang saya tahu, Penolak Bumi memang ilmu yang menarik, Bejujag,
kamu ternyata pantas mendongak."

Pujian Paman Sepuh terdengar tulus.

Dalam pandangan Paman Sepuh, gerakan satu gebrakan itu sudah
menggambarkan kemenangan Upasara Wulung. Dengan kejelian yang tinggi Upasara
sengaja melepaskan pedangnya. Seakan mau mengimbangi keunggulan Kiai
Sambartaka yang lihai dalam tangan kosong. Dengan keunggulan siasat, Upasara
justru membiarkan Kiai Sambartaka masuk menyerang dan menyalurkan Pukulan
Beku. Dibiarkan mengenai sasaran, sementara ia sendiri membarengi dengan pukulan!

 Apa pun yang terjadi, Kiai Sambartaka masuk perangkap!

 Pukulan Beku berhasil menyentuh tangan kanan Upasara, akan tetapi tak
berarti banyak. Justru karena tangan kanan Upasara sejak terkena pukulan Halayudha
tak mampu digerakkan secara sempurna. Justru karena tangan itu sendiri sebenarnya
telah membeku. Inilah hebatnya Upasara!

 Kiai Sambartaka bisa terjebak dalam kesalahan yang fatal!


 Seorang tokoh kaliber dewa yang menguasai ilmunya menjadi pendekar utama
di Hindia, yang menganggap ilmunya lebih tua, justru dimakan seorang yang masih
muda.

Langit dan bumi bisa tak percaya karenanya!

 Namun sesungguhnya, inilah ilmu silat. Bukan hanya kemampuan bergerak,
memukul, atau melihat kekuatan dan kelemahan lawan, tetapi juga pikiran jernih.
Pikiran bersih untuk menangkap dan bertindak dalam waktu yang singkat.

 Ilmu boleh dilatih setinggi langit, strategi boleh dilatih serumit bumi, akan
tetapi itu tetap bukan segalanya.

 Hal ini sangat jelas terbukti dalam gerak jawaban Upasara.

 Pasti bukan suatu kebetulan kalau tiga kali Upasara berhasil membaca dan
mementahkan serangan lawan-lawannya. Bahkan sebenarnya empat kali, kalau
pertarungan pertama melawan Paman Sepuh ikut dihitung!

Pertama, Upasara masuk ke tengah perputaran tenaga. Menusuk langsung ke
tengah lingkaran, dan mementahkan putaran tongkat emas Naga Nareswara.

 Kedua, dalam menghadapi sabetan pedang Kama Kangkam. Keras diadu keras,
tapi saat yang sama dilepaskan untuk menghadapi sabetan kedua. Tenaga sabetan
pertama berhasil dimentahkan dengan melepaskan pedangnya, yang justru pada
sabetan kedua tenaganya menjadi utuh, pulih, tak terpancing getaran sabetan
pertama!

 Ketiga, tenaga pukulan Kiai Sambartaka dipancing masuk untuk mengenai
tangan yang sudah tidak bergerak, dan kemudian mencuri satu tamparan kecil.

 Ini berarti tiga jenis serangan yang berbeda, dengan cara pemecahan yang
berbeda pula.

 Dalam pandangan mata, Gendhuk Tri memang tidak melihat sesuatu yang
hebat dan luar biasa. Gerakannya sederhana, hanya sangat cepat. Namun akibatnya
tidak seperti ketika dua belas murid Kiai Sumelang Gandring mati seketika. Namun
Gendhuk Tri bukannya tak mengetahui bahwa apa yang baru saja terjadi tak kalah
ganas.


 Hanya Gendhuk Tri tak melihat secara teliti. Tidak juga Nyai Demang. Tak
sempat mengetahui cara pemecahan yang dipakai Upasara.

 Satu-satunya yang memberi komentar adalah Paman Sepuh!

 Komentar yang membuat Kiai Sambartaka merasa panas-dingin tubuhnya.
Karena yang dipuji Paman Sepuh tetap ilmu Penolak Bumi. Ini berarti Paman Sepuh
ingin menekankan bahwa Bantala Parwa tetap yang lebih unggul dari yang lain. Tak
perlu dimainkan oleh Eyang Sepuh-yang tetap dipanggil Bejujag-ilmu Penolak Bumi
tetap bisa mengatasi!

Inilah komentar yang paling menyakitkan.

Memang dalam pertarungan satu gebrakan masih jauh dari ukuran
menentukan siapa pemenangnya. Akan tetapi juga bisa diperhitungkan dalam
gebrakan pembukaan kali ini, Upasara berhasil mengungguli Kiai Sambartaka, yang
agaknya justru tak menduga akan dilumpuhkan.

 Kalau Paman Sepuh lebih memuji Eyang Sepuh dengan ilmu Penolak Buminya,
sebenarnya lebih mengatakan apa adanya.

 Bukan sekadar memojokkan Kiai Sambartaka.

 Apa yang dipertontonkan Upasara Wulung sebenarnya pertunjukan murni
dari seluruh rangkaian ilmu Bantala Parwa, atau Kitab Bumi. Yang baru saja
dimainkan adalah bagian Penolak Bumi.

Keutamaan dalam mempelajari ilmu silat, sebenarnya bukanlah sekadar
menghafal gerakan atau cara berlatih napas untuk menghimpun tenaga.

Akan tetapi, lebih dari semua itu adalah menyelami kearifan yang tertulis atau
tersembunyi dalam baris-baris kidungan. Itulah sesungguhnya inti, sukma ajaran silat.

 Bahwa Upasara bisa menangkap lebih total dan utuh, karena memang pada
dasarnya Upasara berhasil menyerahkan diri secara sepenuhnya kepada apa yang
dipelajari. Sikap batin itu telah tercermin semenjak ia dididik dalam Ksatria Pingitan.

 Upasara memperlihatkan penguasaan ilmu Penolak Bumi dari inti yang paling
dalam. Bukan dari gerakan, melainkan dari cara memecahkan persoalan, cara
mementahkan, cara menolak, cara menjadi tumbal.


 Ilmu Kitab Bumi, pada bagian delapan jurus terakhir yang disebut Penolak
Bumi, seperti hanya untuk mementahkan jurus-jurus dalam Dua Belas Jurus Nujum
Bintang! Tetapi sebenarnya, intinya bermula dari mementahkan semua serangan!

 Begitu menghadapi berbagai serangan, dengan sendirinya daya tumbal itu
muncul.

 Tidak berlebihan kalau Paman Sepuh menyebutkan bahwa yang lebih hebat
dari Upasara adalah yang menciptakan ilmu itu. Pujian kepada Eyang Sepuh.

 "Bejujag, apa benar kamu bisa memainkan ilmu itu seperti Upasara ini? Karena
kupikir gendang telingamu sekarang ini sudah membatu, sehingga tak bisa mendengar
kata-kataku."

 Upasara seperti mendapat penjelasan dari Paman sepuh.

 Bahwa di samping pancingannya memanggil Eyang Sepuh, Paman Sepuh
mampu mengetahui bahwa Upasara memainkan ilmu memindahkan tenaga suara.
Tumbal atau penolakan atas serangan Kiai Sambartaka dilakukan dengan
memindahkan suara, dengan cara meneroboskan suara dari gendang telinga kanan
melewati gendang telinga kiri, dan sebaliknya. Dengan kata lain, gendang telinganya
menjadi kosong, meneruskan getar suara paling keras dari kanan dan kiri,
sepenuhnya!

Semua Jalan Adalah Kebenaran

KIAI SAMBARTAKA bukannya tidak menangkap apa yang dikatakan Paman Sepuh.

 Dalam penilaiannya, Upasara Wulung memang mempunyai dasar dan alasan
untuk terjun ke gelanggang para dewa. Keunggulan atas dirinya, bagi Kiai
Sambartaka, menunjukkan kelas Upasara Wulung yang sesungguhnya.

 Bahwa kebetulan tangan kanannya sudah setengah lumpuh, itu tidak menjadi
alasan. Karena siapa pun bisa saja tangannya lumpuh atau sangat kuat. Namun
nyatanya, Upasara mampu mempergunakan kelumpuhannya sebagai kekuatan.
Mampu menerjemahkan sebagai kekuatan dan atau kekuatan yang bisa dipahami.

 Meskipun bercekat, diam-diam Kiai Sambartaka sedikit bersyukur. Karena dari
gebrakan pertama ia menjadi sadar bahwa kini tak bisa sembarangan sedikit pun.


 Di lain pihak, walau Upasara mampu menggagalkan serangan Naga Nareswara,
Kama Kangkam, dan juga Kiai Sambartaka, kepercayaan dirinya tidak bangkit utuh
dengan sendirinya. Justru sebaliknya, hatinya menjadi kebat-kebit.

 Tiga kali gebrakan yang dilakukan lebih banyak membuka mata batin lawanlawannya,
yang biar bagaimanapun masih berada satu tingkat di atasnya. Rasarasanya,
penguasaan dirinya belum sepenuhnya bisa dibandingkan para tokoh utama
saat ini. Karena kemenangan sementara ini bukanlah sesuatu yang bisa disadari dan
dikuasai sejak awal.

 Maka bukan basa-basi, kalau Upasara menunduk hormat kepada keempat
tokoh yang berdiri mengelilingi.

 "Sungguh tak terhingga ucapan terima kasih saya, atas perlakuan baik para
ksatria utama di jagat ini."

Paman Sepuh menggerakkan tangan, menyuruh Upasara berdiam.

"Bejujag, kamu masih main petak umpet?"

 Angin seperti bergetar dari berbagai arah ketika terdengar jawaban.

"Aku malu untuk memunculkan diri.

 "Lima puluh tahun lalu aku mengundang kalian turun dari kayangan, tempat
para dewa bersemayam. Kukira ada alasan untuk mendatangkan kalian semua.

 "Setelah kupikir-kurasa-kulakukan, aku menyadari betapa tololnya aku ini.
Kenapa kita berebut menemukan satu-satunya jalan kebenaran, kalau ternyata semua
jalan menuju kepada kebenaran?"

Panjang jawaban Eyang Sepuh, akan tetapi bahkan Upasara tak bisa
memastikan dari mana asal suara. Sebentar terdengar sangat dekat, sebentar menjauh.
Dari berbagai arah, yang tak bisa dipastikan.

 "Lalu, apakah kamu menganggap main sembunyi seperti ini lebih baik
daripada memperebutkan Jalan Budha?"

"Iya."


 "Kalau itu berarti mengundurkan diri, untuk apa dipaksa-paksa?" Suara Naga
Nareswara meninggi. "Kita sudah datang, sudah saling menjajal diri. Sungguh sayang
kalau dilewatkan percuma."

 "Bejujag, kamu sudah dihitung kalah."

 "Itu lebih baik. Aku memang sudah kalah sejak mengundang kalian."

 "Baik, kalau begitu, kita akan melanjutkan pertemuan tanpa kamu.

 "Naga Nareswara, Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, Upasara Wulung, marilah

kita lanjutkan. Karena kita semua ada lima orang, lebih baik kita saling tempur saja.
Setiap sepuluh jurus, kita berganti lawan. Boleh pilih yang mana saja.

"Sampai tinggal satu orang yang masih bisa berdiri.

"Bagaimana?"

Naga Nareswara mengangguk.

Kama Kangkam menekuk tubuhnya.

Kiai Sambartaka menunduk.

 Upasara menahan udara di dadanya ketika menghormat.

 "Tapi bagaimana mungkin," mendadak suara Gendhuk Tri bagai kaca pecah.
"Kalau hanya lima orang, berarti setiap kali ada yang beristirahat lebih dulu."

 Sederhana kata-kata Gendhuk Tri, tetapi berhasil menyusup. Memang jika
semua bertempur satu lawan satu, berarti ada satu orang yang menganggur selama
sepuluh jurus pertama. Walaupun menganggurnya bisa bergiliran, akan tetapi
agaknya ini tidak cocok dengan keinginan untuk bertempur terus-menerus tanpa ada
yang berhenti, sampai tinggal satu orang yang masih sempat berdiri.

Jalan pikiran Gendhuk Tri sebenarnya ingin mengistirahatkan Upasara
Wulung.

Akan tetapi justru terbalik.

Paman Sepuh yang berjingkrak.


 "Bejujag, kamu masuklah kemari. Untuk menemani kami!"
Kalau ini terjadi, berarti Eyang Sepuh akan turun ke gelanggang. Mau tidak


mau akan ada giliran untuk bertempur melawan Upasara Wulung!

 Sungguh mati, Gendhuk Tri tak bisa membayangkan hal itu akan terjadi.

 Biar bagaimanapun, rasanya tak mungkin Upasara mempunyai keberanian
untuk menggempur Eyang Sepuh. Sepuluh titisan yang akan datang tetap tak akan
mengubah hal ini.

 Celakanya juga, tak mungkin Eyang Sepuh maupun Upasara berpura-pura
saling menggempur. Pada tingkat pertarungan seperti sekarang, hal itu boleh
dipastikan tak akan terjadi!

 Ini sama juga mengeroyok keempat peserta yang lain!

 Tak masuk akal hal semacam ini akan dilakukan oleh Eyang Sepuh!

 "Kenapa harus mengganggu Eyang Sepuh? Aku masuk cukup untuk..."

 Suara Gendhuk Tri terputus di tengah jalan. Jaghana, Wilanda, dan Nyai

Demang secara bersamaan telah melindungi Gendhuk Tri.

 Jalan pikiran mereka sama!

 Kalau sampai Gendhuk Tri berbuat nekat, malaikat pun tak bisa mencegah

kematian!
"Tikus-tikus dengan lidah berbisa, kalian membuat aku tidak sabar saja." Suara

Naga Nareswara yang meninggi membuat Paman Sepuh menggerakkan capingnya.

"Majulah. Kita mulai."

 Tanpa membuang waktu, tongkat emas bergelang menerjang ke arah caping
Paman Sepuh. Pada saat yang bersamaan, Kiai Sambartaka menggulung kedua
tangannya, menyampuk tubuh Upasara Wulung. Dalam satu kejapan, uap putih
bergulung di tengah, saling menerjang!

 Pertempuran telah mulai!


 Bahkan kesiuran angin saja membuat Jaghana, Wilanda, Gendhuk Tri, dan
Nyai Demang mundur lebih jauh lagi. Begitu juga kedua murid Kama Kangkam.

Kesiuran angin betul-betul bagai maut.

Menyambar, menusuk, mematikan.

 Kama Kangkam yang berada di tengah sendirian, menggenggam pedang
panjang dengan kedua tangan dan menggerung keras.

 Lalu tubuhnya melayang ke arah satu titik.

 Antara terlihat dan tidak, dari arah yang digempur Kama Kangkam melayang
satu getaran angin yang aneh. Sejuk, lembut, meliuk, dan berputar bersama tubuh
Kama Kangkam.

"Eyang!"

 Teriakan Jaghana seperti rintihan, semacam jeritan bahagia sukma yang
memasrahkan diri masuk ke pintu surga.

Wilanda menggigil tak berani bergerak sedikit pun.

Gendhuk Tri bahkan tak berani menelan ludahnya.

 Hanya Nyai Demang yang menghela napas sambil menutupkan kedua
matanya.

Di antara semua yang menyaksikan pertarungan, barangkali hanya Nyai
Demang yang sedemikian luas pengetahuannya, dan sedemikian haus menyelami
berbagai ilmu persilatan kelas dunia. Nyai Demang yang mengetahui secara teori
ilmu-ilmu dari negeri Tartar, dan kemudian juga mengenal ilmu dari negeri Hindia.
Adalah keinginan yang wajar jika Nyai Demang ingin menyaksikan apa dan
bagaimana ilmu-ilmu kelas dunia yang didengar dan dipelajari itu dimainkan oleh
tokoh-tokoh kelas dunia.

 Akan tetapi justru sewaktu kesempatan itu datang, Nyai Demang menutup
kedua matanya.


 Untuk pertama kali, Nyai Demang tak tahan melihat apa yang ingin dilihat.
Sukmanya seperti terbetot dan tercabik-cabik. Dan ini bukan semata-mata karena
Upasara Wulung tengah bertarung di tengahnya. Terutama karena kesadaran bahwa
kematian dan penguasaan ilmu itu tak bisa dibedakan.

 Lain yang dirasakan oleh Wilanda. Ia berjongkok, menutup mata karena
merasa tak mempunyai tenaga sama sekali. Bahkan seekor nyamuk yang hinggap tak
mungkin bisa ditepuk. Semua kekuatannya telah lolos, hilang entah ke mana. Begitu
juga Gendhuk Tri yang tak tahu harus berbuat apa. Menyaksikan jalannya
pertempuran pun tak bisa leluasa.

 Bagi Jaghana, teriakan menyayat yang meluncur dari bibirnya menandai
bahwa rasa kecewa dan gembira menyatu. Kecewa dan gembira karena pada akhirnya
Eyang Sepuh dipaksa muncul!

Bagi batin Jaghana, biar apa pun yang terjadi, Eyang Sepuh tak perlu
mengotori diri untuk tampil kembali.

 Tapi Kama Kangkam bisa menentukan arah, dan memaksanya!

Semua Kebenaran, di Mana Jalan...

EYANG SEPUH berada dalam medan pertempuran!

 Walau Jaghana tidak melihat jelas. Pastilah Kama Kangkam tidak sekadar
menyerang angin hingga jungkir balik. Pedang panjang menggores, mengiris,
menebas, menerjang dengan torehan bertenaga.

 Sementara hanya goyangan angin yang kadang terasa memberat, menekan,
silih berganti.

 Yang membingungkan Wilanda ialah kenyataan bahwa sebenarnya Eyang
Sepuh tidak sedang menggunakan ilmu meringankan tubuh. Dalam soal ini, Wilanda
merasa belum tertandingi. Namun, kalau sosok tubuh Eyang Sepuh tidak terlihat,
agaknya karena mempergunakan ajian manjing ajur-ajer, atau ajian bisa berada di
mana saja. Itu salah satu ajian untuk pergaulan. Dalam arti harfiah, bisa bermakna
dapat bergaul dengan siapa saja dari golongan mana saja. Dalam tingkat Eyang Sepuh,
juga berarti bisa berada di berbagai tempat, seakan, pada saat yang sama.

 Sebenarnya, kalau Wilanda mencoba berpikir, sedikit-banyak keunggulan ada
pada pihaknya. Dari enam tokoh utama dunia persilatan yang tengah bertarung ini,


tiga di antaranya mewakili Perguruan Awan, baik secara langsung atau tidak. Yaitu
Eyang Sepuh dan Upasara Wulung. Sedangkan Paman Sepuh Dodot Bintulu juga bisa
dimasukkan, karena beliau adalah "adik seperguruan" Eyang Sepuh.

 Dan kalau ini diperhitungkan satu lawan satu, berarti ketiga tokoh itu bisa
memilih menghadapi tokoh dari Jepun, Hindia, maupun dari Tartar!

 Akan tetapi kenyataannya, medan pertarungan tidak seperti itu. Melainkan
mereka saling menggempur, sehingga kawan seperguruan pun terpaksa bertarung.

 Dalam menentukan gelar lelananging jagat, tidak terbedakan mana saudara
mana bukan.

 Dari sisi ini, Wilanda benar-benar menyesal. Timbul secuil pertanyaan dalam
lubuk hatinya: apakah ilmu silat justru menjadi pemisah persaudaraan?

 Sementara penonton berpikir sesuai dengan jalan pikirannya, pada saat itu
yang berada di tengah pertarungan sedang bergulat antara mati dan hidup. Satu
tarikan pukulan bisa mengakibatkan kematian. Kalau tidak kematian lawan, ya
kematian diri sendiri. Sehingga setiap gerak yang paling kecil pun mempunyai
perhitungan yang sangat teliti.

 Upasara tidak sempat berpikir banyak dan bercabang. Apa yang dihadapi tidak
memungkinkan untuk itu. Pedang hitam kurus menyabet, menutup, dan serentak
dengan itu berusaha menerobos cengkeraman Kiai Sambartaka. Yang dengan sepenuh
tenaga mencoba menindih Upasara. Pukulan Beku yang menjadi andalannya seakan
membekukan udara di sekitar. Beberapa kali tangan kanan Upasara yang susah
bergerak sempurna nyaris menjadi sasaran!

 Kalau sekarang tangan kanan Upasara kena tersentuh, jangan berharap akan
bisa memakai tipuan yang sama! Kiai Sambartaka mampu mengubah tenaga
penyerangan beku menjadi tenaga yang menghancurkan.

 Digempur ketat seperti itu, Upasara hanya mampu bertahan. Gempuran arah
atas berganti dengan gempuran kaki. Yang menguntungkan Upasara hanyalah jarak
dan jangkauan pedang kurusnya lebih panjang. Dan agaknya Kiai Sambartaka merasa
ngeri untuk merampas. Keuntungan kedua adalah Upasara lebih menunggu
dibandingkan dengan Kiai Sambartaka.

 Serangan pertama Kiai Sambartaka yang agaknya tidak sabar menunggu lama.


 Pada titik itulah Upasara menerjang!

 Berjalan lima jurus, walau posisi Upasara bertahan, akan tetapi sesungguhnya
malah menunjukkan beberapa keunggulan. Delapan Jurus Penolak Bumi dengan sebat
dimainkan dalam satu tarikan jurus yang terus mengalir. Memecah dan mencegah
serangan Kiai Sambartaka yang semakin tidak sabar.

Masuk ke jurus ketujuh, Kiai Sambartaka mendadak mengubah serangannya.
Kedua tangannya membuka, dan mendadak tubuhnya berputar. Kali ini Kiai
Sambartaka menggertak dengan tangan kiri menghantam ulu hati Upasara.

 Tanpa memedulikan sabetan pedang.

Karena pada saat yang bersamaan, tangan kanan dan kedua kakinya
menggunting tubuh Upasara.

 Upasara menarik pedangnya dan menggertak ke arah serangan tangan kiri
lawan.

Akan tetapi pada saat itu tangan kanan yang justru maju cepat sekali, dibarengi
guntingan dua kaki, dan tangan kiri ditarik!

 Begitu Upasara mengubah sedikit arah tebasan pedang, kaki kiri menggantikan
posisi penyerangan tangan kanan, sementara kedua tangan dan kaki melipat habis
tubuh Upasara!

 Inilah jurus yang disebut Tiga Langkah Kresna. Atau yang dikenal Upasara
dengan julukan tiwikrama, dalam gerakan aslinya!

 Inilah tenaga Kresna yang berubah menjadi dahsyat. Seorang ksatria yang
bertenaga raksasa dengan sepuluh kepala dan tubuh kebal mampu menahan aliran
banjir dan lahar gunung yang paling panas. Mampu berdiri sampai ke langit!

Betul-betul mencengkeram tanpa ampun.

 Tumbal permainan Upasara, sebentar ke arah selatan, sebentar ke arah utara,
berbalik ke kanan, dan terpaksa memutar. Upasara mengertakkan giginya, dan
mendadak tubuhnya berputar kencang, meluncur lurus. Bagai angin puting beliung!

Jaghana mengertakkan giginya.


 Jurus penyerangan sambil memutar tubuh adalah jurus yang paling banyak
menguras tenaga dan berbahaya. Karena dalam keadaan berputar kencang dan tubuh
melayang, lawan akan mudah terkena serangan, dan sekaligus membuka diri pada
serangan lawan. Jaghana mengenal sekali, karena penyerangan dengan memutar
tubuh adalah ilmu yang menjadi andalannya. Yang hanya dikeluarkan kala terpaksa.

 Agak mengejutkan, justru Upasara yang dalam satu gebrakan terpaksa bisa
menampar Kiai Sambartaka, kini ketika memasuki jurus kesembilan sudah
mengeluarkan ilmu simpanan.

 Upasara tak melihat pilihan lain!

 Daya tindih serangan Kiai Sambartaka memang membuat tangan atau kakinya
seolah bergumpal dan membeku, sehingga untuk bernapas sangat menyakitkan.

Hampir semua jago silat memang sengaja menguasai udara sekitar medan
pertempuran dengan menindih dan menguasai. Boleh dikatakan siapa yang menguasai
udara, dialah yang menguasai lawan. Biasanya udara menjadi tipis atau panas,
sehingga lawan akan tersengal-sengal.

 Akan tetapi Kiai Sambartaka mampu mengubah menjadi gumpalan! Inilah
kehebatan ilmu Hindia.

 Dan Upasara yang merasa makin tertindih, membebaskan dengan serangan
bergulung di tengah udara!

Ini berarti Upasara melepaskan ilmu Kitab Bumi!

 Karena inti Kitab Bumi yang diajarkan selalu memakai kekuatan bumi.
Mengambil tenaga bumi untuk menghadapi lawan. Dengan melayang di angkasa,
berarti Upasara membebaskan sepenuhnya dari ketergantungan tenaga bumi.

 Dengan cara ini Upasara berusaha menumbalkan, atau mengorbankan diri atas
pengaruh bumi. Yang berarti juga membuyarkan daya tindih angin beku dari Kiai
Sambartaka.

 Akan tetapi memasuki suatu wilayah tenaga baru.

Bukan tenaga bumi.


 Kiai Sambartaka mengeluarkan desis panjang karena sama sekali tidak
menduga bahwa Upasara juga mampu mengubah sama sekali jurus-jurusnya!

 Seakan anak kemarin sore yang melupakan satu permainan dan bermain yang
lain.

Kiai Sambartaka seperti menghadapi lawan yang lain, pada kejap yang
bersambungan!

Upasara memang mencoba apa yang selama ini dipahami dalam kidungan
Tumbal Bantala Parwa. Inti kidungan itu sebagian tadi diucapkan oleh Eyang Sepuh:

 Jika semua jalan adalah kebenaran
untuk apa kita memperebutkan
jika semua kebenaran adalah jalan
apa itu kebenaran
mana itu jalan
semua jalan adalah semua kebenaran
semua perebutan
adalah kebenaran
adalah jalan!


 Bait pertama dalam kidungan itu diucapkan Eyang Sepuh sebagai kata-kata
ketika menghadapi pembicaraan Paman Sepuh Dodot Bintulu. Akan tetapi bagi
Upasara memberi semacam petunjuk untuk memahami gencetan Kiai Sambartaka.

 Nyatanya, tindihan Kiai Sambartaka menjadi buyar.


 Gumpalan udara yang tadinya membeku bisa dihirup oleh Upasara yang tetap
menggulung di udara, dengan serangan bolak-balik seakan memutari Kiai Sambartaka!

Ini luar biasa.

 "Cukup. Sepuluh jurus kedua!"

 Belum Upasara hinggap di tanah, Kama Kangkam telah datang.

Sebelum Ada Kawan, Jadilah Lawan
KAMA KANGKAM menyentakkan samurai, dan dengan dibarengi "ciaaat"an panjang,
memotong lambung Upasara.


 Upasara menarik pedangnya hingga lekat ke dada dan menangkis.

 Trang!

Sabetan kedua.

Traaaang!

 Disusul sabetan ketiga, keempat, dan berubah menjadi tusukan ke arah ulu

hati. Trang! Trang! Trang!

Upasara menjajal terus. Memapak setiap serangan yang datang secara
berurutan dengan tenaga sabetan yang makin keras, makin kencang, dan makin cepat.

 Dua puluh kali bunyi trang yang makin pendek jaraknya tetapi makin mantap
desakannya, Upasara membarengi tangkisannya dengan sabetan kaki. Tumpuan kaki
Kama Kangkam yang menjadi sumber kekuatan berhasil dijegal.

 Begitu tubuh Kama Kangkam terangkat karena kuda-kudanya jebol, Upasara
ganti menebas.

Kama Kangkam mengeluarkan teriakan "ciaaaat" yang membelah telinga
sewaktu tubuhnya melayang ke atas. Ini bahaya. Bahaya terbesar. Karena sewaktu
tubuhnya melayang tegak lurus, samurai Kama Kangkam mengarah pada jidat
Upasara.

Lurus, mantap, tepat!


 Untuk sepersekian kejap, Upasara merasa nyawanya telah lenyap.

Ubun-ubunnya menjadi dingin seperti teriris es!

 Rasanya tak bisa dibedakan apakah yang mengiris jidatnya persis di tengah
pedang panjang ataukah hanya angin.

 Upasara menjatuhkan tubuhnya ke atas, pedang hitamnya menebas ke arah
samping.

 Trang!

 Dua pedang beradu keras. Seakan saling membelit. Tusukan Kama Kangkam
tegak lurus, menjadi sedikit mencong karena tebasan Galih Kangkam. Sebaliknya
tangan Upasara menjadi luar biasa ngilunya. Sehingga ketika punggungnya menjadi
pengganjal kekuatan dengan gerakan uler kaget, masih belum sepenuhnya bisa
menggenggam kencang.

 Sebaliknya Kama Kangkam juga segera menjauhkan diri.

 Kini keduanya berdiri dalam jarak dua tombak.

 Saling menatap, dengan angin mendidih berembus dari semua lubang tubuh.
Terutama memancar dari hidung!

Siap dengan gerakan penghabisan!

 Bagi Upasara, cara bertarung seperti ini memang baru dikenalnya. Ketika
memasuki jurus kesepuluh, Upasara tidak menduga dalam waktu seketika lawannya
kemudian berganti. Dan Upasara yang merasa sedikit di atas angin sewaktu
menggempur Kiai Sambartaka, seakan tidak siap menghadapi Kama Kangkam.

 Sebaliknya justru Kama Kangkam nampak siap begitu mendengar Paman
Sepuh meneriakkan jurus kesepuluh telah berlalu!

 Ketidaksiapan Upasara bukannya karena tidak tahu bahwa setelah sepuluh
jurus ia harus berganti lawan. Ketidaksiagaannya terutama karena dalam waktu yang
bersamaan, yang merupakan sambungan jurus kesepuluh, datang lawan yang lain
sama sekali. Pada jurus kesebelas yang dimainkannya!


 Ini pengalaman baru.
Karena berarti ia memainkan partai terusan yang tadi dimainkan Eyang Sepuh!
Seperti juga Eyang Sepuh yang kini menghadapi Naga Nareswara, dan Kiai


Sambartaka yang menghadapi Paman Sepuh.

 Ini juga berarti keadaan bisa berubah sama sekali!

 Upasara Wulung merasa lolos dari lubang jarum. Nyawanya yang sudah berada

di ujung bibir, kembali menyelinap sewaktu meloloskan diri dari gempuran Kama
Kangkam yang menusuk dari atas.

Dalam keadaan berdiri, berhadapan, Upasara menjadi sadar apa yang
sesungguhnya terjadi.

 Pedang hitamnya ditarik ke dekat dada.

 Kama Kangkam, kali ini tidak mencekal dengan kedua tangan. Tapi
menggenggam erat pada tangan kanan, dengan posisi membuka. Pedang di arah
samping, dadanya terbuka.

 Yang sedikit menyelamatkan Upasara adalah bahwa tempo serangan ksatria
Jepun ini mempunyai jeda sesaat sebelum jurus berikutnya.

 Kalau gempuran itu bergelombang dan bersambungan seperti yang dilakukan
Kiai Sambartaka, barangkali ia sudah tak mampu berdiri lagi!

 Sepersekian kejap, pikiran Upasara berurut kembali.

 Pemusatan pikiran menyatu kembali.

 Pertarungan kali ini ibarat permainan congklak atau catur bersamaan.
Ada tiga papan yang dimainkan, dengan enam pemain. Setelah memainkan sepuluh
jurus, masing-masing pemain pindah papan lain, menghadapi lawan yang lain, dengan
posisi memainkan apa yang ditinggalkan lawannya.

 Ibarat kata, Upasara sekarang ini harus memainkan biji catur atau biji congklak
pada papan yang tadi dimainkan Eyang Sepuh. Tidak berangkat dari awal, akan tetapi
tinggal melanjutkan.


 Dengan susunan biji congklak atau biji catur yang sudah dimainkan oleh
masing-masing, baik Eyang Sepuh maupun Kama Kangkam selama sepuluh jurus!

Ini yang baru saja dipahami!

 Pertarungan menyeluruh.

 Sebelum terjun ke gelanggang, Upasara berpikir bahwa ia akan menghadapi
Kiai Sambartaka yang langsung menyambarnya dalam sepuluh jurus. Lalu berhenti,
dan berganti menghadapi entah siapa selama sepuluh jurus dari awal.

Itu yang berada dalam benaknya.

 Maka sungguh tak menyangka kalau mendadak saja Kama Kangkam sudah
menerkam ke arahnya. Keunggulan Kama Kangkam terutama karena kejelian melihat
medan lain, sehingga bisa merangsek ke arah Upasara, yang dipaksa main "di papan
catur atau papan congklak" di mana ia memainkan bersama Eyang Sepuh.

 Dari segi pengenalan medan, jelas Kama Kangkam lebih unggul. Ini yang
nyaris membuat ubun-ubunnya terbelah.

 Begitu lolos dari lubang jarum, Upasara mengenali cara pertarungan secara
menyeluruh seperti ini.

 Berarti juga dalam bertarung, ia harus memperhatikan suasana sekitar dengan
cepat, dan memaksa lawan bermain di "papan permainannya".

Atau setidaknya, ia tidak main pada papan di mana lawannya tinggal
melanjutkan saja!

 Upasara menarik udara sepenuhnya, memompa ke dadanya.

Hingga menggelembung sempurna.

Pasrah. Sumarah. Menyerahkan diri secara total, mengikuti suara, mengikuti
gerak yang muncul dari tenaganya.

 Seperti ketika mendengar bisikan Eyang Sepuh dalam pembicaraan, yang
menjadi petunjuk dari gerakannya menghadapi Kiai Sambartaka. Bait-bait kidungan
tentang "kebenaran" dan "jalan" yang bertentangan.


 Kilatan pikiran itu membersit dengan sendirinya, dan bait-bait kidungan
dalam Kitab Penolak Bumi menemukan maknanya. Bahwa kalau semua jalan adalah
kebenaran, tak ada lagi kebenaran. Bahwa kalau semua kebenaran adalah jalan,
sebenarnya bukan lagi kebenaran dan bukan lagi jalan.

Bersitan sesaat itu yang terwujud dalam gebrakan Upasara yang berani
meninggalkan pengambilan pusat tenaga bumi!

Dan nyatanya berhasil.

 Justru karena tidak mengambil kekuatan bumi, Upasara lepas dari pengaruh
ilmu Kiai Sambartaka.

 Kini menghadapi Kama Kangkam, Upasara memusatkan serangan berikut yang
bakalan dahsyat, akan tetapi juga mulai memperhitungkan bahwa sepuluh jurus nanti,
lawan yang dihadapi bisa siapa saja.

 Bisa Kiai Sambartaka lagi, bisa Eyang Sepuh, Paman Sepuh, atau Naga
Nareswara. Yang jelas bukan Kama Kangkam lagi.

 Ini berarti dalam setiap sepuluh jurus, dari lima lawan dihadapi, empat adalah
kemungkinan menjadi lawan, dan satu yang jelas tak terulang.

 Mata Upasara menyempit.

Kama Kangkam masih menunggu.

 Sebelum ada kawan, jadilah lawan
lawan membuat kita menang
kawan membuat kita tak tenang
hanya lawan yang bisa dikalahkan
hanya kawan yang jadi persahabatan
sebelum ada kawan, jadilah lawan



 lawanlah kawan
ilmu tumbal ialah ilmu penolak
kebenaran pun ditolak
sebab kebenaran adalah kawan
kawan adalah kebenaran
setelah ada kawan, jadilah lawan
sebab ilmu tumbal ialah ilmu penolak
menolak kawan, menolak lawan, menolak kebenaran
menolak ialah tidak
tiada kawan, melainkan lawan!


Inilah kuncinya! Upasara menerjang maju!

Timinggila, Jurus Ikan Gajah

KALAU Upasara lebih dulu menerjang maju, berarti ia memapak apa yang menjadi
keunggulan Kama Kangkam.

 Ilmu Jepun adalah ilmu yang keras, tajam, dan mendahului. Dengan gerakan
sangat cepat menyabet atau menyodet sekaligus. Saat berdiam diri adalah pemusatan
pikiran sepenuhnya. Begitu bergerak dengan berlari kencang, sabetan samurai akan
mengenai sasaran. Ataukah sabetannya yang lebih dulu, atau tusukan lawan. Dalam
hal ini tak ada kemungkinan lain.

 Berbeda dengan ilmu silat dari tanah Hindia maupun Tartar, gerakan-gerakan
Jepun tidak mempunyai bunga-bunga. Permainan secara langsung.

 Upasara mengenai dalam beberapa hal, justru karena mengenai permainan
ilmu silat Galih Kaliki yang ternyata mempunyai sumber yang sama.


 Maka kini ia mendahului!

 Jaghana yang berdiri di tepi, seperti mendengar kidungan lirih Upasara.
Rasanya, seperti Upasara yang mengumumkan, akan tetapi nadanya seperti
dikidungkan oleh Eyang Sepuh.

 Bukan sesuatu yang luar biasa, mengingat kemampuan Eyang Sepuh yang luar
biasa.

 Kalaupun benar Eyang Sepuh yang mengidungkan dalam hati dan mampu
tertangkap oleh Upasara karena gelombang rasa pasrah yang sama, bukan berarti
Eyang Sepuh memberi petunjuk perlawanan Upasara. Karena kidungan itu sudah
dihafal dengan sendirinya, oleh siapa pun yang mempelajari Kitab Bumi.

Yang menjadi titik cerah sebagai pemecahan adalah bagaimana menerapkan
lirik-lirik dalam kidungan itu menjadi gerakan yang mempunyai makna.

 Sesungguhnya, inilah yang dipuji oleh Paman Sepuh Dodot Bintulu. Karena
Eyang Sepuh mampu mengembangkan lirik-lirik dalam kidungan menjadi sesuatu
yang bisa ditafsirkan secara luas dan mengena.
Saripati ilmu Bantala Parwa adalah ilmu yang dimulai dari penolakan. Ilmu yang
mendasari kepada ada yang berasal dari ketiadaan. Dimulai dengan tiada... selain...
Peniadaan inilah yang disebut sebagai tumbal, sesuatu yang harus dikorbankan.

 Seperti lirik dalam kidungan yang baru saja menggema dalam hati. Dengan
menolak arti persahabatan, arti persaudaraan, arti perkawanan, akan menemukan
tenaga yang sesungguhnya. Dengan menganggap siapa saja sudah lawan, terbuka
kesempatan untuk mengembangkan diri. Karena, hanya dengan adanya lawan,
seseorang bisa muncul, bisa maju, bisa melawan.

 Pengertian-pengertian ini mempunyai arti yang luas. Karena dengan
demikian, Upasara akan menghadapi semua bayangan yang bergerak sebagai lawan.
Siapa pun dan apa pun yang melintas harus dikalahkan, ditaklukkan. Apakah itu
Kama Kangkam atau Eyang Sepuh, tak ada bedanya. Apakah itu gerakan berbahaya
atau tidak, menjadi sama dalam pandangan Upasara.

 Maka begitu Kama Kangkam mengumpulkan tenaga, Upasara menyerang lebih
dulu.

Sebelum ada kawan...


 Kama Kangkam berlari kencang sekali, memapak serangan Upasara. Sabetan
keras merobek udara dan menoreh segalanya. Semua bagian tubuh Upasara diserang
tajam. Galih Kangkam di tangan Upasara mengeluarkan desiran angin tajam, sebelum
beradu keras lawan keras. Ketika dua tubuh seolah bertabrakan, terdengar beradunya
pedang dengan sangat tajam menimbulkan suara yang memekakkan.

 Kini bukan hanya Nyai Demang, Gendhuk Tri, dan Wilanda yang terpaksa
menutup telinganya, kedua Kama pun menutup telinganya dan mundur sampai
delapan langkah! Menjauh dari gelanggang.

 Gempuran dan gelombang keras lawan keras makin lama makin mencapai
puncaknya, setelah mendadak saja suasana berubah bersamaan dengan teriakan
Paman Sepuh.

Sepuluh jurus kedua telah berlalu.

 Caping dan tongkat kurus Paman Sepuh telah menutup pandangan Upasara,
yang segera menyambut dengan loncatan ke atas. Melewati caping dan galah. Sertamerta
dengan itu tangan kirinya menyabet ke bawah dari segala arah.

 Menutup segala kemungkinan untuk meloloskan diri. Karena tiba-tiba saja
pedang hitam Upasara menutup bagian bawah dengan hujan tusukan, pada kecepatan
yang tinggi.

 Siwamba Siwapatra, desisan Paman Sepuh antara terdengar dan tidak. Seakan
mengenali apa yang dilakukan Upasara, tapi sekaligus juga mengagumi bahwa dari
ilmu Penolak Bumi bisa dimainkan begitu sempurna!

 Siwamba bisa diibaratkan Air Penghidupan. Dalam penguasaan Upasara, air
penghidupan adalah air hujan. Tusukan pedangnya berubah menjadi air hujan yang
tertumpah dari langit. Hanya saja yang jatuh menusuk bukan air penghidupan,
melainkan tusukan pedang yang naik-turun dengan cepat.

 Itu sebabnya bagian tersebut dirangkai dengan Siwapatra atau gerakan Teratai
Merah. Tusukan air penghidupan, menyebabkan teratai merah berkembang, dan
terkena!

 Dalam keadaan seperti ini, Paman Sepuh yang menjadi teratai merah.

 Kekuatannya tak bisa dipencarkan, karena ia menjadi pusat serangan.


 Terdengar batuk-batuk kecil.

 Serentak dengan itu, bagian tubuh Paman Sepuh mendadak berubah. Seolah
menjadi gumpalan raksasa yang mengeluarkan gelombang besar, dengan kibasan
angin yang terasakan sampai ke pinggir medan pertarungan.

 Tubuh tua Paman Sepuh berubah menjadi naga yang mengeluarkan tenaga
luar biasa besarnya, dan udara sekitarnya seperti ombak laut yang tersibak dalam
gelombang besar. "Timinggila."

 Upasara mendesis karena kagum.

 Apa yang dipamerkan Paman Sepuh memang pameran kekuatan yang luar
biasa. Dalam sekejap, kekuatan dan tubuhnya berubah seakan ikan gajah, atau ikan
paus, atau timinggila. Kekuatan ikan gajah yang menyeruak dari dasar laut, dan
menyebabkan gelombang sekitarnya terpecah.

 Ketika ikan gajah menyeruak dari dasar samudra, titik-titik hujan tak menjadi
bahaya!

 Paman Sepuh bukan teratai merah yang diam, melainkan ikan gajah!

Upasara terperangah.

 Paman Sepuh yang berada di bawah menjadi gagah. Gelombang kekuatannya
juga berpengaruh pada suasana sekitar yang mau tak mau kecipratan ulah sibakan
tenaga ikan gajah.

 "Timinggila Kurda."

 Kembali Upasara mendesiskan nama jurus, Ikan Gajah Murka, lebih untuk
meyakinkan diri sendiri bahwa lawan di bawahnya memang menyapu apa saja yang
ada di sekitarnya.

 Sebenarnya bagi Upasara ini adalah pengalaman yang paling berharga dalam
perjalanan hidupnya sebagai ksatria. Karena apa yang dialami secara langsung,
merupakan bagian-bagian yang telah dipelajari!

 Seperti diketahui, sumber ilmu silat Upasara yang kemudian berkembang pesat
berasal dari Kitab Bumi. Menurut pengakuan yang didengar, Kitab Bumi yang


sesungguhnya diciptakan kembali oleh Paman Sepuh, dan mendapat kesempurnaan di
sana-sini oleh Eyang Sepuh.

Sampai di tangan Eyang Sepuh, tentu saja banyak perbedaan, baik
penambahan maupun pengurangan pada bagian-bagian tertentu. Namun di atas
semua itu, intisari tetap sama.

 Maka, baik Paman Sepuh maupun Upasara saling mengenali dasar-dasar apa
yang tengah dimainkannya sendiri maupun lawannya.

 Bahwa Timinggila adalah raja segala ikan di laut, yang besar dan buas, Upasara
bisa mengerti. Akan tetapi bahwa Paman Sepuh bisa mengubah dirinya menjadi
kekuatan itu, sungguh membuatnya kagum dan tak habis pikir.

 Ternyata nama-nama yang dipakai dan atau disebutkan dalam kidungan itu
bukan sekadar nama. Bukan merupakan perumpamaan, akan tetapi betul-betul bisa
diperhatikan secara jelas.

Kembali Upasara seperti menemukan jalan buntu. Hujan tusukan yang
dimainkan seperti mandul dan percuma. Mentah oleh gelombang ombak munculnya
Timinggila yang sedang murka.

 Bahkan mau tidak mau, Upasara terdesak ke arah tempat yang agak jauh,
karena tak mampu meniti gelombang untuk mendekat.

 Tanpa terasa sepuluh jurus kembali berlalu.

 Mau tak mau lawan yang dihadapi berganti!

Di pinggir lapangan, Wilanda menyadari bahwa matahari sudah makin
condong ke barat, dan kegelapan mulai menyelimuti. Akan tetapi tak ada tanda-tanda
pertarungan dihentikan sejenak. Bayangan-bayangan yang tengah bertarung-Wilanda
tak bisa memastikan apakah yang bergerak enam bayangan atau lima atau hanya
empat-masih sama ketika mulai.

 Wilanda tak bisa mengikuti kini, siapa melawan siapa. Siapa menghadapi siapa,
dan siapa yang lebih unggul dari siapa.

 Hal yang sama dihadapi Gendhuk Tri.


 Karena memaksakan diri untuk mengikuti dengan jelas, kepalanya mulai
pusing, kesadarannya menurun. Beberapa kali tenaga dalamnya dikerahkan agar
terjaga, namun makin lama makin sia-sia.

Malam, kini, sepenuhnya kelam.
Kemenangan yang Kalah
DALAM keadaan terang benderang pun susah mengikuti jalannya pertempuran,

apalagi sekarang ini.

 Tanpa cahaya bulan.

 Bahkan rasanya tanpa desir angin.

Gendhuk Tri tertunduk lemas, sementara Nyai Demang beberapa kali

menghela napas. Antara sadar dan tidak, Nyai Demang masih memaksa diri melihat
kelebatan bayangan. Akan tetapi pandangannya makin kabur.

 "Jangan memaksa diri," suara Jaghana terdengar mengalir perlahan. Baru
sekarang terdengar suaranya, diawali dengan helaan napas dan batuk kecil.

Wajahnya seolah menggigil.

 "Apa yang terjadi di medan pertarungan di luar kemampuan kita. Bahkan
untuk menyaksikannya. Kita bukan apa-apa dibandingkan para sesepuh.

 "Marilah kita memanjatkan doa dan pujian kepada Dewa yang Mahaagung,
agar jalannya dan petunjukNya yang terjadi."

"Apa kita tak bisa berbuat sesuatu?"

 "Gendhuk Tri, rasanya berat, akan tetapi saya hanya bisa membenarkan apa
yang Gendhuk Tri kuatirkan."

 "Paman Jaghana juga tak bisa berbuat apa-apa?"

"Sama sekali."

Geraham Nyai Demang menggertak.


 "Paman Jaghana tak bisa mengetahui sekarang ini siapa melawan siapa dan
bagaimana keadaannya?"

Jaghana menghela napas berat.

 "Apa bedanya kalau saya katakan Adimas Upasara melawan Kiai Sambartaka
atau Eyang Sepuh sekalipun?

 "Pada setiap jurus terjadi pergantian pertarungan. Tak ada yang mampu
memisahkan mereka. Hanya maut yang bisa menghentikan."

 "Paman..." Suara Gendhuk Tri seakan memohon dengan sangat. "Apakah
benar-benar Paman tak mengetahui siapa yang bakal keluar dari medan pertarungan
dengan selamat?"

"Tidak."

 "Tidak mampu memperkirakan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang?"

 "Tidak ada yang keluar sebagai pemenang. Inilah kemenangan yang kalah.
Bahkan juga termasuk Eyang Sepuh. Saya sedih mengatakan ini. Akan tetapi batin
saya makin merintih, tertindih beban yang tak kuasa saya panggul kalau tidak
mengatakan hal ini. Saya tak ingin membagi kecemasan, akan tetapi agaknya tak bisa
lain.

 "Pemunculan Eyang Sepuh dari kedamaian yang dicapainya adalah kegagalan.
Eyang Sepuh dipaksa turun ke gelanggang dan bertempur.

 "Ah, betapa sesungguhnya ilmu silat itu jalan sesat yang maha jahat. Ketika
kaki kita melangkah di jalan itu, tak ada langkah surut kembali. Di sana hanya ada
lingkaran yang membelit tak keruan ujungnya.

 "Semakin mempelajari ilmu silat, semakin jauh kita tersesat. Pertarungan ini
hanya mempunyai makna dari segi ini. Bahwa pada akhirnya semua jago silat di jagat
ini harus memamerkan keunggulannya. Secara rela maupun tidak sengaja.

 "Betapa sesungguhnya, Eyang Sepuh lebih bahagia di kedamaian dan Upasara
di kedamaian ketika melepaskan semua ilmunya."

 "Paman..." Kali ini suara Wilanda yang memohon.


 "...Inilah titik akhir dan sekaligus awalnya."
"Paman tidak akan..."
Jaghana membisu.
Sebentar.
"Saya tak cukup berarti. Memiliki atau tidak memiliki ilmu silat, saya tak akan


mengubah apa-apa."
"Paman!" Kali ini Wilanda berseru, bersamaan dengan Gendhuk Tri dan Nyai

Demang.

Badan Jaghana bergoyang-goyang.

 Wilanda segera menunduk, bersila, dan menempelkan telapak tangannya ke
tubuh Jaghana. Nyai Demang dan Gendhuk Tri juga melakukan hal yang sama.
Serentak dengan itu terasakan udara dingin dan panas berganti-ganti bergolak dari
tubuh Jaghana.

 Kalau tadi Gendhuk Tri merasakan pusing, itu karena gangguan penglihatan.
Sedangkan Jaghana, sebenarnya, lebih parah lagi! Peristiwa yang dilihatnya lebih
melukai jiwanya! Sehingga terjadi keguncangan.

 Sehingga Wilanda, Gendhuk Tri, dan Nyai Demang berusaha menenteramkan.

Sewaktu usaha ketiganya mulai menyatu, mendadak terdengar teriakan keras.
Semacam jeritan yang menyayat.

 Nyai Demang bergoyang tubuhnya. Napasnya menjadi kacau-balau. Di

kejauhan nampak dua tubuh terbanting!

 Tak bergerak lagi!

"Duh, Dewa."

 Rintihan suara Gendhuk Tri menyadarkan semuanya. Bahwa dua orang telah
menjadi korban. Dua-duanya telah menjadi mayat. Gendhuk Tri menggigil. Di saat
yang kritis, suara Wilanda terdengar tipis mengelus.


 "Kedua Kama, murid utama Kama Kangkam, telah menemukan jalan buruk
menuju kepada kematian.

 "Sebaiknya kita menyingkir dari tempat ini.

"Sementara..."

 Memang, dua tubuh yang terkapar tak berdaya adalah Kama Kalandara dan
Kama Kalacakra. Mereka berdua mengalami proses keguncangan yang sama parahnya.
Hanya karena latihan dasar ilmunya berbeda, lebih keras dari Jaghana,
ketidakmampuan menahan diri itu berakibat fatal.

 Keduanya mencabut pedang pendek dan menusuk perut sendiri!

 Begitulah dua murid utama pendekar Jepun mengakhiri ketegangan dan
guncangan dirinya.

Tradisi bunuh diri karena merasa tak mampu mengikuti jalannya
pertempuran, menemukan bentuknya.

 Itu pula sebabnya Wilanda mengusulkan untuk berpindah tempat. Yang segera
dituruti, walau dengan berat hati.

 Barulah mereka berempat sadar, bahwa di sekitar Trowulan banyak dijumpai
mayat para prajurit Keraton. Yang agaknya secara sembunyi-sembunyi menyaksikan
dan mengikuti pertarungan. Barangkali karena tenaga dalam mereka masih belum
kuat, kesiuran angin atau pukulan tak langsung, membunuh tanpa sempat bereaksi.

 "Pasrah kan kepada Dewa yang Maha Mengetahui..." Wilanda terus memimpin

pemusatan pikiran ketiga kawan nya.

Sampai fajar menyingsing.

 Berarti pertarungan dahsyat sudah berjalan sehari-semalam.

 Tanpa henti!

 Tanpa mengendor.

 Dalam kemelut pertarungan, Upasara sendiri tidak tahu apakah kini sudah

fajar atau siang hari. Ia bagai tenggelam dalam gelombang yang makin lama makin


menyeret dirinya. Membetot sukmanya. Gerakan-gerakan yang dimainkan telah
membuat getaran yang menjalar di seluruh tubuhnya. Upasara tenggelam, larut,
menyatu dengan ilmu silat yang dimainkan.

 Tak bisa membedakan lagi siapa lawan yang dihadapi. Seolah segalanya
berjalan berdasarkan naluri semata-mata. Tubuhnya kuyup oleh keringat dan
mengering lagi.

 Dahaga dan kesesakan datang dan hilang kembali.

 Pedang hitam ratusan kali mengulang gerak yang sama, sedikit berbeda di
bagian awal atau akhir. Kalau sebelumnya sempat mengingat kidungan dan melihat
pemecahan, kini sepenuhnya larut. Menyatu.

Tak bisa menghentikan atau menunda.

Semua mengalir begitu saja.

 Sampai gelap seluruhnya, dan mendadak gerakannya terhenti begitu saja.

 Terlintas dalam kejapan ingatannya bahwa tongkat emas Naga Nareswara
seperti menari-nari di depannya, dan mendadak tongkat kurus Paman Sepuh berhasil
mengenyahkan. Naga Nareswara berlutut, memegangi dadanya yang terbelah.

 Torehan melenceng dari pundak kiri, ke arah pangkal paha di sebelah kanan.

 Luka menganga, hingga rasanya Upasara melihat tulang, otot, dan urat nadi
Naga Nareswara.

 Dan melihat bahwa tongkat emas pusaka itu bergulir, menghantam wajah
Paman Sepuh yang seketika seperti mengepulkan debu.

 Pada saat yang sama, Upasara merasa ada angin berdesir di pundak kanannya,
dan melihat Kama Kangkam tersungkur dengan pedang hitam amblas masuk ke
tubuhnya!

 Upasara berdiri dengan kaki limbung.

 Ada semacam rasa mual dan mabuk yang menguasai diri sepenuhnya. Tak jelas
sekali, apakah Paman Sepuh telah hancur kepalanya, dan Naga Nareswara telah


terbelah, atau Kama Kangkam yang lebih dulu tertusuk Galih Kangkam hingga
amblas.

"Aku, utusan dari Jepun, menyerah kalah!"

 Tubuh Kama Kangkam masih berlutut, kaku seketika.

Naga Nareswara mengeluarkan suara mengguntur.

 "Hebat. Tikus-tikus ini bukan hanya lidahnya yang sakti. Aku puas. Terimalah
hormatku."

 Tangannya berusaha terangkat dan memberi hormat, sebagaimana kebiasaan
ksatria Tartar.

Akan tetapi tangan itu telah terlepas, dan tubuhnya terempas!
Bait Terakhir yang Tersisa
INI yang luar biasa!

 Akhir yang tak terduga.

 Naga Nareswara terbelah bagai disobek paksa. Terkelupas secara sempurna.
Sementara Paman Sepuh hancur bagai debu, rontok seluruh isi kepalanya. Dan Kama
Kangkam terpanggang pedang hitam hingga ke gagang.

 Dalam tarikan napas terakhir, ketiga senopati utama dunia ini mengakui
kekalahannya dan memberi penghormatan kepada pemenang.

 Kalau dibuat perhitungan secara kasar, Upasara yang bisa muncul sebagai
pemenang dengan bersih. Kama Kangkam, ksatria utama dari Jepun berhasil
dirobohkan. Sedangkan Paman Sepuh yang lebih dulu unggul, dalam sekejap
berikutnya menjadi tak bersisa.

 Hanya satu perhitungan yang harusnya masih berjalan.

Antara Eyang Sepuh melawan Kiai Sambartaka.

Yang pasti sudah mencapai titik akhir juga.


 Karena dalam pertarungan yang berlangsung tinggi dan penuh dengan ilmuilmu
utama yang dilontarkan secara bersamaan, tak bisa berakhir sendirian.

 Nyatanya memang begitu!

 Hanya saja hasilnya lain!

 Antara sadar dan tidak, Upasara Wulung melihat bahwa pertarungan Eyang
Sepuh dengan Kiai Sambartaka sampai ke bagian yang paling menentukan. Tak bisa
dicegah tak bisa dipisah. Hanya akan menghasilkan satu pemenang!

 Eyang Sepuh berhasil menguasai semua ilmu Kiai Sambartaka, dan berhasil
mempengaruhi getaran udara. Akan tetapi agaknya Eyang Sepuh tidak ingin merebut
kemenangan. Dengan penguasaan yang maha sempurna, Eyang Sepuh berhasil
membebaskan dirinya, tanpa membunuh Kiai Sambartaka.

Pada tingkat yang serba sempurna ini, ternyata Eyang Sepuh tetap
mendudukkan dirinya sebagai di atas yang paling atas.

 Tubuh Kiai Sambartaka hanya bergulingan di tanah.

 Tapi akhirnya memang berbeda.

 Begitu terbebas dari pengaruh ilmu Eyang Sepuh, Kiai Sambartaka bukannya
mengucapkan terima kasih atau menerima kalah. Justru sebaliknya.

 Teriakan mengguntur, mirip jeritan yang memilukan, terdengar menyayat,
dan serentak dengan itu dua tangannya memukul Eyang Sepuh!

 Pukulan terakhir yang menggemuruh!

 Pekikannya serta-merta membuat semua binatang berbisa di sekitar Trowulan
mendesis dan menyerbu dengan ganas siapa saja yang ada di dekatnya.

 Kiai Sambartaka mengerahkan ilmunya yang terakhir.

 Upasara tak menduga sama sekali. Hanya bisa memandang dengan kaki masih
limbung. Melihat tanpa bereaksi munculnya ular berbisa, kalajengking yang secara
mendadak menyerbu ke arahnya.

 Juga ke arah Gendhuk Tri, Wilanda, Jaghana, maupun Nyai Demang.


 Sebagian binatang berbisa itu muncul dari tanah, sebagian muncul dari tubuh
Kiai Sambartaka.

 Bahwa Kiai Sambartaka mampu menjinakkan dan menggunakan ular kobra
sebagai senjata, hal itu bukan sesuatu yang luar biasa. Semua pendeta dari tlatah
Hindia menguasai dengan sempurna. Dan Kiai Sambartaka lebih dari sekadar
menguasai!

 Yang tak terduga ialah bahwa Kiai Sambartaka menggunakan secara licik.

 Sungguh tak masuk akal bahwa tokoh pujaan yang telah mencapai ilmu
sedemikian tinggi masih bisa berbuat busuk!

 Sungguh tak sepadan dengan sifat ksatria Kama Kangkam maupun Naga
Nareswara serta Paman Sepuh.

 Tapi itulah jalan yang ditempuh Kiai Sambartaka. Terlambat Upasara untuk

menangkis.

 Apalagi yang lain.

 Dalam sepersekian kejap, segala binatang beracun akan memangsa! Memekik

pun tak sempat.

 Upasara berusaha berdiri dengan tegak. Akan tetapi puyeng di kepalanya
makin berdenyut. Yang bisa dilakukan hanyalah menahan napas.

 Pada saat itu terasa angin berdesir. Antara kelihatan dan tidak, bayangan putih
Eyang Sepuh mendesir, mengibaskan pakaian putih, dan semua binatang berbisa,

berikut pukulan Kiai Sambartaka, terarah padanya.

Pada Eyang Sepuh!

Yang mengambil alih semua bencana dan risiko.

 Pujian dan segala kehormatan bagi Eyang Sepuh yang mulia!

Kiai Sambartaka terbanting, muntah darah kental, dan tubuhnya

bergoyang-goyang sebelum akhirnya terbanting ke Kali Brantas dan lenyap!


 Kini Jaghana, Wilanda, Gendhuk Tri, dan Nyai Demang bisa melihat jelas.
Melihat bayangan tubuh Eyang Sepuh yang bergerak perlahan. Kalau tadinya

antara kelihatan dan tidak, sekarang terlihat gerakannya.
Lembut.
Ringan.
Bahkan Jaghana bisa mengamati jubah yang dikenakan Eyang Sepuh ada tanda

darah dan luka.
Bisa jadi cipratan darah segala binatang terluka. Bisa jadi Eyang Sepuh sendiri

yang terluka!
"Eyang!"
Hampir bersamaan, kelima warga Perguruan Awan itu bersujud dan

meneriakkan nama yang sama.
Terdengar suara batuk kecil.
Terdengar suara, antara terdengar dan tidak:

Kenapa menyesali yang pergi
kalau rumput bisa bersemi
berkorban itu melepas harapan
pergi itu lahir kembali
dalam Kitab Bumi
Ada bait terakhir, tak terbaca hati!



 Suara batuk menghebat. Disusul batuk-batuk kecil. Bayangan tubuh Eyang
Sepuh semakin menjauh, tapi perlahan. Menghilang di kesenyapan.

Lenyap.

Senyap.

Gelap.

 Upasara Wulung tertekuk tubuhnya. Samar-samar masih terasa seperti terlibat
dalam pertarungan, yang makin lama makin tak bisa dibedakan siapa yang dihadapi,
dengan siapa ia bertarung, yang menyeretnya begitu saja, seolah ia dipaksa
memainkan jurus-jurus tanpa bisa mengontrol.

Semua kemampuan silatnya mengalir begitu saja.

 Tubuhnya seperti digerakkan oleh kekuatan lain. Gerakan silatnya menjadi,

membentuk. Tubuhnya menyerang dan menekuk dengan sendirinya.

Lalu korban berjatuhan.

 Dan Kiai Sambartaka yang berbuat sangat licik dan hina. Lalu pengorbanan

Eyang Sepuh.
Sehari-semalam Upasara Wulung selalu terseret dalam lamunan dan lingkaran

pikiran yang begitu berat serta meletihkan. Dan tak bisa ditanggalkan.

 Baru kemudian tubuhnya seperti terseret arus gelap.

 Malam hari Upasara sadar kembali. Menemukan dirinya dikelilingi Jaghana,

Wilanda, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang.

"Paman..."

 "Tenangkan pikiran, Anakmas Upasara." Suara Jaghana terdengar parau,

seperti memaksa dengan sebutan "Anakmas".

"Eyang Sepuh..."

 "Eyang sudah tindak."


 Suara Gendhuk Tri lebih mengesankan hati yang tersayat dibandingkan
keharuan.

Upasara Wulung bersila.

Menghaturkan sembah.

"Sugeng tindak, Eyang."

 Akhirnya, Upasara Wulung dengan ikhlas melepas kepergian Eyang Sepuh.
Ikhlas karena sadar bahwa barangkali ini kepergian Eyang Sepuh yang terakhir kali.

 Pertemuan pertama dan juga pertemuan penghabisan.

 Pertemuan dengan bayangan, karena Eyang Sepuh telah menguasai ilmu
moksa, sehingga bahkan tubuhnya seperti tak terlihat, walau terasa keberadaannya.

 Inilah akhir dari pertarungan penghabisan di Trowulan. Beberapa kuburan,
dan sisa-sisa pertarungan.

 "Tenangkan hati Kakang," kata Gendhuk Tri seperti suara nenek memberi
nasihat. "Eyang Sepuh bangga dengan Kakang. Kakang telah menunaikan kewajiban
sebagai pemimpin Perguruan Awan."

 Dada Upasara membusung.

"Sebagian telah selesai.

 "Sebagian lagi harus segera diselesaikan. Kakang ingin mencari Halayudha

sebagai perhitungan terakhir."

Suara Upasara terdengar getir. Masih diwarnai dendam yang mencakar
batinnya.
Rata Ayu Bawah Langit
DALAM pendengaran Jaghana, kalimat terakhir yang diucapkan Upasara sangat

ganjil.
Rasanya hal semacam itu tak mungkin keluar dari bibir Upasara!


 Wilanda bisa merasakan hal yang sama. Dari segi kemampuan penguasaan
ilmu silat, Upasara sudah tingkat di atas rata-rata para kampiun. Kematangan
penguasaan ilmu Kitab Bumi, boleh dikatakan belum menemukan tandingan. Akan
tetapi dari sisi lain tetap menunjukkan usia yang masih muda. Yang masih dibakar
oleh dendam.

 Kalaupun Upasara menganggap Halayudha yang paling busuk, hal itu tak perlu
dilontarkan.

 Mengumbar perasaan hati adalah sesuatu yang pantang bagi seorang yang
berhati bijak. Kawicaksanan, atau kebijaksanaan, justru diukur dari kemampuan
mengendalikan amarah dan dendam.

Yang tak diperhitungkan oleh Jaghana maupun Wilanda-dua sesepuh
Perguruan Awan dan sekaligus murid langsung Eyang Sepuh-adalah kenyataan bahwa
Upasara melihat sisi busuk Halayudha.

 Halayudha sumber dari segala keonaran.

 Baik dalam mengacaubalaukan tata pemerintahan Keraton, maupun dalam
dunia persilatan.

 Yang lebih membuat Upasara meneriakkan dendam dengan suara perih ialah
kenyataan bahwa yang selama ini membunuh Pak Toikromo, tak lain tak bukan
adalah Halayudha. Yang membunuh semua penduduk desa tak berdosa juga
Halayudha.

 Halayudha-lah satu-satunya yang menguasai dan mampu memainkan sabetan
tongkat secara miring sebagaimana gurunya. Yaitu Paman Sepuh Dodot Bintulu!

 Halayudha sengaja memainkan ilmu itu, agar tuduhan utama jatuh ke Paman
Sepuh. Agar Upasara melabrak Paman Sepuh. Dan itu sesungguhnya telah terjadi.
Jebakan yang luar biasa licinnya telah menyebabkan Upasara menantang dan
mendendam habis-habisan.

 Yang barangkali tak diduga oleh Halayudha sendiri ialah kenyataan bahwa
Upasara bisa membedakan sabetan tongkat kurus!

 Naga Nareswara, maha jago dari Tartar, terbelah sempurna oleh sabetan
tongkat kurus. Lukanya juga menggores mencong.


 Upasara melihat sendiri.

 Menyaksikan sobekan seluruh urat, daging, dan tulang Naga Nareswara, pada
tempat-tempat yang mematikan. Ini berarti bukan hanya sekadar penguasaan ilmu
yang luar biasa, akan tetapi Paman Sepuh mengenal rasa welas asih. Rasa kasihan, rasa
kemanusiaan yang dalam.

 Sabetan tongkat kurus Paman Sepuh adalah sabetan yang memutus kehidupan
dalam seketika. Sehingga korbannya tak sempat merasakan rasa sakit.

 Dalam sekejap, nyawanya telah melayang. Ini justru yang tak terlihat pada
tubuh Pak Toikromo! Juga seluruh penduduk desa!

 Pada kejap-kejap terakhir dalam hidupnya, Pak Toikromo masih merasakan
ngilu yang luar biasa pedihnya. Karena disengaja oleh Halayudha, agar korbannya
merasakan penderitaan yang luar biasa.

 Sebagai jago silat, Upasara mengetahui perihal urat saraf, nadi, dan otot-otot
dalam tubuh manusia.

 Sehingga bisa lebih merasakan betapa sesungguhnya Halayudha adalah iblis di
atas iblis yang tak mengenal perikemanusiaan sama sekali.

 Sungguh aib kalau ada gelar senopati, apalagi ksatria, bagi manusia iblis
semacam itu.

 Inilah sesungguhnya yang membakar hati Upasara. Lebih dari dendamnya
kepada Kiai Sambartaka yang culas di saat-saat terakhir. Yang membuat Eyang Sepuh
melakukan ilmu terakhir yang dimiliki, yaitu moksa, lenyap bersama seluruh badan
dan sukmanya.

 Tindakan Kiai Sambartaka lebih dikarenakan terdesak, dan pada saat-saat
terakhir mempertahankan hidupnya.

Sedangkan Halayudha berbuat kecurangan dan keculasan untuk
keserakahannya.

 Kalau Upasara, Jaghana, Wilanda tenggelam dalam pikirannya, tidak demikian
dengan Nyai Demang. Tanpa lebih dulu menanggalkan pakaiannya, Nyai Demang
meloncat ke dalam sungai, menyelam, seakan mengaduk-aduk perut sungai.


 Dari ujung ke ujung, hingga tiap kali mengambil udara, makin terlihat
napasnya tak teratur.

 "Apa yang dicari perempuan yang selalu minta diperhatikan itu?" Ucapan
Gendhuk Tri yang lirih mendapat jawaban dari Nyai Demang yang muncul sebentar.

 "Kamu yang tolol. Sudah jelas Kiai Sambartaka melesat ke dalam sungai,
kenapa kalian biarkan saja?"

 Gendhuk Tri melengak.

"Memang kenapa?"

 "Itu yang dinamakan ketololan."

 "Aku memang tolol. Tapi katakan dulu, kenapa?"

 Nyai Demang menghela napas sambil berenang ke pinggir.

 "Kiai Sambartaka bukan kamu atau aku. Ia jago utama yang dikirim dari tlatah
Hindia. Kemampuannya luar biasa dalam mengatur pernapasan. Rasanya tak mungkin
begitu saja mati ketika kecebur ke sungai.

 "Pun andai saat itu sudah terluka parah."

 "Kalau begitu aku benar-benar sangat tolol dan dungu."

 Nyai Demang menghela napas.

 "Sudahlah. Belum tentu aku bisa mencari, dan kalau bisa menemukan, belum

tentu aku bisa menandingi. Kalau di belakang hari ia muncul lagi, harap kamu
berhati-hati."

 Biarpun menyadari ketololannya secara tulus, mana mungkin Gendhuk Tri
mau dinasihati begitu saja.

 "Tukang pelihara ular begitu saja ditakuti. Hati-hati atau tidak, itu urusanku."

 Gendhuk Tri meludah ke sungai.


 "Kiai culas, ayo keluar kalau berani. Sekarang tandingi aku. Kalau kamu tetap
tak mau keluar, jangan salahkan aku kalau kukencingi wajahmu!"

 Mendengar tantangan Gendhuk Tri, yang bisa benar-benar dilakukan, tak
urung Upasara tersenyum kecil.

 Kepada Jaghana dan Wilanda, Upasara menjelaskan maksud berikutnya.

 "Saya menangkap kegelisahan Paman berdua mengenai rencana saya membalas
dendam. Berarti ini tantangan terbuka buat Baginda Raja, berarti ini membusungkan
dada kepada Keraton.

 "Akan tetapi saya tidak melihat pilihan lain.

 "Siapa pun yang melindungi atau campur tangan, saya tak segan-segan akan

menghadapi."

 Upasara menarik napas panjang.

 "Sejak kekuatan saya kembali, ada tuntutan lain yang mendesak. Maaf, Paman,

saya belum bisa meredakan keinginan ini.

 "Maka, akan lebih baik lagi kalau urusan saya dengan Senopati Halayudha
semata-mata adalah urusan pribadi antara Upasara dan Halayudha.

 "Untuk sementara, urusan Perguruan Awan, Paman berdualah yang

menangani."

Jaghana tersenyum arif.

 "Apa kata Anakmas Upasara, pemimpin kami, tak berani Paman bantah. Hanya

saja, kalau Paman boleh menitipkan pesan, bisalah Anakmas mencari waktu yang
tepat."

 Lembut, lirih, akan tetapi jitu kata-kata Jaghana.

 "Karena Baginda Raja sedang membutuhkan Halayudha.

 "Paman mendengar bahwa di samping utusan-utusan dari mancanegara yang
sudah berkumpul di Trowulan ini, masih ada yang lainnya. Bukan kebetulan kalau


yang sekarang sedang berada di Keraton menjadi tamu kehormatan adalah Ratu Ayu
Bawah Langit."

Gendhuk Tri jadi menoleh.

 Nyai Demang yang tengah mengeringkan rambutnya memasang perhatiannya
dengan baik-baik.

 Jaghana tidak membuat Upasara bertanya-tanya, segera memberi penjelasan.

 "Sewaktu kita berangkat kemari, pendengaran Paman yang kurang bagus ini
menangkap kabar bahwa Ratu Ayu Bawah Langit datang ke Keraton dan menjadi
tamu kehormatan Baginda Raja.

 "Barangkali Anakmas pernah mendengar cerita Ratu Ayu yang keayuannya
melebihi 999 bidadari."

 "Ini yang baru aku dengar, Naga Nareswara yang sudah mati itu menyebutnyebut
ada perempuan yang berani bergelar Ratu Ayu Bawah Langit.

 "Apa hebatnya perempuan itu, sehingga berani memakai gelaran itu?"

 "Ia putri raja, yang sekarang ini pun tengah menunggu pelantikan resmi
sebagai ratu."

 Penjelasan Nyai Demang membuat Gendhuk Tri lebih penasaran.

 "Kalau ia cuma ratu, biar saja. Perlu apa saya peduli. Tapi berani mengaku
paling ayu, saya mau lihat sendiri. Apakah hidungnya cuma punya satu lubang? Apa
keringatnya bau minyak kesturi? Apa ludahnya wangi seperti kayu cendana?"

 Meskipun diucapkan dengan hati yang dongkol, Gendhuk Tri menunjuk-kan
bahwa sebenarnya ia mendengar puji-pujian bagi Ratu Ayu Bawah Langit. Pujian
yang membuat perutnya merasa mual. Karena menyinggung harga dirinya sebagai
wanita.

Ratu Turkana Mencari Jodoh

NYAI Demang merasa Gendhuk Tri mewakili suara hatinya. Barangkali juga suara
hati semua wanita.


 Bahwa di dunia ini ada wanita yang cantik jelita lebih daripada bidadari,
bukan sesuatu yang aneh. Akan tetapi bahwa ada sebutan Ratu Ayu Bawah Langit,
menunjukkan kepongahan yang luar biasa.

 Mana mungkin begitu mudah memastikan sebagai ratu ayu di bawah langit?

 Namun yang membuat Nyai Demang merasa ngeri, bukan karena Ratu Ayu ini
dianggap yang paling jelita di bawah langit, melainkan apa yang sempat diceritakan
Kiai Sambartaka kepadanya. Bahwa utusan yang datang dari tlatah Turkana sungguh
istimewa. Masih muda, jelita tak tertandingi, akan tetapi ilmunya setara dengan

sekian banyak utusan yang datang.

 Baik dari Tartar, Jepun, maupun Hindia sendiri.

 Nyai Demang bisa memperkirakan betapa tangguh dan hebatnya Ratu Ayu

 Dan sesungguhnya, kalau dihitung-hitung sejak semula, jumlah utusan dari

berbagai penjuru jagat ini sudah diatur sedemikian rupa untuk pertempuran secara
langsung dan menyeluruh. Secara bersamaan.

Dalam perhitungan para ksatria tingkat jagat ini, nama Upasara tidak
termasuk.

Tempat yang sesungguhnya ialah untuk Ratu Ayu!

 Hanya karena satu dan lain hal, Ratu Ayu tak bisa datang tepat pada saat yang
dijanjikan.

 Sehingga Upasara bisa mengikuti pertarungan.

 Nyai Demang masih ingat. Bahwa sebelum masuk ke gelanggang pertarungan,
Upasara semacam diuji lebih dulu. Pantas atau tidak dalam perebutan gelar
Lelananging jagat!

 Hal itu tak terjadi andai Ratu Ayu yang masuk ke gelanggang.

 Keunggulan Ratu Ayu telah diakui oleh Kiai Sambartaka.

Juga Naga Nareswara.

 Itu yang didengar oleh Gendhuk Tri.


 Tapi Gendhuk Tri sama sekali tak ambil peduli, dan menganggap Naga
Nareswara sekadar membual. Ia dijuluki Raja Segala Naga, dan lalu asal menyebutkan
nama Ratu Ayu Bawah Langit. Biar dianggap setanding.

 Memang, dibandingkan dengan Nyai Demang maupun Jaghana, Gendhuk Tri
paling kalah dalam pengalaman mengetahui apa yang terjadi di tlatah lain. Bahkan
perihal tlatah Melayu saja, Gendhuk Tri baru mengetahui belakangan setelah
kembalinya Senopati Anabrang.

 Sebaliknya Nyai Demang boleh dikatakan sangat ingin mengetahui segala
sesuatu yang terjadi di luar laut dan gunung yang pernah dilihatnya. Itu pula
sebabnya sejak dini, Nyai Demang senang mempelajari berbagai bahasa manca.

 Termasuk bahasa dari tlatah Tartar.

 Sehingga boleh dikatakan, dirinya satu-satunya yang bisa berbicara secara
langsung dan jelas.

Itu pula yang menyebabkan rasa ingin tahunya untuk mendekati Kiai
Sambartaka.

 Jaghana sedikit berbeda. Boleh dikatakan tak pernah mengenal dunia di luar
batas hutan Perguruan Awan. Akan tetapi, ia adalah murid langsung Eyang Sepuh.
Yang pernah berhubungan langsung sejak berguru.

 Jaghana adalah murid kepercayaan.

Pada saat-saat tertentu Eyang Sepuh banyak berbicara mengenai segala
kejadian di jagat. Termasuk saat bakal diadakan pertemuan untuk memperebutkan
siapa yang sesungguhnya berhak atas Kitab Bumi, siapa yang paling murni
menjalankan kitab yang banyak diperebutkan itu.

Secara jelas Eyang Sepuh mengatakan bahwa sebenarnya hal itu lebih
menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang tiada artinya lagi. Manusia menjadi tua
oleh usia dan waktu, akan tetapi pikiran dan nafsu ternyata tetap tak bisa
dikendalikan.

 Dalam pertempuran terakhir sebelum meninggalkan Perguruan Awan, Eyang
Sepuh menyebut-nyebut bahwa pada waktu yang telah ditentukan akan datang Tamu
dari Seberang, tamu-tamu dari tlatah Tartar, Jepun, Hindia, Turkana.


 "Semua teman lama. Kecuali yang datang dari tlatah tapel wates. Saya dengar
masih muda dan sedang mencari jodohnya."

Hanya itu yang disinggung oleh Eyang Sepuh.

 Tapi bahwa Eyang Sepuh mengingatkan secara khusus, menandakan bahwa
Ratu Ayu memang mempunyai kedudukan yang luar biasa.

 Eyang Sepuh memang menyebut Turkana sebagai tlatah tapel wates, atau
negeri perbatasan. Karena konon negeri itu merupakan perbatasan antara dunia yang
masih setia dengan ajaran-ajaran serupa dalam Kitab Bumi, dan ajaran-ajaran lain
yang sama sekali tak diketahuinya.

 Itu pula yang membuat Jaghana secara khusus mengingatkan Upasara Wulung.

Bahwa kalau Ratu Ayu masih di Keraton, dan apalagi menjadi tamu
kehormatan Baginda Raja, keinginan mencari Halayudha bisa berakibat lain.

 Karena Halayudha dengan segala kelicikannya mampu memancing semua
empu bertarung. Dan ia sendiri tinggal di Keraton untuk melihat hasil akhir, setelah
tak bisa menguasai Naga Nareswara.

 Jaghana juga tak bisa menganggap enteng Halayudha. Biar bagaimanapun,
Halayudha adalah murid langsung Paman Sepuh Dodot Bintulu. Saudara seperguruan
Ugrawe yang di saat kehancuran Keraton Singasari membuktikan diri sebagai yang
sangat perkasa.

 Halayudha yang sama ini pula sudah mempelajari secara tuntas segala isi
Bantala Parwa. Masih harus ditambah mempelajari secara langsung dari Naga
Nareswara. Terakhir sempat menawan Kama Guru dari Jepun.

 Dengan segala akal yang dimiliki, sedikit-banyak Halayudha sekarang ini
lawan yang setanding bagi Upasara Wulung.

 Kalau ia berhasil menarik Ratu Ayu ke pihaknya, Upasara akan menghadapi
lawan yang berat.


 Dalam soal pertarungan ilmu silat, Jaghana masih melihat ada kemungkinan
untuk mengungguli lawannya satu demi satu. Namun dalam soal mengatur tipu
muslihat, jelas Upasara Wulung bukan apa-apanya dibandingkan Halayudha.

 "Kakang tak perlu takut segala kuntilanak atau tuyul perempuan. Walau
rasanya juga perlu hati-hati."

 Upasara mengangguk pelan kepada Gendhuk Tri, lalu memandang ke arah
Nyai Demang.

 "Nyai punya wawasan seluas samudra seluas langit. Apakah Nyai sependapat
dengan kabar-kabar tentang kehebatan Ratu Ayu Bawah Langit?"

 Nyai Demang melirik Gendhuk Tri, seakan memanfaatkan pujian Upasara
sebagai kelebihannya atas Gendhuk Tri.

 Gendhuk Tri pura-pura membersihkan telinga. Seakan tidak mendengar,
walau hatinya panas.

 Wilanda yang mencuri pandang, jadi menunduk malu. Menertawakan dirinya
sendiri. Kenapa ia masih memperhatikan persaingan Gendhuk Tri dan Nyai Demang
yang memperebutkan perhatian Upasara?

 "Sesungguhnya saya tak mengetahui tentang Ratu Ayu. Di jagat hanya ada satu
wanita yang paling ayu. Adimas Upasara pasti tahu siapa itu."

 Tanpa menyebut nama Gayatri, Nyai Demang sudah membuat wajah Upasara
berubah sedikit merah.

"Hanya memang Kiai Sambartaka menyebut-nyebut bahwa utusan dari
Turkana ini perlu mendapat perhatian. Kiai sempat murka karena saya menjawab
bahwa sesungguhnya saya tak pernah mendengar nama Ratu Ayu Bawah Langit atau
Bawah Selokan.
"Waktu saya tanya kenapa perlu perhatian, Kiai Sambartaka menerangkan bahwa
sesungguhnya banyak sekali dasar-dasar persamaan antara Bantala Parwa di tlatah
Jawa ini dengan kitab-kitab di Jepun, Hindia, Tartar. Karena sumbernya sama.

 "Kembangan yang ada, hanya pada pengolahan bagian tertentu. Tetapi ciri-ciri
dasarnya masih sama.


 "Sementara yang berkembang di tlatah Turkana boleh dikatakan berbeda
dasar-dasarnya. Tlatah Turkana merupakan tapal batas budaya yang memiliki dasardasar
budaya Bantala Parwa, dengan tlatah budaya yang sama sekali berbeda.

"Betul atau tidak, saya sendiri belum mengetahui, Adimas.

 "Bagi saya yang lebih menarik adalah bahwa ternyata Ratu Ayu ini sedang

mencari jodohnya."

"Sungguh tak tahu malu.

 "Bagaimana mungkin ia wanita baik-baik kalau mengaku anak ratu dan calon

ratu tapi mengumbar kata-kata mencari jodoh? Seekor ular betina atau cacing tak
setebal itu wajahnya."

 "Itulah bedanya.

 "Ratu Ayu mewakili suatu tlatah yang berbeda."

"Ini bukan berbeda.

 "Ini saru, memalukan, hina, menjijikkan."

 Nyai Demang tersenyum lebar.

 "Paman Wilanda pernah mendengar kecemburuan?"

 "Siapa yang cemburu, jangan bicara seenaknya."

 Nyai Demang malah tertawa.

 "Kok ada yang merasa? Saya kan tidak menyebut nama siapa-siapa. Betul tidak,
Paman Wilanda? Jangan hanya mengangguk dalam hati. Nanti yang bersangkutan
tidak tahu. Perasaannya sudah tumpul, sudah kebal."

 Gendhuk Tri bukan tandingan Nyai Demang dalam sindir-menyindir.
Senopati Sariq
AKHIRNYA menjelang malam, Upasara memutuskan akan tetap menuju Keraton,

ditemani oleh Gendhuk Tri. Sedangkan Nyai Demang akan menyusup lebih dulu.


 Jaghana serta Wilanda dengan berat hati melepaskan kepergian Upasara.
"Tempat kami di antara rumput dan kehijauan daun. Maafkan kami tak bisa

menyertai Anakmas."

 Sebaliknya, Upasara juga meminta maaf.

 "Paman, sayalah yang bertanggung jawab dan diserahi tugas Eyang Sepuh

untuk berdiam di Perguruan Awan. Namun saat ini rasanya saya masih perlu
berkelana."

 "Berangkatlah, Anakmas. Dengan iringan doa dan cahaya Dewa."

Upasara menunduk hormat.

 Jaghana membalas.

Demikian juga Wilanda.

Walaupun dalam Perguruan Awan tidak ada tata tertib untuk saling
menyembah, akan tetapi sikap penghormatan masih tetap dilakukan. Bagi Upasara
Wulung, kebiasaan selama ini tak bisa berubah begitu saja.

 Demikian juga sikap Wilanda kepada Upasara. Biar bagaimanapun, ia dulunya
prajurit Keraton Singasari, di mana Upasara masih termasuk Ksatria Pingitan.

 Menjelang munculnya rembulan, rombongan berpisah. Upasara melanjutkan
perjalanan menuju ke Keraton. Gendhuk Tri merasa sangat girang karena kini bisa
mendampingi Upasara terus-menerus. Beberapa langkah, Gendhuk Tri sudah
memperingatkan agar sebaiknya Nyai Demang segera berangkat.

 "Kalau kamu ingin segera bertemu Dewa Maut, kenapa tidak berangkat lebih
dulu?"

 "Enak saja bicara. Bukankah kamu yang ingin segera bertemu dengan Senopati
Turkana yang bernama Sariq? Jangan dikira saya tidak mengetahui."

 "Atau justru Adimas yang ingin segera bertemu...?"

 Upasara menggelengkan wajahnya perlahan.


 "Mbakyu Demang, pikiranku sekarang ini dipenuhi keinginan untuk segera
bertemu dengan Senopati Halayudha. Di saat Keraton sedang berada dalam
kekacauan, di situ Senopati Halayudha makin mempertontonkan kemampuannya
untuk memutarbalikkan kenyataan."

 "Kakang takut menghadapi Halayudha yang sebelah kakinya sudah menginjak
lubang kubur?"

 "Takut, karena Senopati Halayudha katengen, dekat dengan Baginda Raja.
Dengan kekuasaan seperti itu, Halayudha bisa berbuat apa saja yang membahayakan
Keraton dan penduduk."

 "Coba Kakang terima pengangkatan Baginda sebagai mahapatih. Tak akan
begini jadinya."

Upasara menghela napas.

Bayangan tubuh ketiganya menggeliat dalam cahaya bulan.

 "Saya tak mampu. Darah Kakang terlalu kotor."

 "U-uh. Apa Kakang pikir darah Halayudha tua itu lebih biru?"

 Lalu, Gendhuk Tri beralih mengajak bicara Nyai Demang seakan tak ada
ganjalan hati.

 "Kalau di Keraton ada mahapatih, bukankah Halayudha itu tak bisa berbuat
apa-apa?"

 "Seharusnya begitu," jawab Nyai Demang dingin. "Akan tetapi masalahnya
menjadi lain. Baginda Raja terlalu dekat dan percaya kepada Halayudha.

 "Satu hal yang bisa membahayakan Baginda sendiri."

"Kenapa begitu?"

 "Baginda melupakan bahwa sewaktu merebut takhta, juga karena kepercayaan
yang diberikan kepada beliau. Kebetulan saat itu hampir semua senopati perangnya
bisa diandalkan. Akan tetapi, ada yang tidak.


 "Ini yang kurang disadari Baginda."
"Kalau ia celaka, biar saja.
"Kenapa kita harus memikirkan nasibnya, kalau ia justru memerintahkan


menggempur habis Perguruan Awan?"

 Ganti Nyai Demang yang menghela napas.

 "Mulutmu bisa bawel, karena kamu tak tahu ujung-pangkal persoalan."

 "Baik, aku bawel. Aku tak tahu ujung persoalan. Sekarang katakan, kenapa?"

 "Saya sendiri tak memedulikan Baginda. Sengsara atau tidak, bagi saya tak ada

bedanya.

 "Akan tetapi Baginda adalah raja kita semua. Raja semua penduduk Majapahit.
Baginda masuk angin, seluruh Keraton dan tata pemerintahan bisa berantakan. Sekali

Baginda tidak berkenan sesuatu, ratusan prajurit yang merasakan akibatnya.

 "Kini Baginda menghadapi tantangan yang agaknya tidak terlalu disadari.

 Pertama, dari dalam, yang bisa menjungkirbalikkan takhta. Kedua, utusan dari

Turkana. Kalau kedua kekuatan ini bergabung, semua akan terjadi. Entah malam ini
atau esok pagi."

 Upasara mengangguk membenarkan.

 "Apa betul Ratu Turkana itu sedemikian saktinya?"

"Naga Nareswara pasti pernah bercerita."

 "Tidak. Naga Nareswara hanya menceritakan bahwa senopati yang mengiringi
terdiri atas jago-jago utama. Di antaranya yang disebut Sariq."

 Nyai Demang menghela napas.

Agak berat.


 "Sariq dalam bahasa Turkana bisa berarti kuning. Ia memang senopati utama
yang dibawa Ratu Ayu Bawah Langit. Dua senopati yang lainnya ialah Senopati
Uighur dan Senopati Karaim.

 "Ketiganya merupakan senopati pilihan. Sewaktu prajurit Tartar mampu
menaklukkan seluruh jagat raya ini menyerbu masuk Keraton Turkana, ketiganya
berhasil mempertahankan diri. Ketiganya bahkan bisa meloloskan diri bersama Ratu
Ayu, dan kemudian berkelana ke seluruh jagat."

 "Untuk apa melarikan diri kalau memang sakti?"

 "Untuk menyempurnakan ilmunya. Sejauh yang saya dengar, ilmu silat seperti

yang terdapat dalam Bantala Parwa atau Jalan Budha juga ada di negeri Turkana.

 "Ratu Ayu termasuk yang mempelajari secara mendalam."

"Huh!"

 "Menurut Kiai Sambartaka, sebenarnya itulah bagian yang diburu, yang dikejar

oleh empu-empu di seluruh kolong langit. Barang siapa bisa mempelajari sampai
habis, dialah yang menguasai semua ilmu silat di dunia."

"Aha, kalau begitu Kakang Upasara ini tanpa tanding."

 Upasara mengeluarkan suara perlahan.

 "Saya telah membaca hingga habis. Telah berlatih hingga selesai. Seperti juga
Halayudha, seperti juga Paman Sepuh dan Eyang Sepuh.

 "Akan tetapi pencapaian kita masing-masing berbeda, tergantung bersih atau
tidaknya hati kita.

"Walaupun saya telah mempelajari secara mendalam sampai halaman
penghabisan, akan tetapi ternyata belum apa-apa.

 "Kalau kita ingat, Eyang Sepuh masih menunjukkan adanya bait terakhir yang
perlu dipelajari."

 "Padahal Kakang sudah mempelajari!"


 "Semua sudah mempelajari, akan tetapi belum bisa menangkap intinya. Adik
sendiri sudah membaca dan mempelajarinya. Juga Mbakyu Demang."

 Nyai Demang memandang ke arah langit. Matanya berkejap-kejap.

 "Sungguh aneh Bantala Parwa ini. Namanya sudah aneh sekali. Kitab Bumi,
tapi isinya adalah Dua Belas Jurus Nujum Bintang, dan Delapan Jurus Penolak Bumi.
Seperti dua bagian, akan tetapi kidungannya sama.

"Dua Belas Jurus Nujum Bintang berisi serangan-serangan yang ganas.
Sedangkan Delapan Jurus Penolak Bumi justru berisi kebalikannya. Jumlahnya tidak
sesuai. Dua belas dilawan dengan delapan.

"Ah, sudahlah, saya tak bisa memahami."

 "Lalu, bagian mana yang dimaksud dengan 'bait terakhir' oleh Eyang Sepuh?

 "Jangan-jangan masih ada kitab lanjutannya?"

 "Pasti tidak," Upasara memotong dengan mantap. "Justru Eyang Sepuh tidak

menyebut kitab yang lain. Eyang Sepuh menyebut 'bait terakhir, tak terbaca di hati'.

 "Paman Jaghana juga tidak mengatakan bahwa selama ini ada kitab lain yang
setanding atau merupakan lanjutan."

 "Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Kalau Kakang tak mampu memecahkan, pasti
orang lain juga tak bisa. Buat apa susah-susah. Biar saja kita bertiga menghadapi ketiga
senopati Turkana itu. Rasanya kita tak bakal kalah.

 "Soal Ratu Ayu, lebih gampang membereskannya. Kita lempari cacing pasti ia

kelojotan dan melolong minta ampun."

 Upasara melirik ke arah Nyai Demang.

 "Apa yang Mbakyu pikirkan?"

 Gendhuk Tri jadi gondok lagi. Upasara lebih memperhatikan Nyai Demang.

 "Saya justru kuatir kalau mempelajari sampai bait terakhir, jangan-jangan akan

seperti Eyang Sepuh. Moksa, seluruh jiwa-raga lenyap bersama.


 "Rasa-rasanya ada kaitan dengan itu."

Dari suaranya, Upasara bisa menangkap bahwa Nyai Demang lebih
menguatirkan kelanjutan mempelajari Kitab Bumi.

 Dengan kata lain, bukan tidak mungkin Nyai Demang telah menemukan bait
terakhir Kitab Bumi!
Tawaran Ratu Azeri Baijani
DUGAAN Upasara beralasan.

 Nyai Demang sangat peka dan bisa menyelami kemampuan bahasa. Daya
tangkapnya sangat luar biasa. Dari rangkaian kidungan yang bisa dihafalkan luar
kepala dengan baik, bukan tidak mungkin Nyai Demang telah menemukan kuncinya.

Mengetahui dengan tepat bagaimana mencari bait terakhir.

 Barangkali belum pasti sekali, akan tetapi telah menemukan sesuatu yang bisa

dipakai pegangan.

 Kalau hal itu dihubungkan dengan keadaan Dewa Maut, lebih masuk akal lagi.

 Dewa Maut yang terkurung di gua bawah Keraton mampu memecahkan

rahasia jalan buntu, juga dari Kitab Bumi!

 Dengan cara menangkap yang berbeda, memberikan hasil yang berbeda jauh.

Namun Upasara tidak mendesak lebih jauh.

Gendhuk Tri yang makin penasaran karena menyadari bahwa Upasara

maupun Nyai Demang tenggelam alam pikiran masing-masing.

 Karena tak tahan akan kejengkelan sendiri, Gendhuk Tri melesat lebih dulu,
dan segera bergegas menuju Keraton. Karena tidak dipanggil atau dilarang, Gendhuk
Tri makin keras memacu tubuhnya.

 Dalam sekejap ia telah meninggalkan Upasara dan Nyai Demang. Dan semakin
jauh meninggalkan, Gendhuk Tri jadi makin kencang. Ilmu meringankan tubuh
dikerahkan sepenuhnya. Selendangnya berkibaran menyentuh tanah hanya untuk
mengambil tenaga, yang melontarkan tubuhnya jauh ke depan.


 Maka ketika matahari mulai bersinar, bayangan tubuh Gendhuk Tri sudah
berada di tapal batas Keraton.

 Dilihat dari usianya, Gendhuk Tri memang masih lebih suka menuruti suara
hatinya secara seketika. Tidak memedulikan perhitungan yang lain.

 Pertimbangan ini-itu tak didengarkan.

 Yang paling mengetahui sifat-sifat Gendhuk Tri barangkali hanya Mpu
Raganata maupun Jagaddhita. Namun keduanya sudah kembali ke alam baka.

 Baru ketika tenggelam dalam suasana Keraton, Gendhuk Tri sadar bahwa kini
Keraton dihiasi warna-warni. Hampir di setiap rumah dipasang janur kelapa dan
bunga yang indah.

 Bahkan di pasar atau perempatan jalan dipasang kembang telon, bunga tiga
warna, sebagai tanda syukur.

 "Apa sekarang ini panenan berhasil baik? Apakah kalian sudah bisa menanam
padi di atas batu karang?"

 Pertanyaan yang kurang ajar ini tak menemukan jawaban.

 Baru setelah mendekati Keraton, Gendhuk Tri mengetahui bahwa di sitinggillah
yang merupakan pusat kegiatan.

 Tak bisa menahan dirinya, Gendhuk Tri bertanya kepada salah seorang
prajurit yang tengah bertugas membersihkan ukiran kayu dan menambahi ukiran
batu di pinggir sitinggil.

 "Ke bagian bawah pohon sana."

 Gendhuk Tri gregetan. Hampir saja selendangnya bergerak menampar. Akan
tetapi perhatiannya tertuju ke bawah pohon beringin yang berada di tengah alunalun.


Ia segera mendekat.

 Dan langsung ditarik, dimasukkan ke dalam barisan. Berkumpul bersama para
wanita, gadis-gadis yang lain.


 "Masih kurang... Masih kurang..."
Salah seorang prajurit menghitung kembali barisan.
"Hari ini kita akan mulai latihan. Akan tetapi jumlahnya masih kurang.


Baginda Raja berkenan bahwa tarian persembahan nanti ditarikan oleh 999 penari.
"Maka jika kalian masih mempunyai saudara perempuan, kakak, adik, embok,

segera panggil kemari!"

 Alis mata Gendhuk Tri terangkat.

 Dalam hatinya merasa geli. Ia masuk dalam barisan penari yang dipersiapkan

untuk mengadakan tarian di depan Ratu Ayu.

 Namun Gendhuk Tri merasa senang juga. Ia adalah penari Keraton sejak masih
bayi. Sebelum diculik oleh Mpu Raganata dan dididik Jagaddhita, ia adalah penari.

 "Kalau masih kurang, kenapa jumlahnya tidak dikurangi saja. Seadanya saja.

Toh tak ada yang menghitung."

 Suara Gendhuk Tri terdengar sangat lantang.

 Karena ia satu-satunya wanita yang berani bersuara.

 "Tidak bisa. Tidak bisa. Baginda Raja menitahkan 999 penari."

 "Saya tahu," jawab Gendhuk Tri tanpa peduli sorot mata tajam menyelidik ke

arah dirinya. "Tapi sampai bayi dalam kandungan dihitung, tak akan pernah mencapai
jumlah sekian itu."

Pemimpin prajurit melotot ke arahnya.

 "Kenapa paman-paman prajurit ini tidak memakai kain saja? Pasti jumlahnya
bisa mendekati."

 Meskipun kedengarannya berolok-olok, apa yang dikatakan Gendhuk Tri
masuk akal juga.


 Mengumpulkan wanita sejumlah 999 perlu mengerahkan seluruh penduduk
wilayah Keraton hingga ke batas terakhir.

 "Siapa namamu? Kenapa kamu berani begitu lancang?"

 Gendhuk Tri menyembah.

"Ampun, Paman.

 "Nama saya Gendhuk Tri, saya penari Keraton. Saat ini lima saudara saya
sudah di sini, ibu saya, mertua saya, sudah berkumpul. Dan rasanya tidak ada
tambahan lagi."

Gendhuk Tri memperlihatkan wajah ketakutan dan tubuhnya seolah
menggigil.

 "Sangat memalukan bagi prajurit kalau memakai kain dan selendang. Kamu
bisa dihukum karena penghinaan ini."

 "Maaf, Paman prajurit yang mulia.

 "Sebenarnya hamba ingin mengusulkan, kenapa tidak putri-putri Keraton saja
yang diajak? Namun hamba lebih takut dianggap menghina."

 Gendhuk Tri makin keras tertawa dalam hati.

Ia sudah membayangkan bahwa jika putri-putri Keraton diajak berlatih
menari, masalah yang timbul akan sangat menyulitkan. Tapi yang membuat Gendhuk
Tri merasa sangat puas ialah bahwa ia bisa menyaksikan putri Keraton, yang bahkan
terkena sinar matahari pun takut, akan dijemur di bawah terik matahari!

 Mereka yang selalu melulur tubuhnya, kini disuruh berdiri di lapangan
terbuka.

Usul Gendhuk Tri justru dianggap masuk akal. Prajurit yang agaknya
memegang pimpinan itu segera melaporkan kepada pemimpin yang lebih tinggi.

 "Gendhuk, kamu anak siapa?"


 Gendhuk Tri menoleh. Baru menangkap bahwa yang bertanya adalah wanita
yang duduk di sebelahnya, yang tak berani menoleh atau memandang ke arahnya.
Takut mendapat teguran dari prajurit yang mengawasi.

 "Saya anak kedua Pak Toikromo."

"O, kalau begitu kita masih saudara."

 Gendhuk Tri manggut-manggut hormat.

 "Saya tidak mimpi apa-apa bakal mendapat wahyu kehormatan diajak menari

bagi Gusti Ratu Ayu Azeri Baijani."

 Gendhuk Tri manggut-manggut.

"Saya juga tidak menyangka, Ibu...

"Katanya Gusti Ayu sangat cantik jelita, mengalahkan kita semua yang

dikumpulkan menjadi satu."

 Yang diajak bicara memandang aneh pada Gendhuk Tri.

 "Saya kira kamu bukan saudara saya, Gendhuk."

 Gendhuk Tri meleletkan lidahnya.

 Lalu pelan-pelan mundur, dan di luar pengetahuan para prajurit ia menuju ke

arah samping sitinggil.

 Dengan berendap-endap, Gendhuk Tri bisa melihat bahwa di tempat itu juga
sedang ada persiapan luar biasa.

 Kalau di bawah pohon di alun-alun yang dikumpulkan para gadis, di tempat

ini adalah para perjaka.

 "Siapa tahu sayalah yang dipilih."

 "Kalau kamu yang terpilih, sebelum namamu disebut, kamu sudah mati karena

kaget!"


 "Jangan begitu. Nasib manusia kan ditentukan Dewa yang mengatur jagat ini.
Kita hanya menjalani saja."

 Di tempat ini, Gendhuk Tri bisa mendengar lebih banyak. Bahwa karena Ratu
Ayu Azeri Baijani sedang mencari jodoh, para pemuda semua dikumpulkan. Siapa
tahu ada yang terpilih.

 Sekilas saja Gendhuk Tri bisa mengetahui bahwa yang ikut berkumpul hampir
semuanya sentana atau kerabat Keraton.

 "Tapi bagaimana kita bisa meladeni. Untuk mandinya saja, Gusti Ayu perlu air
sangat panas, lalu air dingin untuk merendam diri. Bisa-bisa sebelum menyiapkan air
kita telah mati kelelahan."

Gendhuk Tri tertarik.

Biar bagaimanapun, ia adalah gadis yang sedang tumbuh. Meskipun
penampilannya asal-asalan, akan tetapi mendengar pembicaraan mengenai perawatan
tubuh, hati wanitanya tergerak juga.

 "Kalau kita yang berhasil menerima tawaran Gusti Ratu Ayu, kan bukan kita
yang menyediakan air. Sudah ada prajurit yang bertugas.

 "Heh, selama ini sudah ada yang pernah mengintip Gusti mandi apa belum?
Jangan-jangan Bagin..." Suaranya terhenti. Wajah ketakutan terbayang jelas.

Pertemuan Raja dengan Ratu

KETIKA Gendhuk Tri terlibat dalam berbagai kesibukan di luar Keraton, di dalam
Keraton sebenarnya terjadi kesibukan yang lebih tinggi.

Lebih tinggi suasananya karena menyangkut tata krama di antara dua
pemimpin tertinggi.

 Antara Baginda Kertarajasa Jayawardhana dan Ratu Ayu Azeri Baijani.

Yang membuat Baginda sedikit masygul ialah bahwa Ratu Ayu, sejak
kedatangannya di Keraton Majapahit dan ditempatkan dalam ruang utama Keraton,
sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan menemui.


 Dalam tata krama tingkat bangsawan tinggi, hal itu sungguh tercela. Bisa
diartikan bahwa Ratu Ayu segan datang menghadap dan tak mau mengakui
keunggulan atau wibawa tuan rumah.

 Ini berarti tidak menganggap Baginda adalah raja yang harus didatangi.

 "Taruh kata ia ayu bagai sinar pelangi. Taruh kata keraton pemerintahannya
mencakup beberapa tlatah yang luas, tidak seyogyanya sebagai tetamu ia bertindak

begitu kurang ajar.

"Apakah ia merasa lebih tinggi derajatnya daripada aku?"

 Halayudha nampak gemetar ketika menghaturkan sembah sambil menunduk

rendah sekali.

 "Seribu maaf, Baginda.

 "Rasanya kurang pantas Baginda memperhatikan seorang perempuan. Hal ini

tak perlu Baginda turun tangan sendiri. Cukup salah seorang senopati untuk
memperingatkan.

"Baginda adalah raja yang mendapat wahyu dari Dewa Segala Dewa,
memerintah secara resmi. Sedangkan Ratu Ayu hanyalah ratu dalam pelarian.

 "Masih baik Baginda berkenan memberi tempat yang bagus dengan semua
keperluannya."

 "Bagaimana kalau Mahapatih yang memberi peringatan?"

 Mahapatih Nambi menghaturkan sembah.

 "Sebelum Baginda menitahkan, hamba sudah bersiap menjalankan titah."

 Lagi-lagi Halayudha menghaturkan sembah.

 "Mahapatih masih terlalu tinggi derajat dan pangkatnya, duhai, Baginda.
Cukup pesuruh, bawahan Baginda.

 "Mohon ampun atas kelancangan hamba."

"Menurut kamu, siapa yang pantas?"


 Halayudha menyembah lagi. Lebih dalam.

 "Baginda adalah raja yang bijaksana yang terdengar sampai ke tlatah tapel
wates jagat. Para senopati agung Keraton Majapahit, ibarat kata ikan di laut dan
burung di hutan, mendengar nama besarnya.

 "Hamba sama sekali tak dikenal. Hamba hanyalah gedibal, alas kaki, Baginda.
Biarlah hamba yang menemui. Kalau hamba gagal tak bisa menemui, Keraton tak
kehilangan muka. Kalau berhasil, berarti tingkat dan derajat Ratu Ayu jauh di bawah

Baginda."

 Baginda mengangguk.

 "Sebelum matahari terbenam nanti, saya ingin mendengar bagaimana jawaban

Ratu Ayu."

 "Sendika dawuh, siap menjalankan perintah Baginda."

 Begitu mendapat perintah, Halayudha segera bergegas menemui Ratu Ayu di

tempat kediamannya.

 Di pintu menuju ke kamar Ratu Ayu, Senopati Sariq mengangguk hormat.
Kelihatan jelas bahwa di balik sikapnya yang ramah dan merendah, tersembunyi satu
kekuatan yang besar. Di balik pakaiannya yang berseliweran, tersembunyi tubuh
gagah yang gesit. Di balik terompah yang dikenakan, ada sepasang kaki yang cekatan
bergerak.

 "Maaf, Senopati Agung dari negeri yang tak mengenal batas langit, saya

menyampaikan sesuatu bagi Ratu Ayu."

 Sariq nampak bimbang sesaat.

 Mendadak dari ruangan dalam terdengar suara yang merdu.

"Katakanlah apa maumu."

 Halayudha menunduk dan menyembah.

Lalu duduk dan menyembah kembali.


 "Duh, Ratu Ayu, sungguh hamba tak berani mengatakan secara langsung.
Akan tetapi sebagai abdi yang hanya menjalankan perintah, biarlah hamba
membunuh diri karena telah berbuat kurang ajar."

 "Kamu adalah senopati utama, kenapa perlu merendahkan diri semacam itu?"

 Sariq tetap menunduk, bersila sebagaimana Halayudha. Hanya pendengaran
dan sikapnya menunjukkan kesiapsiagaan.

 "Ampun, Ratu Ayu Bawah Langit, hamba hanya sekadar menyampaikan apa
yang diminta Baginda. Berat hamba mengatakan, seakan lidah hamba tak bisa
bergerak. Rasa malu dan sungkan yang membuat berat untuk mengutarakan."

"Katakan, Paman Halayudha."

 "Baginda menghendaki Ratu Ayu menyerahkan rajutan bulu domba yang
berwarna-warni sebagai tanda asok bulu bekti glondong pengareng-areng."

 Sariq mengertakkan gerahamnya.

 Tangannya bergeser ke arah pedang melengkung bagai bulan sabit di
pinggangnya.

 Permintaan Baginda tak bisa ditafsirkan lain.

 Rajutan bulu domba sebagai babut pramudani, atau babut permadani, adalah
karya budaya negeri Turkana. Untuk merajutnya diperlukan seni dan keahlian
tertinggi. Dengan meminta itu sebagai glondong pengareng-areng, sebagai tanda
upeti, sama juga mengatakan Ratu Ayu sebagai ratu yang di bawah kekuasaan
Baginda!

Hanya bawahan yang memberikan glondong pengareng-areng kepada
atasannya. Hanya raja bawahan yang mengakui kekuasaan raja yang lebih
berkuasa melakukan hal itu.

 Barangnya bisa jadi tak seberapa, meskipun tetap yang utama. Bahkan dalam
istilah pun disebutkan sebagai kayu gelondongan untuk arang atau kayu bakar. Akan
tetapi arti simbolis dari itu ialah pengakuan kekuatan yang lebih tinggi.

 Dan sesungguhnya itu pula yang diinginkan oleh Raja Tartar, Khan, ketika
mengutus para pendekarnya ke tanah Jawa.


Agar raja di Jawa mengakui kebesaran negeri Tartar!
Itu yang ditolak Baginda Raja Sri Kertanegara!
Bukan karena barang yang diminta, akan tetapi ini masalah kehormatan.
"Saya bisa mengerti," terdengar suara dari dalam kamar dengan nada yang tak


berubah. "Baginda Kertarajasa telah membuktikan diri lebih perkasa.

 "Di seluruh penjuru jagat ini aku sudah mengelilingi, sudah menginjak
tanahnya, dan menyaksikan sendiri. Di mana pun aku berada, panji-panji kebesaran
Tartar yang menguasai. Baik di negeri Cina sendiri, di Jepun, bahkan sampai ke

Turkana.

 "Tapi Baginda Jayawardhana mampu mengusirnya.

 "Hanya di tanah Jawa yang sering becek karena hujan inilah prajurit utama

Khan bisa dipukul mundur.

"Paman Sariq, sampaikan yang diminta Baginda."

 Meskipun nampak tidak setuju, Sariq menunduk hormat sambil menyembah.

 "Apa lagi yang dikehendaki Baginda?"

 "Hanya dua hal, Gusti Ratu Ayu yang jelita.

 "Yang pertama telah hamba sampaikan. Yang kedua... yang kedua... ah,

Baginda berkenan mengambil Gusti Ayu sebagai garwa ampil."

Kali ini Senopati Sariq tak bisa menahan diri.

 Diambil sebagai garwa ampil, ialah sama juga dijadikan selir, dijadikan istri
kesekian yang secara resmi tidak berhak atas kehormatan dan upacara-upacara
penting Keraton. Tugas utamanya hanyalah mendampingi Baginda, sebatas kamar
tidur!

 Dalam upacara penting, tak berhak bersanding dengan Baginda!

 Ini penghinaan yang kelewat batas.


 Mengarungi hampir seluruh jagat raya, menginjak berbagai bumi di bawah
langit, rasanya Senopati Sariq belum pernah mendengar penghinaan yang begitu
menjijikkan.

 "Gusti Ratu."

 "Sariq... aku yang diminta, bukan kamu."

 "Maafkan kelancangan hamba.

"Namun rasanya hamba tak rela."

"Cukup, Sariq!"

Senopati Sariq menyembah dengan hormat.

 Halayudha tetap menunduk, meskipun memperhatikan reaksi yang kecil.

 "Beribu ampun dan maaf. Dalam pandangan hamba, pertemuan resmi nanti

adalah pertemuan dua raja yang sama derajatnya, sama-sama pilihan Dewa. Akan
tetapi... duh... Gusti Ratu..."

 "Jangan merasa bersalah karena menyalahi titah Raja.

 "Sebagai senopati, itu pantangan utama."

"Maha terima kasih atas petunjuk Gusti Ratu."

 "Paman Halayudha, sampaikan kepada Baginda.

 "Saya tidak berkeberatan diambil sebagai garwa ampil. Siapa saja bisa menjadi
pendamping saya. Hanya saja sejak semula saya sudah berjanji. Barang siapa mampu
mengungguliku, itu yang akan kuhormati sepanjang hidupku.

 "Karena kudengar kalian mempunyai ilmu Tepukan Satu Tangan yang sejajar
dengan Jalan Budha, aku ingin menjajalnya.

"Sampaikan sekarang juga.

 "Sebelum matahari tenggelam, aku sudah mendengar kesediaan Baginda."


64 Langkah Jong

SENOPATI SARIQ menghirup napas lega.

 Ternyata Ratu Ayu yang disembah dan diabdi selama ini tetap tak bergeser
dari niatan semula.

 Hanya yang mampu mengalahkan Ratu Ayu berhak menjadi suaminya. Berhak
atas hidup dan matinya Ratu Ayu. Tak peduli ia raja atau rakyat biasa.

Sekaligus ini tantangan.

 Apakah Baginda berani menerima tantangan terbuka ini?

 Selama dalam penjelajahan, belum pernah ada yang mampu mematahkan
keunggulan ilmu Ratu Ayu. Itu pula sebabnya Ratu Ayu terus-menerus berkelana dari
satu negeri ke negeri yang lainnya. Hanya untuk mencari siapa yang bisa
mengungguli ilmunya.

 Satu hal yang tak diketahui oleh Halayudha ialah bahwa rombongan Ratu Ayu
memang mencari pemecahan atas ilmu yang sekarang dikuasai.

 Ada kepercayaan kuat, jika ada yang mampu mengalahkan, ilmu orang
tersebut bakal bisa dipadu dengan ilmu yang dimiliki Ratu Ayu, dan akan merupakan
ilmu yang paling dahsyat di jagat ini.

 Dengan bekal itu, Ratu Ayu bermaksud mengusir senopati dari Tartar yang
kini menduduki negerinya!

 Dalam perjalanan berkelana, Ratu Ayu teringat gurunya pernah mengatakan
bahwa di seantero jagat ini hanya ada beberapa negeri yang unggul ilmu silatnya.
Yaitu tanah Jawa, tanah Jepun, Hindia, maupun Cina yang jelas sudah dikuasai bangsa
Tartar.

 Dari sekian banyak cabang dan aliran pada pohon utama aliran persilatan, ada
garis persamaan sebagai sumber utama. Yaitu yang di tanah Jawa dikenal dengan
sebutan ilmu Tepukan Satu Tangan, yang diciptakan oleh seorang empu yang
namanya menggema ke seluruh penjuru jagat, yaitu Eyang Sepuh.


 Kebetulan sekali Eyang Sepuh pernah mengirimkan undangan untuk
mengadakan pertemuan dan menentukan siapa sebenarnya yang paling menguasai
ilmu tersebut.

 Tertarik oleh kabar itu, Ratu Ayu datang ke tanah Jawa.

 Senopati Sariq yang selalu mendampingi siang dan malam, meyakini apa yang
menjadi keyakinan Ratu Ayu.

 Hanya perpaduan antara ilmu Ratu Ayu dan ilmu yang bisa mengalahkan,

menjadi senjata utama untuk membebaskan negerinya!

Diam-diam Senopati Sariq menunggu, apa yang akan dijawab oleh Baginda.

Halayudha sendiri segera menyampaikan secara langsung, dalam

penuturannya sendiri.

Air matanya mengalir ketika melaporkan.

 "Duh, Baginda... Ratu Ayu tidak ingin sowan, tidak ingin menghadap Paduka,

sebelum Paduka yang mulia mampu memecahkan rahasia ilmu 64 Langkah Jong, yang
menjadi kebanggaan Ratu Ayu dan para senopatinya."

Baginda menjadi merah wajahnya.

 "Mahapatih, apakah kamu mendengar apa yang dikatakan Halayudha?"

"Sembah bekti hamba, Baginda."

"Apa katamu?"

 "Ratu Ayu sangat berlebihan.

"Tak bisa tidak, bilamana Baginda berkenan, biarlah hamba yang
menyelesaikan."

"Aku tahu, kamu yang bakal menyelesaikan.

 "Tapi apakah kamu pernah mendengar mengenai 64 Langkah Jong yang
diunggulkan itu?"


 Bahwa jong bisa berarti payung, bisa pula berarti tertutup, semua mengetahui.
Akan tetapi kaitannya dengan ilmu 64 Langkah Jong, itu yang masih merupakan
tanda tanya.

 "Pengetahuan hamba sangatlah dangkal, Baginda.

 "Akan tetapi kalau tidak salah, ini ilmu silat yang jurus-jurusnya berdasarkan

permainan di negeri Turkana."

 Halayudha memuji kecerdasan Mahapatih Nambi.

 Sungguh tak disangkanya bahwa Mahapatih bisa menerangkan dengan tepat.

Karena pada pikirnya tadi, Baginda akan mendengar penjelasan darinya.

"Permainan apa?"

 "Duh, Baginda, mudah-mudahan dijauhkan dari bencana jika keterangan

hamba keliru.
"Di negeri Turkana ada permainan di antara putra-putri raja. Permainan ini

menggunakan sebuah papan, yang dibagi menjadi 64 kotak.

 "Yang memainkan dalam peperangan dua orang.

 "Masing-masing pemain mempunyai enam belas biji yang dilompatkan menuju

baris terakhir lawannya. Caranya dengan melompati biji permainannya sendiri, atau
melompat biji lawan. Setiap kali melompati biji lawan, berarti ia makan dan menang.

 "Pemain yang masih menyisakan biji paling banyak di garis akhir lawan adalah
yang menjadi pemenang."

''Hmmmmm, itu yang menjadi andalan ilmu silat mereka?"

 "Tepat apa yang disabdakan Baginda.

"Permainan ini kita sebut jong, sebab biji yang kita mainkan tertutup
kemungkinannya untuk mundur. Tidak dibenarkan mundur. Jadi hanya bisa maju
sepetak ke depan, atau ke samping kiri dan kanan, atau menyerong. Tapi tak pernah
mundur."

 "Itu yang akan kelihatan dalam permainan silat mereka?


 "Hmmmmm, menarik juga.
"Mahapatih, apakah menurut pendapatmu ilmu silat mereka cukup tangguh?"
"Begitulah yang hamba dengar, Baginda."
Baginda menahan udara di dada.
"Kamu sependapat, Halayudha?"
Diiringi sembah hormat, Halayudha berkata,
"Serumit dan setinggi apa pun, namanya permainan, tetap saja permainan. Di


desa yang paling ujung, anak-anak telah memainkan. Maafkan kelancangan hamba,
Baginda.

 "Hamba tak pernah takut atau gentar dengan sesumbar mereka. Yang lebih
membuat prihatin hamba, ialah kelancangan Ratu Ayu menilai Baginda."

Seluruh ruangan menjadi senyap.

 Halayudha sendiri seperti menahan dendam.

"Apa katanya?"

Ruangan masih tetap senyap.

 Semua pendengaran tertuju kepada Halayudha.

 Mendadak terdengar suara tepukan keras, nyaring.

 Mahapatih dan semua senopati yang hadir terkejut. Halayudha menampar
bibirnya hingga berdarah.

 "Mulut hamba ini busuk kalau sampai menirukan apa yang dikatakan Ratu
Ayu."

 Melihat dengan lirikan bahwa bibir Halayudha berdarah, tak urung Mahapatih
tergetar juga.


 Dalam perkiraannya, Halayudha menghukum bibirnya yang akan
mengucapkan sesuatu yang lancang.

"Katakan!"

Suara Baginda terdengar nyaring.

 Halayudha menampar pipinya kembali. Kali ini lebih banyak darah mengalir.
Halayudha mengambil gigi yang tanggal dan dengan hati-hati menyimpan di balik
kainnya.

 "Ratu Ayu mengatakan bahwa walaupun pasukan Tartar terusir karena
serangan Baginda, akan tetapi sesungguhnya Baginda bukanlah raja yang besar. Masih
jauh di bawah bayang-bayang kebesaran Baginda Raja Sri Kertanegara.

"Baginda Raja Singasari telah membuktikan kebesarannya dengan
mengirimkan armada ke tlatah Siam, ke Tartar, sementara Baginda Raja junjungan
kita yang mulia, dikatakan lebih banyak mengurusi wanita...."

Tangan Baginda menepak paha.

Dua tangan secara serentak.

Kemudian meninggalkan pertemuan.

 Yang tertinggal hanya kesunyian. Tak ada yang mulai bergerak sedikit pun.

 Mahapatih dan semua senopati utama mendengarkan sendiri apa yang

diucapkan Halayudha dan mendidih darahnya. Ini penghinaan yang paling rendah.
Mengungkit masalah lama.

 Apalagi membandingkan dengan Baginda Raja Sri Kertanegara!

 Sesuatu yang tak boleh terdengar, walau secara samar.

Tapi justru kini diucapkan secara terbuka.

 Bagi para senopati dan prajurit, membela Raja adalah tugas utama dan mulia.
Bukan benar atau tidak yang diucapkan Ratu Ayu, akan tetapi kalimat itu merupakan
penghinaan yang tidak ada ampunannya lagi.


 Halayudha memang tepat menusuk jantung perasaan. Mencerabut akar
kepekaan budaya bangsanya.

 Intrik mengenai Baginda Raja Sri Kertanegara dengan Baginda Jayawardhana
merupakan pertentangan yang pelik dan rumit. Yang bergema karena pemilihan
senopati. Lebih banyak pengikut Baginda yang sekarang menduduki jabatan dan
kepangkatan tinggi. Dibandingkan dengan senopati yang dulu mengabdi Keraton
Singasari.

Halayudha mampu meniupkan api permusuhan di kalangan prajurit,
kemudian menjalar ke kalangan senopati.

Kini telah mencapai puncak kobaran.

 Baginda sendiri menjadi murka.

 Berarti suatu perang terbuka. Pada saat itulah semua rencana yang selama ini
tertunda-tunda akan bisa dilaksanakan.

Halayudha Menebus Dosa

MERASA bagian pertama rencananya berhasil, Halayudha melakukan langkah
berikutnya.

 Dengan menghela napas berat, Halayudha bersujud ke arah kursi yang tadi
diduduki Baginda.

 Selintas matanya yang jeli seperti menangkap bayangan salah seorang dayangdayang
Baginda ada yang nampak berbeda. Cara menunduknya terlalu dalam,
melebihi yang lain.

 Hanya Halayudha yang menangkap kelainan ini.

Tidak senopati yang lain.

 Bukan karena Halayudha lebih hafal satu per satu dayang-dayang yang biasa
mengiringi Baginda, melainkan karena indra keenam yang dimiliki mengisyaratkan
sesuatu.

Kelebihan Halayudha dalam soal kejelian dan mengatur strategi boleh
dikatakan sulit ditandingi.


 Senopati lain pasti tak berpikir bahwa akan ada seorang wanita yang berani
menyamar sebagai dayang-dayang. Karena risikonya terlalu tinggi. Lagi pula kalau
berniat jahat juga susah melaksanakan.

 Barisan dayang-dayang selalu mengiringkan Raja, akan tetapi tempatnya jauh
di belakang. Dan bergerak sedikit saja, boleh dikatakan tidak mungkin.

 Halayudha merasa bahwa salah seorang dayang-dayang itu sedang menyamar,
akan tetapi sama sekali tak menyangka bahwa yang menyamar sebagai dayang itu
adalah Nyai Demang.

 Andai mengetahui, barangkali jalannya peristiwa akan lain.

 Adalah keinginan Nyai Demang sendiri untuk menerobos masuk ke dalam
Keraton karena ingin mengetahui dari dekat seperti apa keelokan Ratu Ayu. Jalan
satu-satunya yang paling aman adalah menyamar sebagai dayang.

 Bagi Nyai Demang hal ini tak terlalu merepotkan. Adat-istiadat Keraton sangat
dikuasai. Seluk-beluk dan liku-liku Keraton bisa dihafal luar kepala, karena Nyai
Demang bahkan pernah menyusup ke dalamnya.

 Maka tak terlalu sulit menculik salah seorang dayang yang tubuhnya mirip
dengannya. Dan ia mengganti pakaiannya lalu mengikuti iringan.

 Tak ada yang mencurigai, karena dayang-dayang yang lain selalu menunduk
dan boleh dikatakan tak pernah melirik ke arah yang lain.

"Duh, Baginda.

 "Hamba abdi tak tahu diri dan membuat Baginda murka. Sungguh tidak pantas
hamba berkata selancang ini. Mohon Baginda memberi ampunan, jalan yang lapang
bagi arwah hamba..."

 Halayudha cukup lama berbicara, cukup jelas kata-katanya, dan cukup
perlahan mengambil keris dari salah seorang prajurit. Baru kemudian menghunus,
mengangkat tinggi, dan menusuk ke arah perutnya.
"...Biarlah hamba, Halayudha yang tak berarti ini, menebus dosa."

 Jarak waktunya cukup lama, agar ada seseorang yang menghalangi niatan
Halayudha bunuh diri.


 Itu rencana Halayudha.
Agar semua yang hadir melihat penyesalan dirinya.
Tapi, di luar dugaannya, tak ada senopati yang bergerak. Bukan karena ingin


membiarkan Halayudha membunuh diri, melainkan masih tercekam akan kemurkaan
Baginda.

 Ini yang membuat Halayudha mencelos.

 Tapi jelas, ia tak bisa mengurungkan begitu saja. Bisa terbuka semua kedoknya.

 Dalam saat kritis, Halayudha tetap menusuk ke arah perutnya, hanya arahnya
sedikit dimiringkan.

Saat itulah Nyai Demang bergerak.

 Kedua tangannya terangkat, disertai teriakan sedikit kaget. Saat itu tenaganya
disalurkan sepenuhnya, membentur tangan Halayudha, dan arah yang miring itu
menjadi lurus. Langsung menembus ke arah perut.

 Senopati Wide yang bereaksi pertama. Segera menyambar ke arah Halayudha.

 Perut itu tertancap keris.

Dengan segera Halayudha diamankan. Dibawa ke dalam. Dan pertemuan

menjadi guncang.

 Bahkan setelah Nyai Demang berteriak, tak ada yang curiga, hal ini bisa
dimengerti. Karena teriakan itu lebih mirip sebagai kekagetan. Demikian juga dengan
gerakan tangannya.

 Tak banyak yang menduga bahwa saat itu Nyai Demang mengirimkan tenaga
dalam.

 Jalan pintas inilah yang dipilih Nyai Demang. Sejak dalam perjalanan, ketika
mendengar semua kebusukan Halayudha dari Upasara, Nyai Demang sudah
menetapkan tekad. Bahwa Halayudha harus disingkirkan dengan cara yang licik pula.

 Tak ada cara lain, untuk menghindarkan perang terbuka dengan Upasara.


 Sebab dalam perkiraan Nyai Demang, betapapun hebat ilmu yang dimiliki
Upasara, hasil akhir yang akan keluar sebagai pemenang bisa sangat berbeda.

 Ketangguhan tapi lugu diri Upasara adalah makanan empuk bagi Halayudha.

 Sewaktu gegeran di dalam, segera Nyai Demang mengundurkan diri ke arah
dalam. Hanya karena tidak sepenuhnya hafal dengan tempat persinggahan Ratu Ayu,
ia telah memasuki pelataran di mana Ratu Ayu menginap.

 Baru sadar sewaktu sesosok tubuh yang tinggi, kokoh, dengan jenggot lebat,
menghadang jalannya.

 "Maaf, kami mendengar jeritan di dalam Keraton, apa yang sesungguhnya
terjadi?"

 Hampir Nyai Demang mendongak dan menghardik, kalau tidak ingat bahwa
dirinya berperan sebagai dayang.

"Senopati Halayudha membunuh diri."

 "Apa benar yang dikatakan orang itu, Senopati Uighur?"

 Suara lembut dari dalam ruangan, dan samar-samar Nyai Demang mencium
bau harum.

 Itulah suara Ratu Ayu.

 Sungguh luar biasa. Pendengaran yang sempurna. Boleh dikatakan mereka
berada dalam pelataran yang cukup jauh dari bangunan, akan tetapi Ratu Ayu bisa
mendengarkan dengan jelas.

 Padahal Nyai Demang merasa berbicara dengan nada rendah.

"Begitulah, Ratu Ayu."

 "Uighur, kalau masih bisa ditolong, kenapa kamu tidak segera ke sana?"

"Siap menjalankan tugas, Gusti Ratu."

 Senopati Uighur masih berdiri ragu.


 "Berjalanlah. Lakukan apa yang saya perintahkan. Tak perlu kuatir tak ada
yang menjaga.

 "Saya masih bisa menjaga diri. Kalau dayang itu begitu ringan langkahnya,
pastilah di sini para senopati ilmunya sangat tinggi. Akan tetapi tak perlu kuatir. Saya
bisa mengatasi."

 Senopati Uighur menyembah dan segera berlalu dengan cepat.

 Nyai Demang berdiri di tengah pelataran untuk beberapa saat.

 "Dayang yang montok, apa yang akan kaukatakan? Kenapa kamu termangu di

situ?"
"Ratu Ayu, pendengaranmu sungguh tajam luar biasa. Ilmu macam apa yang

Ratu gunakan?"

Terdengar tawa kecil, lembut.

 "Saya tak melihatmu, Dayang. Tetapi saya tahu bahwa tubuhmu sangat
montok, gemuk berisi. Goyangan lebih berat ke belakang, berarti pantatmu sangat
gede. Mendengar arus udara ketika kamu menarik napas, rasanya lebih pantas kamu
menjadi prajurit daripada dayang. Nada bicaramu terlalu berani untuk hamba sahaya."

"Nama saya Nyai Demang."

 "Karena kamu sudah berada di pelataran, kenapa tidak masuk ke dalam?"

"Saya akan dihukum mati. Tak pernah ada aturan seorang dayang

menyambangi tetamu terhormat."

 "Tata krama Keraton, di mana pun sama.

 "Akan tetapi karena kamu bukan dayang, berarti peraturan itu tidak berlaku.

Mendekatlah, rasanya saya bahagia melihat kaum wanita yang begitu berani dan
mampu menerobos ke dalam Keraton."

 Merasa telah diketahui mengenai penyamarannya, Nyai Demang mendekat ke
arah bangunan.


 Sampai di dekat salah satu pintu, Nyai Demang bersila sambil menyembah.
"Tubuhmu pasti bagus sekali, Nyai Demang. Teramat sempurna. Angin di
kanan dan kiri tubuhmu seimbang. Bagaimana kamu bisa merawat dengan baik?"
Nyai Demang tak bisa menentukan dengan pasti di arah mana Ratu Ayu

berada. Ada beberapa pintu di depannya.
Pada salah satu pintu, nampak seorang berjaga.
"Itu Senopati Sariq."
"Senopati Kuning, terimalah hormat Nyai Demang."
Sariq ganti membalas dengan hormat.
"Ah, pengetahuanmu sangat luas, Nyai.
"Pasti sedikit-banyak kamu mengetahui asal-usul kami."
"Tata bicara Gusti Ratu Ayu sungguh menakjubkan. Begitu banyak tetamu dari

seberang, akan tetapi rasanya tak ada yang sefasih Gusti Ratu."

 Nyai Demang merasa akrab dan dekat dalam waktu sekejap.
Rerasan Hati Wanita
"TERIMA kasih atas pujian Nyai... Sungguh bahagia lelaki yang menjadi suami Nyai."

 "Ah, rasanya Gusti Ratu tak perlu berbasa-basi semacam itu. Betapa lebih getir
kalau dikenang. Betapa lebih mudah membayangkan lelaki yang menjadi suami Ratu
Ayu akan merasa lebih bahagia."

Rasanya Nyai Demang mendengar helaan napas.
Dan terdengar desahan dalam bahasa tertentu.
Nyai Demang mengikuti desahan itu.
"Nyai, kamu mengerti bahasa Turkana?"



 "Tidak.

 "Tak lebih dari beberapa patah kata. Barangkali kalau sempat belajar, hamba
bisa mengerti beberapa. Karena dalam pengucapan dan pembentukan kata, rasanya

sama dengan tata bicara di tanah Jawa."

"Ya, ya... Kamu betul sekali, Nyai.

 "Sariq, kenapa tetamu kita yang terhormat semacam Nyai Demang tak

disambut dengan baik?"
Senopati Sariq segera menghidangkan minuman, yang diberikan dalam

kantong kulit.

 Nyai Demang segera meneguk air susu itu.

 "Kamu tahu apa yang saya desahkan tadi?"

 "Gusti Ratu mendesahkan kata ev? Yang berarti rumah?"

 "Mahatinggi Yang Menguasai Alam Semesta... Kamu sungguh luar biasa, Nyai."

 "Tidak, hamba hanya mengetahui beberapa patah kata. Tapi rasanya hamba

mendengar desahan evlerim..."

 "Artinya rumahku."

 "Apakah evlerime, berarti pergi ke rumahku?"

"Nyai, masuklah!"

 Senopati Sariq menunduk, mempersilakan Nyai Demang. Sekilas Nyai Demang

masih melihat ada senopati lain yang berjaga.

 Nyai Demang melangkah masuk ke dalam salah satu ruangan.

 Melewati pintu, Nyai Demang berjongkok.

 Ruangan yang ditempati Ratu Ayu penuh dengan gumpalan asap yang berbau
sangat harum, menusuk, tapi tidak mengganggu. Lantainya semua tertutup babut
pramudani yang sangat elok. Hanya tak begitu jelas gambarnya, karena ruangan tak


begitu terang.

"Silakan duduk di kursi, Nyai."

 Suara itu muncul dari balik kabut asap tipis. Samar-samar Nyai Demang
melihat bayangan Ratu Ayu Azeri Baijani.

 Mata yang indah, cokelat, dan bersinar, di bawah sepasang alis mata yang

lentik. Hidung mancung, lurus, tapi mengesankan kelembutan di atas bibir yang tipis.

 Di bagian kepala seperti memakai tutup kain yang berjumbai-jumbai.

 Selebihnya adalah kulit yang elok.

 Bahkan sebagai sesama wanita, Nyai Demang terkesima.

 "Hampir sepuluh tahun aku tak dilihat orang. Tidak juga senopatiku yang

paling setia. Sungguh tak menyesal hari ini bertemu dengan Nyai."

"Nyai Demang menghaturkan sembah bekti kepada Gusti Ratu."

 Sekali lagi Ratu Ayu meminta Nyai Demang duduk di kursi atau balai-balai

yang ada, akan tetapi Nyai Demang tetap tak bergerak.

 "Nyai, dari mana kamu mempelajari bahasa saya?"

 "Hamba hanya mendengar sepotong.

 "Hanya mengetahui bahwa ev adalah rumah. Evler adalah rumah-rumah.

Sedangkan kuda adalah at, dan kuda-kuda menjadi atlar, sedangkan kudaku, atlarim!"

 Ratu Ayu menggelengkan kepalanya.

 "Tadinya saya menyangka hanya sayalah wanita yang mampu menguasai tata

bicara. Sungguh tak dikira, ada juga wanita yang perkasa. Sungguh murah hati
Penguasa Jagat Raya ini.

"Nyai, tata bicara apa yang kamu bisa?"


 Dalam sekejap, Ratu Ayu dan Nyai Demang berbicara dalam tata bicara Cina,
Hindia, sedikit Jepun, dan akhirnya kembali lagi.

"Nyai belum pernah sekali pun ke tanah Hindia, Cina, dan Jepun?"

 "Tanah Jawa ini pun baru seputar Keraton, Gusti."

 "Jangan panggil Gusti. Saya tidak ingin mendengar dari Nyai. Kita sesama
wanita yang tak perlu memanggil Gusti kepada sesama, juga tidak kepada kaum
lelaki."

 Suaranya tetap lembut, tapi terasakan gelora perasaan yang dalam.

 "Kalau saja di negeri Turkana ada seorang seperti Nyai, pasukan Tartar yang

busuk itu sudah lama terusir.

 "Ah, begitu panjang dan jauh saya mencari sahabat.

 "Nyai, salahkah jika kita kaum wanita menjadi prajurit? Menjadi penerus

negeri? Salahkah, Nyai?"

"Tidak.

 "Tetapi sangat jarang."

 "Nyai tahu, negeri Turkana adalah negeri yang paling elok di dunia. Yang
paling indah tak terkatakan. Yang membuat manusia-manusia lelaki berhati busuk
ingin memperebutkan dan menghancurkan.

 "Ratusan tahun silih berganti kaum lelaki yang menjadi raja menaklukkan dan
menginjak-injak negeri kami. Dari negeri Siprus, dari negeri Sasanid, dari negeri
padang pasir pimpinan Umayat, dan kini bangsa Tartar, yang dipimpin Khan.

 "Apakah kami tak berhak merebut tanah tumpah darah kami sendiri? Kalau
kaum lelaki lebih menerima, apakah hal itu bisa dibiarkan saja?

 "Nyai, katakanlah. Apakah saya salah kalau saya menginginkan kembalinya
takhta yang dikoyak oleh Khan?"

"Tidak, Ratu Azeri."


 "Saya tahu tanah ini tanah yang dikasihi Sang Maha Pencipta. Tanah yang
mampu berdiri sendiri, yang mempunyai wanita seperti Nyai.

 "Tetapi sesungguhnya Sang Mahakuasa tidak pilih kasih. Tidak hanya memilih
tanah Jawa ini. Juga negeri saya, Turkana."

 Lalu mendadak terdiam.

 Nyai Demang menunggu.

 "Ada keributan di Keraton, Nyai."

 Nyai Demang berusaha menangkap suara-suara yang samar dan tak jelas.

 "Uighur agaknya menemui kesulitan.

"Keinginannya untuk menolong tidak diterima."

 "Saya tak mendengar apa-apa, selain suara yang tak jelas."

 Ratu Ayu kembali ke kursinya.

 "Uighur akan bisa mengatasi.

 "Nyai akan bisa mempelajari, kalau mau. Ilmu ini sangat biasa untuk dilatih.
Bagilah seluruh ruang ini menjadi 64 bagian. Setiap bagian, jaraknya sama.

 "Kalau dari kamar ini ke Keraton ada sekian ratus langkah, bagilah menjadi 64
bagian yang sama. Delapan bagian ke samping kiri dan kanan.

 "Sehingga jarak antara kamar dan Keraton menjadi delapan petak saja. Seperti
dalam permainan Lompat Turkana, setiap jarak yang jauh bisa menjadi pendek
dengan melompati bagian yang bisa dilompati.

 "Kalau dari kamar ini ke Keraton ada pohon, ada tiang, kita bisa melompati
jarak itu."

 Nyai Demang menggelengkan kepalanya.

 "Hamba bisa menangkap sebagian."


 "Nyai akan mampu melatih dengan cepat.
"Barang siapa mampu mempelajari tata bicara dengan cepat, ia bisa


mempelajari segalanya!"

 Kembali suaranya menggeletar, walau tetap perlahan dan merdu.

"Banyak alasan saya datang ke tanah Jawa ini. Pertama, karena hanya inilah
satu-satunya negeri yang mampu mematahkan Khan. Kekuasaan Khan tak berlaku di
negeri ini.

 "Yang kedua, karena di tempat ini ada seorang yang bernama Eyang Sepuh,
yang telah menciptakan ilmu Tepukan Satu Tangan. Suatu penguasaan rasa yang luar
biasa. Dengan satu tangan bisa mengeluarkan suara lebih nyaring dari tepukan dua
tangan.

"Apa bedanya dengan Jalan Budha?

 "Apa bedanya dengan Lompat Turkana, yang memperpendek jarak? Bukankah
ilmu congklak yang luar biasa dari Tartar bisa dipecahkan dengan mudah oleh
seorang yang tak bernama di tempat ini?"

 Nyai Demang ingin mengatakan bahwa "seseorang yang tak bernama" itu

adalah Upasara Wulung.

 Dan itu bukan seseorang yang tak bernama.

 Akan tetapi Ratu Ayu masih melanjutkan,

 "Agaknya tanah ini memang diciptakan secara lain. Saya iri dengan tanah

luhur ini.

 "Nyai, bahagialah kamu karenanya." Mendadak Ratu Ayu terdiam sesaat.

 "Sayang, sungguh sayang. Pertemuan kita agak terganggu. Hmm, akan segera

terjadi pertumpahan darah yang tak diinginkan.

 "Uighur tak bisa dikeroyok dengan cara seperti itu.

 "Sariq!"


 Terdengar jawaban hormat.

 "Mereka yang memaksa pertarungan sia-sia."

 Darah Nyai Demang menjadi beku seketika.

 Ratu Ayu merangkapkan kedua telapak tangan. Matanya tertutup rapat.
Gegeran di Kamandungan
RATU AYU sedang memusatkan perhatiannya.

 Bibirnya mengeluarkan bisikan tipis, seirama dengan gerak tangannya yang
halus.

 Walau tidak tahu secara persis apa yang dibisikkan oleh Ratu Ayu, Nyai
Demang yakin bahwa Ratu Ayu sedang memberi perintah kepada para senopatinya
yang kini terkepung.

 Mendengar arah kejadian, Nyai Demang memperkirakan gegeran yang terjadi
berlangsung di Kamandungan. Suatu tempat di luar Keraton sebelum sitinggil. Di situ
memang ada pelataran yang luas. Ini berarti para senopati Turkana cukup menaruh
hormat, sehingga pertarungan tidak terjadi dalam wilayah di jantung Keraton.

Padahal, seharusnya bisa terjadi di bagian dalam.

 Nyai Demang memuji kerendahhatian senopati Turkana.

 Pujian yang lebih merupakan kekaguman tertuju kepada Ratu Ayu. Yang bisa

mengirimkan suara dari kamarnya ke arah Kamandungan.
Cukup jauh, karena melewati pekarangan, bagian Keraton, dengan segala

dinding tebal dan pintu berlapis yang sama tebalnya.

 Dan Ratu Ayu Bawah Langit ini cukup dengan berbisik.

 Nyai Demang membandingkan dengan Eyang Sepuh. Karena selama ini yang

mampu melakukan pengiriman suara jarak jauh secara sempurna hanyalah Eyang
Sepuh.

 Dengan tenaga dalam yang sudah mencapai puncaknya, Eyang Sepuh mampu
berhubungan dengan orang lain tanpa perlu memperlihatkan diri.


 Eyang Sepuh pernah membuktikan di tengah kerumunan para prajurit Tarik
sewaktu akan merebut Singasari dari tangan kekuasaan Raja Jayakatwang.

 Di antara para prajurit dan ksatria yang cukup tinggi ilmunya, Eyang Sepuh
mampu membisikkan sesuatu kepada Upasara.

Juga kepada Gayatri.

 Tanpa bisa didengar oleh orang yang berada di sebelahnya.

 Benar-benar pengaturan tenaga dalam yang luar biasa.

 Nyai Demang sedikit pun tidak menyangsikan keunggulan serta kekuatan
tenaga dalam Ratu Ayu. Namun ia juga memperhitungkan, bahwa agaknya Ratu Ayu
tidak hanya menyandarkan kepada kekuatan tenaga dalam semata. Melainkan juga
semacam mantra yang memungkinkan bisa saling berbicara pada jarak jauh.

 Karena para senopatinya sudah seperasaan dan sehati, hal semacam ini bisa
dicapai. Meskipun jelas, bukannya tanpa latihan yang keras dan kemampuan yang
mendukung.

 Bagaimanapun caranya, nyatanya Ratu Ayu mampu melakukan.

 Tidak percuma namanya disejajarkan dengan tamu-tamu seberang yang lain.
Tak berbeda jauh tingkatnya dengan Naga Nareswara, Kiai Sambartaka, maupun
Kama Kangkam.

 Bedanya, kalau Kiai Sambartaka datang sendirian, dan Kama Kangkam disertai
dua muridnya, serta Naga Nareswara dengan tiga muridnya, Ratu Ayu tidak kepalang
tanggung. Delapan pengikutnya yang setia datang menyertai. Dan kalau dilihat
selintasan, kemampuan kedelapan pengikutnya yang sekaligus menjadi senopatinya
tak berbeda jauh darinya.

 Kalau sekarang kedelapan senopati Turkana ini maju secara serentak, bisa
membahayakan para senopati Majapahit.

 Senopati Sariq, Uighur, Karaim, rata-rata setingkat lebih tinggi dari senopati
Keraton. Atau bahkan lebih tinggi dari senopati Keraton. Atau bahkan malah
setingkat dengan tiga Naga yang dipimpin Naga Nareswara maupun kedua murid
Kama Kangkam.


 Pada tingkat ini, hanya Upasara yang mampu mengungguli. Meskipun juga
tidak mudah untuk memperoleh kemenangan.

 Pada tingkat-tingkat yang sudah mencapai tataran begitu tinggi, sedikit saja
kealpaan bisa membuat fatal.

 Ratu Ayu masih terus berbicara dengan senopatinya, dan sesekali melirik ke
arah Nyai Demang.

"Aneh sekali, kenapa senopati Keraton begitu bernafsu melindas kami?
Bagaimana mungkin dalam sekejap terjadi perubahan sikap separah ini?

 "Nyai, bangsamu sungguh sangat perasa. Bahkan sangat keterlaluan."

Darah Nyai Demang sempat bergolak.

 Kalau tadi merasa dekat dan akrab karena dikagumi sebagai sesama wanita,
kini Nyai Demang merasa bagian dari bangsa dan tanah airnya! Bukan sesama wanita.

 "Pasti ada sebab yang sangat penting."

 "Ya. Akan tetapi mereka tak akan mampu mengungguli delapan senopati
Turkana. Hanya ada satu yang kelihatan agak kuat, yaitu Mahapatih.

 "Kalau saya ikut terjun, apakah ada yang mampu menahan?"

 Nyai Demang tak mau kalah.

 "Dari segi jumlah, senopati Keraton jauh lebih besar. Betapapun keunggulan
kalian menjadi tak ada artinya."

 "Apa artinya kemenangan kalau hanya mengandalkan jumlah yang besar?"

 "Tidak ada artinya jika itu terjadi pada pertarungan para ksatria, Ratu Ayu.
Akan tetapi sekarang ini bukan lagi pertarungan para ksatria. Ini pertarungan antara
hidup dan mati untuk membela negeri.

 "Ratu Ayu telah membuat kami bangkit semua secara serentak.

"Kali ini Ratu ayu menghadapi seluruh negeri."


 Ratu Ayu menghela napas.

"Barangkali ini kunci kemenangan kalian atas serangan pasukan Tartar.
Sejengkal tanah kalian bela bersama sampai nyawa terakhir. Ini kekuatan yang luar

biasa. Sementara di Turkana, justru sebaliknya yang terjadi.

 "Kekuatan kami tercerai-berai.

 "Padahal kalau satu lawan satu, Khan itu masih tetap bukan tandinganku. Juga

rajamu, Nyai."

 Nyai Demang mengeluarkan suara di hidung.

 "Di negeri kami, seorang raja tidak selalu perlu turun tangan secara langsung.

Seorang raja lebih mementingkan kebijaksanaan, dan bukan mencari pengesahan
dalam pertarungan seperti ini."

"Dengan kata lain, Nyai mengatakan saya lebih sakti?"

"Masih harus dibuktikan."

 Mata Ratu Ayu yang cokelat seperti mengeluarkan sinar tajam. Menikam.

 "Apakah di negerimu ini ada yang mampu mengirimkan suara dengan ilmu
Lompat Turkana seperti yang kulakukan?"

 "Lebih dari itu pun ada, Ratu Ayu."

 Sejenak Ratu Ayu menghela napas pendek.

 "Kalau benar begitu, rasanya saya perlu turun tangan untuk menjajalnya.
Rasanya ia baru pantas menjadi tandinganku.

 "Nyai, siapa orang itu?"

Sejenak Nyai Demang merasa sangsi.

 Akan tetapi, mengatakan atau tidak, bisa berarti banyak. Mengatakan karena
memang kenyataannya begitu. Kalau tidak menyebutkan nama, bisa dianggap asal
membual.


 "Ratu Ayu telah menyebutkan sendiri."
"Eyang Sepuh?"
"Eyang Sepuh, guru kami."
"Saya mendengar nama besar dan harum Eyang Sepuh.
"Tolong katakan, dari segi mana Eyang Sepuh mampu mengungguli saya?
"Pandanganmu sangat luas, dan saya patut mendengarkan."
Pujian Ratu Ayu terdengar sangat tulus.
Dan memang diutarakan secara jujur.
Nyai Demang bisa merasakan. Bahwa di balik sikapnya yang serba


tersembunyi, di balik dendam dan keinginannya merebut kembali takhta Turkana
dari tangan bangsa Tartar, Ratu Ayu tetap mempunyai jiwa ksatria.

 Bahkan di balik pertanyaan itu, Ratu Ayu menghormati bahwa Nyai Demang
akan menjawab secara jujur pula. Bukan sekadar mengagungkan Eyang Sepuh karena
kebetulan ia guru Nyai Demang.

"Bagaimana, Nyai? Apa hebatnya Tepukan Satu Tangan?"

 Nyai Demang menunduk.

 "Ratu memang luar biasa. Mampu memperpendek jarak dengan Lompat

Turkana. Sehingga jarak jauh menjadi pendek. Tapi ini hanya terbatas kepada suara.

 "Eyang Sepuh telah mencapai sesuatu yang lebih dari itu. Beliau mampu
memindahkan badannya dari suatu ruang ke ruang yang lain tanpa bergerak.

 "Sehingga pada saat yang sama, seakan berada pada dua tempat atau lebih

secara bersamaan."

"Apa itu?"

"Kami menyebutnya moksa."


 "O," suara Ratu Ayu seperti patah. "Saya mendengar ilmu semacam itu juga ada
di tlatah Hindia, Jepun, dan di tanah Jawa ini. Di negeri kami, cara berlatih
pernapasan untuk moksa juga bisa dipelajari.

"Saya telah mempelajari, Nyai."

 "Kenapa tidak dimunculkan?"

 "Sulit. Moksa adalah tingkat di mana antara ada dan tiada tidak berbeda.

Tingkat antara roh dan raga menyatu, tak bisa dipisahkan. Tingkat antara mati dan
hidup susah dipisahkan.

 "Kalau saya menjajal ilmu itu, saya kuatir tak ingin kembali ke Turkana dan
menjalankan keinginan semula."

 Nyai Demang mengangguk dan membenarkan.

 Ini memang bagian yang paling menguatirkan, yang oleh Eyang Sepuh disebut
sebagai ajaran "bait terakhir yang tak terbaca di hati".
Lompat Turkana
SEMENTARA itu, Gendhuk Tri yang sejak tadi masih berada di sekitar sitinggil,
segera menyusup ke arah Kamandungan, melalui pintu benteng.

 Suara hiruk-pikuk di dalam menyerap perhatiannya.

 Dan begitu sampai di bagian dalam Keraton, lidahnya terjulur tanpa terasa.

Di depan Keraton, kedelapan senopati Turkana membentuk barisan dua lapis.

Sekali bergerak, yang berada di belakang meloncati yang ada di depan, langsung
melabrak musuh.

 Sementara barisan yang di depan, yang diloncati, juga serentak meloncati dan
menyerbu ke arah senopati Keraton.

 Karena kedelapan senopati melompat dan menyerang dengan sangat cepat,
barisan para senopati Keraton seperti kucar-kacir. Susunan pertahanan menjadi buyar.

Senopati Sariq berada paling depan.


 Kalau menemui lawan seimbang, hanya memutar ke arah samping. Tempatnya
yang kosong segera diisi Senopati Uighur atau Karaim. Begitu juga yang lainnya.

Serangan mendadak yang sangat rapi dan kuat.

 Setiap penghalang disikat dengan tebasan pedang melengkung.

 Juluran lidah Gendhuk Tri lebih menunjukkan kekaguman.

 Matanya pernah menyaksikan barisan murid Kiai Sumelang Gandring yang
merangsek maju secara bersamaan. Juga pernah menyaksikan dua murid Kama
Kangkam yang menyatu. Dua bentuk barisan, yang kokoh bertahan, dan yang kuat
melabrak.

 Akan tetapi yang disaksikan sekarang, sungguh luar biasa.

 Kedelapan senopati menggunakan Lompat Turkana seperti dalam permainan
64 petak. Masing-masing saling melompat ke depan, dan atau ke samping kiri maupun
kanan. Tak pernah mundur.

 Dalam sekejap saja, mereka telah masuk mendesak hingga pintu Keraton,
sementara para senopati Majapahit tersisih di sebelah kiri dan kanan.

Hanya saja para senopati Turkana ini tidak melabrak terus dan masuk ke
dalam, akan tetapi berbalik, siap menghadapi lawan yang bersiaga dari depan.

 Dari sekian banyak senopati Keraton, hanya Mahapatih yang nampak bisa
mengimbangi. Ia selalu berhasil memaksa lawan tidak melompati tubuhnya, akan
tetapi memakai gerakan memiring.

 Hanya saja karena ia seolah sendirian, dalam sekejap saja seperti mendapat

keroyokan.

 Terpaksa bertahan sambil minggir.

"Kok bisa begini jadinya?

 "Sungguh tidak lucu kalau Keraton bisa dicabik-cabik dengan cara murahan

seperti ini."


 Suara Gendhuk Tri terdengar lantang.
Akan tetapi tak ada yang memperhatikan.
Dari sitinggil terdengar keributan yang lain. Para calon penari menjadi bubar


dengan sendirinya. Begitu pula para calon yang berharap dipilih sebagai suami oleh
Ratu Ayu. Sementara para prajurit berkumpul dan masuk ke Kamandungan untuk
melibatkan diri dalam pertempuran.

 Namun mereka hanya menambah korban yang berjatuhan.

 Pedang bagai bulan melengkung itu setiap kali berayun, seperti membuat
lawan mundur atau terluka.

 Di tengah ketakberdayaan karena serangan yang mengagetkan, dari arah

sitinggil menerobos masuk seorang lelaki.

"Kakang, aku ikut."

Gendhuk Tri langsung terjun ke tengah gelanggang.

 "Kita jajal mereka. Aku jadi ingin tahu."

Gendhuk Tri segera melepaskan selendangnya.

 "Senopati Majapahit, jangan berdiri terlalu dekat dengan lawan. Beri jarak.

Kosongkan di depan, atau merapat. Sehingga mereka tak mampu melompati.

 "Jangan takut bau kambala."

 Gendhuk Tri rada terperangah.

 Ia tak menyangka sama sekali bahwa lelaki yang masuk ke gelanggang bukan

Upasara Wulung!

 Bentuk tubuhnya sama, wajahnya mirip sekali, nada suaranya juga sama!
Hanya rambutnya yang kemudian tergerai, membuat Gendhuk Tri yakin bahwa lelaki
itu bukan Upasara Wulung.

 Apalagi ketika menggertak maju sambil memainkan kantar dengan gerakan
cepat.


 "Mari aku cuci kalian. Katanya kambing takut sama air."
Dengan gesit, lelaki itu maju menerjang. Kantar, atau tombak pendek yang


biasanya digunakan sebagai perisai, menyabet maju. Kebetulan yang dihadapi adalah
Senopati Chagatai, yang mencongkel dengan pedang lengkungnya.
Lelaki itu terus menggebrak maju dengan desakan yang kuat, seolah menempel.


 Senopati Kazakh yang berada di belakangnya, tak bisa melompati.

 Tetap menunggu di belakang!

 Dalam saat yang bersamaan, Gendhuk Tri juga mendesak maju. Selendang
warna-warni mengebut ke arah wajah lawan. Tidak seperti biasanya, Gendhuk Tri
kali ini tidak membuat jarak. Ia mendesak maju. Sabetan pedang Senopati Karaim
digulung dalam satu selendang, sementara tangannya yang bebas mengancam lawan.

 Senopati Karaim mengegos ke samping.

 Gendhuk Tri menyambar dengan kaki. Ke arah terompah lawan.

"Kena kamu, kambing."

 Tanpa sadar, Gendhuk Tri mengikuti apa yang dikatakan lelaki yang mirip

Upasara Wulung. Dengan menyebutkan kata kambing, seperti tadi ia mendengar
ucapan kambala, yang artinya pakaian bulu domba.

Bahwa yang dikenakan para senopati itu pakaian bulu domba tanpa lengan
atau bukan, tak jadi soal.

 Senopati Karaim tak menyangka bahwa terompahnya yang digasak. Sewaktu
menarik mundur kakinya, Senopati Uighur yang di belakangnya berseru keras.

 Hampir saja pedang melengkung mengenai kawan sendiri.

 "Kanyasukla, sebagai anak kampung, ilmumu boleh juga. Mari kita ajar mereka
main lompatan."

 Hati Gendhuk Tri menjadi berbunga-bunga.


 Karena ia dipanggil dengan sebutan kanyasukla yang berarti perawan suci.

 Rasanya, sepanjang hidupnya tak pernah ada lelaki yang memanggil begitu
menyenangkan hatinya.

Satu-satunya yang menyayanginya hanyalah Dewa Maut. Yang mau
melakukan apa saja bagi Gendhuk Tri. Akan tetapi, Dewa Maut memanggilnya
dengan sebutan tole, panggilan buat anak lelaki. Tak pernah terdengar panggilan yang

menyejukkan hati kewanitaannya.

 Tidak juga Upasara Wulung yang dikagumi.

 Paling jauh hanya menyebut adik manis.

 Sekarang ada yang menyebut dengan manis, lembut, dan menganggapnya

sebagai gadis.

 Dan yang memanggil itu adalah seorang lelaki yang Hmmmmm, tak kalah
dengan kakang pujaannya.

 Mendapat hati, Gendhuk Tri tak berpikir panjang lagi. Kedua kakinya

menjejak tanah, dan tubuhnya melayang ke atas, jungkir-balik ke arah belakang.

 Apa yang dilakukan Gendhuk Tri memang tak terduga.

 Justru karena mengandung bahaya.

 Meloncat ke udara sambil membalikkan tubuh untuk menghadapi barisan

Lompat Turkana sama juga adu panas dengan sumber api.
Akan tetapi justru karena lawan tak menduga itulah pedang melengkung

Senopati Uighur bisa tercabut.

 "Bagus. Aku juga dapat satu!"

 Lelaki itu berseru keras sambil merampas sebilah pedang. Ia berdiri berjajar

dengan Gendhuk Tri.

 Rambutnya yang panjang tergerai di belakang bahunya. Wajahnya gagah,
dengan kedua tangan membuka. Salah satu tangannya memegang pedang
melengkung.


 Serentak dengan itu delapan senopati Turkana membalikkan tubuhnya.
Menghadapi lelaki gagah dan Gendhuk Tri.

Senopati Sariq meloncat ke depan.

 "Sungguh mengagumkan.

 "Sepasang senopati yang bisa membaca barisan kami. Apakah Sariq kali ini
berhadapan dengan ksatria dari Perguruan Awan yang bernama Upasara Wulung?"

 "Hei, domba kuning! Tahu diri sedikit.

 "Yang bisa merebut congkelan pintu bukan hanya dia, tapi aku juga merampas.
Bahkan lebih dulu. Bagaimana kamu seenaknya saja memujinya tanpa melirik aku?

 "Apa perlu kucabuti dulu bulu domba di tubuhmu itu?"

Lelaki itu tertawa bergelak.

 Gendhuk Tri sadar bahwa cara tertawa yang kasar itu membuatnya sangat
berbeda dari Upasara.

"Siapa suruh kamu menertawai aku? Apaku yang lucu?"

 Lelaki itu menggaruk rambut di belakang telinga. Wajahnya jadi sedikit
berubah.

 "Kanyasukla, aku tertawa bukan karena kamu lucu. Karena Senopati Sariq ini
kamu sebut domba kuning. Alangkah lucunya. Domba tak pernah bisa kuning walau
makan emas sekalipun."

"Itu tidak lucu sama sekali."
Maha Singanada
SELURUH Kamandungan jadi senyap.

 Semua perhatian terserap ke pembicaraan antara Gendhuk Tri dan lelaki gagah
yang rambutnya dibiarkan terurai.


 Merupakan perubahan yang ganjil.

 Dalam beberapa saat sebelumnya, seakan seluruh senopati Keraton dibikin tak
berdaya. Lalu mendadak muncul pasangan yang dalam satu gertakan mampu

mematahkan Lompat Turkana.

 Kini juga setelah bisa unggul, mereka seolah bertengkar sendiri.

 "Maaf, pertanyaan saya belum terjawab.

 "Sebelum melanjutkan permainan, perkenankan saya mengetahui nama besar

Ksatria."

 "Bukankah tadi Sariq telah menyebutkan nama Upasara?"

"Kalau begitu, terimalah hormat saya."

 Sariq membungkuk memberikan hormat.

Gendhuk Tri berteriak marah.

 "Ngaco! Mulut bau, dandanan kamu seperti anak kampung, berani mengaku

nama besar Kakang Upasara?
"Sehari mandi seratus kali, kamu tetap tak akan menyamai bayangan Kakang

Upasara!"

Lelaki yang mengaku Upasara terkekeh.

Walau dalam gusar, sebenarnya Gendhuk Tri memuji. Karena menyebut


nyebut mandi seratus kali. Yang berarti juga mengakui bahwa kulit lelaki itu lebih
putih dan lebih bersih daripada warna kulit Upasara.

 "Senopati Sariq, begitu banyak orang menyebut katanya aku ini mirip Upasara
Wulung. Bahkan kalian yang baru datang dari Turkana juga terkecoh.

"Terus terang aku tak tahu apakah Upasara cukup tampan hingga bisa
disejajarkan dengan diriku."

"Ngaco belo. Kamu ini anak kadal."


 Lelaki itu mengangkat alisnya.
Rambutnya bergerak-gerak.
"Hei, kupanggil kamu kanyasukla, karena kuanggap kamu masih suci


pikirannya. Ternyata pikiran kamu sudah terjerumus kepada pemujaan lelaki."

"Siapa memuja lelaki.

 "Jangan asal buka mulut. Upasara adalah kakangku."

 "Nah, ketahuan sekali pikiranmu sudah ruwet. Aku hanya menyebut kamu

memuja lelaki. Bukan menyebut memuja kekasih atau suamimu."

 Gendhuk Tri menggertak.

 Dua tangan bergerak serentak. Empat ujung selendang menyambar secara

bersamaan.

 Dengan menggoyangkan kepalanya, sambaran empat ujung selendang tersapu
minggir oleh rambut lelaki itu. Dua tangan yang bergerak secara serentak dipegang

erat.

 "Tunggu! Apa hubunganmu dengan Mpu Raganata?"

"Lepaskan!"

 Gendhuk Tri meronta.

 Ternyata pegangan itu tidak bersungguh-sungguh.

 "Tahu apa kamu tentang Mpu Raganata?"

 Lelaki itu menatap Gendhuk Tri dengan tajam. Sorot matanya begitu menukik

dalam, sehingga Gendhuk Tri menunduk dengan warna merah di pipi.

 Malu.

Sungkan.

Gerah.


 Lelaki itu tak memedulikan Gendhuk Tri. Ia berbalik menghadapi Sariq.
"Namaku Maha Singanada.
"Senopati Sariq, jangan salah paham. Ini namaku yang sesungguhnya.


Bukannya aku sengaja memasang nama artinya mengaum keras seperti singa, dan
seekor singa sanggup menelan delapan ekor kambing.

"Cukup jelas?

 "Maha Singanada juga berarti gelaran Dewa Syiwa sebagai senopati perang.

 "Aku perlu menjelaskan agar kalian semua yang ada di sini tidak salah kaprah
bahwa aku adalah Upasara Wulung.

 "Setelah soal nama, mari kita lanjutkan permainan menarik ini.

 "Sudah lama aku mendengar permainan anak-anak dari Turkana ini, dan
sekarang bisa menjajalnya."

 Dalam hati, Gendhuk Tri merasa dongkol tujuh kali.

 Nada bicaranya sangat ketus, tinggi hati, menunjukkan kepongahan. Tanpa
tata krama sedikit pun. Boleh dikatakan sangat kurang ajar!

 Bahkan Gendhuk Tri yang selalu bicara seenaknya, tetap merasa ucapan
Singanada sangat kasar.

 Dan sedikit mengherankan bahwa ada pemilik nama yang memakai tambahan
maha, serta mengucapkan tanpa merasa risi.

 Sariq mengangguk.

 "Saya akui keunggulan Singanada pada gebrakan pertama. Akan tetapi, marilah
kita jajal dari awal.

 "Silakan kalian berdua maju.

 "Biar kami berdua yang menghadapi."


 Uighur melompat, mendampingi.
"Agar tidak dikatakan curang, jumlah kita sama."
Singanada menggeleng.
"Majulah berdua atau berdelapan, aku masih bisa menghadapi sendiri.
"Aku tak ingin melibatkan orang lain. Karena ini urusanku pribadi.
"Aku datang untuk melihat apakah benar ada Ratu Ayu Bawah Langit yang


benar-benar ayu. Ataukah hanya nenek-nenek yang sulit mencari jodohnya."

 Uighur melompati tubuh Sariq dan menggempur.

Singanada bergerak sama cepatnya.

 Begitu Uighur bergerak, Singanada mendahului melompat ke atas. Kantar di

tangannya berpindah dari kiri ke kanan dengan cepat. Antara menyerang dan
bertahan.

Dua bayangan saling bertempur di atas.

 Sariq menderum keras. Walaupun ada dua orang bertempur di atas, tubuhnya
tetap menyela di tengah.

Pedang lengkungnya menyodet ke arah perut.

Singanada menggeliat, tubuhnya terjatuh di arah belakang Sariq, dengan
tangan lebih dulu.

Kedua kakinya menggunting!

 Sariq tak mau kalah cepat reaksinya. Begitu pedang lengkungnya mengenai
udara kosong, tubuhnya segera menggulung, dan melesak masuk ke dalam. Lolos dari
guntingan kaki.

 Bergulingan di tanah sambil menyabit keras. Terdengar suara angin tajam
karena sobekan pedang lengkung. Uighur tak kalah lincah. Dengan memakai kaki
Singanada sebagai tumpuan, badannya melesat ke angkasa.


 Singanada mengaum keras.

 Pedang lengkung yang menyabet ke arahnya diterkam. Dengan kantar untuk
menindih. Tidak mengelak atau mengegos. Tapi menindih. Dengan demikian, senjata
Sariq terbenam di tanah. Di bawah tindihan kantar!

 Pada saat yang sama, rambut Singanada menyambar. Bagai ratusan jarum yang
menusuk secara bersamaan. Sariq mengempos semangatnya.
Ia bisa melepaskan pedang lengkung dan membuang tubuhnya. Tetapi itu tak

dilakukan.

 Ia tetap membetot pedang dengan satu tangan, dan tangan yang lain menolak
sambaran rambut!

 Gelombang tenaga yang disalurkan seakan menembus jalan buntu. Akan tetapi

dalam kejap berikutnya, ternyata tekanan tindihan mengendor.

 Karena saat itu tubuh Uighur sudah turun.

Melayang tepat di atas tubuh Singanada.

Yang justru sedang melonjak ke atas.

Kantar yang tadi dipakai untuk menyerang, sekarang dipakai untuk menahan.

Berfungsi sebagai perisai. Kali ini, justru Singanada yang memakai tenaga turun
Uighur sebagai tumpuan untuk melayang.

 Begitu tubuhnya melayang di udara, tangan kanan yang memegang kantar
terulur ke arah Sariq yang tengah tengadah.

 Terpaksa menyampok keras.

 Hingga tertahan geraknya mumbul ke atas.

 Kejadian berlangsung sangat cepat-keras-berbahaya.

 Karena Gendhuk Tri tidak ikut terjun ke dalam gelanggang, Singanada seperti
dikeroyok dua. Ini terus terang membuat Sariq merasa kurang enak.

 Akan tetapi tak bisa berbuat lain.


 Karena tekanan serangan Singanada amat kuat. Yang membuat Sariq menjadi
lebih waspada ialah karena ternyata Singanada mampu memindahkan serangan atas
dan serangan bawah dengan sama kuat dan sama gesit.

 Keunggulan serangan di tengah udara bisa diimbangi, sedangkan serangan
bawah, jelas Singanada lebih unggul.

Ini mengherankan.

 Biasanya seorang ksatria lebih menguasai satu jenis penyerangan. Di atas atau
di bawah.

Gendhuk Tri pun terheran-heran.
Bumi Mengaum
DAN penasaran.

 Betapa tidak, kalau dalam satu gebrakan saja Maha Singanada bisa langsung
menebak ilmunya mempunyai kaitan dengan Mpu Raganata.

 Gendhuk Tri jadi memperhatikan dengan lebih saksama.

 Dalam waktu tak terlalu lama, dirinya menyaksikan munculnya jago-jago yang
unggul. Sejak Naga Nareswara, kemudian Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, serta
pemunculan kembali Paman Sepuh. Lalu ditambah Ratu Ayu dengan senopatisenopatinya.


Semuanya serba aneh, menimbulkan tanda tanya.

 Akan tetapi dengan segera bisa dilacak asal-usulnya.

 Tidak demikian dengan Maha Singanada. Menyeruak begitu saja, dengan

kemampuan yang cukup memesona. Dengan penglihatan yang tajam.

 Sekali gebrak sudah mengetahui kunci permainan Lompat Turkana, menebak
jurus-jurus ilmu yang bersumber dari Mpu Raganata, main silat di tanah dan di
angkasa sama mengagumkan.


Gendhuk Tri merasa bisa memainkan silat sambil bergulingan di tanah untuk
memperdaya lawan. Akan tetapi, walau ilmu mengentengkan tubuhnya termasuk
kuat, tak bisa seunggul penguasaan di bawah.

 Ini sebenarnya memang ciri-ciri utama seorang jago silat. Mereka yang
berlatih di daerah pegunungan, dengan sendiri lebih maju penguasaan ilmu
mengentengkan tubuhnya.

Ciri-ciri semacam ini, bisa ditandai pada setiap jago silat yang dikenal
Gendhuk Tri. Bahkan Dewa Maut, di masa jayanya, adalah jagoan bertarung di atas
sungai. Kalaupun kemudian bertempur di darat, ciri-ciri itu masih terasakan.

 Inilah yang membuat Gendhuk Tri merasa sangat heran. Tanda tanya yang
sama terucapkan oleh Ratu Ayu Azeri Baijani yang berada dalam kamarnya.

 "Nyai mengenal ksatria bernama Maha Singanada?"

"Rasanya tidak, Ratu."

 "Boleh juga ksatria satu ini. Dasar-dasar yang dimiliki sangat kuat dan cukup
terlatih. Kalau benar ini juga bagian ilmu Kitab Bumi, sungguh... tanah Jawa ini luar
biasa. Tanah yang sangat subur melahirkan ksatria kelas satu.

 "Kenapa Gendhuk Tri tidak ikut bertarung?"

 "Kalau begitu, bukan Maha Singanada. Pasti Upasara Wulung."

 Ratu Ayu tersenyum.

 "Ksatria yang menjadi pewaris Perguruan Awan dan berhasil keluar sebagai

pemenang dalam pertarungan di Trowulan? -

"Hmmm, boleh juga.

"Boleh juga.

"Rasanya saya perlu menemui."

 Nyai Demang memperlihatkan wajah kurang senang. Ratu Ayu bukannya

tidak menangkap perasaan kecut yang tersimpan.


 "Barangkali ini lelaki yang saya cari..."

Hanya saja, di ujung kalimatnya, Ratu Ayu mendadak berhenti. Pikirannya
kembali dipusatkan untuk mengikuti jalannya pertarungan.

 Nyai Demang tak bisa menahan dirinya.

 Kedua tangannya membuat sembah, lalu mundur sambil tetap berjongkok.
Sampai di pintu luar, segera melesat ke arah Kamandungan.

 Apa yang disaksikan, membuat Nyai Demang membelalak dan mengerutkan
keningnya sekaligus.

 Hingga kedua alisnya berjauhan dan bertemu beberapa kali.

 Yang membuat Nyai Demang terheran-heran bukan karena para senopati
Keraton hanya berada di depan kori utama, pintu utama, menuju ke dalam Keraton.
Bukan pula Gendhuk Tri yang berdiri bengong dengan pandangan kosong.

 Juga bukan wajah Maha Singanada yang sekelebatan mirip Upasara Wulung.

 Melainkan gerakan-gerakan yang dilakukannya.

 Rasanya seperti pernah dikenali. Pernah dikenali dengan baik. Hanya tak bisa
segera dipastikan di bagian mana ia mengenali gerakan itu. Pernah dimainkan
seseorang ataukah hanya dari bayangan dalam pikiran ketika mempelajari kitab-kitab
ilmu silat.

Sementara itu Singanada makin ganas bergerak. Kantar di tangannya
mengurung lawan, menyodok, menekan pedang lengkung lawan. Sariq maupun
Uighur seakan terdesak.

 Akan tetapi Sariq bukanlah senopati sembarangan. Bukan ksatria yang sekadar
di belakang memainkan ilmunya. Dengan barisan Lompat Turkana, bersama dengan
Uighur, keduanya tetap bisa bertahan.

 Lompat Turkana yang berdasarkan gerak jong, gerak payung atau gerakan
tertutup di belakang, tak memberi kesempatan Singanada untuk menguasai dari arah
mana pun.

 Bahkan sebaliknya mereka berdua selalu naik-turun dan menggasak maju.


 Kalaupun Singanada mampu menerobos ke arah belakang, keduanya langsung
berbalik.

Titik lemah di bagian belakang juga menjadi kekuatan.

 Singanada mengertakkan giginya. Kedua tangannya terangkap menjadi satu,
kantar ditarik pendek melekat ke tubuhnya. Kaki kanan terangkat, dengan paha lurus
ke depan.

 Sariq menjajal dengan sabetan pedang lengkung yang seakan mencungkil
pinggang. Bersamaan dengan itu, Uighur sudah memotong bagian atas, jika Singanada
meloncat.

 Dalam situasi seperti itu, jalan menyerang Singanada yang lebih kuat meloncat
ke atas.

 Tidak dengan menyapu kuda-kuda lawan, merebut sisi bawah pertahanan.

 Akan tetapi justru dengan berani, Singanada tidak meloncat atau menyergap
lawan.

 Sabetan pedang ke arah pinggang ditangkis dengan gerakan pendek. Seolah
kantar yang ditempelkan ke pinggangnya cukup aman untuk menahan.

Memang.

 Namun pedang lengkung itu dalam sekejap bisa berubah arah.

Ke dada.

 Dengan sangat cepat.

 Singanada menarik kantar ke atas. Menyambut sabetan ke dada, yang kembali
diubah arahnya ke arah leher kanan dan kiri. Tiga kali kantar Singanada membentur
lembut.

 Sementara Uighur yang meloncat sudah turun ke bawah. Sariq sendiri melihat
bahwa meskipun lawan tidak terlalu terdesak, akan tetapi sekali ini tak mampu
bergerak leluasa. Maka dengan menggeser satu tindak, Sariq merangsek maju.


 Dengan kaki satu tetap terangkat, Singanada melayani. Ke arah mana pedang
lawan menyapu dan mendesak, ia menangkis. Begitu kesiuran angin tubuh Uighur
menyerbu, Singanada mengubah geraknya.

 Kaki kanan yang terangkat dalam keadaan tertekuk mendadak terbuka. Lepas
di antara sabetan pedang Sariq yang mendadak menarik mundur tubuhnya.

 Kaki kanan itu terus bergerak lurus ke atas, karena Singanada menjatuhkan
tubuhnya ke belakang.

Uighur berseru kaget.

 Tendangan Singanada sudah berada di depan wajahnya! Sabetan pedang untuk
memotong bisa ditepis oleh kantar yang bahkan menariknya turun.

 Terkesima kegesitan Singanada yang luar biasa cepat mengubah gerakan,
Uighur hanya bisa menarik kedua tangan dengan melindungi dada. Pedangnya
terlepas. Kaki kanan Singanada berhasil menendang dada Uighur.

 Yang telah melindungi dengan kedua tangan.

 Perhitungan Uighur bukannya tidak ada. Dengan melindungi dada, kedua
tangannya tidak sekadar mempertahankan diri. Akan tetapi juga berusaha membekuk
kaki kanan itu. Sekali puntir, rontoklah seluruh tulangnya.

 Hanya saja tenaga sodokan Singanada begitu liat, sehingga tenaganya yang
untuk menyerang terpaksa ditarik. Dengan demikian cukup kuat menahan
tendangan. Meskipun tubuh Uighur jadi berjumpalitan di udara.

 Sariq menggebrak maju dengan ganas melihat Uighur terdesak.

 Akan tetapi Singanada telah berubah. Tubuhnya bagai menggeliat dengan
pusaran tenaga kuat, bibirnya mengeluarkan teriakan bagaikan auman singa,
menubruk ke arah Sariq. Pedang Sariq diterkam.

Ditempel oleh kantar-nya, dan dengan satu putaran keras, tubuh Sariq
terlempar.

 Melayang di tengah udara.


 Sampai ke gapura Keraton, dan dengan cepat melayang kembali. Sudah berjajar
dengan Uighur. Keenam senopati Turkana yang lain juga dengan sangat cepat dan
bersamaan membentuk barisan.

 Singanada berdiri di tengah lapangan Kamandungan dengan gagah. Tangan
kanan dan kiri terbuka.

 Kedua kakinya membentuk kuda-kuda, seolah sedang menunggang kuda.
Tubuhnya sedikit miring. Pandangan matanya menyipit.

 "Timinggila Kurda...," desis Nyai Demang gemetar.

 Tak bisa lain. Itulah jurus yang mirip sekali dengan Timinggila Kurda, atau
jurus Ikan Paus Murka, yang ada di dalam Kitab Bumi. Hanya saja, kalau Paman
Sepuh memainkan secara murni sebagai gerakan ikan paus atau ikan gajah, Singanada
memakai gerakan singa.

Karsa Putra Mahkota
SlNGANADA bergerak setapak demi setapak.


 Makin gagah karena rambutnya bergerak-gerak mengikuti irama langkahnya,
dan sinar sang surya yang mulai condong membuat bayangannya menjadi lebih

hidup.

 "Cukup..." Terdengar teriakan Mahapatih.

Singanada berhenti.

 Mahapatih Nambi menghadap ke arah Sariq.

 "Baginda tidak menghendaki pertarungan dilanjutkan. Kecuali kalau memang

Ratu Ayu memaksa."

 Sariq berdiri tegak.

 "Bukan kami yang mulai, Mahapatih."

 "Senopati Sariq, saya membawa sabda Baginda.


 "Pertarungan tak perlu dilanjutkan, kecuali kalau Ratu Ayu memaksa. Sebagai
tuan rumah, Baginda ingin mengundang Ratu Ayu untuk membicarakan dengan baik.

"Apakah cukup jelas?"

 Sariq mengernyitkan kening.

Menangkap suara yang dibisikkan Ratu Ayu. "Sebagai tetamu, Ratu Ayu
Bawah Langit Azeri Baijani, junjungan rakyat negeri Turkana yang elok, tidak ingin
berbuat kurang ajar. Kalau tuan rumah memaksa, tak ada pilihan lain.

 "Kami datang tidak untuk mengemis atau minta belas kasihan.

 "Juga tidak untuk dihina.

"Sebagai sesama ksatria, kami datang dan juga akan pergi. Mohon sabda

junjungan kami disampaikan kepada Baginda."

Gendhuk Tri yang mendadak merasa jengkel.

 "Huuuuu, sudah baik-baik bertarung, kok jadinya bicara melulu.

"Kamu juga kampungan. Kenapa berhenti? Takut, ya?"

 Jari Gendhuk Tri menuding ke arah Singanada.

"Kalau takut, aku akan berdiri di tempat kamu berada."

Gendhuk Tri tersentak.

 "Aku berada di sini bukan karena takut. Tetapi karena aku tak mau main

keroyok. Masa begitu saja kamu tidak tahu."

"Tadi memanggil Kakang."

 Wajah Gendhuk Tri bersemu merah.

 "Aku menyesal memanggilmu Kakang. Ternyata kamu begitu takut mendengar

aba-aba prajurit Keraton yang tua dan gembrot itu. Ksatria macam apa kamu ini?"
Singanada menyelipkan kantar ke pinggangnya.


 Matanya mengawasi Mahapatih dan para senopati Majapahit yang
mengiringkan Sariq bersama para senopati Turkana kembali ke dalam Keraton.

 "Akan kujawab kalau kaukatakan apa hubunganmu dengan Mpu Raganata."

 "Sudah terang aku saudara seperguruan Mpu Raganata. Kenapa kamu masih
bertanya? Mau berguru padaku? Puasa empat puluh hari, mandi keramas sampai
bersih, kuku dipotong, dan nanti akan kupertimbangkan."

 Singanada tertawa bergelak.

 "Omongan kamu termasuk kurang ajar. Jarang di tanah Jawa ini ada yang

berani bicara selancang mulutmu.

 "Tapi aku suka.

 "Kanyasukla, tolong katakan kepada Mpu Raganata, apakah beliau tidak malu

mempunyai cucu murid yang ilmunya pas-pasan tapi mulutnya bawel."

 Singanada tertawa keras.

 Tubuhnya bergoyang.

"Singanada."

 "Namaku Maha Singanada. Kecuali dengan panggilan Kakang, kamu harus

menyebut namaku secara lengkap.

"Lain kali kita bertemu lagi.

"Kalau ilmumu sudah agak maju."

 Mana mungkin Gendhuk Tri begitu saja menerima ucapan penghinaan seperti

ini?

 Tubuhnya melesat, dan serentak dengan itu empat kibaran selendangnya yang
warna-warni menyerbu. Pada saat yang bersamaan Nyai Demang juga melayang ke
angkasa. "Tunggu, adik manis."

Singanada melirik ke arah Nyai Demang.


 Bibirnya menyunggingkan senyum.
Gendhuk Tri merasa kelewat jengkel!
Jengkel karena melihat senyuman genit Singanada. Senyum nakal dan


murahan kepada Nyai Demang.

 Jengkel karena Nyai Demang menahannya.

 Jengkel karena Nyai Demang hanya ingin menarik perhatian Singanada.

Jengkel karena Nyai Demang membalas senyuman dengan tambahan

mengangguk kepalanya.

 "Apakah saya berhadapan dengan Nyai Demang yang jelita?"

 Nyai Demang makin lebar senyumnya.

 Gendhuk Tri yang tadi ditarik menjadi makin dongkol. /

 "Dasar lelaki buaya!"

 Nyai Demang mengangguk dengan sikap hormat.

 "Sayalah yang bernama Nyai Demang. Mengenai jelita atau tidak, kakek-kakek

yang lebih tahu."

"Juga anak-anak muda.

"Putra Mahkota Bagus Kala Gemet menceritakan Nyai. Sebelum beliau

terpesona kepada Ratu Ayu."

"Beliau?"

 Bagi Nyai Demang dan Gendhuk Tri, cara Singanada menyebutkan Bagus Kala

Gemet dengan penghormatan beliau, cukup menimbulkan rasa ganjil.

 Kalau tadi menyebut Mpu Raganata dengan sebutan yang sama, bisa diterima.

Akan tetapi tidak untuk Bagus Kala Gemet.


 Walaupun Kala Gemet adalah putra mahkota, akan tetapi di kalangan para
ksatria tidak terlalu menimbulkan kesan hormat.

 Maka cukup mengherankan kalau Singanada menyebutnya sebagai beliau.

 "Beliau yang terhormat, junjungan rakyat, Pangeran Pati Bagus Kala Gemet."

 Singanada justru mengucapkan lebih jelas.

 "Rasanya apa yang dikatakan beliau tak meleset. Nyai memang jelita."

Wajah Nyai Demang tertekuk.

Ada warna marah.

"Apakah begitu kasar tata kramamu, Maha Singanada?"

"Barangkali begitu.

 "Makin lama tanah Jawa ini makin mengerikan, karena sedikit bicara salah saja
menjadi orang kasar, dungu, dan tak beradab. Dan saya salah satu contohnya.

"Maafkan, kalau saya kasar.

"Maafkan."

 "Maha Singanada, kalau saya boleh tahu.. apakah Adimas belum lama kembali
ke tanah Jawa?"

 Sejenak wajah Singanada berubah.

"Nyai lebih tahu daripada saya.

 "Suatu hari saya akan berguru kepada Nyai."

 Tanpa mengucapkan kata tambahan, tanpa anggukan, Singanada berjalan
meninggalkan Nyai Demang dan Gendhuk Tri. Langsung masuk ke dalam Keraton.

 Sama sekali tak memedulikan.


 Nyai Demang mencekal Gendhuk Tri.
"Biar saja."
"Apa hakmu hingga saya ditahan-tahan, diperingatkan, seperti ini?"
Gendhuk Tri mengibaskan tangannya.
"Adikku..." Suara Nyai Demang berubah nadanya menjadi lembut, penuh


dengan kasih seorang kakak. "Akan terjadi banyak peristiwa yang lebih ramai.
"Kita menyangka semua tetamu kita ketahui, akan tetapi ternyata masih ada

yang tersembunyi."

"Kakangmbok tahu siapa dia?"

 Nyai Demang tersenyum, menggandeng Gendhuk Tri ke arah pinggir. Berjalan

ke luar, ke arah sitinggil.

 "Kenapa kamu tidak bertanya mengenai kakangmu Upasara lebih dulu?"

Sindiran Nyai Demang mengenai sasaran.

Tepat dan menukik.

 "Aku sedang marah sama Kakang. Hingga tak perlu kutanyakan."

 "Kalau begitu saya tak perlu bercerita."

Gendhuk Tri mati kutu.

 Tapi tetap tak mau mengalah.

 "Apa pun yang terjadi terhadap Kakang, biar ditanggung sendiri. Kakang sudah

lebih dari dewasa."

Lagi-lagi Nyai Demang tersenyum.

 "Mudah-mudahan bukan karena hatimu sedang kesengsem Maha Singanada."

 Gendhuk Tri menggigit bibirnya.


 "Kakangmbok kenal dia?"
"Dua kali sudah pertanyaan itu diulang."
"Hmmm. Aku tertarik bukan karena apa. Karena ia disangka Kakang Upasara.


Terus terang aku tak rela. Ia lelaki kasar, mulutnya kotor, matanya jelalatan, dan sama
sekali tak mengenai tata krama. Memandang saja aku lebih suka mengupah orang
lain."

 Kali ini senyum Nyai Demang merekah sempurna. Menutup rasa ingin tahu
hubungan antara Maha Singanada dan Putra Mahkota.
Bibit Beringin dan Bibit Rumput
GENDHUK TRI berhenti melangkah.

 "Bagaimana kalau kita menyelinap masuk ke dalam Keraton?"

 "Biasanya kamu segera melakukan, tanpa minta pertimbangan. Apakah kuatir
ditertawai karena ingin membuntuti Maha Singanada?"

 Gendhuk Tri benar-benar tak bisa berkutik.

 Hati Nyai Demang welas juga. Iba melihat Gendhuk Tri yang hanya bisa
menggaruk-garuk rambutnya.

 Walaupun mereka berdua tak pernah bisa akur, akan tetapi Nyai Demang bisa
menempatkan diri sebagai kakak yang baik.

 "Sebenarnya itu jalan yang terbaik. Hanya saja kini pasti penjagaan sangat
kuat, dan kehadiran kita telah diketahui. Tak bisa sembarangan lagi.

"Lebih baik kita tunggu malam nanti.

 "Kalau benar ada pesta penyambutan Ratu Ayu, segalanya toh bisa kita ketahui
bersama."

 Gendhuk Tri mengangguk.

 "Aku masih penasaran mengenai Singanada.


 "Jangan ditertawakan. Aku nangis nanti."

 "Saya sendiri penasaran."

 "Tetapi Nyai...," suara Gendhuk Tri kembali meninggi, karena mengucap Nyai
dan bukan memanggil dengan sebutan Kakangmbok yang lebih akrab, "...bisa
menebak dia baru saja datang ke tanah Jawa. Memangnya berasal dari mana?
Turkana?"

"Menurut perhitunganku, Maha Singanada baru saja kembali ke tanah
kelahirannya ini. Ilmu yang dimainkan, walau banyak sekali perbedaannya,
menunjukkan persamaan dasar dengan Kitab Bumi. Bahkan auman singa yang
dipamerkan sebelum memunculkan jurus semacam Timinggila Kurda, jelas sekali
sumbernya."

 "Gerakanku juga bisa ditebak langsung dari Eyang Guru Raganata."

 Nyai Demang menjadi bersungguh-sungguh.

 "Inilah yang menjadi kekuatiranku.

 "Maha Singanada adalah orang dalam. Ksatria Keraton yang mendapat tempat.
Nama yang dipakai, singa besar yang mengaum, tak bisa tidak menunjukkan rasa
hormat dan hubungan dengan Baginda Sri Kertanegara!

 "Di saat Baginda Raja memegang takhta, banyak senopati yang dikirim ke
tlatah seberang. Di antaranya ke Pamalayu. Bisa jadi Maha Singanada adalah salah
satu di antaranya."

"Mana mungkin?

 "Dia masih kelihatan muda. Jauh berbeda dari Senopati Anabrang yang sudah
kakek-kakek."

 "Karena Senopati Anabrang ketika berangkat sudah menjadi senopati. Siapa
tahu Maha Singanada masih dalam kandungan ibunya, atau setidaknya masih bayi?

 "Kalau memang begitu, usianya baru sekitar 25 atau 30 tahun. "Memang masih
sangat muda.


 "Tapi tidak terlalu muda untuk menentukan pasangan."
"Aku tak tertarik lelaki yang kotor pandangannya dan kasar."
"Jangan kuatir, adik manis.
"Saya tidak akan merebutnya. Saya tahu diri sudah terlalu tua untuknya.
"Saya justru berpikir hal lain. Dilihat dari kemampuannya, Maha Singanada


mampu menghadapi lawan-lawan yang bakal bermunculan."

"Tidak kalau menghadapi Upasara.

 "Denganku saja belum tentu. Kenapa dirisaukan?"

 "Karena kemampuannya yang luar biasa. Telah dibuktikan sendiri dalam

menghadapi dua senopati tangguh dari Turkana. Bahwa sekarang kita mampu
memecahkan barisan dan ilmu Lompat Turkana, tak terlalu luar biasa.

 "Akan tetapi dalam sekejap sudah bisa membaca cara pemecahan ilmu Lompat
Turkana, itu luar biasa. Nyatanya semua senopati Keraton tak mampu.

 "Padahal kurang apa mereka itu?" Gendhuk Tri membenarkan dalam hati.

 Mereka berada di salah satu sudut alun-alun yang terlindung bayangan pohon
beringin. Sehingga tidak begitu menarik perhatian yang sedang berlatih menari.

"Kenapa menguatirkan?"

 "Karena Maha Singanada, kalau tak salah, mengabdi kepada Putra Mahkota
Bagus Kala Gemet."

 "Kalau iya, di mana bagian yang perlu dikuatirkan?" Nyai Demang memandang
pohon beringin. Memegang akar yang menonjol di permukaan tanah. Tangan yang
lain mencabut rumput.

"Lihat ini.

 "Yang satu sebesar kaki, yang lain sebesar rambut. Namanya sama, akar.


Yang satu akar beringin dan yang lain akar rumput. Meskipun awalnya sama, akan
tetapi perkembangannya jadi jauh berbeda.

 "Putra Mahkota adalah akar beringin.

 "Akan menjadi besar. Menjebol apa yang menghalangi.

 "Sekarang ini saja sudah banyak tingkah. Dibantu oleh Maha Singanada, bisa
makin menjadi-jadi. Didampingi Senopati Sora, yang mau tak mau bisa menuruti,
merupakan bahaya besar. Direstui oleh Raja, putra mahkota yang sekarang ini benarbenar
kekuatan raksasa yang akan mengguncang."

"Nyai kok tahu hal-hal semacam ini?"

 "Saya dibesarkan dalam lingkungan sebagai abdi dalem, sebagai pegawai kecil.
Suami saya demang, lurah dari dusun kecil.

 "Mau tidak mau saya jadi mengerti.

 "Karena justru keluarga kamilah yang pertama kali merasakan bencana. Seperti
ketika Raja Muda Jayakatwang mengadakan kraman, memberontak.

 "Suami saya yang terkena dan sangat menyedihkan harus mengakhiri
hidupnya. Di satu pihak dianggap membantu pemberontak, sedang di pihak yang lain
malah mendapat hukuman dari Keraton dan dari pemberontak."

 Suara Nyai Demang terdengar sedikit parau.

Walau hanya sebentar.

 Perasaan Gendhuk Tri tergugah. Untuk pertama kalinya ia sedikit mendengar
latar belakang Nyai Demang. Selama ini yang diketahui hanyalah apa yang dilihat dan
diduga.

 Tak pernah diduga bahwa kehidupan masa lalu Nyai Demang penuh dengan
cobaan. Walau tidak tahu persis, Gendhuk Tri bisa memperkirakan bahwa keluarga
Nyai Demang hancur menjelang pemberontakan dan juga pengkhianatan Raja Muda
Gelang-Gelang, Jayakatwang.

 Suara Nyai Demang kembali normal.


 "Semua sudah berlalu, tak perlu disesali. Suamiku, semoga Dewa Agung
memberi tempat yang layak, demang yang setia, mengabdi sepenuhnya kepada
Baginda Raja. Hanya kebetulan tanah di mana suamiku diserahi tugas untuk menjaga
termasuk wilayah Gelang-Gelang.

 "Jauh sebelum Raja Muda Jayakatwang berkhianat, suamiku sudah sowan ke
Keraton dan mengisikkan rencana busuk itu. Tetapi laporan itu dianggap racun
belaka.

"Persoalannya malah diserahkan kepada prajurit Gelang-Gelang. Kami
sekeluarga dibunuh dengan cara yang paling menjijikkan. Mayat suamiku, anakanakku,
ditarik kuda sehingga berbentuk segumpal lumpur berdarah."

 "Dan Nyai bisa selamat?"

 Gendhuk Tri melihat air mata menggelinding di pipi Nyai Demang.

 Untuk pertama kalinya Gendhuk Tri melihat Nyai Demang berkaca-kaca

matanya karena haru. Selama ini yang dilihatnya Nyai Demang selalu bergembira,
selalu bersuka ria, dan mengobral senyuman.

 "Saya selamat karena saya wanita yang hina.

 "Para pembunuh itu tertarik tubuh saya. Maka saya tidak dibunuh. Saya diberi
makanan enak, dan saya menyenangkan mereka.

"Adakah yang lebih hina daripada itu, adikku?

 "Suami dibunuh, anak-anak disiksa, dan saya bersenang-suka-ria?

"Adakah yang lebih nista daripada itu?

 "Tak ada yang mengampuni saya. Kecuali suami saya, Pak Demang yang setia,
dan Dewa Yang Maha agung.

 "Saya mempertahankan hidup untuk membalas dendam. Untuk mencuci
kotoran yang dilekatkan dalam keluarga kami. Keluarga Demang.

"Ah, sudahlah."

"Maaf."


 Gendhuk Tri menunduk.
Air matanya jatuh.
Tubuhnya gemetar.
Nyai Demang menyeka matanya.
"Semua sudah berlalu. Saya mampu mempelajari ilmu silat serba sedikit, walau


membaca sangat banyak. Saya bisa membalaskan dendam. Dan akan menghancurkan
semua lelaki yang tergila-gila melihat tubuh saya.

"Tidak peduli siapa saja!

 "Ah, tapi ternyata Dewa Yang Maha agung menunjukkan jalan yang lebih baik
dan lebih lurus.

"Semua harus melewati liku-liku, sebelum menemukan apa yang dicari."
Daya Asmara Galih Kaliki
NYAI DEMANG menyandarkan punggungnya ke pohon.

 Yang muncul adalah bayangan masa silam, di mana ia berusaha bangkit dan
mencoba meyakinkan siapa saja yang menjadi atasan suaminya, bahwa suaminya
sesungguhnya tidak berdosa.

Suaminya bukan pengkhianat.

Suaminya abdi Singasari yang tulus dan bekti.

Tak ada yang peduli.

 Yang dijumpai adalah senyum nakal, ajakan asmara berahi. Nyai Demang

makin murka. Tapi tak bisa berbuat sesuatu.

 Selain melenyapkan dan menghancurkan lelaki yang tertarik padanya. Daya
berahi asmara dipakai sebagai senjata untuk memikat dan menghancurkan lawan.


 Sambil berlatih terus, agar lawan-lawan yang lebih perkasa bisa dikalahkan
nantinya.

 Namun, kekuatannya tak sebanding dengan kemampuannya. Dengan mudah
bisa membaca berbagai kitab, dengan tekun Nyai Demang bisa memaksa diri berlatih,
akan tetapi hasilnya belum seperti yang dikehendaki.

 Makin banyak ksatria dan pendekar yang bisa mengalahkannya.

 Satu demi satu, Nyai Demang menghancurkan mereka.

Tak peduli penduduk biasa, atau sentana, kerabat Keraton. Sampai suatu ketika

Nyai Demang bertemu dengan seorang lelaki. Yang gagah, kasar, dan sedemikian
tergila-gila padanya.

Lelaki itu kini tinggal kenangan.

Lelaki itu adalah Galih Kaliki.

 Yang dengan tulus, dengan murni, mencintai, mengejarnya, dan mau berbuat
apa saja asal bisa berdekatan dengan Nyai Demang. Daya asmara semacam ini tak
pernah dirasakan.

 Nyai Demang tergetar.

 Ambruk semua gagasannya tentang membalas dendam, menyiksa lelaki yang

menjamahnya.

 Justru oleh Galih Kaliki yang penampilannya sangat sederhana dan kasar.

Itu adalah masa-masa yang membimbangkan.

 Setiap kali Nyai Demang ingin memberi hati kepada Galih Kaliki, setiap kali

pula Nyai Demang sadar akan sumpah dendamnya untuk membunuh lelaki yang
menjamahnya.

 Setiap kali teringat suaminya, anak-anaknya yang terhina dan dikutuk.

 Maka satu-satunya cara yang ditempuh adalah menghindar. Nyai Demang
selalu menghindar dari Galih Kaliki. Setiap kali berdoa memohon petunjuk Dewa
Yang Maha agung.


 Akankah ia menerima Galih Kaliki?

 Apakah penerimaan Galih Kaliki atau lelaki lain akan membuat arwah
suaminya tidak tenteram?

 Bagi Nyai Demang, selama hatinya belum bisa tenteram, ia akan tetap
membalas dendamnya. Dengan cara apa saja.

 Nyai Demang berharap, semoga hatinya mendengar bisikan Dewa Yang Maha
agung mengenai doanya.

 Sebab sebelum hatinya tenteram, ia tak bisa menerima kehadiran lelaki secara
apa adanya.

 Itulah sebabnya Nyai Demang tak peduli harus membunuh raja, karena raja
yang memerintah itu juga menghendaki tubuhnya. Walau memang percobaan itu

gagal.

 Dan petunjuk itu mulai membisiki secara perlahan.

 Saat-saat yang tenteram berada di Perguruan Awan. Saat itu Nyai Demang

mulai tak begitu tersiksa kalau harus mengobrol dengan Galih Kaliki.

 Lalu datanglah berbagai peristiwa.

 Sehingga Galih Kaliki, lelaki yang pertama dijumpai memiliki daya asmara

murni padanya, kembali ke asal hidupnya.

 Nyai Demang-lah yang paling sedih dan merana.

 Tapi semua itu berhasil disimpan baik-baik, jauh di lubuk hatinya yang paling

tersembunyi.

 Tak ada yang mengetahui.

Tak ada yang bertanya.

 Baru hari ini. Itu pun hanya sebagian yang bisa diceritakan kepada Gendhuk

Tri secara tidak langsung.


 "Maaf, Nyai."
Wajah Nyai Demang kembali tersenyum.
Semua kebekuan dan perasaan yang tersimpan dalam hatinya lenyap secara


seketika. Tak terbayangkan sedikit pun di wajah, maupun sinar matanya.

"Tak apa.

"Semua sudah berlalu."

"Apakah Kakang Upasara tahu hal ini?"

"Tidak kalau kamu tidak bercerita."

 "Aku tak akan menceritakan, kalau Nyai tak mau."

 Nyai Demang terdiam.

 Upasara adalah lelaki yang lain lagi dalam hidup Nyai Demang. Upasara

Wulung secara terus terang memperlihatkan niatnya yang tertarik padanya.

 Saat itu Nyai Demang menyadari sedikit bergolak perasaannya, manakala
mengetahui bahwa Upasara masih terlalu hijau dalam petualangan asmara. Boleh
dikatakan terlalu hijau.

 Namun saat itu Nyai Demang sudah memutuskan untuk tidak menjadikan
Upasara bagian dari korban pembalasan dendamnya. Ia merasa sayang kepada Upasara

yang, rasa-rasanya, inilah salah satu putranya jika tumbuh besar.

Andai tidak diseret kuda!

 Pengalaman hidup dalam belantara daya asmara, membuat Nyai Demang

sering tersenyum simpul melihat tingkah Gendhuk Tri. Di mata Nyai Demang, semua
perasaan Gendhuk Tri yang disembunyikan bisa terbaca dengan jelas.

 "Di mana Kakang Upasara sekarang?"

 "Mana saya tahu?"

 "Kan perginya bersama-sama."


 "Memang. Akan tetapi begitu masuk ke Keraton, Upasara memilih tempat lain.
Saya menuju balai pertemuan."

"Kakang Upasara menuju kaputren?"

"Bisa jadi."

Kali ini, Nyai Demang menjawab dengan jujur. Tidak bermaksud
mempermainkan perasaan Gendhuk Tri.

 "Nyai, kenapa Kakang Upasara sangat setia kepada Gayatri yang sudah
diperistri Raja?"

 Nyai Demang meluruskan punggungnya.

 Tak lagi menempel ke pohon.

"Nanti kamu akan mengetahui sendiri.

"Akan mengalami sendiri.

 "Namun sesungguhnya inilah yang perlu kita pikirkan. Perhatian Adimas
Upasara kepada Permaisuri Rajapatni sedemikian besar. Dan ini beralih ke putriputrinya,
Tunggadewi maupun Rajadewi.

 "Padahal Putra Mahkota Kala Gemet justru tak menyukai kehadiran dua putri
ini."

"Aku mendengar hal itu.

 "Tetapi kenapa ia tidak menyukai?"

 "Soal takhta."

"Takhta?

 "Mana mungkin. Begini, Nyai, walaupun umur saya berdiam di Keraton
ditambah, saya tetap akan bodoh mengenai masalah takhta. Akan tetapi semua tahu
bahwa sudah pasti jatuh ke Kala Gemet. Untuk apa merisaukan adik-adiknya yang
perempuan?"


 "Ini ada hubungannya dengan Adimas Upasara." Gendhuk Tri menepuk
jidatnya sendiri.

 "Kakangmbok, kenapa tidak cerita sampai tuntas saja? Atau Kakangmbok ingin
agar adikmu ini mati penasaran?"

 Nyai Demang menggeleng.

 "Saya kira sudah tahu."

"Belum."

 "Upasara sudah menjalin daya asmara dengan Permaisuri Rajapatni, jauh
sebelum dipilih Raja. Tak ada alasan untuk menolak, karena jasa Upasara sangat besar.

 "Nyatanya hal itu tak terjadi.

 "Karena perhitungan para pendeta bahwa Gayatri harus menikah dengan Raja,
agar kelak turunannya menjadi raja terbesar di tanah Jawa."

 "Lalu apa hubungannya dengan Kakang Upasara?"

 "Upasara tidak jadi hidup bersama."

 "Itu saya tahu, Kakangmbok."

 "Yang kamu tidak sadari adalah bahwa ini berarti turunan Gayatri-Raja, yang
berarti Tunggadewi atau Rajadewi, akan menurunkan raja besar.

 "Padahal putra mahkota yang sekarang ialah Bagus Kala Gemet.

 "Dengan sendirinya Bagus Kala Gemet, putra mahkota yang resmi, tak
menghendaki ada nama lain yang disangkutkan dengan kebesaran Keraton.

"Selain dirinya sendiri."

"Kalau begitu aku sekarang tahu.


 "Dengan cara apa pun, Kala Gemet akan menghalangi Tunggadewi dan
Rajadewi. Kalau perlu membunuhnya. Padahal sekarang Singanada berpihak padanya,
dan Kakang Upasara pasti akan membela Gayatri.

"Iya, kan?"

Kunjungan Permaisuri Indreswari

GEGER di Kamandungan menunjukkan adanya pengaruh Senopati Halayudha yang
luar biasa.

 Terlibatnya Mahapatih dan para senopati, juga digerakkan oleh perasaan yang
sama. Bahwa Halayudha sampai membunuh dirinya karena menirukan apa yang
diucapkan Ratu Ayu. Ratu Ayu-lah penyebabnya.

Maka begitu Sariq menawarkan pengobatan, malah mengobarkan
permusuhan.

 Ini semua di luar perhitungan Nyai Demang yang paling cerdik. Kalau ia
membiarkan saja Halayudha menusuk perutnya, akan terbuka kedok Halayudha
bahwa ia berpura-pura membunuh diri.

 Akan tetapi dengan meluruskan arah keris, Nyai Demang membuat sandiwara
Halayudha menjadi sempurna!

 Di dalam kamar kepatihan, semua dukun dan ahli pengobatan Keraton
berkumpul. Para tabib seolah digerakkan oleh doa dan keinginan yang sama untuk
menolong nyawa Halayudha.

Penjagaan yang ketat juga menunjukkan bahwa Halayudha mendapat
kehormatan besar.

Secara berturut-turut para senopati serta Mahapatih memerlukan untuk
menjenguk dan berdoa di samping Halayudha.

 Sedikit di luar dugaan bahwa menjelang senja itu Permaisuri Indreswari
memerlukan berkunjung.

 Bahwa seorang atasan menjenguk anak buahnya yang terluka, bukan sesuatu
hal yang luar biasa. Kalau Mahapatih datang menjenguk, itu hal yang wajar. Walau
tidak selalu terjadi.


 Akan tetapi kunjungan Permaisuri Indreswari bisa ditafsirkan lebih dalam.
Bahwa hubungan Halayudha dengan kerabat Keraton terjalin dengan erat.

 Permaisuri Indreswari adalah permaisuri utama. Dari lima istri Baginda yang
berhak memakai gelar permaisuri, Permaisuri Indreswari adalah yang paling besar
kekuasaannya secara resmi. Karena Permaisuri Indreswari yang dianggap permaisuri
utama, yang keturunannya bakal menggantikan takhta Majapahit.

 Berbeda dengan para permaisuri yang lain yang berasal dari Keraton Singasari,
Permaisuri Indreswari paling jarang berhubungan dengan orang luar. Tak pernah
nampak akrab dengan para senopati. Walaupun keakraban itu hanya berupa
percakapan langsung atau tidak langsung.

 Sejak diboyong dari tanah Melayu, Permaisuri Indreswari boleh dikata selalu
mengurung diri. Hanya bertemu dan melayani Baginda.

 Meskipun demikian, semua senopati dan para petinggi Keraton menyadari
bahwa kekuatan Permaisuri Indreswari atas Baginda sangat terasakan. Boleh
dikatakan apa yang menjadi keinginan Permaisuri Indreswari dikabulkan.

 Termasuk merias kamar-kamar kaputren dengan hiasan dari Melayu. Dan
suasana ruangan yang berbeda dari kamar serta ruangan yang lain.
Tidak sedikit para dayang yang diturunkan pangkatnya atau tak bakal dipakai lagi
karena dianggap tak bisa melayani Permaisuri Indreswari. Baik dalam menata meja
perjamuan ataupun cara mereka berbisik-bisik.

 Puncak kekuatan dan pengaruh Permaisuri Indreswari ialah sewaktu Baginda
mengumumkannya sebagai stri tinuheng pura, atau istri yang dituakan. Alias
permaisuri utama!

Bagi sebagian besar pengikut setia Baginda pun, sabda ini termasuk
mengejutkan.

 Sejak lama Baginda menganggap bahwa permaisuri utama adalah Tribhuana.
Yang mengikuti Baginda sejak masih berada di tanah Tarik, sebelum akhirnya
menggempur Raja Muda Jayakatwang.

 Ternyata bisa berubah dalam seketika.


 Dan Bagus Kala Gemet, putra Permaisuri Indreswari, sejak masih kanak-kanak
juga sudah ditunjuk secara resmi sebagai pangeran pati, pangeran putra mahkota.

 Yang mendapat kehormatan, kebesaran, dan perlakuan sebagaimana Baginda.

 Hanya karena kesetiaan sebagai nilai utama, maka para senopati mengikuti
dengan patuh semua sabda Baginda dengan segala titik dan koma tanpa kecuali.

 Kehadiran Permaisuri Indreswari sama maknanya dengan kehadiran Baginda.

 Halayudha berusaha bangkit sambil meringis untuk menghaturkan sembah
sewaktu Permaisuri Indreswari masuk ke kamarnya.

 Satu tangan kiri bergerak pelan, maka semua tabib dan pengawal segera
meninggalkan ruangan.

 "Gusti Permaisuri sesembahan seluruh Majapahit, hamba merasa tak pantas
Gusti kunjungi."

 Permaisuri Indreswari memandang ke arah langit-langit kamar. "

 Apakah Paman sudah menyampaikan kepada Baginda?"

 "Maaf, Gusti Permaisuri Utama, hamba belum sempat mengatakan secara
langsung. Akan tetapi rasanya Baginda bisa mengerti bahwa Ratu Ayu Azeri Baijani
lebih pantas untuk Gusti Bagus Kala Gemet."

"Aku melihat gelagat yang kurang baik.

"Kalau sampai Baginda menghendaki Ratu Ayu menjadi salah satu
permaisurinya-dan itu bisa terjadi, aku merasa sia-sia. Kutinggalkan segala
kemewahan di negeri Melayu, hanya untuk berkurung di tempat yang susah
kumengerti tata krama dan tata tuturnya.

 "Aku sudah bertekad, bahwa hanya kalau aku bisa meneruskan takhta Melayu,

aku mau berada di sini."

 "Begitulah semestinya yang terjadi, Permaisuri Utama."

Permaisuri Indreswari menoleh ke arah lain.


 "Aku belum puas kalau Baginda nanti malam tak mengumumkan secara resmi
bahwa Ratu Ayu diperuntukkan bagi putraku Kala Gemet."

 Halayudha menghela napas.

 Perutnya naik-turun.

 Darah masih merembes dari bubuk obat-obatan.

 "Kalau perlu, Gusti Permaisuri Utama bisa memaksa dengan cara lain."

 "Aku sedang memikirkan jalan itu."

 "Maha Singanada mampu menyusup dan memaksa Ratu Ayu."

"Begitu?

 "Bukankah cukup banyak para senopati yang mengawalnya?"

Halayudha berusaha tersenyum.

 Wajahnya kelihatan makin pucat.

 "Kalau tak salah, nanti malam ada perjamuan utama. Saat itu adalah saat yang
terbaik bagi Maha Singanada untuk menerjang langsung dan menaklukkan Ratu Ayu.

 "Kalau itu terjadi, hamba bisa memperhitungkan, bahwa sekalian senopati
Turkana maupun senopati Keraton tak akan bisa turun tangan. Karena ada Baginda di
sana."

"Akalmu boleh juga, Paman Halayudha.

 "Kalau Singanada gagal mengalahkan Ratu Ayu?"

"Memang harus gagal.

 "Pada saat terakhir, Maha Singanada harus gagal. Seolah gagal, dan saat itu

Gusti Bagus Kala Gemet yang muncul. Menyelesaikan perkara.

 "Kalau Maha Singanada bisa menguras seluruh tenaga Ratu Ayu dengan
rangkaian jurus Nawagraha, atau jurus Siasat Sembilan Bintang, yang digabungkan


dengan pengerahan tenaga Nawawidha, atau Aturan Tenaga Dalam Lipat Sembilan,
betapapun hebatnya ilmu dari Turkana, akan tersedot habis tenaganya.

 "Maha Singanada bisa mengerti hal ini, Gusti Permaisuri Utama."

 "Putraku juga bisa mengerti?"

 "Rasanya kalau Senopati Sora tidak tanggung dalam memberikan ilmunya,
dengan jurus-jurus Bramara Bekasakan atau Lebah Hantu, akan bisa menyiksa Ratu
Ayu.

"Syukur-syukur kalau Senopati Sora membantu dengan tenaga dalam
mendengungkan suara untuk mengacau perhatian, semua bisa berjalan dengan baik,
Gusti Permaisuri Utama."

Permaisuri Indreswari bergerak perlahan.

Memunggungi Halayudha.

 "Sora terlalu merasa dirinya ksatria. Mana mau ia membantu dengan cara

seperti itu?"

 "Hamba akan mencoba menghubungi.

 "Kalau dikatakan bahwa ini saat yang tepat untuk menunjukkan keahlian

putra asuhannya, rasanya bisa disetujui."

"Aku tahu, semua ini memerlukan usaha keras, Paman."

 "Akan tetapi, hasilnya luar biasa.

 "Semua mata di seluruh Keraton akan terbuka dan tak tergoyahkan lagi akan

kehadiran Gusti Bagus Kala Gemet."

Permaisuri Indreswari berbalik.

 Memandang Halayudha.

"Kalau Singanada menolak bertarung?"

 Halayudha menggeleng lemah.


"Anak muda itu tak bisa berpikir lebih panjang dari batang hidungnya. Bahkan
di mana bayangannya berada, ia tak mengetahui. Memang ilmunya tinggi dan sangat
berbahaya, akan tetapi ia hanya mengerti belajar ilmu silat.

 "Selebihnya, asal makan dan kemewahan dipenuhi, tak ada persoalan."

"Paman cukup mengenalnya?"

 "Maaf, Gusti Permaisuri Utama.

 "Hamba tak mengenal secara pribadi. Akan tetapi bukankah semua senopati

didikan Raja Singasari hanya kuda tunggang yang gagah berani tapi matanya
tertutup?"
Menunggang Singa
PERMAISURI INDRESWARI mengangguk.


 Baru sekarang, setelah lebih lega, duduk di kursi. Tubuhnya tetap tegak.
Pandangannya lurus.

 Halayudha hanya berani mencuri pandang sekelebatan. Dan mengagumi tanpa
habis kelembutan kulit dan wajah ningrat Permaisuri Indreswari.

"Aku tak habis pikir, Paman.

 "Baginda Raja Sri Kertanegara begitu dipuji dan dipuja sedemikian hebat.
Padahal Baginda Raja itu pula yang menaklukkan negeri kami. Membuat seluruh
tanah Melayu tunduk pada kakinya, dan aku sebagai putri boyongan, putri
persembahan tanda takluk.

 "Kesombongan Baginda Raja masih mengalir dalam darah putri-putrinya. Putri
Tribhuana, Putri Gayatri."

 "Hamba bisa merasakan kerisauan Permaisuri Utama.

 "Walaupun resminya Gusti yang menjadi permaisuri utama, nyatanya keempat
putri tinggalan Singasari masih berhak memakai gelar permaisuri, dan masih berada di
ruang utama Keraton. Tidak berada di kebon atau ruangan lain di luar dinding


Keraton.

 "Akan tetapi rasanya, itu tak akan lama lagi."
Alis mata Permaisuri Indreswari bergerak.
Terangkat.
Lembut.
"Katakan, Paman.
"Aku tak akan melupakan jasa Paman. Sampai kelak kemudian hari."
"Maha Singanada adalah singa yang tak berbeda dengan kuda. Bisa dikendarai


sekehendak tuannya.

 "Karena sifatnya yang tak bisa melihat jidat kelimis dan tungkai yang tersibak
dari kain, Maha Singanada akan masuk perangkap yang kita buat.

 "Kekuatan utama putri-putri tinggalan Singasari, sesungguhnya berada dalam

diri Gayatri.... Maaf, Permaisuri Rajapatni."

Terdengar helaan napas berat.

 Wajah Permaisuri Indreswari kembali muram.

 Pandangannya menjadi kosong.

 "Aku tahu yang kamu maksudkan, Paman.

 "Ramalan nujum para pendeta yang mengatakan bahwa keturunan Gayatri dan

Baginda yang kelak akan menjadi raja besar di tanah Jawa dan wilayah di mana ia
bertakhta.

"Aku tahu hal itu, Paman.

 "Aku tahu walaupun Tribhuana sangat pandai mengatur dan menangkap serta
mengungkap kejadian di Keraton, Baginda masih lebih suka menceritakan Gayatri.


 "Dalam satu hal ini, rasanya aku tak bisa menerima sikap Baginda."
Suaranya makin lembut.
Seolah kuatir terdengar oleh nyamuk.
"Sebagai raja yang agung, Baginda bisa memilih seratus wanita lain yang lebih


elok dalam segala hal daripada Gayatri."
Halayudha menunggu sampai suara Permaisuri Indreswari mereda nada

sengitnya.

 Baru kemudian berkata perlahan.

 "Kita bisa menunggang singa, Gusti Permaisuri Utama.

 "Maha Singanada akan menyusup ke dalam kaputren, dan akan menemui

Gayatri.
"Sebaliknya Gayatri akan berusaha menerima. Karena pasti menyangka yang

mengunjungi adalah Upasara Wulung."

"Hmmm...

 "Bukankah Upasara Wulung sudah terkubur di bawah Keraton? Baginda

mengatakan kepadaku."

 "Sebelum melihat mayatnya atau meremukkan tengkoraknya, hamba tak bisa
percaya.

 "Akan tetapi kalaupun sudah terkubur, bukan alasan Gayatri untuk tidak
menemui. Pada saat pertemuan itulah, Mahapatih yang akan bertindak. Menggerebek
langsung.

 "Dan Baginda tak mempunyai alasan untuk tidak mengusir ke luar puri

Keraton. Bersama saudara-saudarinya."

Permaisuri Indreswari menelan ludah.

Menenggelamkan gundah.


 "Ada untungnya juga membawa Singanada kemari.
"Benar. Semua perhitungan Paman benar adanya."
"Hamba tak pantas mendapat pujian Gusti Permaisuri Utama.
"Hamba hanya sekadar menjalankan tugas dan mengabdi kepada yang ditunjuk


Dewa Yang Maha agung."

Permaisuri Indreswari berdiri.

 "Aku tak akan melupakan semua jasa baik, Paman.

 "Dan aku belum pernah ingkar janji selama ini."

 Permaisuri Indreswari mengangguk pendek, lalu melangkah ke luar. Segera

meninggalkan ruangan diiringkan para dayang-dayang.

 Halayudha memejamkan mata dan mengatur pernapasan.

 Ada yang bergolak di dalam perasaannya.

 Rasa muak karena sikap Permaisuri Indreswari. Yang membuat darahnya

mendidih bagai bara cair. Bagai magma gunung berapi.

 Biar bagaimanapun, Halayudha merasa muak diperlakukan seenaknya oleh
Permaisuri Indreswari. Ia merasa diperlakukan dengan kehinaan. Seolah abdi yang
tak ada artinya.

Akan tetapi, Halayudha sudah terlatih lama menyembunyikan perasaan
hatinya.

 Ia lebih suka memperhitungkan di kelak kemudian hari. Bahwa kalau semua
rencananya berhasil, takhta dan kemenangan itu tak akan pernah jatuh ke tangan

Permaisuri Indreswari atau Kala Gemet!

Ini semua hanya topangan sementara.

 Bagi Halayudha, membereskan Permaisuri Indreswari atau Kala Gemet sangat
mudah. Lebih mudah daripada membalik telapak tangannya sendiri, yang untuk itu
masih memerlukan tenaga.


 Karena sesungguhnya Permaisuri Indreswari tak mempunyai dukungan
kekuatan apa-apa. Selain Baginda yang selama ini menganggapnya istimewa.

 Kalau Baginda sudah tersingkir, apa lagi yang dimiliki?

 Prajurit Keraton tidak. Pengawal pribadi pun tak seberapa yang akan tetap
setia kepadanya.

 Kala Gemet tak terlalu merisaukan. Bagi Halayudha, putra mahkota yang satu
ini tak lebih dari bocah yang bau kencur. Yang bisa disingkirkan kapan saja, dan bisa
diperintah sekehendak hatinya.

 Kunci kekuatan mereka, selain restu Baginda, hanyalah pada diri Maha
Singanada.

 Maka Halayudha berusaha menarik Maha Singanada ke arahnya. Dengan cara
sesama ksatria. Halayudha menyerahkan klika yang bertuliskan Kitab Bumi secara
lengkap, ketika Maha Singanada datang kepadanya.

 "Kitab Bumi, pusaka kitab yang ada, rasanya hanya pantas dimiliki dan
disimpan Anakmas Maha Singanada."

Halayudha bisa mengerti, sebagai ksatria, sebagai pendekar yang selalu
mencari ilmu, pemberian Kitab Bumi merupakan kehormatan yang tak ternilai
harganya.

 "Aku suka sekali, Paman Halayudha.

 "Tapi kenapa diberikan? Sebaiknya Bantala Parwa ini disimpan di sini saja."

 "Paman sudah tua, Anakmas Maha Singanada. Mana mungkin Paman

menjaganya?

 "Terimalah. Sedikit-banyak akan ada manfaatnya."

 "Baik kalau begitu.

 "Rasanya aku perlu mengucapkan terima kasih yang dalam. Aku berjanji akan

mempelajari."


 Sepersekian kejap, Halayudha merasa bahwa Maha Singanada selalu
menunjukkan sikap kurang ajar.

 Tidak menyembah, tidak menghormat.

 "Rasa-rasanya ilmu Anakmas mempunyai sumber yang sama dengan Kitab
Bumi!'

 "Kata orang, begitu. Aku sendiri ingin membuktikan. Hanya kidungan di
dalamnya terlalu sulit bagiku."

"Barangkali Paman bisa sedikit membantu."

"Itu juga baik."

 "Tetapi entah sejauh mana bisa berarti. Karena apa yang Anakmas miliki,
pelipatan tenaga dalam sembilan kali seperti dalam mengatur pernapasan Nawawidha,
tak ada dalam Kitab Bumi. Ah, anggap saja ini pemberian yang sudah ketinggalan
zaman."

 Maha Singanada menggelengkan kepalanya.

 "Tak bisa dianggap begitu. Bantala Parwa adalah kitab babon semua persilatan
di tanah Jawa. Eyang Sepuh bisa menciptakan jurus Tepukan Satu Tangan berasal dari
sini. Pasti ada yang luar biasa.

 "Aku justru heran, karena Kitab Bumi ini katanya memuat Dua Belas Jurus
Nujum Bintang dan Delapan Jurus Penolak Bumi. Bagaimana mungkin dihubungkan

dengan ilmu silatku yang bernama Nawa Singanada?"

 "Auman Sembilan Singa, siapa tahu justru dasar Kitab Bumi ini?

 "Tapi aneh juga. Betul aneh, Anakmas.

 "Ada Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Ada Delapan Jurus Penolak Bumi.

Bagaimana bisa berhubungan dengan Auman Sembilan Singa?"

Dengan cara licin, Halayudha mencoba memancing dasar-dasar ilmu yang
dimiliki Maha Singanada.

 Dan berhasil, karena Maha Singanada menceritakan apa adanya.


Semua Angka Adalah Sembilan

HALAYUDHA sampai tersedak karena tak menyangka.

Maha Singanada mengatakan dengan kalimat yang jujur.

"Kukira tak ada yang aneh, Paman.

 "Kitab segala kitab kanuragan di tanah Jawa bersumber kepada Kitab Bumi
atau Bantala Parwa. Menurut cerita yang kudengar, kitab ini ditulis oleh Paman
Sepuh Dodot Bintulu, bagian dasar-dasarnya yang merupakan ramuan segala aliran
persilatan yang ada. Entah dari mana sumber yang sebenarnya, aku tak tahu. Walau
dikatakan ditulis oleh Paman Sepuh, akan tetapi banyak persamaannya dengan kitab
lain yang berada di negeri seberang."

 "Rasanya tidak aneh, Anakmas. Dalam berbagai kitab tuntunan yang ada, kitab
yang ditulis belakangan merupakan penyempurnaan atau perubahan kitab yang
terdahulu."

 "Bisa jadi. Akan tetapi buat apa dipusingkan?

 "Siapa saja yang menuliskan atau tidak menuliskan, apa bedanya? Yang jelas, di
zaman itu ada tiga ksatria sejati yang sebaya usianya, sama hebatnya, sama anehnya.

 "Paman Sepuh Dodot Bintulu yang mengikuti secara apa adanya, dan Eyang
Sepuh menciptakan jurus Tepukan Satu Tangan yang bergema sampai ke seluruh
penjuru jagat dan dianggap puncak yang dahsyat. Satu lagi Mpu Raganata, yang
mengabdi langsung kepada Baginda Raja Sri Kertanegara."

 Halayudha mengangguk-angguk, seolah belum pernah mendengar. Malah
pura-pura bertanya,

 "Eyang Sepuh-saya pernah mendengar nama besarnya yang ditinggalkan, yaitu
Perguruan Awan. Mpu Raganata-saya banyak mendengar, karena muridnya
bertebaran di berbagai tempat. Akan tetapi siapa sebenarnya Paman Sepuh Dodot
Bintulu?"

 Darah Halayudha berhenti berdesir.


 Maha Singanada bisa saja menuding ke arahnya tanpa malu-malu dan
meneriakkan: Itu kan guru Paman! Dengan adatnya yang begitu terbuka, hal itu bisa
terjadi.

 Tapi ternyata Maha Singanada menjawab lain.

 "Paman Sepuh selalu menyembunyikan diri. Menurut cerita, Paman Sepuh
mempunyai dua murid yang mendurhakai. Nasibnya buruk. Arwahnya tak bakal

tenteram sebelum muridnya mati berdiri."

 "Ah!"

 "Suatu hari aku akan membalaskan sakit hati dan dendam Paman Sepuh."

 "Kenapa, Anakmas?"

"Karena Paman Sepuh guruku juga."

 Kalau ada keris kedua yang menusuk lambungnya, Halayudha tak merasa

nyeri seperti sekarang ini.

"Oh, alangkah hebat guru Anakmas."

 "Tiga-tiganya menjadi guruku. Lebih hebat lagi. Eyang Sepuh, Paman Sepuh,
dan Mpu Raganata adalah guruku. Karena ketiga beliau yang mahasakti ini boleh
dikatakan selalu bertemu, berlatih, dan melaporkan hasilnya kepada Baginda Raja Sri
Kertanegara, yang kemudian disebarkan ke semua senopatinya, di mana pun berada.

 "Di Perguruan Awan, di Ksatria Pingitan, serta... entah dengan cara bagaimana
Paman Sepuh mengajarkan kepada muridnya."

 "Dan ilmu Anakmas juga berasal dari situ?"

 "Dari mana lagi kalau bukan dari kebesaran Baginda Raja yang memerintah
Keraton Singasari yang digdaya?"

"Kalau begitu, kembali ke pertanyaan semula, Anakmas.

 "Bagaimana Kitab Bumi yang memuat Dua Belas Jurus Nujum Bintang dan
Delapan Jurus Penolak Bumi sama dengan Auman Sembilan Singa?


 "Tadi aku sudah bilang, tak ada yang aneh.

 "Mpu Raganata yang sering melanglang buana, menjelaskan bahwa kalau
Eyang Sepuh dikenal dengan Tepukan Satu Tangan, beliau dikenal dengan jurus-jurus
Weruh Sadurunging Winarah, Tahu Sebelum Terjadi.

 "Dasar-dasar ilmu ini sebenarnya sama. Sama anehnya. Kalau dibayangkan.
Mana mungkin satu tangan menimbulkan suara lebih nyaring dibandingkan tepukan
dua tangan? Mana mungkin mengetahui sesuatu sebelum terjadi? "

Tapi ya begitulah nyatanya.

 "Dasar yang digunakan Eyang Sepuh ialah angka satu. Dasar yang digunakan
Mpu Raganata adalah kosong. Sedangkan Auman Sembilan Singa, adalah angka
sembilan.

"Aku tak menyebutkan Dua Belas Jurus Nujum Bintang, akan tetapi
mengatakan Sembilan ditambah Sembilan dikurangi Enam. Aku tak menyebutkan
Delapan Jurus Penolak Bumi, melainkan Sembilan dikurangi Satu Jurus Penolak
Bumi.

"Karena semua angka itu pada dasarnya sembilan.

 "Dan hanya sembilan yang istimewa.

 "Begitu aku melihat Lompat Turkana, aku segera mengetahui bahwa yang
mereka mainkan adalah jurus-jurus Sembilan dikurangi Satu. Satu yang kurang itulah
aku masuki, dan nyatanya langkah-langkah mereka buyar karenanya."

 Halayudha cukup cerdas untuk menangkap apa yang dikatakan Maha
Singanada. Ia bisa mengerti bahwa dasar patokan jalan pikiran yang dikatakan adalah
sembilan, nawa. Dalam pengucapan sehari-hari pun, tak akan mengatakan sepuluh,
akan tetapi sembilan ditambah satu.

 Ini menyangkut cara dan pola berpikir. Bahwa kemudian berkembang dengan
segala bentuk dan pelaksanaan, sangat dimungkinkan sekali.

 "Segala apa di jagat ini bersumber pada angka sembilan. Kalau Paman tanya,
lubang tubuh manusia jumlahnya pasti sembilan. Kalau Paman bilang manusia hanya
mempunyai lima indria, pancadriya, itu berarti belum semua Paman rasakan.


 "Inilah yang biasa disebut cara mengatur pernapasan Nawawidha, seolah
seperti pelipatan tenaga sembilan kali. Kalau belum mencapai pengerahan itu, berarti
masih perlu berlatih diri."

 Maha Singanada berdiri.

 "Aku ingin membaca dan mempelajari sebentar, Paman."

"Silakan, Anakmas.

 "Tanpa itu pun, nanti malam Anakmas bakal bisa merobohkan Ratu Ayu,

sesuai dengan rencana."

 Maha Singanada mengangguk.

 Tidak merendahkan diri sama sekali.

 "Bagaimana kalau Paman yang sudah hampir kembali ke alam baka ini

meminjam Kitab Auman Sembilan Singa?"

 Jawabannya adalah gelengan kepala.

 "Kitab itu hanya boleh dibaca oleh mereka yang setia kepada Baginda Raja Sri

Kertanegara. Aku tak tahu Paman termasuk kelompok singa atau kambing.

"Aku tak mau meminjamkan."

 Maha Singanada lalu meninggalkan begitu saja.

Sungguh keterlaluan.

 Kecongkakan yang juga diperlihatkan oleh Permaisuri Indreswari!

 Namun Halayudha mulai menyadari bahwa sebenarnya Maha Singanada tidak

secongkak itu. Sikapnya lebih dipengaruhi bahwa segala sesuatu harus mencapai
sembilan.

Tak diperlukan basa-basi lagi.

 Tak perlu direndahkan.


 Tak mungkin.

Memang begitulah Maha Singanada.

 Hanya saja, di dalam hati Halayudha merasa makin yakin bahwa Baginda Raja
Sri Kertanegara memang raja yang sangat elok. Bisa menanamkan kesetiaan yang
sangat luar biasa. Senopati Anabrang menjelajah tanah Melayu dan kembali dua puluh
tahun kemudian. Nyatanya kesetiaannya tak bergeser seujung rambut.

Sampai dengan meninggal dunia.

 Ternyata itu bukan hanya pada satu dan dua orang saja. Boleh dikatakan semua
ksatria, semua senopati yang hidup pada zaman itu atau mendengar namanya, tetap
mengagungkan.

 Bukankah Raja Majapahit yang sekarang ini juga masih merasa perlu memakai
nama gelar yang menunjukkan hubungan dengan Keraton Singasari?

 Bagi Halayudha ini bisa dijadikan senjata untuk membuka pertentangan lebih
luas lagi. Seperti yang selama ini telah dilakukan, akan tetapi belum sepenuhnya.

 Konflik dan pertarungan antara kekuasaan Raja Majapahit yang sekarang, bisa
tetap dipanaskan hingga mendidih.

 Bukankah Baginda masih murka?

 Hanya karena dibandingkan dengan pengaruh Baginda Raja Sri Kertanegara?

 Bukankah Permaisuri Indreswari masih merasa dendam kepada tokoh yang
sama?

 Betapa hebat. Betapa agung. Betapa kuat gema kebesaran Baginda Raja Sri
Kertanegara. Keraton Singasari boleh rata dengan tanah, boleh diubah namanya,
boleh diubah bentuk dindingnya. Akan tetapi ternyata keperkasaannya justru tambah
melegenda.

 Seluruh jagat raya mengakui kebesaran Baginda Raja yang mampu menahan
payung Khan yang sangat perkasa. Hanya di Keraton Singasari, pasukan Tartar yang
telah menaklukkan jagat, bisa disingkirkan.


 Sedikit-banyak Halayudha mengetahui bahwa gempuran kepada pasukan
Tartar dikarenakan mereka kurang begitu siaga. Akan tetapi biar bagaimanapun, ada
akar yang kuat, yang menyebabkan seluruh ksatria bangkit dan bisa berkobar
semangatnya.

 Itu hanya mungkin karena Baginda Raja Sri Kertanegara yang membangun
dasar-dasar keperwiraan.

Tathagati, Budha Wanita

SEWAKTU sang surya benar-benar tenggelam di balik pegunungan di sebelah barat,
Keraton bagai mendapatkan surya yang lain. Api penerangan berada di setiap sudut.

 Sitinggil berubah menjadi pentas yang luar biasa indahnya, dengan hiasan
berbagai bunga dan dupa yang selalu mengepul.

 Sejak sore, suara gamelan telah terdengar bertalu-talu.

 Seluruh isi Keraton tanpa kecuali berkumpul di alun-alun. Sebagian sekadar
ingin melihat Ratu Ayu Bawah Langit, sebagian kecil berharap dipilih sebagai suami.

 Lebih dari itu semua, ini pesta yang pertama kali diadakan oleh Baginda. Sejak
kemenangan yang gilang-gemilang, sejak Baginda naik takhta, rasanya baru kali inilah
disiapkan pesta pora yang melibatkan seluruh penduduk.

Sembilan ratus sembilan puluh sembilan penari Keraton siap
mempersembahkan tarian pujaan sebagai tanda dimulainya penerimaan tamu negara.

 Baginda sendiri sudah bersiaga sejak sore. Didampingi Permaisuri Indreswari.
Mahapatih Nambi mengerahkan semua prajurit tanpa kecuali untuk memeriahkan
pesta.

 Di antara lautan manusia di alun-alun, hanya Gendhuk Tri yang mengawasi
sekeliling.

"Mana, Nyai?"

"Siapa?"

"Kakang Upasara! Siapa lagi?"


 "Saya kira kakang yang lain."
"Nyai yang bersama Kakang Upasara. Harusnya Nyai tahu di mana dia."
"Jangan-jangan Upasara sengaja menyusup ke dalam kaputren untuk menemui


Permaisuri Rajapatni."

 Sebenarnya Nyai Demang hanya ingin menggoda Gendhuk Tri. Akan tetapi ia
sendiri terjebak oleh pikirannya. Karena bukan tidak mungkin Upasara menemui

Permaisuri Rajapatni.

 Karena hanya itu satu-satunya alasan Upasara tidak muncul.

 "Kalau begitu, kita ke kaputren?"

 "Mau apa ke sana?

 "Malah mengganggu."

 "Jangan-jangan Kakang berada dalam bahaya."

 "Siapa yang bisa membahayakan kakangmu sekarang ini?"

 "Nyai sudah kenal akal licik Halayudha yang telah karatan itu. Manusia culas

itu selalu mempunyai rencana busuk."

 Kali ini Gendhuk Tri yang terseret jalan pikirannya.

Sehingga makin cemas. Dan menggandeng Nyai Demang untuk selalu

berpindah tempat, kalau-kalau bisa menemui Upasara!

 Sampai tidak sadar bahwa upacara sudah dimulai.

 Rombongan Ratu Ayu Bawah Langit sudah mulai masuk ke dalam ruang

pasamuan agung, diiringi para senopatinya, bersamaan dengan dimulainya para
penari.

 Ketika rombongan Ratu Ayu mulai mengambil tempat duduk, rombongan
Putra Mahkota memasuki ruang dari arah lain.


 Kalau tadi Gendhuk Tri tak berkedip melihat Ratu Ayu, yang seakan tercium
bau harum tubuhnya, kini pandangannya beralih ke Maha Singanada. Yang nampak
mengiringi Bagus Kala Gemet dan rombongannya.

 Gagah perkasa, akan tetapi nampak canggung dan kikuk dengan upacara. Atau
mengesankan tidak biasa berada di bawah penerangan yang sangat terang.

"Sudah melihat belum?"

 "Ayu memang ayu. Tapi apa istimewanya? Sulaman dan pakaiannya juga
begitu-begitu saja. Begitu saja berani mengaku Ratu Ayu Bawah Langit."

 "Sssttt. Bukan dia yang saya maksudkan."

"Itu ada.

"Rambutnya tetap diurai seperti tak sempat digelung."

 Nyai Demang berkata perlahan.

Menggenggam tangan Gendhuk Tri lebih keras.

 "Kamu mencari Upasara atau Singanada?"

 Wajah Gendhuk Tri menjadi merah padam karenanya.

 Gerakannya menjadi kikuk dan serbasalah.

 Karena bingungnya, Gendhuk Tri berjongkok.

 Untung sekali tingkah Gendhuk Tri tidak menjadi pusat perhatian. Karena
ketika itu seluruh penduduk yang berada di alun-alun membungkukkan tubuh hingga
melengkung setelah menyembah dalam-dalam. Juga para prajurit dan semua yang
hadir.

 Saat Baginda memasuki pasamuan dengan segala kebesarannya, Gendhuk Tri
tak sempat melihat jalannya upacara. Kalaupun mencoba melihat, juga hanya melihat
titik-titik kecil yang bergerak lambat.

 Juga tak mendengar apa yang sedang dibicarakan.


 "Dengan segala hormat, Baginda Kertarajasa Jayawardhana, penguasa tunggal,
sesembahan seluruh tanah Jawa, Raja Keraton Majapahit yang agung, mengucapkan
selamat kepada tetamu, Yang Mulia Ratu Ayu Bawah Langit Azeri Baijani dari negeri
Turkana yang agung."

 Suara Mahapatih Nambi terdengar lantang berkumandang.

 Senopati Sariq ganti mengucapkan ungkapan rasa terima kasih dengan suara

terputus, seperti menghafalkan..

Gendhuk Tri berusaha mendongak sedikit.

 Tetap tak bisa melihat jelas.

 Hanya melihat dua kursi, yang ditempatkan agak berjauhan. Selebihnya,

seluruhnya, duduk bersila di lantai.
"Sekali lagi, kami mengucapkan rasa terima kasih yang agung kepada Baginda

Kertarajasa Jayawardhana atas sambutan yang penuh dengan kehormatan ini."

 "Maaf, Ratu Ayu Bawah Langit, hanya ini yang bisa kami sampaikan.

 "Untuk segala kekurangan yang membuat Ratu Ayu Bawah Langit yang mulia

kecewa, kami meminta maaf."

 "Lebih dari Baginda, seharusnya kami yang meminta ampunan Baginda, karena
kejadian tadi siang."

 "Melupakan masa lalu yang buruk adalah lebih baik daripada menatap masa

depan yang bersahabat."

 "Terima kasih, Baginda."

Lalu hening kembali.

Lama.

Sunyi.

 Gendhuk Tri menjadi tidak sabar.


 "Nyai, untuk apa sebenarnya kita di sini?"
"Kamu yang mengajak."
"Lebih baik kita pergi."
Nyai Demang mengangguk.
Mereka berdua makin menepi, ke arah pinggir alun-alun dan menjauh. Hanya


kemudian langkah mereka tertahan, karena melihat bayangan berkelebat ke arah
sitinggil.

Itulah bayangan Maha Singanada.

Yang segera disusul bayangan kedua.

Memancarkan bau harum.

 Harum, lembut, seakan mewarnai seluruh alun-alun. Bayangan Ratu Ayu
Bawah Langit.

 Keduanya berdiri berhadapan. Yang satu gagah dengan rambut terurai dan
tangan terentang, sedang yang lainnya bertubuh lembut, sedikit jangkung, dengan
bibir menyungging senyuman.

 Kedelapan senopati Turkana berjaga di satu sisi, sementara senopati Keraton
juga duduk membentuk lingkaran di sisi lainnya.

 "Saya telah menerima undangan dan tantangan Maha Singanada. Karena ini
tantangan dari Keraton, saya tak bisa mewakilkan kepada senopati saya.

 "Harap Maha Singanada bisa mengerti."

 Suaranya lembut mengalun bagai kidungan.

 Sebaliknya Maha Singanada bersuara lantang,

 "Aku tidak tahu siapa yang mengundang dan bagaimana tata kramanya. Tapi
itu juga tak ada gunanya.

 "Ratu Ayu, mulailah."


 Maha Singanada sedikit membungkukkan badan, lalu mengambil kuda-kuda.
Kedua kakinya mengangkang sedikit.

 "Saya telah mendengar bahwa barisan Lompat Turkana bisa dipatahkan oleh
Maha Singanada. Kalau saya boleh tahu, ilmu apa yang dimainkan?"

 Maha Singanada nampak tidak sabar.

 "Ratu Ayu akan segera mengetahui.

 "Yang jelas inilah ilmu yang lebih jempolan dari Tathagati. Ilmu Budha
Wanita yang Ratu Ayu bawa dari jauh, akan kulihat sampai di mana keampuhannya."

 Ratu Ayu merangkapkan kedua tangannya.

 "Sungguh luas dan jauh pandangan Maha Singanada.

 "Baru sekarang ini saya mendengar ada yang mengatakan ilmu Tathagati." Dari
tangan yang terangkap itu mendadak tercium bau harum yang keras, mengentak dan
merampas semua udara di sekeliling. Beberapa senopati yang berada di barisan depan
bisa merasakan bau harum yang sangat tajam menusuk.

 Maha Singanada menunduk sekali lagi, dan kantar yang terselip di
pinggangnya dicabut.

 Nyai Demang menggigit bibirnya.

 Tanda berpikir keras.

 Apa benar ilmu yang dimiliki Ratu Ayu Bawah Langit adalah Tathagati, seperti
yang dikatakan Maha Singanada?

Tathagati, Tarian Penjemput Sukma
PERHATIAN Nyai Demang sepenuhnya tertuju ke ruang tengah sitinggil. Hingga
tidak menyadari bahwa rombongan Putra Mahkota, yang diiringkan dua belas
pengawal pribadi serta Senopati Sora mulai mengambil tempat di sudut timur.

 Halayudha yang menunduk di bagian kaki Baginda sedikit melirik ke arah
sitinggil.


 Suasana senyap untuk sekejap.

 Nyai Demang menggelengkan kepalanya. Ia pernah mendengar keampuhan
Tathagati. Pengetahuannya yang luas, hubungannya dengan senopati Tartar yang
utama, serta Kiai Sambartaka, mengembalikan ingatannya.

 Yang tak akan hilang, bila itu menyangkut ilmu silat.

 Dalam kitab yang diberikan kepada Upasara Wulung sebagai hadiah dulu itu,
ada disebut-sebut ilmu Tathagati. Salah satu bagian yang diuraikan dalam kitab Jalan
Budha. Bagian tersendiri yang menyebutkan bahwa ada aliran sesat yang disebut
Tathagati, yang juga berarti Budha Wanita.

 Nyai Demang tertarik pada dua hal.

 Pertama, karena ilmu itu tak disinggung sedikit pun dalam Kitab Bumi. Kedua,
menyebut adanya wanita. Peranan kaum wanita yang justru sangat dibanggakan oleh
Ratu Ayu.

 Sejauh Nyai Demang bisa mengingat, Tathagati boleh dikatakan mempunyai
sumber yang sama dengan Jalan Budha, hanya saja mempunyai perubahan dasar yang
mencolok.

Dalam Tathagati, gerakan-gerakan untuk melatih pernapasan dilatih
sedemikian rupa sehingga paling cocok dimainkan oleh wanita. Yang menjadi
masalah ialah dengan demikian menganggap atau mengubah sang Budha, sebagai
wanita.

 Ini yang dianggap jalan yang sesat.

 Sehingga Tathagati disingkirkan dari ajaran yang resmi. Dan semua murid
perguruan resmi dilarang keras untuk mempelajari. Akan tetapi, sebagai ajaran, tak
sepenuhnya bisa lenyap. Banyak wanita yang secara diam-diam mempelajari. Walau
tantangannya berat.

 Nyai Demang tak mempunyai perbendaharaan lain mengenai Tathagati,
karena tak banyak disebut-sebut.

Maka termasuk menakjubkan kalau sekali bertemu saja, Maha Singanada
mampu mengungkapkan keunggulan Ratu Ayu.


 Padahal, menurut perhitungan Nyai Demang, tanda pertama yang bisa
dikenali hanyalah dari bau harum tubuh Ratu Ayu.

Yang memancar dan memenuhi seluruh ruang.

 Akan tetapi hal itu bukan merupakan pertanda suatu tenaga dalam yang luar
biasa. Cara memancarkan bau harum memang karena tenaga dalam, akan tetapi
sembarang tenaga dalam rasanya bisa untuk melontarkan bau harum. Tak perlu
pernapasan Tathagati. '

 Sedangkan bau harum itu sendiri, berasal dari ramuan wewangian yang
dipakai oleh Ratu Ayu. Karena selama mandi dengan uap air panas dan kemudian
diganti dengan uap air dingin, ada ramuan khusus.

 Jadi dengan cara bagaimana Maha Singanada mengenali?

 Agaknya ini pula yang tersirat dari pandangan Ratu Ayu.

 "Senopati Majapahit yang perkasa, tolong katakan dari mana Senopati bisa

mengenali Tathagati?"

 "Aku bukan senopati Majapahit.

 "Aku prajurit turunan Keraton Singasari. Mengenali langkah Ratu Ayu dengan

gerakan Tathagata Pratiwimba, siapa lagi yang bisa melakukan selain pengikut ajaran
Tathagati?

 "Apa susahnya mengenali Tarian Penjemput Maut?"

 Ratu Ayu mendongak.

Sebaliknya Nyai Demang menunduk.

 Mata Bagus Kala Gemet memandangi Ratu Ayu sepuasnya. Sedemikian
terkesima, sehingga lupa diri bahwa ia adalah putra mahkota yang seharusnya
menjaga tata krama.

 Gendhuk Tri menjadi sangat sebal.


 Namun sempat juga bercekat. Tathagata Pratiwimba, dalam arti harfiah adalah
arca Budha. Atau patung. Akan tetapi Singanada menyebutkan sebagai Tarian
Penjemput Maut.

 Seperti juga Nyai Demang, isi kepala Gendhuk Tri seperti terkelupas. Sebagai
murid Jagaddhita yang merupakan murid langsung Mpu Raganata, keunggulan utama
Gendhuk Tri justru pada gerakan-gerakan ilmu silat yang didasarkan dari gerakan
tarian. Dengan segala macam kembangan atau variasinya, Gendhuk Tri boleh
dikatakan mengenai cabang-cabang dan ranting-ranting yang paling kecil sekalipun.
Boleh dikata segala jurus yang mengambil dasar tarian bisa diketahui.

Tetapi nama Tathagata Pratiwimba belum pernah dikenali. Baru sekarang
didengar.

 Ini yang membuat Gendhuk Tri makin mengagumi Singanada.

 Dalam satu gerakan tangannya, Singanada bisa menebak berasal dari ajaran
Mpu Raganata!

 Kini hanya dengan mengenali gerakan kaki, Singanada juga bisa menebak
dengan jitu!

 Padahal Gendhuk Tri tak melihat sedikit pun keistimewaan gerakan Ratu Ayu.
Sewaktu meloncat atau berlari dari ruang pertemuan utama menuju sitinggil,
gerakannya tak berbeda dari yang lain.

Malah boleh dikatakan gerakannya sangat kaku.

 Kedua bahu Ratu Ayu terkulai.

Lurus.

 Kakinya naik-turun, sungguh tidak luwes sama sekali sebagai gerakan wanita,
apalagi ratu!

 Untuk yang satu ini Gendhuk Tri mengenali dengan baik. Ia sendiri berangkat
dari dasar tarian yang oleh Mpu Raganata sudah diubah sedemikian rupa. Sehingga
boleh dikatakan melanggar berbagai aturan tarian yang ada. Hanya pada jurus-jurus
Gendhuk Tri, gerakan tangan bisa melewati bahu. Sesuatu yang tak ada dalam tarian!
Hanya jurus-jurus yang diajarkan oleh Jagaddhita yang mengajarkan gerakan kaki
mengangkang lebih lebar! Sesuatu yang menjadi pantangan dalam tarian.


 Jenis yang berbeda dari dasar utama itu diketahui Gendhuk Tri dengan baik.
Kini matanya baru terbuka melihat gerakan Ratu Ayu.
"Pandangan yang begitu tajam, penyebutan nama yang begitu tepat. Maha


Singanada, apakah kita perlu melanjutkan dengan pertarungan?"

 "Akan lebih baik begitu, Ratu Ayu.

 "Adakalanya tarian yang dikatakan bisa menjemput maut itu tak ubahnya

dengan gerakan kaku!"

Sret! Sret!

Dua kibasan tangan Ratu Ayu sangat tiba-tiba dan membuat obor penerangan

seluruh sitinggil tergetar oleh angin.

Singanada menggerakkan kantar-nya naik-turun dengan sangat cepat,
sementara tubuhnya berkelit ke berbagai arah, sebelum akhirnya kembali ke tempat

semula.

Padahal gerakan Ratu Ayu sangat sederhana.

Kaku.

 Namun setiap satu gerakan, betapapun pendek dan sederhana, membuat

Singanada bergerak ke segenap penjuru medan yang terkena pengaruh getaran Ratu
Ayu.

 Gendhuk Tri tak bisa menahan keringat tubuhnya. Tangannya mencekal Nyai
Demang erat-erat.

 "Arca Budha."

 Nyai Demang tak segera bisa menangkap apa yang dikatakan Gendhuk Tri.
Sret!

 Tangan kiri Ratu Ayu kembali terangkat lurus ke depan, seperti menuding
dengan telapak membuka kaku. Singanada meloncat cepat ke arah kiri, membuang


tubuhnya, dan begitu kakinya menyentuh lantai, langsung melayang kembali ke
tengah.

Saat itu Ratu Ayu sudah bergerak maju.

Maju lurus ke depan.

Dan mendadak berbalik.

 Membiarkan punggungnya menghadap ke arah Singanada. Tangan kanannya
justru menolak ke arah depan. Tidak ke arah Singanada yang berada di belakangnya,
sedang meluncur turun.

 Anehnya, Singanada membuang tubuhnya ke samping kanan. Tangan kanan
yang memegang kantar dipakai sebagai titian untuk mengambil tenaga, dan tubuhnya
menggeliat ke arah tengah.

 Berusaha merebut lantai di mana Ratu Ayu berpijak.

 Kedudukan kaki yang lebih diutamakan. Sehingga Singanada mengambil

tenaga loncatan dengan kakinya.

 Gendhuk Tri menggigil.

 Inilah gerakan yang bisa dimengerti sebagai gerakan Arca Budha. Gerakan

kaku, mirip dengan gerakan arca, mirip dengan patung, mirip dengan gerakan
boneka.

 Pantas saja Singanada meledek dengan sebutan kakul atau gerakan siput hitam
yang hidup di pinggir sungai. Berlenggok kaku.

 Namun jelas sekali, setiap gerakan yang paling kaku dan perlahan pun,
membuat Singanada jungkir-balik. Antara membuang tubuh, menghindar, dan
berusaha mencari tempat pijakan.

 Dan ini semua tidak dilakukan dengan mudah.

 Karena Singanada kelihatan menjadi sangat tegang, wajahnya menjadi keras,
kaku, tanpa perasaan.

 Bertolak belakang dengan penampilannya yang serba jemawa.


Demit Pohon Sawo
NYAI Demang bisa merasakan genggaman Gendhuk Tri yang mengeras dengan

mendadak.
Juga mengetahui bahwa ujung kaki Gendhuk Tri menyaruk ke dalam tanah.
Seakan melampiaskan tenaga dalam yang bergolak.
Sesuatu yang bahkan tak dilakukan saat mengikuti pertarungan habis-habisan

di Trowulan.
Hal ini sebenarnya bisa dimengerti.
Di Trowulan, meskipun itu pertarungan maha raksasa tokoh-tokoh jagat, akan

tetapi Gendhuk Tri tak bisa sepenuhnya mengikuti. Bahkan tidak bisa melihat jelas.
Secara emosi, tak ada yang membakar hatinya. Satu-satunya perasaan yang ada,
hanyalah memasrahkan diri karena tak kuasa.

Berbeda dari sekarang ini.
Gaya permainan yang ditunjuk oleh Ratu Ayu bisa diikuti dengan baik.
Seperti ketika kedua kaki Singanada yang berusaha merebut kedudukan kaki


Ratu Ayu. Dengan guntingan dan sekaligus tendangan.
Ratu Ayu mengangkat kaki sebelah, seolah memberikan tempat pijakan. Pada

saat yang sama, kakinya turun, siap menindih kaki Singanada!
Saat itu tubuhnya berbalik.
Dua tangan terentang kaku. Lalu terpatah di bagian siku. Menempeleng pipi

Singanada.
Yang justru sedang meluncur.
Namun Singanada tidak meneruskan niatnya menempatkan kaki di lantai yang

diinjak oleh Ratu Ayu. Sebaliknya ia mengubah gerakan di tengah udara di saat
tubuhnya meluncur dengan geliatan dan diikuti oleh auman singa.


 Rambutnya yang terurai menyapu lantai, seakan dua kaki yang menyangga.
Sebelum tubuhnya membelit Ratu Ayu.

Dan melesat ke atas.

Ke arah langit-langit sitinggil.

 Sitinggil adalah bangunan yang tinggi. Langit-langitnya mencapai tiga tombak
di ruang tengah. Sehingga Singanada bisa melesat dan seolah burung yang menguasai
udara.

 Ratu Ayu mengeluarkan seruan dingin. Tubuhnya terpatah, pantatnya jatuh
mengenai lantai dan dengan seketika melesat ke angkasa.

 Menyusul tubuh Singanada yang juga masih meluncur ke atas!

 Gendhuk Tri mengeluarkan seruan tertahan.

 Juga hampir seisi sitinggil.

Ketika itulah Nyai Demang mendengar suara Upasara Wulung! Nada suaranya
yang lembut dan sangat melindungi terdengar di antara helaan napasnya.

 "Hati-hati, Putri Junjungan... Kita kembali ke kaputren saja."

 Asal suara dari bagian sisi selatan, yang punggungnya mengarah ke Keraton.

 Dari seorang lelaki yang membungkuk seperti prajurit jaga, dengan kumis
sangat tebal menutupi separuh wajahnya.

Itu pasti Upasara Wulung!

 Hanya saja tidak masuk akal kalau Upasara Wulung harus menyamar seperti
itu. Sungguh tak bisa diperkirakan. Upasara Wulung bukan orang yang begitu saja
menyembunyikan dirinya.

 Tapi mengingat bahwa yang diperingatkan dan sekaligus dilindungi disebut
dengan "Putri Junjungan", Nyai Demang bisa menebak tepat ke arah dua bocah yang
berpakaian terlalu besar bagi tubuh mereka.


 Dengan mudah Nyai Demang mengetahui bahwa itu pasti Tunggadewi dan
Rajadewi.

Dua putri Permaisuri Rajapatni!

 Peringatan Upasara pada dua "Putri Junjungan" mempunyai jangkauan yang
luas. Karena serentak dengan itu, beberapa obor penerangan di sitinggil menjadi
padam. Hanya kesiuran angin terasakan di mana-mana.

 Ratu Ayu menyusul melesat ke angkasa, menyusul Singanada yang juga masih
melesat naik. Ini sekaligus menandakan bahwa cara meringankan tubuhnya jauh di
atas Singanada.

 Nyai Demang tak memperkirakan, bahwa ini juga merupakan bagian jurus
Lompat Turkana!

Kemampuan utama memindahkan kekuatan, menggeser apa yang ada di
depannya menjadi tenaganya sendiri.

 Seperti yang dilakukan Ratu Ayu kala mencoba menangkap pendengaran jarak
jauh. Dengan cara melipat jarak, meloncati barang yang ada di depannya.

 Seperti yang dipamerkan oleh Senopati Sariq dan senopati Turkana lainnya
dalam melabrak senopati Keraton.

 Hanya bedanya, Ratu Ayu memainkan dengan tegak lurus!

Tidak mendatar.

 Tubuh Singanada yang dipakai sebagai jembatan meringkas jarak. Sehingga
dengan mudah bisa melalui.

 Singanada tidak membiarkan begitu saja. Begitu merasa ada tenaga yang
melalui, dengan segera tubuhnya merebah, tengadah ke arah langit-langit, dan satu
tangan meraih pinggang Ratu Ayu.

 Dengan menekuk dan mengimpit, Singanada berusaha mematahkan Lompat
Lurus Turkana.

 Gerakan sama yang dipakai ketika mematahkan rangkaian serangan Senopati
Sariq.


 Dengan menempel erat, tak ada tenaga yang bisa "dipinjam" lawan.

 Sebab, kalau Ratu Ayu berhasil melesat lebih tinggi dan berada di atas
Singanada, singa Singasari akan berada di bawah angin. Dalam arti lahiriah maupun
dalam arti tersirat.

Melihat lawan bisa menebak dan memotong rencananya, Ratu Ayu
menggeliatkan tubuhnya, seakan babut yang dikebutkan. Seperti permadani yang
dikedut agar debu dan kotoran yang melekat musnah terguncang.

 Tenaga ini yang menggagalkan usaha Singanada.

 Dan sekaligus memadamkan beberapa obor penerangan.

 Yang telah terbaca oleh Upasara.

 Nyai Demang benar-benar terpesona.

 Sesaat sebelum obor padam dan suasana menjadi gelap, Nyai Demang sempat
melontarkan pandangan kagum ke arah Upasara, yang dibalas dengan sorot mata
kikuk.

 Tentu saja Upasara mengetahui keberadaan Nyai Demang dan Gendhuk Tri.

 Bahkan bisa mendengar sebagian percakapan mereka. Hanya saja Upasara tak
bisa memberitahukan dirinya. Kekikukan pandangan Upasara dalam sekejap bisa
dimengerti oleh Nyai Demang.

 Walau tidak sepenuhnya tahu bagaimana ceritanya Upasara sampai menjadi
pengantar Tunggadewi dan Rajadewi, akan tetapi Nyai Demang bisa memaklumi.

 Yang barangkali tak terpahami oleh Upasara sendiri!

 Ia tak menyangka akan berada di sitinggil dengan cara menyamar memakai
kumis palsu setebal ini.

 Sewaktu bersama Nyai Demang menyusup ke dalam Keraton, Upasara berniat
mencari Halayudha. Nyai Demang mengisyaratkan bahwa Halayudha sedang berada
di ruang pasamuan alit, atau ruang sidang yang lebih kecil dibandingkan dengan
wisma pasamuan agung.


 Saat itu Nyai Demang menyamar sebagai dayang, dan ikut menyelinap.

 Sedangkan Upasara, karena merasa tak enak menyelundup, lebih suka
mengundurkan diri. Niatannya adalah ingin keluar dari Keraton.

 Akan tetapi saat itu terbersit dalam pikirannya untuk mengetahui keadaan
Dewa Maut. Dengan harapan bisa membujuknya untuk keluar, dan atau

membebaskan jika terjadi sesuatu yang membahayakan jiwanya.

 Salah satu jalan yang diketahui ialah melalui sumur kering di dekat kaputren.

 Tak begitu mudah menemukan, karena sumur kering itu telah ditutup oleh

Halayudha.
Dan selama berada di kaputren, Upasara mendengar suara yang tak asing lagi

bagi telinganya. Suara Tunggadewi dan Rajadewi yang meratap.

 Upasara lebih kaget lagi karena ucapan itu ditujukan ke arah dirinya.

 "Demit... Paman Demit yang menguasai alam lembut, kami minta perkenanmu

agar bisa turut menyaksikan Ratu Ayu.

 "Paman Demit, maukah kamu mengabulkan permintaan kami?"

 Benar adanya.

 Tunggadewi dan Rajadewi tengah bersila di depan pohon sawo kecik. Seperti

ketika Upasara bersembunyi, menangkap kupu-kupu dan burung.
Dalam alam pikiran Rajadewi maupun Tunggadewi, demit atau makhluk halus

itu benar-benar ada, dan akan menolong mereka!

 Upasara menjadi bimbang.

 Kalau ia muncul, bisa menjadi malapetaka. Sekali saja diketahui oleh prajurit,

cerita dan kisah hidup Permaisuri Rajapatni akan berubah menjadi kenistaan yang tak
tertanggungkan. Akan tetapi Upasara tak bisa berdiam diri.

 Hatinya menjadi iba.


 Bahkan kalau itu bukan putri-putri Gayatri, ia tetap tergerak untuk menolong.

 "Paman Demit... nanti malam Ratu Ayu akan muncul. Rakyat kecil pun bisa
menyaksikan keayuan yang memadamkan sinar wajah seluruh bidadari, sedangkan
kami tak boleh menyaksikan.

"Paman Demit, tolonglah kami."
Marakata Warna
UPASARA tak bisa berbuat lain.

 "Baik, baik. Paman Demit akan mengajak kalian menengok Ratu Ayu. Akan
tetapi kalian berdua harus minta izin lebih dulu."

 "Wooo, bagaimana mungkin?

 "Paman Demit tahu bahwa Kakangmas Pangeran Pati tak memperbolehkan
kami, bahkan kemari sekalipun."

 Upasara merasa dirinya sangat tolol. Ia menyarankan meminta izin maksudnya
memberitahu Permaisuri Rajapatni. Akan tetapi Tunggadewi menangkapnya sebagai
izin dari Pangeran Pati Kala Gemet.

 Pasti tak akan diberikan!

Karena mengingat Nyai Demang, Upasara menyarankan agar kedua putri
mengenakan kain yang biasa dipakai prajurit, serta ikat kepala untuk menutup

rambut. Ia sendiri kebingungan untuk menyamar.

"Begini, Paman Demit?"

 "Ya," jawab Upasara di balik pohon. "Hanya sekarang Paman Demit ini perlu

juga menyamar. Kalau tidak, akan sangat menakutkan."

 Sebagai demit, Upasara mengetahui bahwa bayangan semua orang mengenai
hantu pastilah berwajah seram, menakutkan.

 "Tutupi wajah Paman Demit dengan kumis saja."


 Dengan polosnya Tunggadewi mengambil cundrik, atau keris kecil, dan
memotong sebagian rambutnya!

 Dan potongan rambut itulah yang dipakai Upasara sebagai kumis. Kalau itu
terlalu besar dan tak keruan bentuknya, bisa dimengerti.

 Setelah surya tenggelam, Upasara yang menjadi Paman Demit menjemput
Tunggadewi dan Rajadewi. Dalam gelap mereka berdua tak begitu mengenali dinding
kaputren.

 Bagi Tunggadewi dan Rajadewi, mereka merasa bahwa demit bisa berbuat apa
saja. Termasuk terbang. Jadi tidak begitu hirau akan kehebatan Upasara. Dan tidak
bertanya-tanya sesuai dengan pesan Upasara.

Dari kaputren, Upasara justru menyusur lewat dinding atas, meloncat turun di
sebelah luar. Kemudian membawa ke arah sitinggil.

 Menempatkan diri di barisan tempat duduk para putra-wayah, atau anak-cucu
Keraton.

 Kehadiran mereka berdua tak menarik perhatian, karena mereka tampil
sebagai anak-anak Keraton bagian ksatrian. Kalau tetap sebagai anak perempuan, bisa
menimbulkan tanda tanya besar.

 Kehadiran Upasara sendiri tak banyak menarik perhatian. Karena biasanya
para putra-wayah selalu dikawal.

 Sejak pemunculan Ratu Ayu, Tunggadewi dan Rajadewi selalu mencuri
pandang, kadang secara terang-terangan.

 Keberanian baru surut sewaktu rombongan Putra Mahkota juga berpindah ke
sitinggil.

 Ketika itulah Upasara merasa bahwa telah terjadi perkembangan yang bisa
membahayakan. Namun ajakan untuk segera berlalu tak digubris.

Tunggadewi ingin melihat Ratu Ayu lebih jelas.

 Karena tak bisa memaksa, satu-satunya jalan yang bisa dilakukan Upasara
adalah berusaha melindungi sebisa mungkin. Dengan gerakan dan kata-kata yang
cukup keras.


 Yang membuat Nyai Demang mengenalinya.

Dalam kegelapan, Singanada merasa tubuhnya terlempar kencang dan
sekaligus terbanting. Kena tindih kebutan Ratu Ayu. Sambil menggerung keras, tubuh
Singanada menjulur, dengan kedua tangan meraup ke pinggang Ratu Ayu.

 Bahwa tubuh dan gerakan Singanada bisa begitu luwes dan cepat bergerak,
membuat gerakan kaku Ratu Ayu seperti masuk ke dalam lubang yang kosong. Setiap
kali akan meminjam tenaga Singanada, setiap kali itu pula Singanada berhasil

membebaskan diri.

 Maka keduanya turun ke bawah.

Berada di tempatnya semula.

Senopati Sora sudah memerintahkan agar obor penerangan dinyalakan

kembali.
Dalam suasana remang-remang, nampak tubuh Ratu Ayu seperti

mengeluarkan sinar hijau berkilau, memancar dari seluruh permukaan kulit.

Namun jelas, dengan dua tangan merenggang, dalam bentuk patah.

 Satu tangan tertekuk ke bawah, satu tertekuk ke atas.

 Singanada membuang kantar-nya. Mengikuti gerakan Ratu Ayu, dengan tubuh

sedikit miring. Rambut hitam yang tergerai seakan membalikkan warna berkilau.
Upasara merangkul kedua putri, karena penciumannya merasakan bau yang

mulai amis, bersamaan dengan warna hijau berkilau.

"Bagus sekali. Marakata Warna yang terlatih.

 "Aku suka, Ratu."

Bersamaan dengan itu, Singanada menggeliat dan kedua tangannya

menyentuh lantai. Punggungnya lurus. Menggerung keras, dan menubruk.
Benar-benar gerakan seekor singa!


 Rambutnya seakan berubah menjadi sekian ribu cakar dan sekaligus seperti
ekor yang menyabet. Ratu Ayu menggerakkan kedua tangan lurus ke bawah, menolak
keras!

 Gerakan Singanada menjadi oleng, akan tetapi tetap menerkam. Kedua tangan
seakan merobek tubuh Ratu Ayu dengan entakan yang keras.

 Masih berada di tempat berdiri, bergeming, Ratu Ayu bersiap seperti semula.

 Hanya kini, warna hijau menyilaukan yang mengelilingi tubuhnya berubah
menjadi warna merah. Merah delima.

Lebih menyilaukan dan lebih terang.

 Nyai Demang sudah menyipitkan mata.

Kedua telapak tangan Upasara menutupi wajah Tunggadewi maupun
Rajadewi.

 Putra Mahkota yang tetap terbengong tak mendengar nasihat Senopati Sora
yang diucapkan cukup keras.

 "Tarian Penjemput Maut macam apa ini pakai warna-warni segala macam?"

 Nyai Demang memberi isyarat agar Gendhuk Tri berdiam diri.

 "Hati-hati. Inilah yang disebut Marakata Warna. Tenaga dalam Ratu Ayu jauh
di atas tenaga dalammu yang mempergunakan warna-warni selendang. Ratu Ayu
mampu mewujudkan dari warna tubuhnya."

 Kali ini Gendhuk Tri tak bisa menyembunyikan decak kagumnya.

Memang luar biasa sekali.

 Marakata Warna adalah mengubah diri menjadi sewarna dengan batu mulia,

batu zamrud, atau batu ratna. Dalam pengertian biasa, batu zamrud berwarna hijau
berkilau.

 Akan tetapi warna hijau berkilau bukan satu-satunya warna. Ada juga warna
lain, yaitu merah. Marakata Mirah adalah warna merah delima.


 Selama ini Gendhuk Tri memakai selendang warna-warni tanpa pernah
menyadari bahwa sebenarnya, warna itu bisa dipancarkan dari tubuh.

 Seperti yang dipamerkan oleh Ratu Ayu Bawah Langit.

 Kalau senopatinya yang unggul diberi nama Sariq, yang artinya kuning,
agaknya Ratu Ayu sudah jauh berada di atasnya. Dengan kemampuan menguasai
berbagai warna.

Singanada menggerung keras.

 Kepalanya merendah, akan tetapi tetap mendongak.

 Disertai satu lompatan keras, Singanada kembali menubruk. Dan Ratu Ayu

menangkis.
Dalam sekejap seluruh ruangan seakan dipenuhi warna merah, berbias-bias ke

segala penjuru. Singanada menggeliat, tubuhnya mengelilingi lebih cepat dan rapat.

 Bergerak mengikuti gerakan patah-patah Ratu Ayu.

Dalam sembilan bayangan.

 Dari kejauhan Halayudha bisa menyaksikan pengaturan tenaga Nawawidha,

atau Aturan Tenaga Dalam Lipat Sembilan. Sembilan bayangan tubuh Singanada yang
berubah menjadi singa, menggempur dan terus mencakar.

 Geraman dan auman Singanada membuat lingkaran merah delima berkilau
yang terpancar dari tubuh Ratu Ayu beberapa kali buyar karenanya.

"Nawadwara," teriak Singanada dengan auman dahsyat, dan mendadak di
seluruh ruangan seperti ada bayangan tubuhnya, akan tetapi juga tersisa kesempatan
bagi Ratu Ayu buat meloloskan diri.

 Nawadwara, adalah jurus yang mengandung pengertian sembilan lubang, atau
sembilan pintu. Ilmu andalan Singanada telah mulai tertarik keluar dengan
sendirinya.

Karena Ratu Ayu ternyata sangat tangguh.


 Dengan jurus Nawadwara, Singanada tak lagi menyembunyikan dasar-dasar
ilmunya. Yang berpatokan kepada angka dan atau hitungan sembilan!

Sembilan lubang dalam tubuh.

Sembilan indra.

 Sembilan lubang berarti sembilan kesempatan buat meloloskan diri, akan
tetapi juga sembilan tempat yang bisa menindih dan menjebak.

 Ratu Ayu mengeluarkan suara pujian. Nyaring.
Bait Terakhir, Bait Kesembilan?
PUJIAN Ratu Ayu tak bisa dimengerti oleh Singanada.

Karena diucapkan dalam bahasa aslinya.

Bahkan Nyai Demang tak bisa menangkap sepenuhnya. Akan tetapi
mengetahui bahwa ini telah memasuki saat-saat yang menentukan.

 Ilmu Auman Sembilan Singa sudah memasuki bagian yang menentukan.
Bersambungan jurus demi jurus dilancarkan. Mengalir dengan garang, mengepung
Ratu Ayu dari berbagai penjuru.

 Lompatan Singanada seperti menguasai ruangan secara penuh dan utuh. Ratu
Ayu seperti terkurung di tengah. "

 Nyatanya memang begitu.

 Lompat Turkana yang tersohor itu menjadi mati langkah. Justru karena
Singanada memamerkan lompatan yang berada di sembilan penjuru. Empat penjuru
utama, empat penjuru lain di antara sela-sela empat penjuru utama, dan menguasai
medan pertarungan di tengah.

 Baru kini Nyai Demang menyadari kenapa Maha Singanada selalu berloncatan
kian-kemari. Dalam ilmu silat yang dimainkan, selalu berarti sembilan hitungan.

 Satu gerakan yang biasa, dimainkan sembilan kali.

Ini hebat!


 Tetapi juga ini bahaya.

 Sebab dengan demikian Singanada seperti menguras tenaganya secara habishabisan.
Walaupun barangkali teratasi dengan latihan pernapasan Nawawidha yang
berarti Aturan Tenaga Dalam Lipat Sembilan, akan tetapi ini jelas pengerahan tenaga
yang luar biasa.

 Kalau mau disamakan dengan jurus-jurus dalam Kitab Bumi, sebenarnya jurusjurus
yang dimainkan dengan tangan kosong ini adalah jurus berputar!

 Artinya bertarung di tengah angkasa sambil memutar tubuhnya sedemikian
rupa.

 Nyai Demang cukup kenyang menyaksikan Upasara atau Jaghana memainkan
jurus-jurus berputar, yang hebat tetapi juga meminta tenaga sangat banyak. Di
samping kedudukan sendiri maupun lawan sama terputar ke dalam satu bahaya yang
sama besar.

 Dalam keadaan tubuh berputar kencang, tak ada istilah menyerang setengahsetengah.
Juga tak mudah menarik kembali serangan yang sudah diluncurkan. Karena
akibatnya akan menghentikan tenaga putaran, dan bisa mengakibatkan luka dalam,
bagi siapa pun yang melakukan!

 Karena tarikan tenaganya telah berlipat.

 Irama tubuh telah mengikuti irama percepatan.

Sampai di sini Nyai Demang bisa menduga-duga asal-usul ilmu Maha
Singanada.

 Tidak berbeda jauh dari sumber utama Kitab Bumi! Hanya berbeda dalam
permainan dan ciri-ciri utama. Karena dalam pertarungan ini, tenaga bumi yang ada
diubah sedemikian rupa menjadi tenaga sembilan singa!

 Walaupun Ratu Ayu seperti terkurung di tengah, akan tetapi sesungguhnya
dalam pertarungan yang cukup lama, jelas Ratu Ayu bisa lebih menyimpan tenaga.
Apalagi tenaga dalamnya sendiri agaknya lebih daripada Maha Singanada.

 Ini terlihat dari dengus napas Singanada yang makin lama makin keras.


 Tanpa disadari Nyai Demang menggeser tempatnya, ke arah Upasara Wulung.
"Adimas."

 Upasara menggeleng.

"Luar biasa, Nyai. Keduanya luar biasa."

 Apa yang dikatakan Upasara sepenuhnya benar dan tepat. Walau mengurung,
Singanada tak bisa menindih Ratu Ayu. Walau terkurung di tengah, Ratu Ayu tak
mampu mengambil kesempatan untuk menerobos atau mengambil keuntungan dari
tenaga lawan yang terbuang.

 Ratu Ayu merasakan bahwa bayangan singa yang selalu datang dan pergi,
mengaum, mencakar, mengincar, tak bisa dilewatkan begitu saja. Gerakan kaku yang
ditampilkan makin lama juga makin cepat. Terseret oleh irama permainan yang
ditampilkan Singanada. Kalau dikatakan ia memperoleh kesempatan mengatur tenaga,
juga sama sekali tidak tepat.

 Bahkan bisa jadi Ratu Ayu terpaksa mengerahkan konsentrasi lebih terpusat.

Lebih memeras kekuatan dalam.

 Sementara terkaman Singanada tak berkurang tekanannya. Bayangannya yang
berhasil menutup delapan penjuru serta menguasai titik tengah, betul-betul
memperlihatkan penguasaan yang utuh.

 Beberapa jurus berlalu dengan cepat.

Sangat cepat.

 Putra Mahkota yang mengikuti menjadi berkunang-kunang. Beberapa kali
kepalanya digelengkan untuk menghindarkan campur baur antara bayangan singa dan
bayangan Ratu Ayu yang menjadi hijau dan merah.

 Sementara di Keraton, Permaisuri Indreswari melirik ke arah Halayudha yang
mengangguk pendek ke arahnya.

 Ini berarti sesuai dengan rencana.

 Kalau ini berarti pengurasan tenaga, putranya, Bagus Kala Gemet, akan bisa
masuk ke dalam pertarungan. Pada saat yang menentukan untuk menjadi pemenang.


 Hanya saja, di luar perhitungan Halayudha, Kala Gemet seperti terseret oleh
pertarungan. Sehingga kesiagaannya menjadi berkurang.

 Ini yang akan mengubah seluruh jalannya pertarungan!

 Dan menyangkut mati-hidupnya beberapa senopati. Bahkan takhta Keraton!

 "Bagaimana, Adimas?"

 Upasara menggelengkan kepalanya.

"Maha Singanada memainkan sumber asli dari Kitab Bumi."

 "Pandangan Nyai sangat tajam.

 "Akan tetapi, saya kira ada beberapa bagian yang menjadi lebih tajam dan
mengandung perubahan tak terduga."

 "Apakah ini bukan 'baris terakhir yang tak terbaca oleh hati' seperti yang
dipesankan oleh Eyang Sepuh?"

 Alis mata Upasara mengerut.

Bertemu pada satu titik.

 Suaranya tetap polos.

 "Saya tak bisa mengerti yang Nyai maksudkan."

 Nyai Demang berbisik lirih.

 "Selama ini, kita semua telah mengetahui Kitab Bumi. Boleh dikatakan telah
mempelajari dan mempraktekkan semua kidungan. Akan tetapi di Trowulan, Eyang
Sepuh menitipkan pesan, bahwa ada bait terakhir yang belum terbaca atau terpelajari.

 "Jangan-jangan apa yang ditunjukkan Maha Singanada adalah bagian yang
terakhir itu."

Upasara mengusap wajahnya.


 Wajahnya terlihat dingin.
"Adimas Upasara, saya tak bisa menyaksikan dengan jelas karena kemampuan


saya terbatas. Cobalah amati dengan baik. Siapa tahu inilah jawabannya."

Upasara menghela napas.

 "Jangan kuatir, saya akan menjaga dua momongan yang manis dan ayu ini.

 "Saya akan menjaga lebih daripada pedang berharga."

 Upasara mengertakkan giginya.

 Pandangannya tajam ke tengah pertarungan.

 Sementara Gendhuk Tri yang kehilangan Nyai Demang mencari-cari. Tak

begitu mudah menemukan Nyai Demang yang berada dalam keremangan cahaya
antara merah dan hijau berkilau.

"Tak bisa, Nyai.

 "Tak bisa disamakan. Inti Kitab Bumi, terutama delapan jurus terakhir, adalah
penolakan, adalah korban, adalah penyerahan. Sedangkan Maha Singanada justru
menguasai, menerkam, dan menutup sembilan jalan yang disiapkan."

 "Justru itulah.

 "Masa tidak sama dengan jurus Penolak Bumi? Perhatikan lebih saksama. Siapa
tahu justru ini yang menjadi kunci memahami 'bait terakhir'.

 "Tak akan lain, kalau dilihat bahwa sumber utama ilmu Maha Singanada tak

berbeda jauh dari apa yang diajarkan Eyang Sepuh, Mpu Raganata..."

"Ya, akan tetapi tidak.

 "Justru yang dimainkan Ratu Ayu mempunyai persamaan dengan ilmu

Gendhuk Tri. Gerakan patah-patah yang dimainkan Ratu Ayu adalah gerakan tarian
boneka.

"Terarah dan patah.


 "Kebalikan dari gerakan yang luwes."

 Komentar Upasara terhenti, karena secara tidak sadar, kedua tangannya
merenggang dan melindungi Tunggadewi dan Rajadewi yang seperti tertidur, karena
tak bisa mengikuti gerakan dan mulai terpengaruh kilauan cahaya.

 Gerakan Upasara karena melihat bahwa di angkasa terlihat delapan pedang
melengkung beterbangan silih berganti.

 Delapan pedang lengkung milik senopati Turkan yang kini dipakai sebagai
senjata oleh Ratu Ayu.

Menusuk secara berturut-turut ke segenap penjuru, ke arah bayangan
Singanada!
Takhta Turkana
MELESETNYA delapan pedang lengkung, secara berurutan, membuat Singanada

mengubah gerakannya.

 Tangan kosongnya tak mampu meraup atau mematahkan, dan dengan
demikian kantar yang menjadi andalannya dicabut kembali. Dengan sangat cepat,
Singanada yang semakin beringas mencoba merebut atau menindih.

Tenaga dan lompatan Nawawidha ternyata tak mampu mengimbangi
kecepatan Ratu Ayu.

 Beberapa kali Singanada seperti terlalu cepat datang. Justru karena arah

pedang lengkung tidak seperti pedang lurus.

Lebih lambat.

 "Bahaya!" seru Gendhuk Tri keras. "Kalau Ratu Ayu berhasil memperlambat

gerak, ini berarti bahaya.

"Nyai, di mana kamu?"

Singanada mengeram keras.

Kantar di tangannya disabetkan keras, sementara ujung rambutnya

menyampok pedang kedua.


 Dua-duanya bisa direnggut

 Ratu Ayu mendesis.

 Karena kini ia bisa menerjang maju dari sisi timur. Bergerak bagai boneka
kayu, membuka kedua tangan, dengan enam pedang lengkung. Dari sini, keenam
pedang menyusup ke seluruh tubuh Singanada.

 Singanada terpaksa melepaskan kantar-nya., karena tak bisa mengikuti lagi.
Satu atau dua bisa dihadang, akan tetapi yang lainnya seperti menerobos secara
leluasa. Maka ia lemparkan kantar, untuk menghambat salah satu, dan menggunakan
rambutnya untuk mencegat yang lainnya.

 Tapi jumlah pedang yang dimainkan Ratu Ayu bukan hanya dua.

 Inilah yang sekarang mencungkil tubuh Singanada.

 Yang dengan sebat luar biasa, menjatuhkan tubuhnya ke depan, kedua kaki
tertekuk melengkung ke arah pedang. Dua kaki Maha Singanada yang telanjang
mencoba menangkap pedang lengkung.

 Dua pedang bisa dijepit dan sekaligus diputar untuk menyampok pedang yang
lain.

 Terdengar suara nyaring jatuhnya pedang-pedang lengkung.

Di sinilah bahayanya!

 Karena pada saat itu Putra Mahkota Kala Gemet meloncat ke tengah arena
pertarungan! Yang segera disusul Senopati Sora.

 Secara beruntun jatuhnya pedang-pedang itu dinilai sebagai langkah
kemenangan Singanada. Dan Kala Gemet, seperti yang dipesan oleh Halayudha, akan
maju pada saat yang menentukan. Untuk meraih kemenangan.

Kesalahan terbesar.

 Karena dengan jatuhnya beberapa pedang, tidak dengan sendirinya Ratu Ayu
terdesak. Justru sebaliknya. Dari sekian banyak pedang lengkung yang tersampok, ada
yang datang belakangan. Karena memang Ratu Ayu mampu mengatur tenaga dalam,


di mana kecepatan lemparannya tidak sama. Lebih berbahaya, karena Ratu Ayu
sangat mengenal sifat dan penggunaan pedang lengkung, di mana daya dorongnya
sebagian berkurang.

 Dipandang dari sisi ini, jelas Ratu Ayu lebih unggul.

 Kala Gemet tidak mempunyai perhitungan demikian panjang. Keinginan yang
segera adalah menerjang maju, meraih kemenangan dan mendapat Ratu Ayu.

 Senopati Sora yang melihat adanya bahaya, tak bisa memperingatkan atau
berteriak. Ia meloncat maju dan mendahului dengan ilmu andalan utama, Bramara
Bekasakan, atau Lebah Hantu. Ujung kain yang tersampir di pundaknya menyapu
keras disertai desisan suara bising dari bibirnya.

 Sebagai senopati, tugas utama Sora sekarang adalah menjaga Putra Mahkota.
Keselamatan Putra Mahkota adalah yang terutama dan satu-satunya.

 Maka langsung terjun ke tengah gelanggang.

 Walau ini jelas sangat bertentangan dengan suara ksatria yang masih mengalir
dalam darahnya.

 Masuk ke dalam pertarungan, di mana sedang ada pertarungan secara ksatria
adalah hal yang nista.

 Senopati Sora bahkan telah mengalami sendiri, ketika kemudian membawa
akhir yang mengenaskan. Yaitu tewasnya Senopati Anabrang, setelah membunuh
Adipati Ranggalawe.

 Saat itu jiwa Senopati Sora seperti terombang-ambing dan hidupnya menjadi
tidak jelas. Karena semua berlalu begitu saja, tanpa ketegasan apakah dirinya
dinyatakan bersalah atau tidak.

 Apakah ada hukuman yang bakal dijatuhkan Baginda, ataukah pembebasan
dari segala dakwaan. Nyatanya tak pernah ada keputusan dan ini membuat
pertarungan dalam batinnya.

 Hukuman Baginda yang keras tidak ada. Selain perpindahannya dari Keraton,
dan disingkirkan ke Dahanapura untuk mengawasi Putra Mahkota.


 Akan tetapi, hukuman yang lebih berat lagi ialah tuduhan dari para ksatria dan
senopati lain. Bahwa dirinya bersalah berat dan melakukan kehinaan. Bahwa
nyawanya diselamatkan oleh Baginda karena tidak dihukum mati.

 Kalau sekarang Senopati Sora menerjang maju, bukan karena melupakan sifatsifat
ksatria. Bukan keinginan untuk membalas keluhuran Baginda, menerjang tanpa
memedulikan keselamatannya sendiri.

 Bagi senopati yang mengabdi secara tulus, Sora tak memperhitungkan
keselamatan dan harga dirinya.

 Menolong Putra Mahkota yang menjadi tanggung jawabnya lebih berharga
daripada apa saja.

 Itu sebabnya ia meloncat maju, mendorong tubuh Kala Gemet, dan dengan sisa
kekuatannya mencoba menyampok pedang lengkung terakhir yang menusuk.

 Dorongan kepada Kala Gemet berhasil menjauhkan Putra Mahkota dari
ancaman maut. Gebrakan kedua, ujung kainnya bisa menyampok, akan tetapi
dorongan lontaran Ratu Ayu lebih keras dari kemampuan menahan. Sehingga melesat
dan melukai pundak Senopati Sora serta tertancap di sana.

 Darah mengucur seketika!

 Sementara itu Maha Singanada meloncat dan berdiri tegak.

Wajahnya kaku.

 "Aku menyerah kalah.

 "Ilmu Ratu Ayu Bawah Langit sungguh hebat. Aku menyerah."

 Pada saat yang bersamaan, delapan senopati Turkana sudah mempersiapkan
diri. Memasang kuda-kuda. Satu kedipan mata dari Ratu Ayu akan membuat mereka
menyerbu habis-habisan.

 Hal yang lumrah, karena setelah Senopati Sora dan Kala Gemet masuk ke
dalam medan pertarungan, berarti pertarungan secara ksatria sudah dilanggar.

 "Kamu belum kalah, Maha Singanada.


 "Belum ada pemenangnya.
"Kita bisa melanjutkan."
Kala Gemet yang terhuyung-huyung menjadi merah padam wajahnya. Tangan


kanannya bergerak ke udara. Dengan suara lantang ia berseru,

 "Tumpas musuh!"

 Mahapatih Nambi meloncat, dan berdiri dengan gagah. Diikuti oleh senopati

yang lain, serta para prajurit.

"Bagus, bagus.

 "Kalau kalian semua mau maju mengeroyok, aku Ratu Azeri Baijani dengan

senang hati akan melayani. Inilah sambutan kehormatan yang sesungguhnya.

 "Aku bisa tahu siapa kalian sebenarnya."

 Perang habis-habisan bisa segera terjadi.

 Kala Gemet tak menyadari bahaya. Ia bahkan menggerung, menyerbu masuk
ke arah Ratu Ayu dengan ilmu yang diajarkan Senopati Sora. Akan tetapi sebelum
tubuhnya mencapai setengah jarak, tangan Senopati Sariq yang terulur berhasil
menjangkau dan menahan gerakannya.

 Dengan satu putaran, tubuh Kala Gemet terbanting ke lantai.

 Paling tidak, tulang pundaknya akan patah seketika. Itu kalau Kala Gemet
cukup jitu menyelamatkan kepalanya. Kalau tidak, bisa dibayangkan tenaga bantingan
Senopati Sariq!

 "Yang begini mau memakai takhta Turkana, sungguh tak tahu malu sama

sekali."

 Kejadian berlalu sangat cepat sekali.

Dan tak terduga.

Siapa pun tak menyangka bahwa Kala Gemet akan menyerang secara

serampangan. Kecuali Upasara Wulung.


 Bahkan rasanya, Upasara Wulung sudah bisa menebak perintah penyerangan
yang dikeluarkan Kala Gemet. Saat itu, Upasara sudah bersiap mencegah. Tangan
kirinya sudah memegang erat pedang hitam tipis, Galih Kangkam.

 Dan melihat tubuh Kala Gemet dibanting bagai benda mati, Galih Kangkam
terulur maju.

Menahan tubuh Kala Gemet.

 Sambil melompat, Upasara membebaskan tekanan yang menindih pedangnya.

 Dengan begitu, Kala Gemet hanya sempoyongan. Tidak sampai terbanting dan
luka parah.

 Tapi dengan begitu, Upasara telah memunculkan dirinya secara resmi.

"Kakang!"

 Gendhuk Tri menyebut dengan ucapan yang lantang.

 Semua perhatian tertuju kepada Upasara Wulung. Kecuali Nyai Demang yang
segera melindungi Tunggadewi dan Rajadewi dengan membawa menjauhi medan
pertarungan yang setiap saat bisa terjadi.
Pedang Nglanglang
MAHA SlNGANADA memperhatikan Upasara tanpa berkedip.

 Selama ini ia hanya mendengar wajah dan penampilannya dikatakan mirip

dengan Upasara.

 Nyatanya begitu.

 Singanada mengetahui bahwa yang berdiri gagah tetapi penampilannya lembut

adalah Upasara Wulung, karena mendengar teriakan Gendhuk Tri yang memanggil
dengan sebutan "Kakang".

 Sebaliknya, Sariq merasa sedikit heran karena bantingannya yang sepenuh
tenaga, bisa dimentahkan dengan besi panjang berwarna hitam dan kelihatan lentur.


 Berarti pemiliknya mempunyai tenaga dalam yang telah dikuasai secara
sempurna.

 Upasara menunduk, memberi sembah ke Keraton, seolah kembali berjongkok,
baru kemudian memberi hormat dengan tangan kanan tertekuk di depan dada dan
hanya ibu jarinya yang menonjol.

"Saya mohon ampun atas kelancangan dan kekurangajaran ini. Kiranya
Senopati Sariq, juga Gusti Ratu Ayu Azeri Baijani, serta sekalian para priyagung, sudi
mengampuni.

"Sekali lagi, saya yang rendah meminta ampunan."

 Ratu Ayu memandang lebih tajam.

 Tadinya dirasa aneh. Bukan karena apa, melainkan karena kumis tebal yang

dipasang oleh Upasara menjadi mencong. Sehingga wajahnya menjadi lucu.

 Baru setelah menyadari bahwa yang mengganggu pandangan adalah kumis
palsu sembarangan, Ratu Ayu berusaha menahan senyumnya.

 "Ksatria penuh sopan, penuh santun, kalau kau senopati, senopati dari mana

dan siapa namamu? Kalau pendekar, siapa gelarmu?"

Upasara memberikan hormatnya.

"Maaf, Gusti Ratu.

 "Hamba bukan senopati, bukan prajurit, tidak mempunyai gelaran apa-apa.

Nama hamba Upasara Wulung, bekas prajurit Ksatria Pingitan."

 Suasana menjadi senyap.

 Ratu Ayu mendongak.

 "Hmmm, kiranya ini yang berhasil menjadi lelananging jagat, yang telah

mengalahkan semua jago jagat. Tidak percuma nama besarmu.

 "Sungguh kurang pantas, ksatria besar seperti ini harus menyembunyikan diri."

Wajah Upasara menjadi merah.


 Kata-kata Ratu Ayu bisa juga berarti sindiran yang tajam dan menampar.
Dengan mengatakan "menyembunyikan diri" seolah Upasara sengaja mengintip
pertarungan yang terjadi. Ini bukan sifat ksatria yang mengambil keuntungan dengan
cara curang.

 Upasara memang tidak begitu tajam lidahnya, tak bisa merangkai kata-kata
pembelaan.

 Kalaupun ada, juga tak mungkin menerangkan bahwa ia sedang mengawal
Tunggadewi dan Rajadewi.

"Maaf, Ratu Ayu."

 "Karena kamu sudah masuk ke dalam gelanggang serta membawa pedang
terhunus, sungguh tidak enak kalau aku tidak menyambutmu. Aku sudah lama
menunggu dan ingin mengetahui apakah sebutan lelananging jagat benar-benar
pantas kamu sandang atau tidak."

 Upasara menggelengkan kepalanya.

"Sama sekali tidak pantas, Gusti Ratu Ayu."

 "Kalau tidak pantas, kamu harus menyerahkan kepadaku."

 Upasara mengangguk.

"Kalau saya yang rendah memiliki tanda seperti yang Gusti Ratu Ayu
maksudkan, saya akan menyerahkan saat ini juga. Tetapi, sesungguhnya tak pernah
ada sebutan untuk itu."

 Mendadak Maha Singanada tertawa.

"Aneh. Sungguh aneh ksatria tanah Jawa ini. Serba melenggok seperti
perempuan saja.

 "Sudah lama dan sering kudengar nama Upasara. Tak tahunya mulutnya terlalu
kecil untuk menerima tantangan. Kalah atau menang, apa ruginya?

 "Kalau kamu mengaku ksatria Pingitan, jangan membuat cemar nama Baginda
Raja Sri Kertanegara!"


 Suara geram Maha Singanada membuat darah Upasara berdesir.

 Tapi wajah dan suaranya tetap dengan irama yang sama.

 "Maaf, segala nama besar itu sesungguhnya tidak ada.
“Bukan maksud saya membuat cemar. Saya hanya mengatakan pernah dididik dan
dihidupi di Ksatria Pingitan, karena kebaikan beberapa senopati yang kasihan pada
saya.

 “Rasanya, saya tak pantas mengaku seperti ini.”

 Ratu Ayu mendecakkan lidahnya.

 “Aku tak suka tata bicara yang tidak jelas apa maunya.

“Upasara, kalau kamu menyerah sebelum bertanding, berikan Pedang

Nglanglang sebagai upeti bagi Ratu Turkana. Karena telah ikut campur dalam
pertarungan ini.”

 Upasara mengangsurkan pedangnya.

 Mendadak Gendhuk Tri berteriak keras.

 “Jangan berikan, Kakang!

 “Jangan!”

 Upasara menggeleng lagi.

“Biar!”

“Tidak bisa! Tidak bisa!

 “Itu bukan pedang Kakang. Itu milik Paman Galih Kaliki. Apa hak Kakang
memberikan kepada orang lain?”

 Serampangan kata-kata yang diucapkan Gendhuk Tri.

Tapi Nyai Demang memuji dalam hati.


 Dengan cara seperti ini, Gendhuk Tri bisa mematahkan keinginan Upasara
Wulung. Karena, nyatanya itu pedang milik Galih Kaliki yang tersimpan dalam
tongkatnya!

 Upasara menarik mundur pedangnya.

 Tangan Ratu Ayu terulur, dan seketika itu kedelapan pedang yang berserakan,
teraup ke dalam genggamannya.

Dan dengan sekali sentak, menyerbu ke semua yang ada di medan
pertarungan. Sebat sekali!

Bahkan yang menancap di pundak Senopati Sora bisa tertarik kembali
seketika. Seakan semua pedang lengkung itu diberi tali di belakangnya.

 Singanada yang berada dalam jarak tusukan lemparan mengegos dengan

mudah. Akan tetapi pasti tak bisa dilakukan Kala Gemet maupun Senopati Sora!

 Mau atau tidak, Upasara terpaksa menggerakkan Galih Kangkam!

Ini memang yang dikehendaki Ratu Ayu!

Memancing Upasara.

 Yang dengan sekali entak, tujuh pedang lengkung bisa tersapu. Bisa tertangkis

dengan tangan kiri, tanpa bergerak dari tempatnya!

Dengan gerakan berikutnya, semua pedang lengkung dilemparkan ke langitlangit.


 Kalau Maha Singanada atau yang lainnya pasti memakainya untuk menusuk

balik. Tapi Upasara lebih membuang ke atas.

Ke arah langit-langit.

 Ratu Ayu menggertak pendek. Warna hijau berkilau memancar dari tubuhnya
yang secara cepat melayang ke atas. Disusul oleh Sariq, Uighur, dan Karaim yang juga
berloncatan mengambil pedangnya. Dengan gerakan siku menyentuh, sebagian
pedang itu menusuk langsung ke arah Upasara.


 Tangan kiri Upasara terangkat ke atas. Pedang hitam kurus mengeluarkan
bunyi bergetar menahan jatuhnya pedang-pedang yang begitu menyentuh seakan
menjadi lengket!

 Dan begitu Upasara menarik pedangnya, pedang lengkung terjatuh ke lantai
mengeluarkan bunyi nyaring.

Berdentingan.

 Ratu Ayu memuji dengan suara lantang.

 Dalam setiap gebrakan, Upasara memperlihatkan penguasaan tenaga dalam
yang sempurna. Mengalir ke seluruh kulit tubuhnya. Sehingga bisa diatur sempurna
untuk menahan, mengentak balik, dan mengendor.

 “Aku mau lihat seberapa jauh Tepukan Satu Tangan yang kesohor itu.”

 Ratu Ayu beringsut maju, dengan gerak kaku. Warna hijau telah berubah
menjadi merah, dan Senopati Sariq pun telah berubah seolah menjadi warna kuning.
Senopati Uighur menjadi ungu, dan Senopati Karaim menjadi bersemu hitam gelap.

 Ratu Ayu menerjang maju dengan gerakan patah, akan tetapi cepat sekali.
Menghantam dada Upasara. Kiri-kanan secara beruntun.

 Upasara hanya memiringkan tubuhnya dua kali.

 Tenaga dahsyat berbau harum seakan hanya menyentuh tubuhnya. Akibat
lontaran tenaga itu, tiang sitinggil seperti tergetar karenanya. Atap sitinggil
mengeluarkan suara berderak-derak.

 Mahapatih Nambi menyembah lalu menuntun Kala Gemet ke arah samping,
dan turun dari sitinggil. Sementara Senopati Sora dipapah Senopati Pangsa.

 Melihat dua lontaran pukulan bertenaga dihindari dengan mudah, Ratu Ayu
mengubah serangannya. Satu tangan memerintahkan Sariq mundur, tangan yang lain
menarik kembali pedang lengkung dan kembali secara beruntun menembus dalam
satu tukikan ke arah Upasara.

Wajah Upasara menjadi beringas.


 Galih Kangkam berkelebat dengan keras. Tubuhnya meloncat ke atas, dan
dengan entakan keras, pedang lengkung itu menjadi kutung.
Gelang Gelung Dewi Kiblat
UPASARA memperlihatkan kelas yang sesungguhnya.

 Dengan sekali entak, pedang hitamnya mampu memapas hingga kutung. Satu
pedang lengkung menjadi dua bagian, yang kemudian masing-masing terbagi dua.

 Siapa pun yang menyaksikan berdecak kagum.

Karena serangan yang sama tadi mampu membuyarkan serangan Maha
Singanada.

 Yang disebut terakhir ini mengawasi dengan sorot mata tajam, dan berseru
keras,

“Awas!”

 Seruan meluncur begitu saja. Bukan karena sengaja memberitahu Upasara akan
datangnya bahaya. Itu tak pernah terpikirkan. Seruan ini lebih merupakan peringatan
bagi dirinya sendiri.

 Karena serangan pedang beruntun ini yang sangat berbahaya.

 Arah pedang lengkung sama, datang secara bersamaan, tapi tetap ada yang

tersembunyikan. Yaitu pedang yang terakhir.

 Karena datangnya lebih lambat!

Dan tak terduga.

Karena dirasa semuanya sudah terbasmi.

 Dan inilah tadi yang menjadi kemenangan Ratu Ayu. Yang sekarang diulangi

lagi.

 Sewaktu tubuh Upasara melayang turun, dengan pedang yang merendah tapi
terarah ke depan, pedang terakhir yang disambitkan Ratu Ayu datang.


 Menusuk ke arah kanan.

 Bagian tubuh Upasara yang paling lemah. Yang bisa segera terbaca oleh Ratu
Ayu! Tangan kanan Upasara tak mungkin menangkis atau menyampok, karena tak
bisa digerakkan secara leluasa sejak bentrok dengan tenaga dalam Halayudha.

 Itu yang mendasari Singanada berteriak awas.

Itu yang juga tak diduga oleh Upasara.

 Karena saat itu tak mungkin menarik mundur pedangnya untuk menangkis.
Juga tak mungkin menghindar, bersamaan dengan datangnya pedang.

 Kalau Singanada, pada situasi yang sama bisa meloloskan diri, karena tubuhnya
bisa menggeliat bagai geliatan singa murka disertai auman keras.

 Jelas, kelenturan tubuh semacam itu tak dimiliki Upasara. Berarti pedang
lengkung itu terus amblas.

 Ratu Ayu berdesis pelan.

 Namun bukan Upasara kalau menghadapi saat-saat maut menjadi gugup.
Dengan penguasaan ilmu Tepukan Satu Tangan, boleh dikatakan kekayaan batinnya
lebih luas.

 Pedang yang menusuk ke arah lengan kanan digoyang dengan pundak,
memakai tenaga simpanan karena hanya satu bagian yang disalurkan ke tangan kiri.
Inilah keistimewaan Tepukan Satu Tangan. Cukup menyerang satu tangan, sementara
tangan lain bisa berjaga. Atau dengan kata lain, masih mempunyai tenaga yang tersisa
yang bisa digunakan saat diperlukan.

Sekarang ini.

 Goyangan pundak Upasara membuat arah pedang lengkung bergeser. Naik,
menuju ke arah dagu.

 Upasara menarik kepalanya ke belakang.

 Bibirnya seperti menyunggingkan senyuman. Dan pedang lengkung itu
berhasil ditangkap dengan giginya. Digigit.


 Digigit!
Pada saat yang sama, ujung lidah Upasara menyentil kembali dengan empasan


tenaga dalam.

 Pedang lengkung itu jadi berbalik menusuk ke arah Ratu Ayu.

Gendhuk Tri bersorak.

Singanada mengeluarkan seruan pujian.

 Akan tetapi Ratu Ayu justru mengeluarkan suara dingin. Tangan kanan

bergerak cepat, meraup pedang yang menusuk ke arahnya dan dengan satu gerakan
yang sama membalikkan kembali ke arah Upasara.

 Yang telah bersiaga. Galih Kangkam seolah mengukir udara, dan pedang
lengkung itu berubah menjadi delapan potongan yang sama panjangnya.

Seolah menebas batang pisang.

 Ini berarti, serangan balik yang dilancarkan oleh Ratu Ayu seperti telah
terbaca dengan mudah.

 Ganti Senopati Sariq yang mengeluarkan suara dingin di hidung. Ia merasa
bahwa kini Upasara betul-betul masuk ke dalam perangkap.

 Jebakan yang dilancarkan oleh Ratu Ayu. Karena setelah melemparkan pedang
lengkung, Ratu Ayu menyambung dengan putaran tubuh dan kedua tangan terulur ke
arah depan.

 Gelang di tangannya melayang, bagai senjata rahasia. Menerjang ke arah
Upasara! Cepat dan bergelombang. Empat gelang, dua dari tangan kiri dan dua dari
tangan kanan.

 Gelang ini membuat gerakan berputar yang sangat cepat. Yang pertama
berputar sebelum membentur. Yang kedua memakai tenaga putaran gelang pertama
sehingga menjadi lebih keras. Begitu juga yang ketiga dan keempat.

Bahkan dalam melemparkan gelang pun, dasar-dasar Lompat Turkana
dipraktekkan. Sehingga keempat gelang itu seperti saling menyusul yang lain.


 Yang paling ujung pasti lebih deras dan ganas.

Datangnya secara beruntun.

 Dan ternyata itu belum semuanya.

 Selepas melontarkan keempat gelang, tangan Ratu Ayu tertekuk ke arah kaki,
dan dari kedua kaki ini pula terlempar empat gelang!

 Berarti ada delapan gelang.

 Bergerak dalam satu putaran dan arus yang sama, menuju ke wajah Upasara.

 Kalau penonton di sitinggil masih terpesona melihat dan mendengar dering
delapan potongan pedang yang terbabat, kedelapan gelang dari tangan dan kaki Ratu
Ayu sudah menyambar.

 Putaran tenaga yang makin bertambah kencang dan menghunjam. Satu gelang
tersingkir, masih ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya hingga kedelapan.

Salah satu saja menyambar atau berhasil menyerempet, tulang pun bisa
terbeset.

 Inilah bagian Tarian Penjemput Maut yang dikatakan Maha Singanada. Jurus
yang dimainkan Ratu Ayu sekarang ini bisa dikatakan jurus Gelang Gelung Dewi
Kiblat. Atau dalam Kitab Bumi dikidungkan sebagai kembanging surastrysoka
kadyapus gelunging asta.

 Asta adalah sebutan Dewi Kiblat.

 Kembang adalah bunga. Jadi ibarat kata rangkaian bunga sulastri dan angsoka
pengikat sanggul atau gelung Dewi Kiblat!

Gendhuk Tri sadar sesadar-sadarnya bahwa dasar-dasar tarian bisa
dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi tarian maut. Kalau pada dirinya
baru terbatas pada olah gerak yang berbeda dari tarian biasa, Ratu Ayu sudah
mengembangkan lebih jauh. Semua anggota badan dan piranti yang melekat dalam
tubuh bisa menjadi senjata.

 Bukan hanya selendang akan tetapi juga gelang.


 Singanada sadar bahwa kalau ia hanya mempergunakan bagian tubuh yang
tumbuh di kepala sebagai andalan, Ratu Ayu sudah melangkah jauh lebih maju.

Apa yang dipikirkan Gendhuk Tri memang tak berbeda jauh dengan
Singanada.

 Barangkali juga Senopati Sora, yang biasa menggunakan ujung kain yang
disampirkan di pundaknya.

 Barangkali juga senopati yang lain. Atau para prajurit dan ksatria yang
kebetulan bisa menyaksikan pertarungan.

 Bahwa penguasaan tubuh bisa berarti luas sekali. Dan kalau dilatih secara
sempurna, hasilnya bisa luar biasa. Tak terduga. Kalau selama ini perluasan
penguasaan tubuh biasanya terbatas kepada otot, urat, dan pernapasan, serta anggota
tubuh seperti tangan, kaki, semburan tenaga dari bibir. Dan mempergunakan senjata
sebagai kelanjutan dari bagian tubuh.

 Kalaupun ada, adalah mengandalkan senjata rahasia. Yang dipakai secara
tersembunyi pada saat mendesak. Hanya saja perkembangan penggunaan senjata
rahasia tak menjadi besar peranannya, karena para ksatria tanah Jawa menganggap
bukan sebagai perbuatan seorang pendekar.

 Seorang pendekar sejati tak mau mengalahkan lawan dengan cara “licik”
seperti itu.

Apalagi bagi pendekar yang telah diakui kedudukannya dalam dunia
persilatan, hal itu boleh dikatakan tak pernah terjadi.

Hebatnya, Ratu Ayu tidak mempergunakan senjata rahasia. Ia
mempergunakan gelang terbang yang bergelung!

 Yang bukan rahasia sejak pertama tadi telah dikenakan. Inilah yang luar biasa
dan mengatasi cara berpikir yang selama ini dikenal.

 Desingan suara gelang membuat Upasara waspada. Tubuhnya miring ke kanan,
menyembunyikan tangan kanan. Dua kaki yang membentuk kuda-kuda tetap berada
di tempatnya, dan hanya pedang hitam panjang yang menebas ke arah gelang yang
menghantam dadanya.


 Benturan keras terdengar.

 Satu gelang terpukul, melenceng arahnya. Pedang Upasara tergetar, tangan
Upasara menjadi kesemutan karenanya.

Kekuatan Utama di Titik Terlemah

UPASARA terus menyabet.

 Gelang kedua disampok, gelang ketiga dipukul dengan gagang pedang, sedikit
di bawah bagian yang menjadi pegangan.

Bertindak maju selangkah, Upasara memutar pedangnya, dan menangkis
secara keseluruhan.

Tangannya tergetar hebat.

 Tanda bahwa tenaga dalam Ratu Ayu memang cukup tersalur kuat. Dan yang
sesungguhnya berada di luar dugaan Upasara ialah daya luncur dan daya serang
gelang terbang itu tidak sama. Baik karena pengaturan tenaga dalam Ratu Ayu,
maupun bahan yang dipakai membuat gelang.

 Berbeda antara emas, perak, perunggu, maupun dari jenis logam yang lain.
Beratnya juga berbeda. Gelang tangan jauh lebih tipis, tapi lebih kencang, seolah anak
panah. Sedang gelang kaki, lebih berat seolah ujung tombak.

 Kalau tadi dalam meluncurkan pedang lengkung Ratu Ayu memakai daya
pegas yang berbeda sehingga daya dorongnya berbeda-beda, hal ini juga digunakan
dalam memainkan gelang terbang membentuk konde.

Dengan lebih sempurna.

 Karena perbedaan logam yang dipakai untuk membuat gelang.

 Keistimewaan yang lain ialah bahwa Ratu Ayu mampu memainkan sebagai
satu rangkaian serangan, tanpa ada gelang yang mental atau jatuh.

 Kalau Upasara bisa membuat arah salah satu gelang terbang melenceng, tidak
berarti lepas dari rangkaian serangan. Karena Ratu Ayu dengan mudah bisa
menariknya kembali, dan mengertakkan dalam satu lemparan.


 Dua Belas Jurus Nujum Bintang dipamerkan oleh Upasara dengan sangat cepat
dan bertenaga. Sebentar tubuhnya menghindar, melayang, dan memapak maju.

 Akan tetapi, ke arah mana pun Upasara bergerak, gelang terbang itu mengejar,
mengurung, dan mengisyaratkan sabetan maut.

Sungguh lawan yang perkasa.

 Tangguh dan jauh di atas kelas yang diduga.

 Tidak percuma Ratu Ayu Turkana disejajarkan dengan Naga Nareswara, Kiai
Sambartaka, serta Kama Kangkam. Memang di situlah tempatnya.

 Pujian ini berasal dari Halayudha yang berada di tempat jauh. Halayudha
mengakui bahwa ia salah memperhitungkan lawan.

 Rangkaian gelang terbang bergelung, sejak jurus pertama sudah langsung
mematikan.

Kalau dirinya yang terjerat dalam pertarungan, Halayudha akan
mempergunakan tipu muslihat lain. Dengan mempergunakan ajian atau cara-cara
licik. Hanya itulah jalan yang dianggap paling selamat untuk menghindar.

 Tapi Halayudha tahu bahwa Upasara tak akan melakukan hal semacam itu.

 Bagi Upasara lebih baik kalah atau binasa.

Kalau ini yang terjadi, jangan harap ada yang mampu menandingi Ratu Ayu

satu lawan satu. Maka Halayudha memberikan kisikan agar semua senopati, tanpa
kecuali, mengadakan persiapan. Terutama menjaga Baginda.

 Dan juga mempersiapkan jalan menghindar ke dalam Keraton yang aman.

Cepat atau lambat situasi akan berubah.

 Upasara tak bisa bertahan dengan cara seperti itu. Tenaga benturan pedangnya
akan melemah, sementara putaran gelang terbang justru tetap bisa berlipat.

Dan tetap gencar.


 Mengetahui bahwa Dua Belas Jurus Nujum Bintang tak mampu menerobos,
Upasara mengganti dengan dasar-dasar penyerangan Banteng Ketaton atau Banteng
Terluka, ilmu silat yang mendasari ilmunya.

 Dibuka dengan tangan kiri tertarik ke arah kanan, kaki menendang bumi,
Upasara menebas dari arah samping. Serangan gencar dari arah samping sebagai
pancingan, dan kemudian menyeruak maju bagai banteng yang terluka.

 Pedangnya berubah gerakannya, mencongkel dari bawah, seakan sodokan
tanduk banteng.

 Akan tetapi dengan begitu, Upasara seperti terjebak dalam bahaya. Karena
delapan gelang terbang Ratu Ayu mendadak pecah menjadi dua bagian!

 Satu lingkaran menyerang atas, satu rangkaian lingkaran yang lain menyerang
dari bawah.

 Betapapun kuat kuda-kuda ilmu Banteng Ketaton, tak akan kuat tulang kaki
digenjot dengan gelang!

 Dalam sekejap, tubuh Upasara dilibat dalam putaran.

Kini bahkan untuk menerobos pun rasanya sulit.

 Sepersekian kejap Upasara menjadi bimbang untuk memainkan ilmu Penolak
Bumi. Delapan Jurus Penolak Bumi adalah jurus andalan yang sangat ampuh untuk
menolak serangan, untuk mementahkan serbuan.

 Akan tetapi Delapan Jurus Penolak Bumi berdasarkan perhitungan di mana
ada kedudukan yang berbahaya.

 Posisi bahaya di selatan, bisa dimentahkan dengan gerak dan arah tertentu.

 Sulitnya, yang dihadapi sekarang ini adalah bahaya dari semua jurusan.
Mementahkan satu arah mata angin, akan berakibat tersambar gelang terbang pada
mata angin yang lain.

 Sepersekian kejap sangsi, Upasara benar-benar terdesak. Sehingga gerakannya
berubah makin cepat dengan geliatan yang gagap untuk menghindar.


 Dalam keadaan terdesak, Upasara surut. Pedangnya ditarik, merapat ke
tubuhnya. Tangan kiri yang menggenggam pedang merapat ke dada sebelah kanan.

 Ratu Ayu berseru dingin tapi keras terdengar.

 Dua tangannya melontarkan tenaga dengan perkasa.

 Kini delapan gelang menyerbu bersama. Desingan udara seperti terbelah
karenanya.

 Sepersekian kejap Upasara seperti menunggu.

 Maha Singanada mengeluarkan teriakan kecemasan. Berdiri dari duduknya.

 Nyai Demang merangkul Tunggadewi dan Rajadewi.

 Bibir Gendhuk Tri bergerak-gerak tak jelas.

Halayudha menggenggam hulu kerisnya. Matanya memandang ke arah
Mahapatih dan memberi tanda.

 Upasara menggerakkan pedang hitam lurus ke depan. Membentur salah satu
rangkaian gelang, tanpa memperhitungkan gempuran gelang yang lain.

Perlahan gerakan tangannya.

Didorong oleh tenaga sepenuhnya.

 Pandangannya lurus ke depan. Tak hirau.

 Terdengar gemerincing keras. Gelang yang ditebas Upasara terlingkar, masuk
ke dalam pedang, masih berputar, sebelum akhirnya melorot ke dasar pedang. Dan
masih berputar kencang. Sehingga tangan Upasara seperti digigiti seratus semut, dan
sengatan binatang berbisa.

 Namun Upasara tetap bertahan.

 Ajaib. Gelang kedua juga masuk ke dalam lingkaran, tetap berputar, dan
akhirnya melorot turun ke dalam pedang. Disusul gelang ketiga, keempat, kelima…

 Seluruh gelang akhirnya masuk ke dalam pedang Upasara.


 Yang tetap berdiri gagah.
Seluruh gelang bertumpuk bagai hiasan.
Bagai daging sate.
Upasara berdiri gagah.
Ratu Ayu memandang ke arah langit-langit. Wajahnya nampak pucat,


keringatnya membasahi wajahnya. Napasnya sedikit tersengal.

 “Ilmu siluman apa yang kamu mainkan, Upasara?”

 “Bodo amat. Begitu saja dibilang ilmu siluman,” Gendhuk Tri melampiaskan

ketegangannya dengan suara kasar. “Itulah ilmu yang paling ringan dari Kitab
Penolak Bumi. Semua hidung yang belajar silat juga tahu.

 “Kakang Upasara telah memainkan dengan sepersepuluh tenaganya untuk
mematahkan rangkaian bunga gelung Dewi Kiblat. Semua orang juga bisa melakukan.

 “Apa istimewanya rangkaian itu?

 “Dalam setiap rangkaian untaian bunga, titik kekuatan yang utama adalah
yang terlemah. Dalam rantai yang bercantolan, kekuatan sebenarnya dari mata rantai
itu adalah pada kaitan yang terlemah.

 “Kalau itu putus, semua rangkaian juga putus.”

 Dengan tertawa keras, Gendhuk Tri meloncat ke tengah arena. Secara teori,
apa yang dikatakan oleh Gendhuk Tri sangat tepat Kalau terkesan Gendhuk Tri luar
biasa pengetahuannya, itu hanya karena kebetulan Upasara telah memainkan dengan
sempurna. Gendhuk Tri sekadar mengatakan kata-kata yang terdapat dalam kidungan

Kitab Bumi di bagian Delapan Jurus Penolak Bumi.

Yang memang menjelaskan hal semacam mi.

 “Jangan melompong seperti itu. Masih belum mau mengaku kalah? Apakah
perlu gelang-gelang itu dimasukkan kembali ke dalam tangan, kaki, atau leher
sekalian?”


 Ucapan Gendhuk Tri lebih tajam dan lebih menyakitkan.
Pedang Kelana, Pedang Takhta Turkana
GENDHUK TRI paling bahagia.

 Bibirnya menyunggingkan tawa. Tangannya bertolak pinggang. Melihat Ratu
Ayu kelimpungan, nafsunya untuk mempermainkan makin menjadi-jadi.

 Bibirnya sudah terbuka untuk menyemprot sindiran.

Tapi tak bisa digerakkan.

 Jadinya malah melongo.

 Satu jentikan kecil jari Ratu Ayu telah membuat urat rahang Gendhuk Tri
membeku. Bisa dibayangkan kalau ditambahi sedikit tenaga, napas Gendhuk Tri
sudah terhenti!

Upasara melepaskan rangkaian gelang. Lalu dengan penuh hormat
mengembalikan sambil menyembah.

“Maafkan, Ratu Ayu.”

 “Kamu belum menjawab pertanyaanku, Ksatria Upasara.”

 “Hamba hanya menjajal menetak rangkaian gelang terbang yang terlemah.
Karena delapan gelang dengan kekuatan saling berkait menjadi sangat kuat berlipat,
akan tetapi juga saling bergantung.”

 “Dari Kitab Bumi kamu pelajari jurus ini?”

“Ya dan tidak.

“Ya, karena ada beberapa gagasan dasar yang dikidungkan mengenai kekuatan

berangkai. Tidak, karena secara jelas tidak disebutkan bahwa ada jurus Gelang Gelung
Dewi Kiblat.”

“Sebelum mengaku kalah, katakan, apakah ilmu Turkana masih belum
sempurna?”


 Upasara menyembah dengan hormat.
“Semua ilmu sempurna dan juga tidak sempurna. Kesempurnaan ilmu,


menurut yang hamba ketahui, ialah pada saat tidak perlu dipergunakan lagi.”

“Ah, omonganmu seperti kakek pikun!

 “Dari mana kamu mengetahui kekuatan rangkaian ialah pada titik terlemah?”

 “Di negeri ini ada berbagai barisan penyerang. Salah satu di antaranya ialah
dari dua belas murid Kiai Sumelang Gandring. Kekuatannya hebat, akan tetapi satu
rangkaian patah, seluruhnya putus.

 “Ibarat kata sebuah tali tambang yang sanggup menarik perahu sampai ke
pantai, titik kekuatannya pada serat yang terlemah. Kalau itu yang putus, semua
kekuatan bisa putus. Kalau itu terlindungi, kekuatannya berlipat.

 “Kecuali kalau rangkaian kekuatan itu berasal dari tenaga tunggal seperti yang
dilakukan dengan sangat luar biasa oleh Ksatria Utama Maha Singanada. Pelipatan
tenaga sembilan singa, tidak secara wadag, tidak secara lahiriah dengan sembilan singa
atau sembilan orang.”

 “Aku suka pujian seperti ini,” kata Singanada keras.

 “Upasara, katakan terus terang, di mana kelemahan ilmu Lompat Turkana?”

Upasara menunduk.

Lalu bersila.

Menyembah.

 “Sesungguhnya ilmu itu tak tercela, Gusti Ratu.”

 “Ah… tata krama kamu membuat aku risi.

“Upasara, aku ingin mendengar kamu membaca Lompat Turkana, dan

mengatakan pendapatmu.”
Upasara merasa risi didesak dengan cara begitu.


 Hanya bisa menggeleng.
“Hamba tak cukup mengerti.
“Hanya secara selintas, apa yang dimainkan delapan senopati utama, dengan


meloncati lawan dan atau kawan, sungguh hebat. Kalau Gusti Ratu ikut memainkan,
barangkali di seluruh jagat ini tak ada yang mampu menandingi.

 “Karena Lompat Turkana, atau apa pun namanya, bersumber dari delapan
tenaga. Sedangkan inti tenaga yang sesungguhnya berasal dari sembilan. Delapan
penjuru, dan satu titik di tengah.

 “Untuk sementara, hamba hanya bisa mengutarakan sampai di sini. Karena
bukan tidak mungkin, dengan delapan tenaga, juga bisa lebih terarah dan tepat.

 “Maha Singanada beranggapan sembilan.

 “Berkeyakinan sembilan sebagai pusat tenaga.

 “Hamba sendiri hanya melihat satu pusat tenaga. Satu tangan. “Entah mana
yang lebih tepat. Karena sesungguhnya, dasarnya bukanlah pembagian, tetapi juga
kepasrahan kita mengikuti petunjuk yang ada.”

 Ratu Ayu menunduk.

Ikut bersila.

 “Upasara, sesungguhnya kamulah yang kucari di seluruh pelosok jagat ini.

Sejak aku melihat pedang yang kamu genggam, aku yakin itu adalah Pedang
Nglanglang yang selama ini hilang.”

Upasara mengangsurkan pedang hitam panjang dengan satu tangan.
Meletakkan di depan Ratu Ayu.

“Kalau Gusti Ratu Ayu menghendaki, hamba akan menyerahkan.
Sesungguhnya ini bukan milik hamba. Milik seorang sahabat sejati, Kakang Galih
Kaliki.”

 Ratu Ayu menunduk.

Air matanya menitik.


 Kedua tangannya menggenggam pedang hitam.

 Mendadak delapan senopati Turkana bersujud, menyembah ke kaki Upasara
sambil menyanyikan kidungan yang tak dimengerti oleh Upasara. Dan tetap
menunduk terus.

Demikian juga Ratu Ayu.

Menyembah kaki Upasara Wulung.

 Upasara berkelojotan tak mengerti. Kalau hanya soal pedang, walau itu pedang
pusaka, rasanya tak pantas seorang ratu menyembah! Dalam upacara terbuka yang
dilihat masyarakat.

 Dalam bengongnya, Gendhuk Tri masih bisa berpikir jernih. Ia mendengar
sebutan Pedang Nglanglang, atau Pedang Kelana. Ini untuk pertama kalinya ada
sebutan bagi pedang hitam tipis panjang yang selama ini hanya disebut dengan Galih
Kangkam, atau Kangkam Galih. Sebutan yang tidak menunjukkan hal yang
sebenarnya selain pernah dimiliki oleh Galih Kaliki. Atau berasal dari tongkat galih.

 Meskipun sebutan Pedang Nglanglang juga belum menunjukkan hal yang
sebenarnya terkandung dalam pedang itu, akan tetapi paling tidak menunjukkan asalusulnya.


 Yaitu dari suatu pengembaraan yang jauh.

 Jalan pikiran Gendhuk Tri tak berbeda banyak dari Upasara. Yang berbeda
ialah jalan pikiran Nyai Demang. Yang tak bisa menahan diri untuk ikut berkata.

 “Apakah Adimas benar menerima lamaran Ratu Ayu Azeri Baijani?”

 Disambar sembilan petir pun Upasara tak sekaget ini.

“Mbakyu Demang… ini bagaimana… aduh… saya…”

 “Adimas, Ratu Ayu berkelana mencari jodohnya. Barang siapa bisa melengkapi
ilmunya, akan diangkat menjadi suaminya, dan berhak atas takhta Turkana.

 “Barangkali sangat kebetulan simbol utama yang dicari adalah pedang itu.
Kalau Adimas menyerahkan, berarti Adimas menerima pinangan Ratu Ayu.”


 Upasara beringsut dua tindak ke belakang.
Delapan senopati Turkana menyuruk maju.
Juga Ratu Ayu.
Kalau Gendhuk Tri tidak beku rahangnya, segala cemoohan sudah terlontar


secara berurutan tanpa henti.

 Nyai Demang bisa mengerti bahwa dengan demikian Upasara menjadi sangat
kikuk. Tak berbeda dulu ketika secara tidak sengaja menerima tawaran menjadi
pimpinan Perguruan Awan.

 Bedanya, saat diangkat menjadi pemimpin Perguruan Awan, Upasara memang
sedang mencari tempat untuk menenangkan diri. Dan pengangkatan itu tidak
membawa akibat besar. Karena di Perguruan Awan, menjadi pemimpin atau
penghuni tak jauh berbeda.

 Sedangkan menjadi Raja Turkana, tak akan pernah terbayangkan. Bisa berarti
pergi ke negeri Turkana!

 “Mbakyu Demang, tolong jelaskan… saya ini tak pantas menerima

penghormatan semacam ini. Bagaimana mungkin saya… saya…”

 Ratu Ayu tetap menunduk, menyembah ketika berkata,

 “Junjungan hamba, junjungan negeri Turkana yang agung, kalau memang

hamba tak pantas mendampingi Baginda, biarlah hamba dikubur di sini.”

 “Demikian juga hamba.” Suara delapan senopati terdengar serempak.

 Upasara menggaruk belakang rambutnya.

Seluruh tubuhnya menjadi sangat pegal.

 Tak tahu harus berbuat bagaimana. Kalau ia tetap menolak, bukan tidak

mungkin Ratu Ayu Bawah Langit akan membunuh diri. Bersama dengan delapan
senopati Turkana.

 Melihat kecemasan di wajah Nyai Demang, hal itu bisa terjadi.


 Sebaliknya, kalau ia menerima pinangan Ratu Ayu, ia tak tahu apa yang akan
diperbuatnya.

 Lebih dari itu semua, Upasara tak bisa menyusun kata-kata. Baik untuk
menerima atau menolak. Seumur hidupnya tak pernah mengalami peristiwa semacam
ini. Bahkan membayangkan pun tidak.

Disembah, disebut sebagai Baginda.

 Dan memiliki permaisuri.

 Demi Dewa yang Maha dewa, bagaimana semua ini bisa terjadi?
Sempurnalah Keraton Singasari
KEADAAN jadi senyap.

Terlelap dalam jalan pikiran sendiri-sendiri. Gendhuk Tri jelas tak bisa ikut
bicara serampangan karena bibirnya terkunci. Para senopati Keraton juga terdiam.

Di kejauhan dari sitinggil, Baginda merasa punggungnya seakan kaku.
Sementara wajah Permaisuri Indreswari berubah menjadi kaku seperti topeng kayu.

 Halayudha sendiri tak pernah memperhitungkan, bahwa Upasara yang akan
muncul sebagai pilihan Ratu Ayu. Sekaligus pujaan semua penduduk yang
menyaksikan secara langsung.

 Dan Upasara sendiri masih tak mengerti apa yang harus dilakukan. Nyai
Demang yang biasanya cepat mengambil keputusan pun, kali ini terdiam. Nyai
Demang tahu bahwa nasihatnya bakal didengar oleh Upasara.

Akan tetapi hatinya sulit menentukan. Apakah Upasara Wulung harus

menerima atau menolak.

 Semua membawa akibat yang sangat jauh pengaruhnya.

 Pada saat itu, justru Maha Singanada yang berdiri dengan gagah perkasa.
Wajahnya mendongak ke arah langit, rambutnya yang tergerai bergerak-gerak oleh
angin. Suaranya mengandung kebanggaan dan sekaligus pujian.


 “Dewa yang Maha agung dan Maha bijak.

 “Akhirnya, inilah perkenanMu yang mulia. Tanpa sabda langsung dari Baginda
Raja Sri Kertanegara, Keraton Singasari tak akan berkumandang ke tlatah tapel wates,

memerintah sampai ke Keraton Turkana.

“Auman singa di seluruh penjuru jagat.

 “Selamat, Upasara, terimalah hormat dan sembahku!”

 Belum Upasara bereaksi, Maha Singanada sudah menunduk hormat. Saat

itulah terdengar sorak-sorai bergemuruh yang luar biasa. Semua yang hadir mengeluelukan
Upasara.

 Maha Singanada bahkan memanggul Upasara dengan gagah!

 Gong terdengar bertalu-talu.

 Malam itu juga, dengan upacara kebesaran, Upasara diiringkan menuju ke
dalam Keraton, untuk beristirahat di rumah yang disediakan khusus bagi Ratu Ayu
Bawah Langit.

 “Inilah kebesaran utama Keraton Singasari. Inilah tanda kejayaan Baginda Raja
Sri Kertanegara. Abu dan arwahnya akan bahagia selamanya.”

 Nyai Demang menghela napas.

 “Nyai tidak kelihatan gembira?”

 Nyai Demang tersenyum. Dirangkul Tunggadewi dan Rajadewi dengan
kencang.

 “Saya masih mempunyai satu tugas untuk mengembalikan dua putri Keraton
ke dalam.”

 “Marilah, biar aku yang mengantar. Malam ini kita pesta sampai tak ingat apaapa.
Nyai bersedia?”

 Nyai Demang meminta Maha Singanada membebaskan totokan Gendhuk Tri.
Beberapa kali Maha Singanada mencoba, akan tetapi hanya membuat Gendhuk Tri
mendelik dan air matanya mengucur.


 “Kalau begitu kita terpaksa mengganggu pengantin baru.” Suara Maha
Singanada tetap berada dalam suasana riang gembira.

 “Betapa agungnya Baginda Raja Sri Kertanegara. Dengan segala kebesarannya,
semua penjuru jagat yang bisa diinjak kaki dijelajahi.

 “Sungguh tak nyana, bahwa hari ini salah seorang ksatria didikannya bisa
menaklukkan hati Ratu Ayu Turkana. Bukankah ini luar biasa, Nyai?

 “Aku berlayar ke negeri Campa, untuk mengantar Tuan Putri Tapasi, akan
tetapi hasilnya tetap tak mengungguli apa yang dilakukan Upasara. Kalau satu dari
seratus ksatria seperti Upasara, seluruh jagat menyatu di bawah panji kebesaran
Keraton Singasari.”

 Nyai Demang menjadi bisa menebak asal-usul Maha Singanada. Setidaknya
dari yang dikatakan, Maha Singanada termasuk salah seorang ksatria utama atau
senopati yang mengemban tugas dari Baginda Raja Kertanegara ke negeri seberang.

 Kalau Senopati Anabrang ke negeri Melayu dan kembali membawa dua putri
utama, apa yang dilakukan Maha Singanada sedikit berbeda.

 Dengan disebut-sebut Putri Tapasi, Nyai Demang jadi ingat. Bahwa putri
Baginda Raja Sri Kertanegara, Dyah Ayu Tapasi, adalah utusan Baginda Raja ke negeri
Campa. Ke Keraton Caban, yang diperintah oleh Raja Che Nang yang kesohor.

 “Agaknya saya berhadapan dengan Senopati Agung yang telah menjelajah
negeri Campa. Maafkan, kalau selama ini saya tak bisa mengetahui kebesaran Senopati
Maha Singanada.”

 Singanada tertawa.

“Akhirnya semua akan mengetahui kebesaran Singasari yang perkasa. Tak
menyesal aku dilahirkan di perjalanan dan menjadi besar di negeri orang. Sungguh
luar biasa. Hari ini kusaksikan sendiri kebesaran itu.”

 Singanada seperti tengah tenggelam dalam arus pikiran kebesaran Baginda
Raja Sri Kertanegara. Sesuatu yang bisa dimengerti oleh Nyai Demang.

 Karena, seperti pengakuannya, Maha Singanada berangkat sewaktu masih
kecil, atau malah dalam kandungan ibunya yang menyertai utusan ke negeri Campa.


 “Bagaimana kabarnya Putri Dyah Ayu Tapasi?”

 “Sesuai dengan rencana. Permaisuri Tapasi berdiam di Keraton Wijaya atau
Caban, dan secara resmi menjadi Permaisuri Utama Raja Jaya Singawarman Turunan
Ketiga. Cucu utama Raja yang memerintah Wijaya.

 “Tahukah, Nyai, bahkan Raja Caban pun memakai gelar singa sebagai tanda
mengakui kebesaran Baginda Raja?”

 “Kenapa Senopati Singanada kembali ke tanah Jawa?”

 “Panjang ceritanya, Nyai.

 “Aku tak ingin bercerita pada malam yang bahagia ini, yang bisa untuk
memabukkan diri hingga pekan depan.”

 Nyai Demang sendiri memang tidak begitu berminat mendengarkan cerita
yang panjang saat ini. Karena diam-diam muncul kerisauan yang tak bisa ditutupi.

 Sejak sorak-sorai dan gong bertalu tadi, Raja Kertarajasa telah meninggalkan
pasamuan. Sesuatu yang sangat luar biasa, karena meninggalkan begitu saja. Tanpa
merestui atau mengucapkan sepatah kata pun mengenai Upasara atau Ratu Ayu.

 Dari segi tata krama Keraton yang sangat penuh perhitungan rumit, ini
pertanda kemurkaan yang besar.

 Yang juga bisa berakibat sangat besar.

 Kemenangan Upasara tidak diakui oleh Raja. Tidak diakui sebagai kehormatan
besar Keraton Majapahit, yang salah seorang senopatinya dipersunting Ratu Ayu dari
negeri Turkana!

 Sangat boleh jadi ini akan mengubah perjalanan hidup Upasara atau hubungan
dengan negeri Turkana. Baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek.

 Jelas bahwa berpihaknya Upasara kepada Ratu Ayu Azeri Baijani dianggap
petaka besar. Karena, ini semua di luar rencana Keraton.

 Nyai Demang tak terlalu sulit menangkap rencana yang tersembunyi dengan
munculnya Putra Mahkota Kala Gemet dalam pertarungan.


 Bisa dipastikan Putra Mahkota juga menghendaki Ratu Ayu. Dengan alasan
karena tertarik, ataupun alasan kenegaraan. Seperti yang dilakukan Senopati
Anabrang ke tanah Melayu, maupun Maha Singanada sampai ke negeri Campa.

 Serta senopati-senopati yang lainnya.

 Kalau perhitungan ini benar, Nyai Demang menjadi lebih kuatir karenanya.
Jauh lebih kuatir dari membayangkan apa yang terjadi terhadap Upasara saat ini.

 Celakanya, Nyai Demang merasa tak mempunyai teman yang bisa diajak
membicarakan isi pikirannya yang penuh.

 Maha Singanada sudah mabuk kemenangan dan keunggulan Keraton Singasari.

Sementara Gendhuk Tri tak bisa mengeluarkan suara.

 Hanya dua wanita yang masih kecil.

 “Bibi… Paman Demit dibawa ke mana?”

 Nyai Demang menyembah.

 Walau merasa kurang enak dipanggil Bibi-panggilan untuk inang pengasuh,

namun perasaan itu hanya mengusik sementara.

“Paman Demit akan menjadi pengantin, Gusti Ajeng.”

“Kawin dengan Ratu Ayu?”

“Begitulah yang kita lihat, Gusti Ajeng.”

 “Pastilah Paman Demit akan mengundang kita berdua. Kanjeng Ibu akan

mengizinkan kita berdua datang.”

 Sampai di sini, Nyai Demang merasa dirinya sangat tolol. Bagaimana mungkin
ia bercerita begitu saja kepada Tunggadewi, yang nantinya akan bercerita kepada
Permaisuri Rajapatni?

 Bahwa nantinya toh Permaisuri Rajapatni akan mendengar juga, itu soal nanti.
Tapi tidak sekarang ini. Dari putrinya.


 Nyai Demang jadi merasa kurang enak.

 Entah kenapa hatinya merasakan beban hubungan antara Upasara dan Gayatri.
Daya asmara yang tetap terasakan pengaruhnya, kalau tidak malah makin kuat,
meskipun keduanya sudah berpisah lama.

 Meskipun Gayatri telah menjadi permaisuri, dan berputri.

 “Mari Bibi antarkan pulang ke kaputren, Gusti Ajeng.”

 Tanpa menyembah sebagaimana lazimnya seorang emban pengasuh, Nyai
Demang langsung menggandeng Tunggadewi dan Rajadewi. Membawa masuk ke
kaputren.

Pendeta Tlatah Syangka

MELEWATI pintu utama Keraton, Nyai Demang mulai merasa ada sesuatu yang
menguntitnya. Ada udara dingin yang kadang terasa kadang tidak.

 Nyai Demang dengan cepat bisa membedakan antara dinginnya tiupan angin
malam dan pengaruh tenaga yang lain. Walaupun sangat samar Nyai Demang bisa
menebak bahwa di sekelilingnya ada tokoh yang cukup tinggi ilmunya. Karena
gerakan angin yang ditimbulkan sangat lembut. Akan tetapi terasa pengaruhnya.

 Yang membuat Nyai Demang menjadi lebih hati-hati ialah arah tiupan angin
dingin itu kadang dari sebelah belakang, kadang dari sebelah depan, kadang berubah
dari samping. Seakan sedang mengamatinya dari semua sudut pandang.
Beberapa langkah Nyai Demang sengaja memperlambat jalannya atau menoleh
dengan cepat, akan tetapi tak ada bayangan manusia atau desiran angin yang lebih
keras.

 Melewati pelataran Keraton, Nyai Demang lebih berhati-hati. Ia merasa bahwa
bila terjadi sesuatu pada diri Rajadewi serta Tunggadewi, tak tahu lagi harus
bagaimana mempertanggungjawabkan.

 Ternyata apa yang menjadi kekuatirannya terjadi.

 Hanya saja ia sedikit terlambat.


Begitu ada tiupan angin dingin dari arah belakang, Nyai Demang segera
melindungi dua putri Keraton, sambil membalikkan tubuh dengan kedua tangan
terentang.

Akan tetapi bayangan itu muncul di arah belakang.

 Begitu Nyai Demang berbalik, Rajadewi dan Tunggadewi sudah berada dalam

dekapan orang yang wajahnya nampak samar-samar dalam kegelapan malam.

Hati Nyai Demang bercekat.

 Sungguh digdaya pendekar yang satu ini. Kesiuran angin yang dikeluarkan bisa

menjebak lawan. Gerakannya amat sangat cepat sekali.

 Namun Nyai Demang tak mau berpikir panjang. Begitu melihat bayangan yang
menarik Tunggadewi dan Rajadewi, kedua tangan yang sudah terentang menepuk ke
depan. Dibarengi dengan goyangan tubuhnya yang menjadi sangat lemas.

 Tanpa menghindar atau membalas, bayangan samar itu menggelengkan
kepalanya perlahan. Ketika dua tangan Nyai Demang menyentuh dada orang itu,

tanpa sengaja dengan cepat ditarik kembali.

 Tangannya seperti menyentuh bongkahan marmer yang sangat dingin.

“Lepaskan!”

“Sssttt!”

 Kaki kanan Nyai Demang menendang. Tepat mengenai sasaran, yaitu paha

lawan. Akan tetapi lagi-lagi justru angin dingin yang mendesir masuk ke ulu hatinya.

 Tanpa terasa tubuh Nyai Demang bergoyang karena kedinginan.

“Kau…”

“Sssttt!”

 Kini Nyai Demang baru bisa melihat sedikit lebih jelas. Manusia bertubuh
dingin itu memang nampak samar karena tubuhnya berada dalam gelap. Kedua
pipinya turun. Matanya berkilau dan menusuk. Bibirnya, barangkali saja membentuk
senyuman. Akan tetapi tertutup oleh pipinya yang tembam.


 “Aku yang mengantar ke dalam.”

“Tunggu…”

“Sssttt!”

 Cepat jalan pikiran Nyai Demang bekerja. Bahwa yang dihadapi ini bukan
sembarang tokoh. Jelas-jelas ilmunya di atas dirinya. Akan tetapi caranya ber-Sssttt,
menunjukkan bahwa kehadirannya juga tak ingin diketahui orang lain.

 Nyai Demang bisa menebak lebih jauh. Tubuh yang dingin bagai air es di
puncak pegunungan, menandai bahwa pemiliknya mempunyai tenaga dalam yang
bersumber dari tenaga dingin. Latihan dan penguasaannya cukup hebat.

 Selama ini, hanya beberapa tokoh saja yang mempelajari secara khusus tenaga
dalam semacam itu. Yang diketahui oleh Nyai Demang adalah Kiai Sambartaka.
Dengan Pukulan Beku atau Mandeg Mangu. Sama menggunakan tenaga dalam yang
berhawa dingin. Hanya saja Kiai Sambartaka menggunakan untuk membekukan
darah lawan yang berhasil dipegang. Sementara tokoh yang dihadapi ini justru
sebaliknya. Membekukan darah dan tubuhnya sendiri.

 Di seluruh jagat ini tak begitu banyak yang secara khusus mempelajari ilmu
pengerahan tenaga dingin. Biasanya mempelajari dua-duanya. Yaitu tenaga panas dan
sekaligus juga tenaga dingin. Karena untuk mempelajari salah satu saja, bisa terganggu
keseimbangannya. Apalagi kalau yang diambil sebagai latihan utama adalah
pengerahan dan pengaturan tenaga dingin.

 Salah-salah dari awal tubuhnya sendiri yang beku jadi mayat.

Dan kalau Kiai Sambartaka yang berasal dari tlatah Hindia pun tidak
mengkhususkan diri, tak bisa lain tokoh yang dihadapi ini adalah…

“Rupanya saya berhadapan dengan Pendeta dari tlatah Syangka. Sungguh suatu
kehormatan besar bisa berkenalan.”

Kedua pipi tembam bergerak-gerak.

 Suaranya perlahan sekali.

 “Marilah kita bicara sambil berjalan, agar tak menarik perhatian.


“Nyai Demang sungguh tajam dan luar biasa sekali. Barangkali di seluruh
tanah Jawa ini hanya Nyai yang bisa mengenali asal-usul saya tanpa diberitahu.

 “Sungguh karunia Budi Luhur Tanpa Batas.

 “Nyai, atas nama hamba Budi Luhur, saya meminta maaf kalau mengganggu
Nyai. Percayalah, dua putri ini akan selamat sampai di kaputren. Nyai tak perlu
bersusah payah…”

 Satu kesiuran angin dingin menyelinap, dan bersamaan dengan itu bayangan
Pendeta Syangka sudah lenyap dari pandangan mata. Bersama dengan Rajadewi dan
Tunggadewi.

 Nyai Demang bukannya tak mengetahui arah gerakan Pendeta Syangka, akan
tetapi kalau ia mengejar sambil mengeluarkan tenaga sepenuhnya, seluruh prajurit
Keraton akan mengetahui keberadaannya.

Bisa-bisa lebih runyam.

 Karena arahnya menuju kaputren, Nyai Demang merasa sedikit lebih tenang.
Untuk lebih meyakinkan, ia berusaha meneruskan langkahnya.

“Kita pasti bertemu lagi, Nyai.”

 Angin dingin itu seolah bertiup di pinggir daun telinga Nyai Demang. Hingga
langkahnya menjadi urung.

 Ini benar-benar luar biasa. Dalam sekejap saja, seluruh jago utama dari semua
pelosok jagat bermunculan. Nyai Demang hanya bisa menduga-duga saja kehadiran
Pendeta Syangka. Bukan tidak mungkin dengan tujuan memperebutkan siapa yang
paling menguasai Kitab Bumi. Atau apa pun namanya.

 Sejauh yang Nyai Demang ketahui, tlatah Syangka lebih jauh dari tlatah
Hindia. Masih harus menyeberangi lautan lagi. Tlatah Syangka, dalam kitab-kitab
yang dibacanya, dulu juga disebut tlatah Sri Langka. Suatu wilayah luas dengan
pendeta-pendeta Budha yang sakti. Hanya saja selama ini kebesarannya tertutup oleh
pendeta-pendeta Hindu dari tlatah Hindia.


 Bukan mustahil kalau nama Kiai Sambartaka lebih dikenal daripada Pendeta
Syangka, yang ia sendiri tak mengenali nama dan gelarannya. Walau jelas, ilmu yang
dimiliki belum tentu kalah dengan tokoh-tokoh utama.

 Nyai Demang makin mengakui kehebatan Eyang Sepuh, yang nyatanya bisa
mengundang perhatian sampai ujung jagat.

 Di bawah kebesaran Baginda Raja Sri Kertanegara, semua hubungan ke tepi
laut seberang mana pun bisa terjajaki.

 Kalau benar Pendeta Syangka berniat menjajal keunggulan dan merebut gelar
lelananging jagat, kenapa tidak berada di Trowulan? Sungguh tidak masuk akal kalau
tidak tahu.

 Akan tetapi kalau bukan mencari kemenangan, apa hubungannya muncul di
Keraton?

 Kenapa bisa begitu leluasa masuk ke dalam kaputren?

Ataukah utusan khusus Baginda?

 Agak masuk akal, meskipun Nyai Demang akhirnya meragukan sendiri. Agak
masuk akal, karena sebagai raja, Baginda selalu dikelilingi oleh beberapa pendeta,
tokoh sakti, dari berbagai tlatah. Boleh dikatakan semua raja dikelilingi tokoh sakti.


 Yang membuat Nyai Demang ragu adalah Baginda tak begitu mengenal
hubungan dengan tlatah Syangka.

 Apalagi, selama ini memang tak pernah ada hubungan baik. Berbeda dari
tlatah yang lain, tlatah Syangka mempunyai ciri dan warna tersendiri dalam
hubungan dengan raja-raja di tanah Jawa atau tanah Sriwijaya.

 Keraton Agung Sriwijaya pernah menaklukkan tanah Syangka. Prajurit dan
para senopati bahari dari Keraton Sriwijaya berhasil menguasai tanah Syangka.

 Sejak itu boleh dikatakan ksatria dan pendekar dari Syangka, termasuk para
pendeta, ingin melepaskan diri dari pengakuan atas Keraton Sriwijaya.


 Itu sebabnya hubungan kedua keraton yang berbatasan lautan luas tak pernah
bisa tenteram. Meskipun di permukaan, setiap saat tertentu utusan dari Syangka
datang dan menyerahkan tanda pengakuan kekuasan Keraton Sriwijaya.

Tradisi Syangka pada Putra Mahkota
MESKIPUN kejadiannya sudah lama sekali, sekitar seratus tahun lebih, akan tetapi
Nyai Demang masih bisa membenarkan apa yang dituliskan dalam kitab-kitab yang
pernah dibacanya.

 Sekarang yang membuatnya bimbang dan ingin tahu: apa arti kehadiran

Pendeta Syangka?

 Mengabdi pada Baginda, jelas sangat tipis kemungkinannya.

 Mengabdi kepada Mahapatih, rasanya kurang tepat juga. Sebagai pendeta,

mereka hanya mengabdi kepada yang tertinggi. Yaitu Raja.

 Kalau bukan Baginda, hanya ada satu kemungkinan.

 Yaitu Putra Mahkota Bagus Kala Gemet.

 Siapa lagi, mengingat keleluasaan yang berlaku padanya. Dan kalau benar

begitu, ceritanya bisa panjang sekali. Karena Nyai Demang tetap dipenuhi tanda
tanya: kenapa Putra Mahkota begitu bersemangat mengumpulkan tokoh-tokoh sakti?

 Ataukah diam-diam sedang menyusun kekuatan untuk mempersiapkan diri
kalau nanti dinobatkan sebagai raja?

 Dipenuhi pikiran semacam itu, Nyai Demang jadi maju. Ia mengambil langkah
memutar. Menuju ke bagian yang didiami Putra Mahkota.

 Untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

 Setidaknya dari Senopati Sora bisa diketahui terjadinya sesuatu yang luar biasa.

 Menyebut nama Senopati Sora, dalam hati Nyai Demang makin bercabang
pertanyaan.


 Selama ini Baginda sudah memutuskan Senopati Sora untuk mendampingi
Putra Mahkota. Bahkan sudah menyediakan Dahanapura sebagai tempat mesu budi,
atau latihan pengendalian nafsu. Sebagai tempat latihan memerintah.

 Agaknya Putra Mahkota tak merasa cukup puas dengan Senopati Sora. Merasa
perlu mengumpulkan yang lainnya.

Kalau tidak salah duga, termasuk Maha Singanada!

 Yang kelihatannya juga menerima perintah langsung dari Putra Mahkota.

 Ini yang diketahui.

Bukan tidak mungkin masih ada yang tersembunyi.

 Yang akan muncul ke atas permukaan pada saat diperlukan nanti. Suatu intrik
yang membuat bulu kuduk Nyai Demang berdiri. Secara langsung ia mengalami
sendiri saat-saat Raja Muda Gelang-Gelang, Jayakatwang, menyusun taktik yang sama
hinanya dalam menghancurkan Keraton Singasari.

 Kemudian dibalas oleh Raden Sanggrama Wijaya serta pasukan dari Tartar.

Yang pada gilirannya diusir ke tengah laut.

 Dan kemudian juga munculnya Halayudha, senopati Keraton yang dekat

dengan Baginda dan mampu mengeruhkan yang jernih, mengaburkan yang samar.

 Terbersit juga pertanyaan dalam hati Nyai Demang. Apakah semua ini tak
diketahui oleh Baginda?

 Ataukah sudah diketahui dan sengaja dibiarkan? Agar ada yang muncul ke
permukaan, mengadakan perlawanan, untuk kemudian ditumpas habis?

 Nyai Demang tak begitu paham dengan tata budaya mencari kekuasaan. Ia
jauh dari semua keinginan itu. Semua yang diketahui mengenai liku-liku dan tata

pemerintahan hanya dari kegemarannya membaca buku semata.

 Tanpa pernah terlibat langsung.

 Kalaupun terjadi pada dirinya, itu hanya tingkat demang, yang sungguh jauh

dari menggapai Keraton. Jauh sekali jenjangnya.


 Toh begitu, Nyai Demang merasakan kepahitan hidup yang tak akan pernah
terlupakan!

 Kematian suami dan anak-anaknya yang mengenaskan!

 Pengorbanan kehormatannya!

 Nyai Demang mengenyahkan pikiran yang menyangkut dirinya. Dengan cepat
tubuhnya bergerak. Masuk menuju bagian perumahan yang didiami Senopati Sora.

 Dengan harapan bisa mendengar sesuatu.

Yang berhubungan dengan Pendeta Syangka.

 Ketika Nyai Demang menemukan tempat kediaman yang sepi, ia merasa salah
langkah. Adalah di luar dugaannya ketika ia sedang merunduk di bawah jendela,
mendadak jendela itu dibuka perlahan.

 “Marilah kita bicara di dalam, Nyai.”

 Suara Senopati Sora!

 “Kamar sederhana ini terbuka bagi jiwa ksatria sejati. Masuklah, Nyai, sebelum

pintu tertutup bagi persahabatan.”

 Nyai Demang segera bergegas, masuk melalui pintu depan yang ternyata tak
terkunci. Dengan menunduk, Nyai Demang menghaturkan sembah, lalu jalan-duduk
ke arah dalam.

 Senopati Sora duduk di ruangan tengah, bersila, tanpa membuat gerakan. Nyai

Demang kaget juga karena seluruh ruangan kosong.

 “Maafkan kelancangan saya, Senopati.”

 Ucapan Nyai Demang bukanlah sekadar basa-basi. Perbuatan mengintai
kediaman seseorang adalah kesalahan yang tercela. Dan Nyai Demang benar-benar
merasa bersalah. Akan tetapi Senopati Sora hanya menghela napas.


 “Selama masih bisa memberi dan menerima maaf, selama itu pula kita
seharusnya merasa bersyukur. Pupung ada waktu sebentar, pupung masih ada
perjumpaan, kenapa tidak kita manfaatkan sisa waktu yang sekejap ini?”

 Nyai Demang merasa kalimat Senopati Sora tidak keruan ujung-pangkalnya.
Hanya karena suaranya menyayat serta diucapkan dengan nada berat, Nyai Demang
tak berani mempertanyakan.

Dan memang tak perlu.

 Karena Senopati Sora melanjutkan.

 “Nyai, saya juga minta maaf karena tak bisa menyambut tetamu yang berjiwa

ksatria dengan baik.
“Saya akan segera kembali ke tanah asal. Malam ini juga saya harus segera

berangkat. Titip, jaga kebesaran Keraton.”

 Di telinga Nyai Demang, kata-kata itu terdengar sangat aneh.

 “Nyai akan segera mengetahui.

 “Oleh Baginda Putra Mahkota, saya dititahkan kembali ke Dahana, menjaga di

sana. Sebagai prajurit yang gagal berkali-kali, saya merasa semuanya telah cukup.

 “Saya orang tua yang tak berguna.

 “Hanya karena saya dididik dalam keprajuritan, saya tak ingin membunuh diri

saya untuk menebus dosa.

 “Ah, sedikit lega dada ini bisa mengatakan sesuatu. Apakah Nyai ingin
menyaksikan pemakaian gelar Pandya? Beruntunglah Nyai diundang dalam

perjamuan kebesaran tradisi Syangka ini.”

Bagi Nyai Demang, semuanya menjadi jelas!

 Senopati Sora dianggap gagal. Untuk itu ia dipulangkan ke Dahanapura, tempat
kediaman resmi Putra Mahkota Bagus Kala Gemet. Sedangkan Putra Mahkota tetap
tinggal di Keraton.


 Lebih dari itu, Putra Mahkota sedang mengadakan perjamuan besar. Peristiwa
yang mengandung makna sangat dalam, karena Senopati Sora menyebutkan sebagai
pemakaian gelar Pandya!

 Gelar itu adalah gelar yang biasa dipakai oleh mereka yang naik takhta secara
resmi. Nama Pandya, menunjukkan tradisi tanah Syangka.

 Ini berarti, Putra Mahkota Bagus Kala Gemet diam-diam sudah mengangkat
dirinya sebagai raja! Untuk tidak terlalu menarik perhatian dan pertentangan, diberi
gelar Pandya di belakang nama yang dipilih.

 Dengan itu pula sekaligus menunjukkan, bahwa Bagus Kala Gemet telah
memilih cara tata kenegaraan yang terjadi di tanah Syangka!

 Kalau dulu Raden Sanggrama Wijaya memakai gelar yang menunjukkan
dirinya berasal dari keturunan Keraton Singasari, kini justru Putra Mahkota Keraton
Majapahit memakai gelar dari nama raja-raja di Syangka.

 Sungguh tak masuk di akalnya.

 Lebih tak masuk akal lagi kalau ia menduga bahwa Senopati Sora sedang

menceritakan lelucon.

 Nyai Demang merasa batinnya perih.

 “Duh, Senopati Sora, apakah telinga saya tidak salah dengar?”

“Saya akan segera kembali ke tanah asal, Nyai.

 “Rasanya masih ada waktu untuk mengatakan segalanya dengan jujur.”

 Nyai Demang menyembah dengan hormat.

 “Senopati perkasa, jangan salah tampa. Saya tidak bermaksud…”

 “Saya tahu, Nyai.”

 “Apakah ini semua karena ulah Pendeta Syangka?”

 Tak ada jawaban.


 Helaan napas dalam.
“Karena saya tak tahu pasti jawabannya, saya tidak berani menjawab apa-apa.
“Nyai-lah yang akan menemukan jawaban itu.”
“Senopati…”
Senopati Sora berdiri.
“Sebelum tengah malam, saya sudah harus tidak ada di dalam Keraton ini.


Maka maafkan kalau saya tak bisa menemani lebih lama. Titip segala yang bisa Nyai
lakukan untuk tanah tumpah darah ini.

“Untuk ini, saya yang tua tak berguna mengucapkan terima kasih yang dalam.”

 Nyai Demang terpana ketika Senopati Sora menyembah ke arahnya.

Maha Singa Marutma
SAMPAI Senopati Sora selesai memberi hormat, Nyai Demang masih tetap
terbengong.

Siapa mengira dirinya akan menerima penghormatan seperti ini?

 Sampai Senopati Sora membalikkan tubuh, baru sadar bahwa tak seharusnya

dirinya bersikap kaku. Karena bingungnya, Nyai Demang berkata tergesa,

“Tidak… maaf… bukan… tapi, tapi saya… tunggu…”

Senopati kembali membalikkan tubuhnya.

 “Maaf, Senopati Sora. Kalau benar malam ini ada upacara pemberian gelar

sebagai Pandya oleh pendeta dari Syangka, apakah berarti pendeta dari tanah Jawa
kalah dan tak terpakai?”

 “Kemauan dan kekuasaan seorang putra mahkota lebih penting daripada
kesaktian.”

 “Apakah ini tidak memancing pertengkaran di belakang hari?”


 “Atau sudah dimulai, Nyai?”
Senopati Sora menunduk.
Nampak sekali penyesalan di wajahnya.
“Tidak seharusnya saya mengatakan seperti ini.”
“Biar saya yang menanggung dosa.
“Saya tetap tak mengerti. Kenapa Bagus Kala Gemet begitu tergesa untuk


menyiapkan diri, sementara Baginda masih memegang kekuasaan? Apakah karena ada
Pendeta Syangka, dan mempunyai Senopati Maha Singanada yang diunggulkan?”

 “Dan satu lagi yang sangat diunggulkan. Senopati Maha Singa Marutma yang
perkasa. Yang seperti Pendeta Syangka, masih disimpan.”

“Marutma?”

“Ya, Nyai.”

“Marutma… Martaban…?”

“Nyai tahu hal itu.”

“Apa tidak salah dengar?”

“Itulah yang saya dengar. Dan saya lihat.”

“Kalau benar begitu…”

 Tanpa terasa Nyai Demang menggaruk-garuk rambutnya yang disanggul
sempurna. Pandangannya nyalang.

 Marutma atau biasa disebut dengan Martaban adalah suatu wilayah subur di
tepi Sungai Saluen. Di sanalah berdiri Keraton Mon. Keraton yang aman dan damai,
yang menjadi salah satu wilayah di mana Baginda Raja Sri Kertanegara mengibarkan
panji-panji kekuasaan pemerintahannya.

 Nyai Demang tahu persis bahwa banyak senopati unggul yang dikirimkan dari
Keraton Singasari ke Keraton Mon. Seperti juga utusan yang dikirim ke tlatah Melayu.


Bahkan boleh dikatakan rombongan senopati yang berangkat ke Keraton Mon lebih
besar. Karena Keraton Mon sedang dikepung dua musuh yang berusaha
menaklukkannya. Yaitu Keraton Sukothai atau Keraton Thai, serta Keraton Burma
yang dikenal dengan barisan gajah putih.

 Selama ini yang diketahui Nyai Demang hanya utusan ke tlatah Melayu yang
pulang kembali membawa dua putri. Yang lainnya tidak diketahui sama sekali.

Baru dengan kemunculan Maha Singanada, Nyai Demang kemudian
mengetahui adanya rombongan yang lain. Yaitu yang kembali dari Keraton Campa.
Rombongan Maha Singanada-lah yang membawa putri Singasari bernama Putri
Tapasi yang dipermaisurikan oleh Raja Jaya Singawarman Katelu, atau Ketiga.

 Dan di luar itu ternyata masih ada lagi Maha Singa Marutma, utusan yang
kembali dari Keraton Mon!

 Bedanya dari utusan yang lain, kedua senopati ini langsung ditarik ke dalam
rangkulan kekuasaan Putra Mahkota Kala Gemet. Ini yang agak aneh.

 Karena rombongan Senopati Anabrang menyerahkan putri bawaannya kepada
Baginda. Kalaupun kedatangan Senopati Maha Singanada dan Senopati Maha Singa
Marutma berselisih waktu yang cukup lama, jelas bukan sowan, atau menghadap
kepada Putra Mahkota.

 Mereka tetap harus melapor, menyerahkan semua hasil yang dibawa kepada
Baginda. Yang merupakan lanjutan pemerintahan Keraton Singasari semasa Baginda
Raja Sri Kertanegara.

 Tapi nyatanya lain.

Ini berarti ada satu usaha yang diam-diam dilakukan, tapi cukup kuat
pengaruhnya dan berhasil.

 Siapa lagi kalau bukan dari Pendeta Syangka, yang bahkan mempengaruhi
Putra Mahkota untuk memakai gelaran Pandya?

 Jelas dalam benak Nyai Demang, akan tetapi menggelisahkan di dalam hati.

 Keruwetan Keraton Majapahit selama ini, karena adanya seorang bernama
Halayudha. Senopati Keraton yang sangat dipercaya oleh Baginda.


 Kalau kini Putra Mahkota juga didalangi oleh seorang pendeta, bisa dua kali
bahaya.

 Dalam belitan keruwetan yang luar biasa ini, secara kebetulan pula para jawara
penjuru dunia datang untuk mengadu kesaktian. Bahkan juga ikut muncul Ratu Ayu
dari negeri Turkana!

 Nyai Demang menggelengkan kepalanya.

Mengibaskan jalan pikiran yang simpang-siur.

 “Apakah Baginda tidak mengetahui hal ini?”

 “Saya tidak tahu, Nyai.”

“Paman Senopati wajib memberitahukan.”

“Permaisuri Indreswari telah menerima laporan.”

“Oh!”

Ini berarti Putra Mahkota mempunyai kekuatan rangkap. Di satu pihak ia

berhasil mengumpulkan para jago silat yang diangkat menjadi senopati, di lain pihak
ia mendapatkan perlindungan dari Permaisuri Indreswari.

 Yang bisa mempengaruhi Baginda.

 Nyai Demang tak pernah lupa, bahwa Baginda sangat tunduk dan selalu
mengiyakan apa yang menjadi permintaan Permaisuri yang datang dari Melayu. Kalau
tidak begitu, pasti bukan Kala Gemet yang sejak kecil sudah ditunjuk sebagai ahli
waris satu-satunya!

 Dan ahli waris satu-satunya, sang putra mahkota ini, ingin mempercepat
proses!

Sungguh menyedihkan kedudukan Baginda.

 Di satu pihak sangat disibukkan oleh senopati yang berebut dan menginginkan
kedudukan mahapatih, sehingga terjadi saling pertikaian, di pihak lain, putra
kandungnya sendiri mempersiapkan sesuatu yang bisa menjungkirbalikkan
kedudukannya.


 Nyai Demang juga-bisa memperhitungkan, atau sedikitnya memperkirakan,
bahwa jalan yang akan ditempuh Putra Mahkota pastilah bukan jalan yang berdarah.

 Seperti Baginda dulu merebut kekuasaan dari tangan Raja Jayakatwang.

 Seperti Raja Jayakatwang dulu merebut kekuasaan dari tangan Baginda Raja Sri
Kertanegara.

Akan tetapi akibat yang ditimbulkan bisa lebih menghamburkan darah.
Karena persiapan yang ditempuh Putra Mahkota bisa menjurus ke arah itu. Senopati,
punggawa, prajurit yang tak disukai bisa disingkirkan begitu saja.

 Seperti halnya Senopati Sora, yang tak mempunyai ambisi apa-apa.

 Seperti Rajadewi dan Tunggadewi yang masih kanak-kanak.

 Semua jalan akan dilicin ratakan. Yang menghalangi akan disikat habis.

“Senopati Sora… Paman…”

Suara Nyai Demang tertahan.

 Tak ada lagi bayangan orang lain.

 Ia sendirian. Entah sejak kapan Senopati Sora meninggalkannya. Terbayang
wajah duka seorang senopati utama, seorang prajurit sejati yang kecewa lahir dan
batin.

 Adalah Senopati Sora yang berjuang sejak awal. Sejak penyerbuan pertama ke
Keraton Singasari (Daha) yang masih diduduki Raja Jayakatwang. Yang ikut
menyabung nyawa mengusir pasukan Tartar. Adalah Senopati Sora yang dianggap
sesepuh dan pantas menduduki jabatan mahapatih.

 Justru dalam puncak pengabdiannya, Senopati Sora tetap merendah dan
merasa tidak pantas dengan keunggulan jabatan itu. Ia menolak secara halus. Sehingga
keponakannya, Adipati Lawe, menjadi geram, dan sesuai dengan darah panasnya,
mengatakan secara terbuka.

 Yang berlarut menjadi perang tanding dengan Senopati Anabrang. Dan tewas
di tangan senopati itu.


 Yang kemudian tewas di tangannya.

Sebagai ksatria, Senopati Sora bersedia menanggung semua akibat yang
diperbuatnya-walaupun itu bukan pembunuhan yang disengaja.

 Hatinya lebih hancur lagi ketika Baginda tidak memberi hukuman dengan
mencopot jabatannya atau menghukum mati. Senopati Sora hanya “dibuang” ke
Keraton Dahanapura.

 Mendampingi Putra Mahkota. Tetap berusaha mengabdi sebagai senopati

utama yang menyerahkan dan mengerahkan seluruh pengabdiannya.

 Yang justru ditendang dengan semena-mena oleh Putra Mahkota.

Betapa hancur harga dirinya.

 Betapa remuk batinnya tertimpa duka.

 Inikah akhir seorang prajurit yang jujur, setia, yang memberikan seluruh

pengabdiannya dengan jiwa dan raganya?

 Nyai Demang merasa bahwa kehancuran jiwa Senopati Sora jauh lebih
mengerikan daripada penderitaan yang disandangnya selama ini.
Jari Lentik Permaisuri Indreswari
NYAI DEMANG memberontak dalam hati.

 Walau luas pandangannya yang jauh dalam mempertimbangkan, akan tetapi
hati kecilnya terusik. Perlakuan terhadap Senopati Sora sangat menyedihkan.

 Karena tak mungkin mengejar Senopati Sora, Nyai Demang berniat menerobos
ke dalam kediaman Putra Mahkota. Untuk menjelaskan bahwa ada beberapa
perkiraan yang keliru. Ada sesuatu yang tak pantas dilakukan terhadap Senopati Sora.

Memang terbersit juga pikiran untuk menghadap langsung Baginda
Kertarajasa, akan tetapi itu pasti akan lebih sulit.

 Dan ternyata tak begitu sulit untuk masuk ke dalam kediaman Putra Mahkota.
Karena boleh dikatakan itu adalah pertemuan terbuka. Bahkan boleh dikatakan semua


pembesar Keraton hadir. Mulai Mahapatih Nambi hingga para prajurit pengawal
utama.

 Untuk pertama kalinya Nyai Demang melihat Permaisuri Indreswari hadir
dalam pertemuan. Malah bertindak sebagai penyelenggara.

 “Kedatangan para senopati membesarkan hati kami. Ini membuktikan
kesetiaan kepada Keraton, sampai turunan yang kemudian. Untuk ini semua, saya
secara pribadi tak akan pernah melupakan.”

 Suara Permaisuri Indreswari terdengar sedikit lebih lantang.

 “Malam ini, secara resmi, Putra Mahkota Bagus Kala Gemet penerus utama dan
satu-satunya, akan resmi memakai sebutan Sri Sundarapandya Adiswara.

 “Mulai malam ini hanya itulah sebutan yang berlaku.”

Semua yang hadir menghaturkan sembah.

 Hormat dan khidmat.

Putra Mahkota yang duduk di kursi berukiran warna emas nampak
mengangguk. Gerakan tangannya sama lembutnya dengan gerakan tangan ibundanya,
ketika memberi aba-aba agar penghormatan dihentikan.

 “Malam ini akan lebih sempurna kalau Putri Ayu Turkana menjadi salah
seorang pendampingnya. Akan tetapi ternyata derajat dan pangkat putri mancanegara
itu tak cukup bagus. Sehingga harus mendampingi seseorang yang tak jelas asalusulnya.


 “Tapi itu semua soal kecil, selama kalian semua, para senopati yang dipercaya
oleh Keraton, hadir di sini.”

Suasana lengang.

 Nyai Demang mencari-cari di mana Pendeta Syangka berada. Karena kini
sampai kepada tata upacara memberi penghormatan kepada Sri Sundarapandya
Adiswara.


 Satu demi satu para senopati maju ke depan. Diawali oleh Mahapatih Nambi,
yang berjalan jongkok. Dari jarak beberapa meter, Mahapatih menunduk hormat ke
arah telapak kaki Putra Mahkota.

 Upacara berjalan cukup lama dan melelahkan bagi Nyai Demang yang berada
di kejauhan.

 Sementara itu, Permaisuri Indreswari memperhatikan satu demi satu. Seolah
menghitung siapa yang datang dan siapa yang tidak. Siapa yang menunjukkan
kesetiaan dan siapa yang menjadi pembangkang.

“Sora memang tidak mau datang.”

 “Hamba sudah berusaha membujuknya, akan tetapi maaf, Gusti Permaisuri

yang paling dicintai Baginda, senopati tua itu berkeras tak mau datang menghadap.”

 Itulah suara Halayudha!

 Satu-satunya manusia di jagat yang membuat Upasara bisa menaruh dendam.

Bahkan terhadap Ugrawe yang jahat kelewat-lewat, Upasara sampai mengutarakan
secara terbuka.

 Bagaimana mungkin Halayudha bisa mengatakan bahwa Senopati Sora tidak
mau menghadap kalau memang ia tidak diundang?

 Dusta macam apa lagi ini?

 Tangan Permaisuri Indreswari yang lentik menggapai ke arah Mahapatih
Nambi. Yang segera mendekat dan menghaturkan sembah.

“Benar, Sora tidak mau datang?”

 “Hamba tidak melihatnya, Gusti Permaisuri.”

“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?”

 “Apa pun yang diperintahkan Baginda, hamba akan melaksanakan dengan
seluruh jiwa dan raga hamba.”

 “Apakah perlu menunggu perintah langsung?”


 Mahapatih menunduk, menyembah.
Seluruh ruangan menjadi sunyi dan tegang.
Suara Permaisuri Indreswari maupun Mahapatih Nambi terdengar jelas.
“Kalau memang perlu titah langsung dari Baginda, kamu akan mendengar


sebelum matahari terbit esok hari.

 “Bisa dimengerti keraguanmu, Mahapatih, karena Baginda tak menghendaki
adanya pertentangan di dalam. Akan tetapi pembangkangan secara terang-terangan

ini tak bisa diampuni. Tak bisa dibiarkan tanpa penjelasan.”

 Lalu Permaisuri Indreswari menoleh ke arah Halayudha.

“Senopati mana lagi yang tidak hadir?”

 “Semua hadir, Gusti Permaisuri.

 “Kecuali Senopati Sora dan Senopati Muda Gajah Biru.”

 “Ini akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka.”

 Nyai Demang tak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang permaisuri utama
bisa begitu cepat mengambil keputusan. Dan merasa bahwa ia bisa menentukan
kesetiaan seseorang. Kalaupun tidak baru saja bertemu, Nyai Demang tetap percaya
bahwa Senopati Sora bukan pembangkang.

 Darah Nyai Demang mendidih.

Giginya gemeretuk.

 Perutnya terasa mual setiap kali Permaisuri Indreswari bernapas. Mendadak

ada tangan mencekal tangan Nyai Demang. Ketika Nyai Demang menoleh, hampir
saja berseru kaget.

 Karena dikiranya yang memegang tangannya adalah Upasara!

 Memang wajahnya mirip.

“Maha Singanada.”


 “Kita bertemu lagi, Nyai.
“Nyai tak usah terpengaruh. Saya juga baru bertemu dengan Senopati Sora.”
“Lalu?”
“Ini bukan urusan kita.”
Nyai Demang menahan kedongkolan dalam hati.
Baru kini bisa jelas perbedaan antara Maha Singanada dan Upasara Wulung.


Kalau Upasara ada, tak akan mengatakan hal semacam itu.

 Upasara lebih mulia.

Lebih ksatria.

“Omonganku kasar, Nyai?”

 Nyai Demang berdiam.

 “Aku bukan Upasara yang sedang menikmati malam pengantinnya.”

Kasar, sembrono, tetapi ada benarnya!

 Upasara masih menikmati wewangian pengantin. Tak ada lagi yang bisa

diharapkan. Gendhuk Tri… Astaga, apakah ia masih beku di Kamandungan?
Suara Maha Singanada cukup keras, sehingga Permaisuri Indreswari menengok

ke arahnya.

 Nyai Demang bergidik.

Ngeri.

Sebaliknya, Maha Singanada nampak tenang sekali. Tak terpengaruh sama

sekali.
“Siapa yang berani begitu kurang ajar berbicara sendiri?”


 “Saya.”
Sukma Nyai Demang benar-benar terbang. Sama sekali tak disangka bahwa


Maha Singanada akan berbuat selancang dan sengawur itu.

“Kalau begitu, enyahlah kamu dari hadapanku.”

 Suasana menjadi berubah seketika. Semua pandangan tertuju ke arah Maha

Singanada.

“Mulai sekarang dan untuk selama-lamanya, aku tak sudi melihat
bayanganmu.”

 Maha Singanada berdiri. Tanpa menghaturkan sembah. Berjalan begitu saja,

ketika tiba-tiba satu bayangan memaksanya berkelit menghindar.

 “Siapa menyuruhmu berbuat begitu kurang ajar dan tak tahu aturan?”

“Tak ada.”

“Kita selesaikan di luar.”

 Maha Singanada mengangguk. Keduanya berkelebat pergi. Nyai Demang

merasa kepalanya pening mendadak. Berturut-turut terjadi peristiwa yang berada di
luar jangkauan pikirannya.

 Mana mungkin pertarungan bisa terjadi hanya karena sikap yang begitu ugalugalan?


 “Sidateka, selesaikan urusan di luar tanpa ribut-ribut.”

 Yang disebut namanya segera menunduk, memberi hormat, dan melompat
pergi. Sebat sekali gerakannya, meninggalkan kesiuran angin dingin.

 Nyai Demang sadar bahwa yang disebut Sidateka adalah Pendeta Syangka!

 Jadi pendeta dari Syangka itu sudah mempunyai nama sebuah desa di Keraton.
Desa Sidateka!

 Berarti sudah cukup lama berada di dalam wilayah Keraton. Jalan pikiran Nyai
Demang terputus ketika mendengar suara halus.


“Lebih baik kamu menyerah. Hukumanmu bisa diperingan atas ampunan
Gusti Permaisuri.”

Pangeran Jenang dari Campa
NYAI DEMANG menatap ke arah pembicara yang memberi peringatan padanya.
Sosok tubuh yang sedikit kurus, dengan dagu mendongak. Tak bisa dibedakan dari
senopati lain. Hanya saja gelang lengan yang dikenakan menunjukkan tingkat
kebangsawanan yang tinggi.

Demikian juga kalung bersusun yang gemerlap.

 Dengan bentuk sayap burung, besar dan bersusun makin lama makin kecil.

Sesaat Nyai Demang merasa heran.

 Tokoh dari mana lagi ini?

 “Gusti Permaisuri, saya mohon ampunan atas kelakuan kasar wanita ini. Rasa


rasanya…”

 Nyai Demang mendengus keras.

 Langsung berdiri dengan gagah. Tatapan matanya menyorot tajam.

 “Untuk apa minta ampunan kalau tidak melakukan kesalahan. Gusti

Permaisuri, ampunan tak bisa saya terima.”

Suara lantang Nyai Demang lebih dikarenakan kegeraman atas sikap
Permaisuri Indreswari dan Putra Mahkota. Ia bukannya tidak mengetahui bahwa
bangsawan yang memamerkan kekayaannya ini berusaha melindunginya.

Namun Nyai Demang menangkap gelagat sinar yang tak senonoh dari
pancaran mata lelaki bangsawan yang berusaha melindungi. Bagi wanita seperti Nyai

Demang sangat mudah untuk menebak arti sorot mata lelaki.

Itu yang membuatnya lebih gondok.

 “Siapa kamu, berani kurang ajar kepada Pangeran Jenang?”


 Suara Putra Mahkota terdengar mengguntur.

 Pangeran Jenang mendongakkan wajahnya. Seakan mendapat kehormatan
yang lebih tinggi.

 “Kurang ajar atau tidak, apa urusannya?

 “Di jagat ini begitu banyak pangeran, begitu banyak ratu berkeliaran, tak
menentu apa maunya. Kalau semua pelarian masih menganggap harus tetap dihormati
sebagai sesembahan, sampai bungkuk tubuh saya tak akan selesai penghormatan ini.”

Permaisuri Indreswari menuding murka.

 Empat senopati utama langsung mengurung Nyai Demang.

 Menunggu aba-aba. Satu gerakan lembut dari Permaisuri Indreswari, cukup
untuk membuat Nyai Demang jadi cincangan.

 Nyai Demang berdiri tegak. Tak membiarkan dirinya diringkus begitu saja.
Hatinya cukup sadar bahwa kata-kata yang dilontarkan mampu membuat Permaisuri
Indreswari mencincang sampai lumat!

Memang begitulah sesungguhnya!

 Apa yang dikatakan Nyai Demang seolah melempar kotoran busuk ke wajah
yang terhormat. Nyai Demang tahu bahwa tetamu kehormatan yang juga muncul
malam ini adalah Pangeran Jenang, atau Pangeran Che Nam. Penguasa dari Keraton
Tran-Minh-tong di tlatah Vietnam. Sudah sejak lama Nyai Demang mendengar
bahwa penguasa utama dari Vietnam menyembunyikan diri di tanah Jawa.

 Pangeran Jenang adalah penguasa yang terusir setelah gagal merebut kembali
keratonnya dari penguasaan bangsa Vietnam.

Ke mana lagi larinya kalau tidak minta bantuan Keraton Singasari yang
memang mempunyai kekuasaan di wilayah itu?

 Kedatangan Pangeran Jenang diterima dengan baik oleh Permaisuri Indreswari
dan dimanfaatkan sebagai bagian upacara kebesarannya.

 Pangeran Jenang diterima sebagai tamu kehormatan. Dan diperlakukan sebagai
penguasa tertinggi. Sebutan pangeran, menunjukkan sedikit di bawah raja.


 Bisa dimengerti bahwa ucapan Nyai Demang bagai melempar noda yang
busuk. Dengan enteng Nyai Demang mengatakan sebagai raja yang berkeliaran.

Tak berbeda dari Ratu Ayu!

 Yang dianggap ratu keluyuran dan hanya mencari jodoh.

Telinga Putra Mahkota pun terasa seperti terbakar. Karena kehadiran
Pangeran Jenang secara politis sangat berarti sekali. Seakan peresmian dihadiri oleh
beberapa utusan berbagai negara dari tanah seberang.

Namun dengan beberapa patah kata, Nyai Demang telah memorakporandakan
tata upacara kenegaraan.

 Kalau istilah itu ditujukan kepada Ratu Ayu Bawah Langit, mungkin tak akan
membakar gusar seperti sekarang ini. Bukan karena Ratu Ayu gagal dipersunting
Putra Mahkota, akan tetapi karena selama ini tak ada hubungan langsung dengan
negeri Turkana yang jauh di ujung jagat.

 Sementara hubungan dengan Pangeran Jenang sudah terjalin dengan baik sejak
Baginda Raja Sri Kertanegara.

 Sama-sama tamu negara, kedudukan Pangeran Jenang jauh berbeda dari Ratu
Ayu.

Putra Mahkota berdehem, mengeluarkan suara di tenggorokan karena
geramnya.

 “Tujuh turunan di atasmu pastilah manusia yang tak mengenal tata krama.
Tujuh turunan di bawahmu akan tetap seliar binatang. Dihukum cincang pun rasanya
masih kurang.

“Wanita biadab.”

“Enak saja bisa memaki orang lain.

 “Percuma saja menjadi calon sesembahan seluruh masyarakat jika bisanya
hanya memamerkan kekuasaan. Putra Mahkota Keraton yang begini besar dan jaya,
tak tahunya hanyalah…”


 Empat senopati sudah langsung mengepung. Dengan sangat bernafsu
menubruk dan berusaha membungkam Nyai Demang.

 Nyai Demang hanya mengeluarkan suara pendek, menggeliatkan tubuhnya,
dan serta-merta meloncat ke atas. Satu tangan bergerak menangkis, didahului dengan
gerakan kaki.

Sangat cepat.

Dan mengena.

 Namun yang terkena tak peduli, apalagi yang lainnya. Tetap saja menubruk.

Ingin meringkus secepatnya.

 “Biar aku yang menjajal dan memberi pelajaran. Mohon perkenan Gusti
Permaisuri.”

 Pangeran Jenang menyembah hormat kepada Permaisuri Indreswari dan Putra
Mahkota, lalu dengan sebat meloncat ke arah Nyai Demang.

 “Wanita ayu, tubuhmu indah, gerakanmu memesona. Lidahmu tajam. Aku tak

bisa menahan diri untuk menangkapmu secara istimewa. Aku masih memerlukan
beberapa dayang.”
“Coba saja kalau mampu.
“Kalau berdiri di negeri sendiri tidak mampu, jangan mencoba bertolak pinggang di


negeri orang.”
“Sangat luar biasa. Kamu mengenaliku. Siapa namamu, wanita ayu?”
Nyai Demang mengeluarkan senyuman mengejek.
“Kalau pemimpin keraton hanya memperhatikan wanita ayu dan gerakan tubuh,


bagaimana memimpin negeri? Soal nama, apa pedulimu?”


Dengan menyebut mu, Nyai Demang betul-betul menunjukkan kekurangajaran nya.
Walau sebenarnya karena kemuakan melihat gaya dan tingkah laku Pangeran Jenang.
“Aku suka kuda liar seperti ini.



“Lebih menarik untuk ditaklukkan dan dikendarai.”
Kali ini justru Nyai Demang yang menggebrak langsung. Bagian dari Dua Belas Jurus
Nujum Bintang dimainkan dengan sepenuh hati yang terbakar dendam. Langsung
menyodok ke arah ulu hati, dibarengi sapuan kaku yang ganas, Mengarah ke


selangkangan Pangeran Jenang, yang dengan cepat mencoba menangkis dengan kedua
tangan sekaligus! Gerakan patah, tapi kentara menyimpan tenaga dalam yang terlatih.
Pangeran Jenang memang bukan sembarang pangeran!
Walau mata keranjang dan suka main-main, ilmunya cukup tinggi. Tak terlena


dengan segala kemewahan dan kelebihan yang dimiliki.


Menangkis gerakan dengan dua tangan ke bawah, tubuh Pangeran Jenang berputar
maju. Memapak ke arah Nyai Demang, dan dua sikunya menusuk ke arah dada.
Gerakan dua tangan yang seolah satu sodokan.
Kaku, akan tetapi jitu.
Menusuk langsung.
Akan tetapi Nyai Demang justru menyambut keras lawan keras. Dadanya yang


terbuka serangan hanya ditarik mundur, sementara kakinya menebas dengan keras.


Menebas sedikit di bawah lutut, yang segera ditarik ke atas. Lagi-lagi selangkangan
lawan yang diincar.
Sebat, seolah kain yang dipakai Nyai Demang bukan merupakan penghalang. Bahkan


sebaliknya, seakan menyatukan dengan tendangan berturut turut.


Agaknya Pangeran Jenang tak menduga sedikit pun bahwa Nyai Demang begitu
nekat.
Adalah di luar perhitungannya, bahwa kata-katanya telah membakar harga diri Nyai


Demang. Menyentuh bagian rasa kewanitaannya yang paling peka.


Bagi Nyai Demang adalah pantangan untuk hanya dianggap sebagai wanita pemuas
dahaga asmara. Sikap dan kata-kata Pangeran Jenang justru menjurus ke arah itu.
Tak bisa ditafsirkan lain.



Rasanya Nyai Demang rela mati untuk membela harga dirinya. Itulah sebabnya tak
mengubah serangannya.

Lulur Pengantin
PANGERAN JENANG menurunkan tangannya, ganti dipakai untuk menebas kaki
Nyai Demang.

Karena Nyai Demang tak menarik mundur, bentrokan tenaga tak bisa dicegah.
Keras lawan keras.
Tenaga lawan tenaga.
Benturan itu membuat kaki kiri Nyai Demang terasa sedikit ngilu. Akan tetapi kaki


kanannya terus menghajar ke atas. Ke arah wajah Pangeran Jenang, saat Nyai Demang


membalikkan tubuh.
Mengetahui datangnya serangan nekat, Pangeran Jenang tak bertindak ayal. Dengan
serta-merta, kepalanya ditarik ke arah belakang bersamaan dengan tubuhnya.


Mau tak mau harus meloncat mundur!


Nyai Demang justru menyusuli dengan tendangan kedua. Ketiga. Sambil terus
berputar bagai gasing.
Pangeran Jenang tak bisa tidak juga mundur.
Dua langkah. Tiga langkah.
Bukan pemandangan yang menyenangkan bagi Pangeran Jenang. Karena seolah ia


dipaksa mundur, didesak dalam gebrakan pertama. Dipaksa bertahan kembali ke
bagian awal.


Tidak persis seperti ini, akan tetapi inilah yang terlihat.
Tidak persis, karena justru dalam soal adu tenaga, terlihat betapa sesungguhnya tenaga
dalam Pangeran Jenang lebih unggul. Dalam sekejap, Pangeran Jenang mengetahui
bahwa tenaga dalamnya jauh lebih besar daripada yang dimiliki Nyai Demang.



Akan tetapi kini justru nampak terdesak.

Inilah yang tidak enak.

Namun untuk membalikkan arah serangan, juga tak bisa begitu saja.

Kedua kaki Nyai Demang berturut-turut menyambar, dan arah yang dituju selalu
wajah. Dua kali diseling sambaran ke arah ulu hati.

Nyai Demang memang memainkan Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Rangkaian
gerakan dalam Kitab Bumi yang sudah dihafal hampir semua pendekar silat. Akan
tetapi tidak berarti bisa terbaca jelas gerakan-gerakannya. Karena Kitab Bumi justru
hanya mengajarkan tentang pengaturan tenaga, cara memperoleh, dan
menyalurkannya. Gerakannya sendiri bisa mempunyai banyak kembangan, atau
perubahan. Apalagi Nyai Demang sedang didorong oleh dendam yang membakar.

Ini salah satu sebab kenapa Nyai Demang sedikit unggul pada gebrakan awal.
Kelebihan Nyai Demang justru dalam hal mengerti nama-nama jurus dan bisa di luar
kepala semua kidungan dan atau lirik-lirik dalam Kitab Bumi. Lebih dari itu, Nyai
Demang juga mengetahui berbagai kembangan seperti yang terjadi pada Kiai
Sambartaka ataupun pada Naga Nareswara. Semua ini mempunyai pengaruh akan
keluasan pandangan Nyai Demang.

Dalam keadaan menyerang Nyai Demang bisa mengeluarkan semua kemampuannya.
Tidak sebaliknya.

Nyai Demang tak akan cukup mampu bertahan. Karena memang kekuatan tenaganya
sangat terbatas dibandingkan para pendekar yang sudah mencapai tingkatan tertentu.

Hal ini sangat disadari oleh Nyai Demang.

Tak ada yang mampu menilai diri sendiri seperti Nyai Demang. Dalam keadaan
terdesak, semua ilmu yang beragam yang dimiliki akan hilang dan terpusat pada
pembelaan diri. Kelemahan utama ini bisa dimanfaatkan oleh lawan secepatnya.

Itu pula sebabnya Nyai Demang terkadang begitu mudah ditumbangkan. Dan
dianggap kelasnya masih jauh di bawah.

Namun ini semua tidak berlaku di saat ia bisa menguasai lawan dan menyerang.


Sadar di mana kelebihan dan kekurangannya, Nyai Demang terus menghajar
Pangeran Jenang. Dua belas jurus berturut-turut, ia memaksa Pangeran Jenang
mundur ke segala penjuru. Dan bertahan dengan ketat dan geram.

Sebenarnya Nyai Demang bisa memancing lawan ganti menyerang, dan saat itu ia
memainkan jurus-jurus dalam Kitab Penolak Bumi. Ibarat kata tinggal menjebak
lawan.

Hanya saja Nyai Demang tidak yakin bahwa pada saat lawan ganti menyerang, ia
mampu menjebak dengan baik. Justru karena mengetahui kekuatannya tak mampu
mengimbangi.

Maka selesai dua belas jurus, Nyai Demang menyambung dengan jurus ketujuh,
kedelapan, dan kemudian menyentak lagi dari awal.

Dua kali tendangannya hampir mengenai wajah lawan, sehingga Pangeran Jenang
terpaksa menyambar tombak trisula. Ujung tombak yang terkena sentakan kaki Nyai
Demang sampai tergetar. Pada saat itu tangan kiri Nyai Demang terulur maju, seakan
dengan satu tangan siap menggotong mayit, atau menggotong mayat. Pangeran Jenang
mengeluarkan suara tertahan.

Tombaknya bisa direbut Nyai Demang.

Tiga ujung tombaknya berbalik ke arah lambungnya sendiri.

Bahaya!

Pangeran Jenang tak menyangka bahwa dalam dua puluh jurus ia terdesak terus dan
kini betul-betul repot menyelamatkan diri. Risiko paling buruk bagi pesilat. Karena
dengan membiarkan dirinya terdesak satu langkah, rangkaian langkah berikutnya
makin kuat dan tak terduga.

Bahaya!

Tiga ujung tombak sudah mendekat.

Tangan Pangeran Jenang turun dengan cepat. Mau atau tidak ia akan beradu tenaga.
Merampas ujung tombak dan mengerahkan tenaga dalam untuk membetotnya.
Berarti adu tenaga. Yang dalam perhitungan Pangeran Jenang akan bisa dimenangkan.
Walau memang mengandung sedikit risiko. Karena satu torehan sedikit saja akan
menyebabkan kantong nasinya terobek.


Pada saat yang kritis tak terlalu banyak pilihan.

Pangeran Jenang memusatkan konsentrasi pikiran, mengerahkan tenaga ke arah dua
tangannya. Satu jari di bawah ujung yang runcing digenggam dengan cepat, dan
disentakkan. Berhasil.

Tapi kecele.

Karena Nyai Demang tidak mengerahkan tenaga di situ.

Malah sebaliknya. Kaki kiri Nyai Demang-lah yang melayang bersamaan dengan
tubuhnya bergerak ke atas.

Bahaya!

Terlambat Pangeran Jenang menyadari bahaya yang sesungguhnya. Tak masuk dalam
perhitungannya bahwa Nyai Demang tetap mampu melancarkan serangan kaki
berupa tendangan, justru pada saat menusuk. Tak masuk dalam perhitungan Pangeran
Jenang, justru karena tak mengetahui bahwa Nyai Demang tidak begitu mampu
menguasai permainan tombak.

Kalau saja Pangeran Jenang sedikit cerdik, bisa mengetahui bahwa serangan Nyai
Demang yang terutama adalah permainan kaki, seperti pada awal yang telah
dipertunjukkan. Gerakan yang lain sekadar perubahan untuk membingungkan lawan,
dan bukan merupakan serangan utama.

Plak!

Bahaya!

Kepala Pangeran Jenang terdongak ke atas, tombak trisula terlepas dari
genggamannya, dan tubuhnya terbanting di lantai.

Kemenangan Nyai Demang yang gilang-gemilang.

Keunggulan mutlak.

Akan tetapi, bersamaan dengan ambruknya tubuh Pangeran Jenang serentak itu pula
kepungan dan serangan mendadak muncul. Nyai Demang yang tengah melayang di
angkasa, mengerahkan sepenuh tenaganya untuk mencari pijakan.


Tidak mudah.
Karena begitu tubuhnya melayang turun, hampir semua senjata digerakkan untuk


memotongnya. Sehingga Nyai Demang meminjam tenaga dari salah satu senjata yang
ada, untuk mumbul, naik ke atas lagi.
Akan tetapi tiga kali melambung, tenaga perlawanan Nyai Demang sudah merosot

jauh.
Bahaya!
Pertarungan di tengah udara bukan keunggulan Nyai Demang. Pun andai di atas


tanah, tetap tak akan mengimbangi serbuan para senopati yang tak terhitung


banyaknya.
Kini ia benar-benar dalam bahaya. Satu sabetan pedang saja bisa membuat kakinya
kutung atau tubuhnya putus. Satu tusukan saja bisa membuat Nyai Demang bagai
terpanggang. Nyai Demang tak mungkin memenangkan pertarungan secara
keroyokan begini.

Pada saat loncatan kelima, Nyai Demang merasa bahwa akhir hidupnya tak tertolong
lagi. Karena kekuatannya sudah makin merosot, dan ia tak bisa sepenuhnya
menguasai gerakan tubuhnya.

Pada saat itulah, mendadak di bawah terjadi perubahan. Serbuan para senopati seperti
terobek.
Menguak.
Sehingga Nyai Demang bisa turun dan berdiri tegap.
Pinggangnya didekap seseorang.
Upasara Wulung!
“Adimas.”
“Mbakyu Demang… Mari kita menyingkir.”
“Astaga, tubuhmu masih bau lulur pengantin. Bedak pengantin Turkana ini…”



Upasara Wulung membalikkan telapak tangannya. Tiga ujung senjata yang menusuk
ke arahnya diraup dengan satu tangan. Dibanting ke tanah. Lalu dengan
menggandeng Nyai Demang, meloncat pergi.

“Bagaimana nasib dua putri Permaisuri Rajapatni?”
Raja Turkana
BAIK Nyai Demang maupun Upasara menanyakan isi hati masing-masing.
Dalam benak Nyai Demang kemunculan Upasara adalah sesuatu yang sama sekali di


luar dugaannya. Karena seharusnya saat itu Upasara sedang menikmati malam
pengantin bersama Ratu Ayu Bawah Langit. Kesempatan yang begitu diimpikan oleh
banyak lelaki.

Sebaliknya Upasara justru lebih memikirkan keselamatan Rajadewi dan Tunggadewi.
Aneh atau tidak aneh, itulah kenyataannya.
Sesaat setelah pertarungan yang berhasil dimenangkan, Upasara diboyong oleh Ratu


Ayu dan para senopatinya. Saat itu Upasara tak sadar sepenuhnya apa yang terjadi. Ia
tak bisa menolak dan tak bisa menerangkan apa-apa ketika digiring masuk ke dalam
kediaman Ratu Ayu.


Juga ketika masuk ke dalam ruangan, Upasara makin kikuk, karena Ratu Ayu


bersujud di ujung kakinya. Disusul oleh para Senopati Turkana.
“Paman Senopati, maaf… Juga Ratu Ayu… Saya kira ada yang perlu dijelaskan,”
suaranya menjadi gugup tak menentu. Bau wangi dupa di dalam ruangan membuat
Upasara makin gelapan.


“Raja Turkana yang gagah perwira, Baginda sekarang memegang kekuasaan tertinggi.”
“Saya tak bisa. Tak bisa.
“Pokoknya tak bisa saja.”
Ratu Ayu memandang dengan sorot mata memohon.



“Sampai hamba membunuh diri di depan kaki Raja Turkana sesembahan kami,
kenyataan ini tak bisa berubah.”

Upasara menggelengkan kepalanya.

“Bukan saya menolak kehormatan yang demikian besarnya, Ratu. Bukan untuk
membunuh diri siapa pun. Hanya saja, rasanya masih ada sesuatu yang belum selesai.
Saya masih harus mengembalikan dua putri yang saya jaga, masih ada berbagai urusan
yang harus saya selesaikan.”

Ratu Ayu menyembah.

Diikuti para senopati.

Upasara makin merasa tak betah duduk di kursi.

“Sebagai Raja Turkana, Baginda bebas melakukan apa saja. Menyelesaikan urusan,
memilih istri kedua atau kesepuluh. Tetap tinggal di tanah Jawa, atau memilih
kembali ke singgasana di Turkana.

“Sebagai Raja Turkana, Baginda bisa melakukan apa saja. Kami tak akan pernah
mungkin menghalangi atau menawar perintah.

“Sebab Baginda yang paling menentukan.”

Upasara melengak tak habis pikir.

Asap wewangian membuatnya setengah sadar setengah tidak. Pikirannya yang jernih
seperti teraduk. Ia tak membayangkan dirinya akan menjadi raja. Benar-benar
dipanggil dengan sebutan Baginda dan disembah. Raja sebuah negeri!

Lebih dari itu semua, ialah kenyataan bahwa itu semua tak mengurangi apa yang bisa
dilakukan. Sebagai raja, ia bisa melakukan dan memutuskan apa saja. Ratu Ayu yang
kesohor itu akan mengikuti jejaknya.

Ini yang justru sangat merepotkan.

Kalau ia bisa melepaskan takhta, atau keluar begitu saja, masalahnya akan selesai.
Batinnya tidak mempunyai beban apa-apa. Akan tetapi sekarang justru lain. Ia tetap
bisa berbuat apa saja, hanya saja anggapan sebagai Baginda Raja Turkana tak pernah
bisa ditanggalkan.


“Saya akan mengembalikan kedua putri dan…”
“Hamba bisa melakukan, Baginda,” sembah Senopati Uighur.
“Tidak, tidak. Nanti akan merepotkan.”
“Tidak bagi hamba, Baginda.”
“Saya akan melakukan sendiri.”
“Kalau itu kehendak Baginda, hamba akan mengikuti titah.”
Upasara merasa punggungnya menjadi gatal tak menentu. Digaruk susah, tidak


digaruk membuat gelisah.
“Ratu Ayu.”
“Siap menerima perintah Baginda.”
“Saya tak tahu harus bersikap bagaimana. Kejadian ini di luar pengertian saya. Karena


masih ada beberapa urusan, saya akan menyelesaikan sendiri.


“Barangkali ini akan lebih baik. Sementara saya pergi, Ratu Ayu tetap menjadi
pemimpin seperti sebelumnya.”
Akhirnya Upasara mampu juga mengutarakan gagasannya.
“Hamba akan menjalankan semua perintah Baginda. Apa pun sabda Baginda itu yang


berlaku bagi kami semua. Hanya saja hamba tak mungkin mewakili Baginda.
“Tidak dalam pengertian apa pun.
“Hamba sama dengan semua senopati di sini.”
Upasara menggeleng sedih.
“Begini… begini…



“Masalah negeri Turkana atau pengembaraan kalian di sini, kalian bebas melakukan
apa saja, selama saya menyelesaikan urusan. Setelah itu kita akan membicarakannya
lagi.”

“Ke mana Baginda melangkah, ke tempat itulah kami semua mengikuti.

“Kalau tidak begitu kami, hamba sahaya ini, tak akan mengikuti Ratu Ayu sampai ke
tanah Jawa.”
Suara Senopati Uighur menyadarkan Upasara bahwa ia tak bisa berkelit lagi.
Secara resmi ia adalah Raja Turkana.
Tak ada gunanya mendebat atau mempertanyakan kembali.
“Kalau begitu, kalian semua menjaga diri baik-baik.
“Akan saya tinggalkan Galih Kangkam sebagai pengganti saya di tempat ini. Malam


ini saya akan kembali ke Keraton untuk menyelesaikan tugas yang ada. Kalian semua,
termasuk Ratu Ayu, tak perlu campur tangan agar tidak terjadi permusuhan.”

“Kami jalankan titah Baginda.”
Semua melakukan sembah. Lalu delapan senopati menyembah dan dengan
berjongkok setengah merangkak ke luar.


Tinggal Upasara dan Ratu Ayu.
“Berdirilah, Ratu.”
Ratu Ayu Bawah Langit berdiri, mengambil tempat duduk di sebelah Upasara.
“Baginda akan berangkat malam ini juga?”
“Ya, Ratu.”
“Doa dan pujian kami semua menyertai perjalanan Baginda.”
“Ratu Ayu, kalau terjadi apa-apa dengan saya di Keraton, itu sepenuhnya tanggung


jawab saya. Ratu tak usah menuntut balas atau memperhitungkan di kelak kemudian
hari.”


“Sebagai hamba, saya tak bisa menolak perintah.
“Akan tetapi sebagai istri, sebagai permaisuri, saya berhak membalas dendam kalau


ada kulit Baginda yang lecet karenanya. Sebagai permaisuri, saya berhak memuji dan
menyerang kawan atau lawan Baginda.
“Baginda adalah kehormatan dan pujaan seluruh tanah Turkana.”
Upasara memang tak terlalu pandai menyusun kalimat, sehingga hanya bisa


menggerakkan kepala tanpa jelas maksudnya.
“Baginda…”
“Ini membingungkan.”
“Maaf, Baginda.
“Kami semua hanya pengikut dan pengabdi Baginda. Tak ada bedanya dengan semua


senopati Keraton kepada Baginda di Majapahit ini. Atau di belahan mana pun.


“Kalau Baginda tidak puas dengan pelayanan kami, Baginda bisa memecat, mengganti,
atau menambah permaisuri dan senopati.
“Akan tetapi sampai mati pun, kami hanya mengabdi kepada satu orang sesembahan.”
“Baik, baik, Ratu.
“Saya akan mencoba memahami perlahan-lahan. Karena pedang hitam tipis ini


merupakan pusaka utama Keraton Turkana, untuk sementara saya titipkan kepada


Ratu.
“Dengan menggenggam Galih Kangkam, Ratu bisa berbuat apa saja pada saat yang
diperlukan. Saya akan kembali ke dalam Keraton menyelesaikan dua urusan.


“Setelah itu kita bicarakan lagi.”
Ratu Ayu menunduk.
“Apa pun sabda Baginda.



“Saya terlalu rendah untuk mengingatkan bahwa ini adalah malam pengantin
Baginda.”


Wajah Upasara menjadi merah karena jengah.
Meskipun hanya berdua, Upasara tak bisa menyembunyikan rasa kikuk yang
mencapai puncaknya. Ia tak pernah berdua-dua seperti ini, apalagi sekarang ini dalam
pengertian sebagai baginda dan permaisuri.


“Kalau Baginda tak menghendaki saya, Baginda bisa mengambil permaisuri yang
mana saja.”


“Bukan begitu masalahnya, Ratu.
“Saya tak tahu apakah saya cukup berharga atau tidak mendampingi Ratu Ayu. Saya
tak mempunyai pikiran apa-apa. Jangan terlalu membayangkan dan menilai diri
terlalu rendah.


“Ah, apakah omongan saya ini urut?
“Hmmmmm….”
Upasara segera berdiri.
“Baginda, kami semua menunggu Baginda.”
Ratu Ayu menyembah dengan dalam. Turun ke bawah, kedua tangannya menyentuh


kaki Upasara.
Membersihkan Ilalang
BAHWA Ratu Ayu melakukan itu semua dengan hati yang tulus, dengan kecintaan


dan pemujaan yang muncul dari lubuk hati, membuat Upasara makin canggung.


Kalau ia segera keluar dan menuju Keraton, karena ingin melepaskan diri dari suasana
yang membuatnya serbasalah.
Bagi Upasara, suasana yang dihadapi sama sekali tidak siap diterima.
Sebagai raja.



Sebagai suami.
Maka begitu melesat ke luar, Upasara segera merasakan udara segar. Ia bergegas


masuk ke dalam Keraton. Untuk mencari tahu apakah Rajadewi dan Tunggadewi
sudah selamat sampai ke kaputren. Sesudah itu, ia tak tahu lagi harus bagaimana.
Apakah kembali ke dalam rangkulan kehormatan atau kembali ke Perguruan Awan.


Atau meneruskan berkelana.


Mengambil jalan berputar, Upasara menuju ke kaputren. Kali ini hatinya berkebatkebit
lebih keras.
Darahnya berdesir lebih cepat.
Kaputren dalam keadaan kosong. Ruangan yang biasa ditempati Permaisuri Rajapatni


hanya ditunggui dua dayang yang mematung. Tak ada suara napas Permaisuri
Rajapatni maupun suara Rajadewi dan Tunggadewi.

Sewaktu Upasara nekat menyusup ke dalam pun, kamar yang ditemui kosong.
Tak ada yang bisa dilakukan selain mencari di ruangan lain. Ketiga permaisuri yang
lain tetap berada dalam kamarnya masing-masing.


Pikir Upasara, pasti sedang terjadi sesuatu. Dan kalau terjadi sesuatu terhadap


Rajadewi dan Tunggadewi, itu berhubungan dengan Putra Mahkota.
Maka Upasara menuju ke dalem pangeranan, kediaman Putra Mahkota Bagus Kala
Gemet, yang sedang memaklumkan dirinya dengan gelar yang baru.


Upasara terlambat sampai di tempat itu.


Yang dilihatnya saat itu hanyalah terancamnya jiwa Nyai Demang yang tadinya
dipasrahi menjaga dua putri. Tanpa berpikir dua kali, Upasara segera bergerak.
Dan lawan-lawan bisa tersingkir.
Itu pula sebabnya pertanyaan pertama adalah mengenai keselamatan dua putri yang


menjadi tanggungannya.



Digandeng oleh Upasara, Nyai Demang merasakan getaran yang lain. Semacam
getaran asmara yang menyengat ketika untuk pertama kalinya Upasara memegang
pinggang Nyai Demang.

Apalagi sekarang ini digandeng untuk meloloskan diri.

“Bagaimana keadaannya, Nyai?”

“Aman.”

Nyai Demang memilih jawaban yang menenteramkan, meskipun sadar bahwa
keadaan yang sebenarnya bisa berarti lain. Tapi Nyai Demang merasa itulah jawaban
yang paling baik.

Ia tidak merasa mendustai Upasara. Karena memang, boleh dipastikan, keadaan
Rajadewi dan Tunggadewi aman tak kurang suatu apa. Hanya saja kini sepenuhnya
dalam kekuasaan Putra Mahkota. Yang dikuasai oleh Permaisuri Indreswari di satu
pihak dan Sidateka, Pendeta Syangka, di lain pihak. Dua unsur antara kekuasaan dan
kekuatan.

Pilihan jawaban ini menenangkan hati Nyai Demang. Karena ia merasa mengetahui
isi hati Upasara Wulung.

Lelaki perkasa yang dikenalnya dengan baik. Sejak masih menyorotkan pandangan
tertarik dulu, sampai dengan ketika seluruh daya asmara Upasara tersedot ke dalam
diri Gayatri. Nyai Demang bisa memahami sepenuhnya.

Walau kadang juga timbul pikiran yang aneh.

Aneh bagi dirinya sendiri.

Ada semacam desiran darah dan guncangan hati yang tak mampu dikuasai setiap kali
bersama Upasara Wulung. Adalah benar pandangan Gendhuk Tri yang sering
mencemburuinya.

Karena diam-diam Nyai Demang juga menaruh hati kepada Upasara!

Sesuatu yang diakui oleh Upasara dan pernah diutarakan pada permulaan perjumpaan.


Namun jauh di dalam lubuk hati Nyai Demang, ada kesadaran lain yang mengerem
tindakannya. Secara sadar Nyai Demang bersikap sebagai mbakyu, kakak perempuan,
pada Upasara.

Ia mencintai Upasara, kalau mau dikatakan dengan jujur.

Ia mengharapkan Upasara menemukan yang terbaik. Dan Nyai Demang merasa
dirinya bukan yang terbaik untuk Upasara. Jalan hidup Upasara terlalu bersih, lurus.
Upasara mempunyai masa depan yang lebih elok. Ditambah berbagai alasan lain, Nyai
Demang merasa bahagia bisa mendampingi Upasara. Tidak sebagai kekasih, tidak
karena daya asmara semata. Karena persahabatan, kekaguman, dan kebersamaan.

Ia merasa memiliki Upasara tanpa merusaknya.

Itulah daya asmara yang paling murni. Yang akhirnya terasakan oleh Nyai Demang
dan kemudian membuatnya bahagia.

Akan tetapi pada saat tertentu, seperti sekarang ini, Nyai Demang tak bisa
menyembunyikan isi hatinya. Tangannya menjadi dingin. Sementara tangan Upasara
terasa panas.

Kalau jalan pikiran Nyai Demang berliku, jalan pikiran Upasara lebih sederhana.

Ia menangkap tubuh Nyai Demang, dan kemudian menggandengnya melewati
pasukan yang mengejarnya, karena memang itulah jalan yang terbaik.
Menyelamatkan Nyai Demang.

Sejak terbetot perhatiannya kepada Gayatri, Upasara boleh dikatakan tak pernah
dilintasi pikiran adanya wanita lain. Apalagi Nyai Demang yang telah dianggap
sebagai kakak kandung, yang banyak melalui pengalaman hidup getir bersama-sama.
Termasuk usaha keras Nyai Demang untuk mengembalikan kesadaran Upasara, di saat
jiwanya blong, kosong, setelah semua ilmunya dimusnahkan.

Dengan mencekal keras, Upasara menarik tubuh Nyai Demang melayang ke atas,
melompati dinding Keraton.

Lenyap ke dalam kegelapan.

Sementara itu Permaisuri Indreswari menggigit bibirnya dengan keras. Sejak
kemunculan Nyai Demang dan kemudian datangnya Upasara, hatinya menjadi sangat
gusar. Sebagian jalannya upacara jadi berantakan.


“Inilah saatnya membersihkan ilalang, agar padi bisa tumbuh sempurna.”
Suara Senopati Halayudha terdengar berbisik.
“Apa maksudnya, Halayudha?”
“Sebagai permaisuri utama dan satu-satunya, tidak seharusnya melarutkan diri dalam


soal-soal yang remeh tak berharga. Kehadiran Nyai Demang atau juga penyusupan


Upasara Wulung, malah bisa melapangkan jalan.
“Ibarat kata mereka ini adalah ilalang yang sedang tumbuh. Sebelum besar, tangan
Permaisuri Indreswari bisa menudingnya, dan dengan senang hati Mahapatih akan
mencabutnya.”


Permaisuri Indreswari tersenyum.


Apa yang dikatakan oleh Halayudha bisa tertangkap maksudnya. Halayudha memakai
perumpamaan “membersihkan ilalang”.
Kemunculan Nyai Demang, Upasara, serta ketidakhadiran Senopati Sora dan Gajah


Biru boleh dikatakan ilalang. Ilalang yang bisa mengganggu pertumbuhan padi.


Kalau padi ingin tumbuh subur, ilalang harus dibersihkan. Dicabut sampai ke akarakarnya.
Bagian yang tersulit ialah menentukan mana yang ilalang, mana tumbuhan lain yang


membantu pertumbuhan padi.
Sekarang justru menjadi jelas.
Perlawanan Nyai Demang dengan mudah bisa dikatakan sebagai ilalang. Semua orang


bisa mengerti. Lebih penting lagi, Baginda pun akan menyetujui.
Sekarang saatnya membasmi.
Bagi Halayudha, ini juga kesempatan terakhir. Dengan memihak sepenuhnya kepada


Permaisuri Indreswari, Halayudha memainkan kartunya dengan cerdik.



Menjadi orang kepercayaan Baginda saja tidak cukup. Harus bisa mendapatkan
dukungan juga dari Permaisuri Indreswari. Sebab sering terjadi, justru kebijaksanaan
dan keputusan yang besar datang dari usulan Permaisuri Indreswari.

Dalam perhitungan Halayudha, lawan terbesar dalam urutan keperwiraan dan
kepangkatan di Keraton kini adalah Senopati Sora. Kalau sekarang ini ia menjatuhkan
Mahapatih Nambi, pilihan sebagai pemegang jabatan utama kedua, akan jatuh ke
tangan Senopati Sora.

Karena dibandingkan dengan senopati yang lain, Senopati Sora tetap yang lebih
unggul.

Kalau Senopati Sora yang tampil menggantikan Nambi sebagai mahapatih, ia tak bisa
berkutik. Senopati Sora jauh lebih keras sikapnya, tak mudah termakan oleh hasutan.

Maka jalan satu-satunya adalah melenyapkan Senopati Sora. Dengan demikian tak ada
yang menduga apa yang dilakukan. Tidak juga Mahapatih Nambi, yang dalam pikiran
Halayudha tak terlalu berbahaya.

Dengan tudingan jari Permaisuri Indreswari, Mahapatih Nambi bisa pindah tempat
dan jabatan.

Dan tak akan menimbulkan banyak pergolakan. Karena Mahapatih Nambi tidak
mempunyai pendukung kuat seperti Senopati Sora!

Duka Ibu Tak Bisa Dibagi

PERMAISURI INDRESWARI memerintahkan agar pesta dan kemeriahan terus
berlangsung. Ia sendiri kemudian mengajak Senopati Halayudha langsung menghadap
Baginda.

“Maaf, Gusti Permaisuri, di tengah malam seperti ini?”

“Baginda juga membangunkan saya di tengah malam seperti ini.”

“Apakah hamba patut menyertai?”

“Halayudha, kamu menjadi saksi, bila Baginda menanyakan sesuatu. Kalau kamu
kubawa serta, besok pagi semua perintah telah dikeluarkan.


“Jangan menunggu sampai matahari meninggi.”
“Gusti Permaisuri sungguh bijak bestari.”
“Satu lagi, Halayudha, apakah betul yang muncul tadi Upasara Wulung yang


perkasa?”
“Begitulah, Gusti.”
“Apakah di belakang hari tidak akan menimbulkan masalah mengingat ilmunya


begitu tinggi?”


“Seorang yang mengaku ksatria tak akan membuat gangguan selama tidak diganggu
bersilat. Upasara tak ada maksud untuk turut berebut pangkat dan derajat.
“Lagi pula sebagai suami Ratu Ayu, kita bisa mempergunakan titik lemah ini untuk

mengusirnya.”
“Kalau ia tak mau pergi?”
“Banyak jalan untuk membuat Upasara bertarung dengan para ksatria karena Ratu


Ayu dizinahi lelaki lain.”
“Hmmm, jalan pikiranmu panjang, Halayudha.
“Aku rada bimbang, apakah di belakang hari kamu tidak akan berpaling dariku.”
Halayudha menyembah.
“Kalau ada setitik kebusukan dalam diri hamba mengenai Putra Mahkota atau


Permaisuri, biarlah sekarang juga hamba…”
“Tak perlu kuragukan kesetiaanmu sampai saat ini.”
Dalam hati, Halayudha tertawa puas.
Permaisuri boleh merasa unggul dan berkuasa. Boleh merasa mampu mengawasi


semua orang dan mengatur, akan tetapi tidak diriku ini. Satu kaki membalik,
Permaisuri Indreswari tak akan menyadari.
Sampai akhirnya ia sendiri terjerembap keluar.



Bagi Halayudha, Permaisuri Indreswari adalah tokoh yang menggelikan. Yang puas
atas kemenangannya di antara semua permaisuri dan wanita Keraton. Yang merasa
mampu memaksakan kehendaknya pada Baginda. Yang menjadi satu-satunya
pendamping Baginda.

Itulah kekuatan utama dan sekaligus juga kelemahannya.
Karena Permaisuri Indreswari dalam soal taktik dan strategi masih terlalu hijau.
Halayudha mengiringi Permaisuri menuju ke kediaman Baginda. Menyusuri lantai


yang megah dan sepi.


Di depan kamar Baginda, nampak Permaisuri Rajapatni bersujud. Semua rambutnya
diurai, wajahnya menunduk, tak bergerak sedikit pun.
Permaisuri Indreswari memalingkan mukanya, seakan tak melihat sama sekali.
Dan melangkah masuk ke dalam.
Berjongkok, melakukan sembah.
Halayudha mengiringkan.
Bersujud di tempat yang agak jauh di belakang.
Baginda hanya melirik, lalu menghela napas. Sebelum akhirnya kembali ke tempat


peraduannya.


“Pintu itu selalu terbuka. Ada yang berani langsung masuk, ada yang lebih suka
menangis di luar.
“Apa lagi?”
“Mohon ampun, Baginda.
“Keberanian abdi Baginda menerobos masuk karena merasa tak tahan lagi dengan


tingkah laku Senopati Sora yang justru mengadakan kraman saat-saat upacara
berlangsung.”
“Sora?”



“Demikian, Baginda junjungan hamba.”


“Sora memang pemberani. Sedikit keras kepala. Itu aku suka. Tapi karena tidak pada
tempatnya… perlu diperingatkan pula. Besok diminta menghadap kemari.”
Sunyi.
Permaisuri Indreswari menyembah.
“Rasanya tak cukup diperingatkan, Baginda. Kali ini sangat keterlaluan sekali. Hukum


buang pun rasanya…”
Tangan kiri Baginda bergerak perlahan.
“Aku yang menentukan, Yayi!
“Aku tak pernah berkata dua kali. Halayudha, perintahkan Sora menghadap


kepadaku.
“Aku akan berbicara langsung.”
“Sembah dalem, hamba akan menjalankan titah Baginda, malam ini juga.”
“Kamu pergi sendiri, Halayudha.”
Halayudha menyembah, lalu mundur.
“Tunggu, sebentar.
“Aku ingin mendengar pendapatmu…”
Halayudha menyembah lagi.
“Permaisuriku yang lain lagi, Rajapatni, bersila sejak sore tadi di depan pintu. Kutanya


ada apa, ia malah menangis. Kuajak masuk, ia menunduk.
“Hanya beberapa patah kata yang terucap, ‘Duka permaisuri bisa dibagi seperti panas
matahari, akan tetapi duka seorang ibu yang kehilangan anaknya adalah duka yang
tak bisa dibagi.’ Kamu bisa mengerti apa maksudnya?”



Halayudha menyembah.
“Seratus kali bertambah pandai, hamba tetap tak menangkap isinya, Baginda.
“Hanya barangkali Permaisuri Rajapatni yang mengerti susastra tinggi ingin


menyampaikan bahwa kegelisahan hati Permaisuri Rajapatni karena kehilangan
kedua putrinya, yaitu Putri Ayu Rajadewi dan Putri Ayu Tunggadewi.
“Kerisauan ini hanya bisa dirasakan oleh ibu.”
Baginda tersenyum.
“Itu aku tahu.
“Yang ingin kuketahui, apakah kamu tahu di mana kedua putriku itu?”
Halayudha terdiam.
Baginda melirik ke Permaisuri Indreswari.


“Bicaralah, Yayi.”
“Kami terpaksa mengasuhnya, karena putri sekar kedaton, bunga Keraton, dibiarkan
keluyuran di luar.


“Sungguh aib dan ternoda kalau sampai diketahui orang luar.”
Baginda mengangguk.
“Sampai kapan?”
“Sampai ibu yang melahirkan dan merasa berduka bisa mengasuhnya.”
“Baik, kalau begitu.”
Baginda menggerakkan kedua tangannya.
Permaisuri Indreswari dan Halayudha menyembah bersamaan dan berjongkok


mundur, agar tidak memunggungi Baginda.
Baru kemudian Baginda melangkah ke pintu.



Memandang Permaisuri Rajapatni.
“Yayi, kamu dengar sendiri semuanya?”
Permaisuri Rajapatni tak bergerak.
“Cukup.
“Sekarang kembalilah ke kaputren.”
Permaisuri Rajapatni menyembah.
“Hamba tak akan beranjak dari tempat ini kalau kedua putri hamba belum kembali ke


dalam pelukan hamba.”
Baginda tertawa kecil.
“Inilah susahnya.
“Siapa menduga bahwa menjadi raja justru susah mengatur permaisuri yang


mempunyai jalan pikiran sendiri-sendiri? Dengan satu patah kata aku bisa


menentukan perang besar atau perdamaian. Semua akan mengikutiku.


“Tapi soal begini, ah, sungguh runyam.
“Kubenarkan tindakan Indreswari yang merasa menjaga tata krama Keraton.
Kusalahkan kamu karena membiarkan putriku keluyuran. Kurasakan beratnya
dukamu, Yayi.


“Bersabarlah, besok atau lusa, kedua putrimu akan kembali tanpa putus sehelai
rambut pun. Kalau ada yang mengganggu, aku sendiri yang akan bertindak.
“Sekarang kembalilah.”


Permaisuri Rajapatni tetap tak bergerak.
“Aku tak hanya mengurusi putriku. Aku dititahkan oleh Dewa Penguasa Tanah Jawa
untuk mengurus semuanya.


“Aku tahu siapa kamu, siapa Indreswari, siapa Sora, siapa Halayudha.



“Sebagai raja, aku harus bertindak adil untuk semuanya.
“Masih mau bertahan di situ?”
Permaisuri Rajapatni menyembah.
Baginda menggelengkan kepalanya.
“Yayi Gayatri, kalau bukan kamu, malam ini juga kamu sudah kuusir dan tak


kuizinkan bayangan tubuhmu masuk ke dalam Keraton untuk selamanya. Tapi kamu
lain. Kamu memberikan kasih padaku, kamu ditakdirkan Dewa menjadi
pendampingku.

“Tapi kamu sendiri yang menakdirkan berada di situ sampai tua!”
Baginda segera melangkah ke dalam.
Sedia Senjata Sebelum Mendung
SEWAKTU Baginda masuk kembali ke kamar peraduan, Permaisuri Gayatri masih


tetap bersila. Tak bergerak seujung rambut pun.
Ketika itu Halayudha sudah langsung mempersiapkan diri untuk menyusul ke


Dahanapura, setelah lebih dulu menemui Mahapatih Nambi. Yang merasa agak heran,
karena Permaisuri juga menyertai.
“Saya sendiri merasa berat, Mahapatih. Akan tetapi inilah titah Baginda. Agar


menyelesaikan Senopati Sora yang berniat kraman. Kalau Senopati Sora tetap
menolak untuk hukum buang besok, berarti Mahapatih yang harus menyelesaikan.”
Mahapatih mengangguk ragu.


Permaisuri Indreswari mengangguk dalam.
“Keputusan Baginda hanya dua. Membuang Sora atau menghukum mati. Yang
pertama akan lebih berharga bagi Sora, kecuali kalau ia menghendaki lain.”


Halayudha menyembah ke arah Permaisuri Indreswari.



“Dalam satu-dua hari ini, saya akan menghadap Mahapatih, dengan atau tidak bisa
membawa Senopati Sora.”

“Kamu tak perlu kuatir hal itu, Nambi. Siapkan seluruh prajurit utama, semua
senopati, untuk menghadapi bahaya sewaktu-waktu.”

Bagi Mahapatih Nambi ini menimbulkan kebimbangan yang cukup berat. Baginya,
apa yang dilakukan Senopati Sora jelas keliru. Menentang secara terbuka. Akan tetapi
untuk menghukum mati juga tak bisa begitu saja.

Akan tetapi kecil sekali kemungkinannya menafsirkan bahwa Halayudha maupun
Permaisuri mengartikan lain perintah Baginda.

Rasanya sangat tidak mungkin!
Itu seperti menyangsikan Baginda!

Tak akan terjadi pada seorang prajurit sejati, prajurit pengabdi. Maka tak ada
pilihan lain kecuali menyiapkan pasukan istana yang siap gegaman, siap senjata
tempur, untuk menghadapi kemungkinan yang tak diinginkan.

Kesulitan yang juga muncul malam itu ialah kenyataan bahwa pertarungan di
halaman depan Keraton ternyata tak seperti yang diharapkan. Pendeta Syangka yang
sangat diandalkan, ternyata tak mampu menangkap Maha Singanada.

Maha Singanada berhasil melarikan diri.

Atau meloloskan diri karena merasa dikerubut begitu banyak lawan. Kalau
mau dipersoalkan, ini termasuk tanggung jawabnya juga. Bahkan sampai Pangeran
Jenang kena tendang wajahnya oleh Nyai Demang, termasuk bagian yang bisa
disalahkan ke arahnya.

Permaisuri bisa menumpahkan semua kesalahan ini padanya.

Yang berarti sandungan bagi pengabdiannya yang tulus. Yang berarti
kegagalan dari sekian banyak tugas dan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Nambi menyadari sepenuhnya.

Sebagai senopati, Nambi merasakan puncak tertinggi pangkat yang bisa
disandang adalah mahapatih, Karena senopati seperti dirinya bukannya titisan Dewa
yang bakal bisa menduduki takhta. Ia tak mempunyai wahyu untuk itu.


Hal itu sangat disadari betul.

Dalam perhitungan ketika mengucapkan doa di dalam hati, Mahapatih Nambi
makin menyadari posisinya. Di seluruh Keraton ini, siapa yang bakal menjadi raja

sudah ditentukan oleh Dewa yang menguasai Jagat.

Akan tetapi siapa yang menjadi mahapatih, tergantung siapa yang bisa meraih.

Dari seluruh penduduk Keraton, hanya ada satu mahapatih.

Atas kemurahan Dewa Agung, maka dirinya terpilih untuk tugas sangat suci.
Satu-satunya yang dipercaya menjadi mahapatih, dari sekian ratus senopati yang
unggul, dan sepuluh senopati yang pantas menduduki jabatan tertinggi kedua ini.

Tidak, bagi Mahapatih Nambi bukan keinginan untuk mempertahankan
jabatan dan pangkat ini selamanya. Baginya pangkat dan derajat adalah kepercayaan
yang diberikan padanya. Pangkat yang dititipkan oleh Dewa melalui tangan Baginda.

Sebagai ksatria, Mahapatih Nambi tidak tamak dan serakah mengenai
kemewahan dan kekuasaan.

Ia menerima segalanya berdasarkan rasa pengabdiannya.

Sebagai perwujudan tanggung jawabnya.

Juga sekarang ini.

Kalau ia terpaksa bertindak keras kepada kawan yang dikenal semasa berjuang
mengenyahkan prajurit Raja Jayakatwang dan mengusir pasukan Tartar dulu, sematamata
karena tugas.

Karena pengabdian.

Hanya itulah yang dimiliki dan wajib dilakukan sebagai prajurit.

Jangan kata sahabat, anak sendiri bila perlu disingkirkan kalau ternyata

mengganggu ketenteraman Keraton.
Percakapan dalam hati Mahapatih Nambi membuatnya sedikit tenteram.


Hanya saja tak bisa dipungkiri adanya sedikit ganjalan yang menggelisahkan.

Kalau Baginda bertindak adil dan benar, kenapa masih ada tokoh-tokoh seperti
Upasara Wulung? Kenapa Upasara Wulung muncul secara terang-terangan dan
membuat gegeran?

Mahapatih Nambi bisa membuat perhitungan sendiri atas Upasara Wulung
dengan beberapa pertimbangan. Setidaknya bagi mereka yang tergabung dalam
Perguruan Awan.

Mereka ini adalah ksatria sejati. Hal ini tak perlu diragukan lagi. Sifat-sifat
luhur ksatria mengalir dalam darah dan terembus dalam semua tindakannya, sampai
napasnya pun murni.

Tanpa keinginan jahat untuk merusak atau mengacau.

Kurang apa untuk seorang Upasara, kalau ia lebih dulu dipilih Baginda untuk
menduduki derajat dan pangkat sebagai mahapatih? Kurang apa kalau sekarang
Upasara menjadi lelananging jagat, dan mampu mempersunting Ratu Ayu Bawah
Langit?

Semua yang diharapkan telah berada dalam genggamannya. Semua yang
diidamkan lelaki berhasil digenggam. Tanpa perlu membuat keonaran pun, Upasara
bisa hidup dengan tenang dan bahagia.

Akan tetapi justru bukan itu semua yang menjadi dasar pergerakan batinnya.
Di mana ada ketidakberesan, Upasara akan muncul dan berani menantangnya.

Termasuk pengeroyokan terhadap Nyai Demang.

Alasan bergerak Upasara hanyalah karena merasa ada sesuatu yang tidak
benar. Ada perlakuan yang tidak adil.

Bukan karena iri, bukan karena mau merebut derajat dan pangkat, bukan pula
karena harta.

Usikan ini membuat Mahapatih Nambi sedikit gelisah. Kalau Upasara
memperjuangkan kebenaran dan keadilan, kenapa harus bentrok dengan Keraton?
Apakah ini berarti Keraton tidak benar dan kurang adil?


Bahwa masih banyak masalah yang perlu dibenahi dan didandani, Mahapatih
Nambi mengetahui lebih dari siapa pun. Akan tetapi itu semua bisa dilakukan tanpa
menimbulkan gegeran yang sifatnya terbuka menantang Keraton.

Yang justru kini dilakukan oleh Upasara.

Yang justru dulunya begitu rapi menyembunyikan diri.

Akan tetapi apa pun kebimbangan yang ada, suara kegelisahan yang mengusik,
tak berarti banyak. Bagi Mahapatih hanya ada satu kebenaran yang abadi sebagai abdi.

Menjalankan perintah Baginda.

Kalau untuk itu ia harus memindahkan gunung atau membendung sungai,
tetap akan dijalankan.

Juga kalau harus menghadapi Upasara Wulung!

Musuh Keraton adalah musuhnya. Penghalang kebijaksanaan Raja adalah
lawan yang harus dibasmi.

Kemantapan dalam hati ini datang bersama fajar pagi yang menyemburatkan
sinar. Mengusir hawa dingin dan mendung.

Mahapatih sudah menyiapkan seluruh prajurit utama untuk berjaga-jaga.
Untuk menangkap Senopati Sora. Atau kalau perlu memburu ke Dahanapura.

Prajurit telik sandi yang dikirimkan secara diam-diam sudah memberi laporan
bahwa Senopati Halayudha sudah mengadakan pembicaraan dengan Senopati Sora.
Prajurit kedua memberi laporan bahwa Senopati Sora menolak untuk dihukum
buang. Prajurit ketiga melaporkan bahwa kini justru Senopati Sora sedang
mempersiapkan prajuritnya yang setia untuk datang ke Keraton.

Utusan dari Halayudha menjelaskan kemudian bahwa dalam rombongan yang
akan menghadap Baginda, selain Senopati Sora dan Gajah Biru, juga ada Senopati Juru
Demung. Serta beberapa tokoh persilatan lain yang agaknya akan mendampingi
Senopati Sora.


Termasuk dalam rombongan itu, Upasara Wulung dan Nyai Demang dari
Perguruan Awan. Dan sudah barang tentu akan disertai senopati Turkana yang pasti
akan berpihak kepada Upasara.

Mahapatih diminta dengan hormat mengawasi gerak-gerik delapan senopati
Turkana.

Jalan pikiran yang paling sederhana mengartikan bahwa Senopati Sora tidak
sekadar ingin sowan kepada Baginda, melainkan sekaligus menyiapkan langkah
terakhir, jika usahanya gagal.

Berarti juga perang besar.

Jalan pikiran Mahapatih Nambi bukan terlalu mencurigai dan dicari-cari.
Sejarah mengajarkan bahwa sejak Raja Jayakatwang, Raden Sanggrama Wijaya juga

melakukan cara yang sama.

Menyusup ke dalam Keraton dengan persiapan penuh.

Mahapatih Nambi cepat mengambil keputusan.
Kebo Berune
UPASARA yang masih menggandeng Nyai Demang meninggalkan Kamandungan

dengan langkah enteng.

“Adimas mau ke mana?”

Upasara tidak bisa menjawab seketika.

“Ke mana sebaiknya, Mbakyu?”

Nyai Demang tertawa.

Dengan sedikit sungkan ia melepaskan tangan kiri Upasara yang mencekalnya.

Upasara jadi tersipu.
“Mana saya tahu?


“Adimas kan pengantin baru? Pasti mempunyai acara dan kesibukan sendiri.
Saya tak mau disalahkan di belakang hari jika pada malam pengantin ini Adimas
keluyuran tak menentu.”

Kali ini Upasara menggeleng mantap.

“Tak sepenuhnya begitu, Mbakyu.

“Tapi sudahlah, akan panjang kalau diceritakan. Nanti Mbakyu Demang akan

mengetahui sendiri.”

“Maaf, saya tak ingin mencampuri urusan pribadi.”

Mereka berdua berjalan menjauhi Keraton. Bintang di langit sebagian bisa

dilihat dengan jelas. Juga angin perlahan bisa dirasakan.

Upasara menghela napas berat.

“Saya juga tak ingin mencampuri urusan Keraton. Kalau sekarang atau nanti

terjadi pergolakan, itu semata urusan Keraton. Sejauh tidak menyakiti Tunggadewi
dan Rajadewi yang menjadi tanggungan saya.

“Rasanya kita masih perlu mencari Gendhuk Tri dan Dewa Maut.”

“Kalau sudah bertemu kenapa?”

Upasara melengak lagi.

Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan. Dan Nyai Demang bisa
menebak dengan jitu.

“Kenapa Adimas ingin menjauhi Ratu Ayu?”

Sesaat tak ada jawaban.

“Tidak juga, Mbakyu.

“Saya tidak berusaha menjauhi atau mendekati. Mbakyu Demang lebih tahu,
ada beberapa salah pengertian dalam hubungan ini. Saya kira Ratu Ayu Azeri Baijani
telah menemukan yang dicari. Yaitu Pedang Kelana, Galih Kangkam yang selama ini
musnah dari Keraton Turkana.


“Setelah menemukan yang dicari, masalahnya sudah selesai.”
“Tidak sesederhana itu, Adimas Upasara.
“Salah pengertian atau bukan, semua telah mengetahui Adimas resmi menjadi


suami Ratu Ayu. Beban atau kesenangan itu tak bisa dielakkan lagi.
“Saya bisa memahami perasaan Adimas, akan tetapi tidak demikian halnya

dengan seluruh penduduk yang menyaksikan pertarungan di Kamandungan.”

“Lalu harus bagaimana?”

Nyai Demang mengangkat bahu.

“Sudah saja jalani hidup dengan baik. Belum tentu tidak menyenangkan. Bagi

saya pribadi, itu lebih baik daripada Adimas selalu mengenang Gayatri.”

Wajah Upasara menjadi merah.

Sebenarnyalah itu yang menjadi ganjalan di hatinya. Upasara mengakui dan
sadar sepenuh-penuhnya. Ratu Ayu, sesuai dengan julukannya, memang sangat elok.
Mempunyai kekuasaan tertinggi. Akan tetapi Upasara tak bisa menerima dengan
tenang. Selama ini yang masih memenuhi bayangan dan mimpinya adalah sosok
Gayatri, yang telah menjadi Permaisuri Rajapatni.

Bahkan ketika Ratu Ayu menyilakan Upasara memilih juga yang lainnya dan
tak menghalangi, Upasara merasa makin terjepit perasaannya.

Rasanya tak bisa melupakan Gayatri begitu saja.

Nyatanya memang begitu.

Upasara malu mengakui hal itu.

“Bukan itu, Mbakyu. Soalnya…”

“Adimas masih ingin merahasiakan kepada mbakyumu ini? Ah, Upasara…
Upasara!


“Mbakyumu ini sudah tua, sudah cukup kenyang dengan garam asmara.
Kenapa masih menganggap saya ini orang lain?”

Upasara memalingkan wajahnya ke arah lain.

Dalam gelap perubahan wajahnya tidak bisa terlihat jelas. Tapi dari suaranya
bisa dikenali getaran perasaan hatinya.

“Saya tak mengerti kenapa ada sisa-sisa perasaan seperti itu. Ah, Mbakyu
Demang, mari kita bicarakan hal yang lain saja.”

Keduanya terdiam.

Hanya angin yang menggoyang ujung pohon dan dedaunan.

Samar-samar terdengar seperti kidungan.

Kalau bulan diselimuti awan

kenapa bicara tentang surya

Kalau hati sedang tertawan

kenapa bicara tentang surya?

Gerhana bulan

pasti datang

seperti gelombang

kerinduan…

Bukan hanya Upasara yang terkejut. Bahkan Nyai Demang seperti tersengat.
Jelas sekali kidungan itu ditujukan kepada mereka berdua.

Yang membuat Nyai Demang tersengat, karena seakan mengenali lirik-lirik
kidungan itu. Yang sengaja dibelokkan ucapannya.


“Kalau bisa bicara terbuka, kenapa bersembunyi seperti kura-kura?”

Nyai Demang berseru perlahan sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Karena
sadar bahwa yang dihadapi adalah tokoh yang cukup sakti.

Dari tenaga dalam ketika melantunkan kidungan maupun dari keberanian
mencampuri urusan.

“Menguping pembicaraan orang lain bukan pekerjaan ksatria. Masih ada

tempat untuk muncul bersama.”

Tantangan Nyai Demang mendapat jawaban yang mengejutkan.

“Kalau yang tua mendatangi yang muda, apakah tidak akan dibilang kurang

ajar?”

Upasara mencekal tangan Nyai Demang. Dengan satu tekukan kaki, tubuhnya
melayang ke arah datangnya suara. Ternyata di balik pohon-pohon, tersembunyi
gubuk yang sangat sederhana. Sedemikian sederhananya, sehingga lebih mirip

kandang kuda yang belum selesai.

Upasara menunduk.

“Izinkanlah kami mengganggu ketenangan Kakek yang mulia.” Nyai Demang

merasa heran, karena Upasara menyebut sebagai Kakek. Lebih kaget lagi karena
terdengar jawaban yang disertai batuk-batuk kecil.

“Saya sudah tua, tetapi siapa mengajarimu menyebut Kakek? Apa susahnya
menyebut sebagai Eyang?”

“Maafkan, Eyang.”

Terdengar tawa lirih.

“Tak kusangka. Ksatria lelananging jagat ternyata tahu sopan santun, mengerti
tata krama. Sungguh, budaya Keraton yang mulia telah mendidik dengan sangat baik.

“Itu yang terbaik.”

Aneh kata-katanya, seperti tak keruan arah dan tujuannya.


Upasara menyembah sekali lagi.

Sementara Nyai Demang masih berdiri kaku.

“Bocah slemok, kamu juga perlu menyembah sebelum masuk keratonku.”

Nyai Demang mengangkat hidungnya tinggi-tinggi. Dipanggil dengan sebutan
bocah slemok, yang artinya anak yang gemuk menggemaskan, hati wanitanya
tersinggung.

Mana mungkin dirinya dipanggil sebagai bocah?

“Saya yang rendah, Upasara Wulung, dengan ini mewakili menyampaikan
hormat kepada Eyang.”

Nyai Demang mengerutkan kening. Ia tahu bahwa Upasara sangat
menghormati seseorang, apalagi lebih tua. Akan tetapi tidak seperti sekarang ini.

Kerutan di kening Nyai Demang bisa berarti pertanyaan. Apakah ada orang
yang begitu harus dihormati seperti penghormatan yang dilakukan oleh Upasara?
Yang bersedia memanggil dengan sebutan Eyang secara seketika? .,

“Itu sejak tadi telah kurasakan.

“Sayang, kenapa bocah cerdik seperti kamu kurang bisa mengenali tata krama.
Bukankah ini terakhir kali kamu bisa memberi hormat kepada aku yang sudah bakal
pergi ke alam baka?”

Kini Nyai Demang seperti disadarkan bahwa ia bertemu tokoh sakti yang
ganjil sekali. Setelah munculnya Kiai Sambartaka, Naga Nareswara, Kama Kangkam,
dan Ratu Ayu, bukan tidak mungkin tokoh yang setara masih bisa muncul seketika.

“Menghormat hanyalah sekadar membungkukkan badan dan merangkapkan
tangan. Apa susahnya?

“Sebelum tahu kepada siapa saya harus menghormat, buat apa susah-susah
menyembah.”

“Jawaban yang bagus. Kalian pasangan yang tak ada tandingannya. Dari
Berune aku datang, tak percuma bisa bertemu dengan pewaris darah ksatria Singasari.


“Mati pun aku tak begitu menyesal sekarang ini.”

Tri Parwa, Tiga Buku Utama

NYAI DEMANG merasakan suara kesakitan yang amat memedihkan. Sedikit keluhan
yang tak tertahankan.

Bersama Upasara, segera masuk ke dalam gubuk.

Apa yang disaksikan membuatnya menatap tak berkedip. Gubuk yang didiami
Kakek dari Berune tidak mirip rumah atau kamar yang biasa dihuni. Banyak debu
menempel di tiang, di balai-balai. Seakan memang tak pernah ada yang menyentuh.

Di ruang tengah seorang kakek yang sangat tua wajahnya, kurus kering,
bernapas satu-satu. Matanya seperti mendelik, rambutnya panjang tetapi jarang.

Engahan napas itu yang membuat hati Nyai Demang seperti tercakar. Pilu.

Spontan Nyai Demang bergerak untuk menolong, akan tetapi tangan Upasara
bergerak menahan. Nyai Demang tertahan geraknya.

Tak ada yang bergerak.

Tidak juga Kakek Berune yang bernapas terengah-engah, dadanya naik-turun,
tersengal-sengal.

Aneh, Nyai Demang tidak membayangkan bakal bertemu dengan tubuh tua
yang susah bernapas. Baru saja ia mendengar kidungan yang dilantunkan tenaga
dalam sangat kuat. Baru saja terdengar pembicaraan yang tangkas dan seolah mengerti
banyak hal. Akan tetapi ketika masuk menemukan seseorang yang sangat tua dan
kelihatan sangat menderita, sedang sekarat.

Dalam pandangan Nyai Demang, yang luar biasa justru Upasara Wulung.
Dengan segera, Upasara bisa membaca dengan siapa ia berbicara. Begitu menghormat,
begitu cepat mengetahui dengan siapa ia berhadapan.

Nyai Demang yakin, bahwa Upasara belum tentu tahu pasti di mana letak
tlatah Berune. Tapi itu tak menghalangi dan mengurangi ketajaman pandangan.

Barangkali inilah bedanya.


Nyai Demang merasa mempunyai pengetahuan yang luas. Dengan satu kata
saja ia bisa mengenali dan menjelaskan di mana tanah Berune. Sebuah keraton kecil di
ujung utara. Dalam kitab-kitab yang dibaca, Keraton Berune adalah wilayah luas yang
subur, akan tetapi ksatrianya cukup tinggi ilmunya. Bersama dengan Keraton Balineo,
dua tata pemerintahan itu termasuk wilayah besar Keraton Singasari. Kalau tidak
keliru, dua wilayah itu di bawah tata pengaturan Keraton Sukadana di tlatah
Karimata.

Namun ternyata pengertian-pengertian seperti itu tak membuatnya arif. Justru
Upasara yang menangkap arti sebenarnya dari kehadiran seorang yang sangat tua,
menderita.

Pendekatan kemanusiaan Upasara jauh lebih mengena.

Toh pada akhirnya, dari mana asal-usulnya, tak berarti banyak kalau ingin
berkenalan dan menolong.

Kalau sekarang ini Upasara berdiam diri, bukannya tak mau bergerak
menolong. Sekadar memindahkan ke tempat yang lebih bersih ataupun membantu
pernapasan, sangat mudah dilakukan. Akan tetapi agaknya Upasara tak perlu turun
tangan. Karena ketajaman pandang bahwa penderitaan yang sedang ditanggung
Kakek Berune ini penderitaan karena pengaturan napas. Yang tidak bisa sembarangan
dimasuki oleh orang lain.

Apalagi tadi disebut-sebut dari Berune. Yang bisa saja terjadi kekeliruan
sewaktu ingin membantu.

Dan ini semua diketahui oleh Upasara dalam sekejap. Dalam perjalanan.

Sungguh kemajuan tenaga dalam yang luar biasa.

Rasanya Nyai Demang masih mengenali Upasara yang menjadi murid utama
Ngabehi Pandu. Gagah perkasa, akan tetapi tidak setinggi dan sedalam ini. Tidak
sampai tingkatan yang begitu dalam.

Engahan napas berakhir.

Nyai Demang melihat bahwa keringat membasahi seluruh wajah dan dada
yang kurus kering.

“Tidak jadi lagi.


“Setiap kali mau mati, urung lagi. Padahal aku, Kebo tua ini, sudah ikhlas.
Semua temanku sudah enak-enak di alam sana, sementara aku masih menderita
begini.

“Benarkah kamu lelananging jagat? Bagaimana kabar Eyang Sepuh sekarang
ini? Bagaimana kabar Mpu Raganata? Apa betul ia telah berkumpul dengan bidadari?
Bagaimana dengan Paman Sepuh Bintulu? Apa betul wajahnya sekarang lebih jelek
dari aku?

“Ceritakan dengan cepat. Sebentar lagi aku akan mati.”

Upasara menyembah hormat.

“Saya Upasara Wulung, sekarang berdiam di Perguruan Awan tempat Eyang

Sepuh menunggui hutan dan awan. Memang benar ada pertemuan besar di Trowulan.
Akan tetapi sesungguhnya tidak ada pemberian gelar lelananging jagat.”

“Istrimu menarik sekali.

“Sayang aku sudah tua dan mau mati.”

Wajah Nyai Demang berubah keruh. Kalimat-kalimat Kebo Berune masih
tetap membuat daun telinga sangat panas. Betapa tidak. Sejak pertama bertemu, sudah
memanggil dengan bocah slemok. Kini memuji kecantikan tubuh, dengan tambahan
dirinya sudah tua dan mau mati.

Memangnya kalau masih muda mau…

“Kakek Berune… Jauh-jauh Kakek datang hanya untuk menunjukkan diri

masih punya pikiran kotor?”

Kebo Berune menyeringai.

Tubuhnya tetap tak bergerak. Tergeletak.

“Kami bersahabat, sebagai sesama penghuni Perguruan Awan.”

Suara Upasara membuat Kebo Berune berdecak.

“Kawini saja.


“Lima puluh tahun lagi, pada pertemuan besar, kalian sudah punya keturunan
yang bakal menyelamatkan pertarungan besar di Trowulan.

“Berarti Singasari tetap yang paling murni dan besar. Sungguh menyenangkan.
Sayang, Baginda Raja Sri Kertanegara tak menyaksikan kebesaran ini.”

Nyai Demang menggenggam tangannya yang basah oleh keringat.

“Apakah Kakek termasuk senopati Singasari yang dikirim ke tanah Berune,
seperti halnya Senopati Kebo Anabrang?”

“Siapa itu Anabrang?”

“Senopati yang dikirim ke tlatah Melayu.”

“Aku cuma mengenal senopati yang ternama. Kalau yang kecil-kecil, mana
mungkin aku mengenalnya? Bisa jadi mereka mengenal aku dengan baik.

“Cepat kalian ceritakan yang pokok. Singkat saja, sebelum aku mati.”

Upasara menyembah dan menceritakan jalannya pertarungan di Trowulan.
Kebo Berune mendengarkan sambil memejamkan matanya.

“Kalau benar begitu, Paman Sepuh Bintulu sudah mati. Sayang aku belum
sempat mengejek wajahnya yang jelek. Ia dulu paling sombong…”

Sampai di sini Nyai Demang tak bisa menahan rasa gelinya. Jelas Kebo Berune
ini yang angkuh dan tinggi hati dengan mengatakan tak mengenal Kebo Anabrang,
masih juga bisa menilai orang lain yang sombong.

“…Bintulu merasa paling gagah. Paling tampan. Hmmm, tak tahunya jadi
paling jelek dan menyembunyikan wajahnya. Tapi ia bisa menciptakan Bantala Parwa
dengan baik.

“Berarti tugas selesai.

“Bintulu, kamu pasti tertawa-tawa di sana dan balik menertawakan aku. Iya,
kan? Aku bisa merasakan. Tapi tunggulah sebentar lagi. Aku akan bertemu denganmu
di sana.”


“Jadi benar bahwa Bantala Parwa ditulis oleh Paman Sepuh Bintulu?”
“Siapa lagi yang rajin menulis seperti Bintulu?
“Sejak dulu ia begitu. Ia selalu berpikir bahwa yang menguasai jagat ini adalah


ilmu silat. Bukan pengetahuan mengenai ketatanegaraan yang ditekuni Raganata. Juga
bukan omongan dan pikiran yang melayang seperti yang dikatakan Bejujag.”

“Bejujag?”

Nada tanya Nyai Demang mendapat anggukan dari Upasara yang kemudian
berbisik, bahwa Bejujag adalah nama panggilan buat Eyang Sepuh.

Kalau sekarang Kebo Berune menyebutkan juga nama itu, berarti Kebo Berune
hidup pada zaman yang sama.

“Kakek mengenal Eyang Sepuh secara langsung?”

“Apa untungnya? Apa istimewanya? .,

“Bejujag, Bintulu, Raganata tak berbeda jauh dengan aku. Hanya saja mereka
yang sejak dahulu diakui. Terutama Bejujag itu. Ia yang berhasil mengundang para
ksatria seluruh jagat untuk berkumpul setiap lima puluh tahun.

“Di seluruh tanah Jawa ini hanya diakui ada Tri Parwa Utama. Hanya ada Tiga
Kitab Utama. Aku tak pernah diperhitungkan.

“Ini kesalahan terbesar sejarah. Tapi aku tak bisa membuktikan kesalahan itu,
karena kau tak bisa datang di Trowulan. Dan aku akan mati sebentar lagi.

“Jadi ada benarnya, hanya ada Tiga Kitab Utama!’

“Tiga? Sejauh ini kamu hanya mendengar Bantala Parwa.”

Kebo Berune menggelengkan kepalanya.

“Raganata juga membuat kitab mengenai tata pemerintahan, Nagara Parwa.
Tapi mana kamu tahu. Itu hanya diperuntukkan Baginda Raja Sri Kertanegara yang
tanpa tanding. Sedangkan Bejujag juga menulis kitab yang setiap kali ditulis kembali.
Aku tak pernah mengerti, karena setiap kali klika yang dikirimkan selalu berubah.”


Kidung Paminggir

BAGI Upasara, keterangan Eyang Kebo Berune melengkapi apa yang selama ini
sedikit-banyak telah diketahui, secara sepotong-sepotong.

Seperti diketahui, selama ini Upasara merasa gelap mengenai asal-usul
Perguruan Awan. Apalagi mengenai tokoh sepuh, pujaan seluruh ksatria, yaitu Eyang
Sepuh.

Barulah ketika bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu, gambaran masa
lalu itu sedikit terbentuk.

Kini menjadi lebih sempurna dengan penjelasan Eyang Kebo Berune.

Pada masa lima puluh tahun yang lalu, di tanah Jawa ada tiga ksatria muda
yang telah mengukir nama dalam dunia persilatan. Ketiga ksatria muda itu di
belakang hari dikenal sebagai Eyang Sepuh, Paman Sepuh, dan Mpu Raganata. Ketiga
ksatria inilah yang mendapat kepercayaan utama dari Baginda Sri Kertanegara untuk
mengembangkan ilmu silat yang ada.

Payung kebesaran Baginda Raja bukan hanya menyatukan mereka bertiga,
akan tetapi juga memberi kelonggaran kepada masing-masing untuk mengembangkan
kemampuannya sendiri-sendiri. Paman Sepuh yang kemudian memilih untuk
menekuni ilmu silat dan akhirnya berhasil menuliskan Kitab Bumi. Dengan kelebihan
ilmu dan kawicaksanan yang luar biasa, Paman Sepuh mampu mengumpulkan
berbagai sari ilmu kanuragan yang ada.

Sebaliknya Mpu Raganata lebih memusatkan diri untuk menuliskan berbagai
tata cara penyelenggaraan Keraton. Baik mengenai hubungan di dalam yaitu
peraturan dan tata krama, maupun mengenai hubungan ke luar dengan keratonkeraton
yang lain. Sementara Eyang Sepuh mengerahkan seluruh kemampuannya
dalam ilmu silat yang lebih murni.

Ketiga ksatria perkasa ini sambil bertukar pikiran, lewat tulisan dari klika,
memberitahukan apa yang dialami satu sama lain. Jurus-jurus, cara melatih
pernapasan, maupun tata krama yang kemudian dijadikan perundangan, boleh
dikatakan melalui ketiga ksatria yang berangsur-angsur juga bertambah usianya.

Dari sisi ini, Upasara bisa memahami kebesaran dan jiwa luhur Baginda Raja.
Yang mampu menanamkan benih-benih kebesaran negara di atas segalanya. Dalam


suasana pertentangan yang mungkin saja terjadi, ketiga ksatria masih selalu
berhubungan dan memberikan hasil yang terbaik dari pencariannya selama ini.

Dan kalau dihubungkan dengan senopati yang lain lagi, bukan hanya mereka
bertiga yang saling bertukar pikiran dan mendapatkan hasilnya. Melainkan juga para
senopati utama. Tak peduli di mana pun berada.

Dengan demikian segala kemajuan dan pengetahuan yang diperoleh bisa
diteruskan kepada yang lain. Tanpa perasaan iri atau mau menang sendiri.

Sungguh dalam hal seperti ini Baginda Raja Sri Kertanegara mengungguli
pemikiran lain yang ada. Mampu menanamkan kebesaran dalam kebersamaan.

Bukan hanya Kebo Berune yang tetap memakai nama itu, melainkan juga
Maha Singanada, ataupun Maha Singa Marutma, atau Kebo Anabrang, atau yang lain
lagi.

Keunggulan Paman Sepuh Dodot Bintulu dalam merampungkan Kitab Bumi
tidak hanya untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk kebesaran Keraton Singasari.

Untuk tanah tumpah darah di mana ksatria Singasari lahir dan dibesarkan.

Upasara sadar bahwa di samping ketiga ksatria muda itu, banyak yang lainnya.
Salah seorang di antaranya adalah Eyang Kebo Berune. Yang bukan hanya hidup
sezaman, melainkan juga merupakan suatu bagian yang saling bertukar pikiran.

Nama Kebo Berune lebih menunjukkan bahwa kebo adalah simbol nama yang
dipakai di zaman Baginda Raja, sementara Berune menunjukkan tanah di mana panjipanji
Singasari dikibarkan.

Salah satu keelokan yang ditunjukkan oleh Eyang Sepuh ialah bahwa
kehadirannya mampu memancing kedatangan para pendekar seluruh jagat. Untuk
bertemu setiap lima puluh tahun. Sesuatu yang tak mungkin terjadi tanpa
perlindungan sepenuhnya dari Baginda Raja.

Bahkan ini termasuk salah satu kebijaksanaan Baginda Raja, menjadi
penyelenggara pertemuan sejati para pendekar utama.

Ini pula yang membuat Eyang Kebo Berune datang kembali ke tanah Jawa dari
pengembaraannya di negeri asing.


Nyai Demang tak terlalu paham. Akan tetapi bisa merasakan, bahwa pada
masanya Kakek Kebo Berune ini boleh dikatakan sejajar dengan tiga tokoh utama.
Hanya, barangkali saja, perjalanan hidupnya yang berbeda. Setidaknya kalau dilihat
dari penyesalan yang masih tersisa dari kata-kata Kakek Kebo Berune.

Nyai Demang jadi lebih menghormat dalam hati. Kalau kakek tua yang hanya
bisa berbaring ini sangat ketus, bisa dimengerti. Dalam dunia persilatan, tokoh yang
sakti memang biasa mempunyai tabiat yang berbeda dari kebanyakan orang. Makin
aneh kadang makin menandakan kesaktiannya.

Kalau masih ada yang mengganjal dalam hati Nyai Demang, itu adalah
sejumlah kecil pertanyaan. Apa yang menyebabkan Kakek Kebo Berune ini menderita
penyakit yang begitu parah, sehingga setiap kali menyebut ajalnya sudah dekat? Siapa
yang mampu merontokkan tenaga dalam yang masih begitu sempurna? Siapa lagi
tokoh yang lebih sakti itu?

Rasa penasaran yang lebih membuat tak bisa menahan rasa ingin tahunya ialah
mengenai adanya Tiga Kitab Utama. Selama ini Nyai Demang merasa sudah membaca
hampir semua kitab pusaka yang ada. Bahkan lebih dari itu, juga dalam berbagai
bahasa lain.

Akan tetapi selama ini tak pernah mengetahui bahwa Eyang Sepuh ternyata
juga menulis!

Seperti apa pula itu?

“Apa betul Eyang Sepuh juga menulis kitab pusaka?”

“Pusaka atau tidak, mana aku tahu?

“Bejujag itu selalu mengganti setiap kali. Akhirnya ia tak mau menuliskan lagi
ilmu silat atau latihan pernapasan. Ia lebih suka melamun. Aku pernah membaca
sebagian kidung lamunan untuk menyenangkan nyamuk dan menggelisahkan Raja.

“Bejujag itu memang licik, licin, pandai, cerdik untuk selalu mencari
perhatian.”

“Apakah Eyang Berune mengetahui nama kitab yang ditulis Eyang Sepuh?”

Tubuh yang tergeletak itu tetap tak bergerak.


Perubahannya hanya terlihat di bibirnya. Sedikit mengejek.
“Kamu akan kecewa. Bejujag itu cuma cari nama.
“Kitab yang ditulisnya tak lebih dari coretan anak-anak di pinggir sungai. Jauh


di bawah kemampuan Bintulu yang dengan tegar dan gagah mampu menulis Kitab
Bumi. Jauh di bawah kemampuan Raganata yang menulis Kitab Negara. Baik Bantala
Parwa maupun Negara Parwa tak bisa disamai. Hanya disamai saja tak mungkin.

“Tapi Bejujag pintar, cerdik, nasibnya baik, dihormati, dipuja, disembah. Sejak
dulu Baginda Raja selalu terkesima dengan kepandaian Bejujag bertutur kata.

“Dan Bejujag itu selalu bisa menarik perhatian dunia. Ksatria seluruh jagat
merasa terhormat memenuhi undangannya. Akan lain kalau yang mengundang
Bintulu, atau bahkan Raganata sekalipun!

“Padahal Bejujag itu hanya menulis beberapa bait kidungan yang paling
kampungan.”

Nyai Demang tak bisa menahan diri.

“Apakah itu termasuk ‘bait yang tak terbaca di hati’? Rasanya…”

Napas Eyang Kebo Berune berangsur tenang.

Membaik.

Wajahnya, sedikit lebih bersemangat.

“Itulah kelebihannya. Bait atau huruf yang dipakai selalu menjadi lebih
terkenal. Bahkan Kitab Bumi pun dianggap sebagian atau seluruh ksatria sebagai hasil
karya Bejujag. Bahkan ketika Bejujag mengatakan bahwa bukan ia yang menciptakan,
tak ada yang percaya.

“Kalau bukan nasib baik, apa lagi namanya?”

“Eyang, apa nama kitab pusaka itu?”

“Lupakan.

“Itu bukan kitab. Apalagi pusaka.


“Itu hanya merupakan beberapa baris kidungan, yang dinamai Kidung
Paminggir. Entahlah kalau sekarang sudah diganti lagi.

“Ah, aku tahu. Bejujag tak berani muncul karena takut ketahuan belangnya.
Makanya ia menyembunyikan diri. Kalau tidak, ia pasti tahu aku di sini.

“Bejujag, Bejujag!

“Sampai kapan kamu dipuja?”

Meskipun meragukan, tak ada rasa dendam dalam nada ucapannya.

“Kamu akan kecewa, kalau sudah membaca tulisannya. Aku lebih kecewa,
karena aku tahu persis ia main-main. Ia mempermainkan aku, mempermainkan
Bintulu dan Raganata. Mempermainkan seluruh ksatria sejagat.

“Dan ia menikmati.

“Aha, apakah tidak ada yang lebih ajaib dari hal ini? Bahkan kamu pun tahu
‘bait yang tak terbaca di hati’. Kalau ia berani muncul, akan aku telanjangi ia di sini,
memaksanya meminta ampun dan menjilati kakiku, dan aku tak memperbolehkan.

“Biar tahu rasa.”
Pukulan Pu-Ni
NYAI DEMANG, yang merasa begitu tulus menghormat pada Eyang Sepuh,

merinding kulitnya.

Baru sekarang ia mendengar sendiri, seorang kakek yang terbaring dan sedang
sekarat mencaci Eyang Sepuh dengan kata hinaan yang keterlaluan.

“Bisa jadi Eyang Sepuh menulis kitab yang hanya bisa dimengerti oleh mereka

yang telah sampai pada tingkat tinggi.”

“Salah.

“Keliru.


“Itu selalu jalan pikiran orang lain. Tapi aku tak pernah bisa dikibuli. Aku tahu
persis siapa dia.

“Upasara, coba kamu mainkan dasar-dasar Kitab Bumi. Aku ingin
menyaksikan sebentar.”

Upasara memberi hormat.

Lalu berdiri, dengan kaki sedikit mengangkang. Mulailah ia memainkan
dengan cepat, Dua Belas Jurus Nujum Bintang secara penuh, kemudian disusul dengan
Delapan Jurus Penolak Bumi. Kemampuan Upasara dengan pengaturan tenaga dalam
membuat Nyai Demang makin bertambah rasa kagumnya.

Getaran tenaga dari seluruh kulit Upasara mampu menggerakkan debu dan
abu dalam rumah, akan tetapi setelah selesai memainkan, debu dan abu itu seperti
tertumpuk di tempatnya semula!

Seperti tak pernah ada angin sebelumnya.

Namun, Eyang Kebo Berune sama sekali tak menoleh. Tetap tergeletak
memandang langit-langit. Melirik pun tidak.

Yang membuat Nyai Demang heran, justru karena tanpa melirik pun Eyang
Kebo Berune bisa mengetahui apa yang dimainkan Upasara.

“Dasar-dasar ilmu Kitab Bumi itu masih saja seperti yang ditulis oleh Bintulu.
Hanya delapan jurus terakhir itu dikembangkan sedikit oleh Bejujag. Apa itu yang
disebut-sebut sebagai Tepukan Satu Tangan?”

“Pandangan Eyang sangat tepat.”

“Hebat. Sekali lagi aku harus memuji Bejujag itu. Bintulu yang susah payah
menemukan, dengan satu polesan saja menjadi Tepukan Satu Tangan yang seolah
ciptaan Bejujag.

“Tapi ada apa dengan tangan kananmu?

“Bagaimana kamu bisa menjadi lelananging jagat dengan tangan lumpuh
seperti itu?”


Upasara menjelaskan bahwa tangan kanannya masih kaku digerakkan,
meskipun tidak selalu mengganggu, karena pukulan dari Halayudha.

“Siapa Halayudha?

“Halayudha atau Bintulu?”

“Besar kemungkinan murid yang mencelakakan Paman Sepuh Dodot Bintulu.”

“Nah, berarti jelas sekali sekarang ini.

“Ilmu yang dipuji seluruh jagat, yang membuat semua pendekar sejati kelas
utama datang ke tanah Jawa ini, bisa dikalahkan. Tepukan Satu Tangan yang hebat itu
bisa dipatahkan oleh Bintulu. Berarti ia sudah berhasil memecahkan rahasia ciptaan
Bejujag!

“Bintulu, akhirnya kamu yang paling perkasa juga.”

Pujian yang terdengar menggeletar.

Upasara seperti disadarkan bahwa dalam banyak hal, Halayudha memiliki ilmu

yang sakti mandraguna. Ilmu sakti sejati, yang bisa mematahkan ciptaan Eyang Sepuh.

Pada penguasaan yang sempurna, benar-benar merupakan maha malapetaka di
belakang hari.

Baru sekarang terjawab, kenapa Upasara bisa dilumpuhkan oleh pukulan

Halayudha.

“Upasara, apakah kamu juga murid Bintulu?”

“Saya tak berani mengaku.

“Sebagian yang saya pelajari adalah dari Kitab Bumi yang ternyata ciptaan

besar Paman Sepuh Dodot Bintulu.”

“Bukan, bukan itu.

“Apa yang kamu mainkan sepenuhnya Kitab Bumi yang sudah disempurnakan
Bejujag. Terutama sekali dalam Delapan Jurus Penolak Bumi. Itu tak perlu diragukan
lagi.


“Akan tetapi tarikan napasmu, adalah murni dari dasar yang diajarkan
Bintulu.”

Upasara menyembah hormat.

Menjelaskan bahwa ia pernah menghancurkan tenaga dalamnya. Dalam
perjalanan kemudian, bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang
mengajarkan cara-cara memanggil kembali yang tersimpan, sehingga kekuatannya
pulih kembali.

“Mungkin ini jawabannya.”

“Bukan mungkin. Memang begitu.

“Kalau begitu bisa bahaya.”

Nyai Demang yang berkeringat.

“Bahaya?”

“Kalau kamu menyebut bahaya, cah slemok.”

“Di mana bahayanya?”

“Seperti aku ini.

“Terbaring seperti ini. Karena pertarungan antara kekuatan tenaga dalam.
Berganti-ganti aku mempelajari apa yang ditulis Bintulu dan Bejujag, sehingga
akhirnya seperti ini.

“Aku mempunyai ilmu yang kuberi nama Pukulan Pu-Ni. Nama ini untuk
mengingatkan bahwa pukulan ini benar-benar tercipta di tanah Pu-Ni atau Beruni
atau Brunei, atau Barune, atau Berune, tergantung lidah kamu mau bilang apa.

“Pukulan ini, demi Dewa, seperti Tepukan Satu Tangan. Akan tetapi ternyata
tenaga murni yang kumiliki dasarnya berbeda. Waktu aku seusia kamu, hal ini tak
terasakan. Sekarang baru terasakan akibatnya.

“Aku sengaja datang untuk memberitahu Bejujag. Bahwa keduanya adalah
manusia paling terkutuk di jagat ini. Bahwa persaingan keduanya menghancurkanku.”


“Kenapa Kakek selalu mendendam pada mereka yang terhormat?”

Pertanyaan Nyai Demang membuat sorot mata Eyang Kebo Berune menatap
langit-langit lebih keras.

“Kamu akan begitu juga, kalau mengetahui kekasihmu ini hanya bisa berbaring
seperti aku, dan susah mati.”

Nyai Demang bergidik.

Apa yang dikatakan Eyang Kebo Berune merobek seluruh angan-angannya.
Bukan karena disebutnya Upasara sebagai “kekasih”, melainkan karena keadaan
Eyang Kebo Berune yang mengenaskan.

Seperti sekarang ini!

Bukan oleh lawan, melainkan oleh dirinya sendiri.

Benarkah Upasara akan mengalami keadaan sekarat seperti ini? Dan ini karena
persaingan antara Paman Sepuh dan Eyang Sepuh?

“Mereka berdua sengaja memberikan ilmu silat dan cara pernapasan yang
bertentangan. Agar dipelajari dan masing-masing pastilah berpikir yang lainnya akan
rontok dan hancur. Celakanya, justru akulah yang terkena.

“Upasara, seharusnya kamu bisa membaca bahwa pengerahan tenaga tumbal
adalah penyerahan. Yang berarti kerelaan. Kerelaan yang… apakah kalau menderita
seperti ini juga harus rela?

“Nah, apakah kalian masih mau mengatakan aku jahat dengan memaki
Bejujag?
“Siapa yang paling jahat?

“Aku, yang memilih menjadi prajurit dan dikirim ke tanah seberang? Ataukah
Bintulu yang merasa dirinya paling tampan dan perkasa? Ataukah Raganata yang
ingin menikmati kebesaran duniawi dengan mengabdi kepada Baginda Raja? Ataukah
Bejujag yang secara sengaja menuliskan lamunan untuk menjungkirbalikkan
ketenteraman? Ataukah Pulangsih yang menggoda itu?”

Kini, Nyai Demang bisa menangkap lebih luas daripada Upasara Wulung.


Cepat sekali jalan pikiran Nyai Demang berkembang ke arah masa yang
diceritakan Kakek Kebo Berune. Bahwa pada masa-masa itu ada tiga ksatria muda
yang mempunyai nama besar. Di samping mereka ada juga seorang ksatria yang
menjadi senopati, dan kemudian sesuai dengan sebutannya, dikenal sebagai Kebo
Berune.

Ini ternyata belum semuanya. Masih ada satu lagi yang disebut dengan nama
Pulangsih. Entah siapa tokoh yang satu ini, dengan kesaktian seperti apa pula.

Yang jelas, sebutan nama itu menunjukkan adanya dendam atau kemarahan,
penyesalan, tetapi juga kegeraman yang berhubungan dengan asmara.

Pulangsih bisa berarti nama seorang wanita, akan tetapi juga bisa berarti
kumpul asmara. Bermain asmara.

Nyai Demang bisa mengetahui bahwa tokoh wanita yang satu lagi tidak
bernama Pulangsih. Nama itu lebih menunjukkan julukan yang akrab bagi mereka.
Seperti halnya menyebut Eyang Sepuh dengan Bejujag atau si Kurang Ajar.

Sangat mungkin sekali, di masa mudanya Eyang Sepuh di antara sebayanya
dikenal sebagai kurang ajar. Dan nama Pulangsih diberikan karena keempat ksatria ini
sama-sama terlibat daya asmara.

Siapa pun orangnya yang disebut Pulangsih ini pasti luar biasa.

Kalau tidak, mana mungkin keempat ksatria yang perkasa pada zamannya
memperebutkan?

“Kakek Kebo Berune, di manakah Eyang Putri Pulangsih sekarang ini?”

Tak ada jawaban.

Hanya dada kakek tua yang tergeletak tanpa gerak itu jadi turun-naik dengan
cepat. Napasnya tersengal-sengal.

“Rasanya aku mati sekarang ini.”

Kidung Paminggir, Pupuh Pertama

TUBUH kakek tua itu tergetar hebat.


Tanpa suara gigi gemeretuk.

Tanpa gerak. Hanya dengus napasnya tak teratur. Makin lama makin cepat,
bergejolak. Nyai Demang memandang ke arah Upasara. Namun Upasara hanya

menunduk tak memperlihatkan reaksi.

“Kakek sedang lelaku…”

Lelaku adalah istilah yang lebih halus dan menghormat daripada sekarat.

Intinya sama saja. Menjelang ajal. Biasanya ditandai dengan tarikan napas yang makin
lama makin cepat, tersengal.

Walau ilmu tenaga dalam Nyai Demang tidak sangat istimewa, akan tetapi
cukup bisa merasakan betapa gawatnya keadaan.

Nyai Demang tak bisa berdiam diri.

Hatinya tidak tega melihat lelaki tua yang menderita sendirian itu. Tangannya
terulur ingin menenangkan. Ingin melakukan sesuatu yang bisa, sedikitnya,
memperingan penderitaan. Tubuhnya maju ke depan.

Satu jari dari tubuh Kebo Berune, Nyai Demang menjerit.

Tubuhnya tertekuk, kedua kakinya mendadak lemas. Ada sengatan tenaga

yang menghantam ke ulu hatinya. Bagai kena sentakan halilintar.

Sungguh tak dinyana tak diduga.

Dari tubuh yang kering kerontang tergeletak tanpa gerak ini bisa mengalirkan

tenaga yang begitu kuat.

Nyai Demang memegangi perutnya. Rasa mual dari ulu hati tak bisa ditahan.

Saat itu tangan Upasara menyentuh.

Dan mendadak Upasara menarik tangannya. Terasakan sentakan yang keras,

bagai gelombang tenaga yang sangat tipis menyusup.


Berbeda dengan Nyai Demang yang terhuyung-huyung, Upasara tetap berdiri
kukuh. Malah lalu merangkap kedua tangan, menggosok telapak tangan dengan
gerakan kaku karena tangan kanannya belum sempurna.

Lalu satu tangan maju mendekat ke arah tubuh Nyai Demang.

Mendekat.

Lekat.

Dan ditarik kembali.

Nyai Demang mengaduh. Tubuhnya terkulai.

Upasara mengulang kembali setelah memusatkan seluruh pikirannya. Kini,
lebih jelas bahwa tenaga yang bergolak dalam tubuh Nyai Demang adalah tenaga yang
kelihatan bertentangan, bertarung satu sama lain. Sentuhan tangan Upasara
mengalirkan tenaga yang terbendung itu.

Ini yang tadi dirasakan oleh Nyai Demang ketika menyentuh tubuh Eyang
Kebo Berune.

Sentuhan kedua, masih terasakan getaran yang kuat. Upasara mencoba
menolak, akan tetapi tubuh Nyai Demang jadi berkelojotan dan mengeluarkan
rintihan memelas.

Terpaksa tenaga yang bergolak dari tubuh Nyai Demang diserap, sehingga
Upasara merasakan getaran yang dahsyat di ulu hatinya.

Sesaat.

Tangannya dilepaskan.

Upasara memusatkan perhatian kembali. Mengumpulkan tenaga dalam, dan
menjajal kembali.

Di luar dugaannya, tenaga bergolak dalam diri Nyai Demang masih tetap kuat
menyerang. Dan setiap kali Upasara berusaha menggempur, badan Nyai Demang
bergoyang tak tahan.

Ini hebat!


Bisa dibayangkan pergolakan tenaga dalam yang luar biasa dalam tubuh Eyang
Kebo Berune. Pasti jauh berlipat ganda dari yang sekarang sedang mengamuk dalam
tubuh Nyai Demang.

Mengejutkan.

Upasara cukup pengalaman dalam soal olah pernapasan dan latihan tenaga
dalam. Boleh dikatakan unsur-unsur yang sejati dalam cara melatih pernapasan sangat
dikuasai. Dengan Kitab Bumi sebagai sumber utama, Upasara tumbuh sebagai ksatria
yang bisa disejajarkan dengan pendekar-pendekar berusia lanjut.

Lebih menguntungkan lagi, justru pada usia masih muda Upasara sempat
menjajal dengan berbagai pertarungan yang penting dan menentukan.

Akan tetapi, tenaga bergolak dari tubuh Nyai Demang tetap menimbulkan
teka-teki baginya.

Karena agaknya tenaga dalam Nyai Demang seperti terkuras untuk meletup ke
luar. Kalau tidak akan menggerogoti kekuatannya sendiri. Seakan butuh penyaluran.

Bahayanya, jika tenaga itu didorong atau dilawan, tubuh Nyai Demang yang
termakan, yang menjadi korban.

Dengan kata lain, semacam tenaga bebas yang bergerak dan bisa menghantam
apa saja.

Sejak pertama kali, Upasara telah mengetahui ada sesuatu yang luar biasa
dalam diri Eyang Kebo Berune. Itu sebabnya ia menyabarkan diri untuk tidak
bertindak sembrono. Hal itu yang juga diisyaratkan pada Nyai Demang.

Hanya saja pada saat terakhir, Nyai Demang merasa tidak tahan.

Ia menyentuh tubuh Eyang Kebo Berune.

Akibatnya cukup gawat.

Kini Upasara sendirian. Eyang Kebo Berune masih tetap tak bergerak,
sementara Nyai Demang juga mengalami nasib yang sama. Kini saatnya bergerak
untuk melakukan sesuatu.


Upasara pernah mengalami kejadian yang kurang-lebih sama. Yaitu saat di
mana Gendhuk Tri terkena hawa racun yang luar biasa. Sehingga seluruh tubuhnya
dialiri racun berbisa. Siapa yang tercakar, tenaga racun dalam tubuh Gendhuk Tri
akan merembes masuk ke arah lawan.

Sangat berbahaya, karena ini berarti maut.

Bahkan jenis binatang berbisa tak berani mendekati tubuh Gendhuk Tri.
Waktu itu Upasara bisa menyembuhkan dengan cara memberikan tenaga dalamnya
untuk mengusir hawa racun. Ini bedanya.

Sekarang ini kalau Upasara akan memberikan tenaga dalamnya, belum tentu
berhasil. Karena tenaga dalam yang bergolak tak bisa dijinakkan. Dipaksa keluar
dengan perlawanan, akibatnya membahayakan si penderita. Sementara kalau
diterima, pengalihan tenaga bergolak ini rasanya tak berkurang. Nyai Demang masih
tetap menderita, dan dirinya sendiri diamuk tenaga perlawanan.

Tenaga sesat yang menjadi korban lebih banyak.

Upasara mencoba lagi. Kali ini berdiri tegak, dengan kedua kaki mengangkang.
Tangan tertekuk di pusar. Perlahan kedua tangan bergerak ke atas, dengan siku
mundur. Telapak tangan menghadap ke atas, bergerak naik.

Seiring dengan tarikan napas yang dalam. Lewat ujung hidung, masuk ke
dalam otak di kepala, lalu turun ke belakang lewat sumsum tulang belakang, dan
dikumpulkan di bagian pusar.

Sementara kedua tangannya bergerak perlahan ke depan, mendorong.

Perlahan, dengan tangan kiri lebih mengarah, mendahului tangan kanan.
Bersama dengan embusan napas yang sudah ditahan sebisa mungkin di pusar.

Napas Bumi!

Tubuh Nyai Demang bergetar. Gejolak tenaga dalam menembus ke dalam
tubuh Upasara lewat tangan Upasara. Yang untuk sementara melekat erat.

Upasara menampung sekuat mungkin.

Baru kemudian melepaskan dan melampiaskan tenaga yang bergolak ke arah
luar.


Terdengar gejolak keras.

Pohon-pohon di luar rumah bergoyangan dan roboh. Gubuk itu sendiri
bergerak, seolah jebol dari dasarnya.

Sesaat Upasara menahan diri, merasakan sisa-sisa serangan tenaga Nyai

Demang.

“Apakah lebih baik, Mbakyu Demang?”

“Ya.”

“Kalau begitu akan saya coba lagi.

“Mbakyu jangan melawan. Biarkan saja.”

Upasara bersiap lagi.

“Percuma.

“Kamu akan mati kelelahan. Tenaga Pukulan Pu-Ni tak bisa dipindahkan

begitu saja.”

Upasara memandang hormat kepada Eyang Kebo Berune.

“Nyai Demang-mu itu menjadi lebih baik tubuhnya karena memang begitulah

adanya. Tenaga Pukulan Pu-Ni akan muncul dan lenyap secara mendadak. Sampai
satu saat tertentu, ia tak kuat lagi dan mati.

“Bukankah sekarang aku segar lagi?”

“Eyang Berune, saya masih terlalu dungu untuk memahami. Akan tetapi
rasanya selalu ada jalan keluarnya.”

“Bejujag mungkin tahu.

“Tapi ia tak mau mengatakan.”

Mendadak Nyai Demang menggeliat dan bangun, seperti segar kembali.


“Kakek Berune, coba katakan bagaimana bunyi kidungan yang Kakek
sebutkan. Siapa tahu kita bisa bersama-sama memecahkannya.

“Setidaknya kidungan yang pertama saja.”

“Kenapa kita tidak mati bersama tanpa penasaran? Pupuh pertama atau
terakhir, apa ada gunanya?”
Kidung Pujian bagi Baginda Raja
SEBENARNYA Nyai Demang sudah sangat merendah.

Dengan mengatakan bisa dipecahkan bersama, Nyai Demang tidak ingin
menunjukkan dirinya lebih pintar dalam menguraikan arti Kidungan Paminggir
dibandingkan Eyang Kebo Berune.

Bahkan dengan menyebutkan pupuh pertama, atau bait pertama saja, Nyai
Demang ingin mengetahui sampai sejauh mana kitab yang konon ditulis oleh Eyang
Sepuh.

Alasan yang lain bagi Nyai Demang ialah karena secara langsung Eyang Sepuh
menyebutkan hal itu dalam pertemuan dengan Upasara.

Dan selama ini, beberapa kali Nyai Demang berusaha menerjemahkan makna
kata-kata Eyang Sepuh. Dengan membolak-balik arti kidungan dalam Kitab Bumi.

Hasilnya?

Merasa bisa tapi juga ternyata bukan jawaban yang sebenarnya.

Sehingga rasa ingin tahu Nyai Demang makin menggunung.

Sebenarnya Upasara juga mempunyai keinginan yang sama. Alasannya tidak
jauh berbeda dari Nyai Demang.

Dalam Kitab Bumi, selintas bisa dibaca mengenai cara berlatih tenaga dalam,
cara mengatur pernapasan. Akan tetapi dari Kitab Bumi itu pula, dengan lirik katakata
yang sama, bisa diterjemahkan secara lain.

Bahkan kurungan bawah tanah yang berliku-liku juga bisa dipecahkan dengan
lirik-lirik Kitab Bumi!


Seperti yang telah dilakukan Dewa Maut ketika memberi petunjuk Nyai
Demang.

Seperti yang telah diusahakan Nyai Demang untuk memancing kembali tenaga
dalam Upasara yang musnah.

Seperti yang diajarkan Paman Sepuh Dodot Bintulu dalam mengembalikan
tenaga dalam Upasara Wulung.

“Eyang, barangkali ada gunanya dicoba.”

Terdengar helaan napas.

“Baik, baik. Kuakui keunggulan Bejujag itu.

“Di jagat raya ini, rasanya hanya aku yang mendengar Kidung Paminggir.
Tinggal aku yang bisa mengajarkan dusta ini. Bintulu sudah tak ada, Raganata sudah
musnah, Bejujag sendiri sudah bersembunyi sepenuhnya.

“Tinggal aku.

“Kecuali kalau Pulangsih si penggoda masih ada.

“Baik, baik. Upasara dan Nyai Demang, dengarkan baik-baik. Katakan dengan

jujur apakah aku yang membual, atau Bejujag itu yang kurang ajar.”

Sunyi sebentar.

Upasara memusatkan perhatiannya.

Nyai Demang siap mencatat kidungan di lantai yang berdebu.

KIDUNG PAMINGGIR

Pupuh pertama, rasa syukur kepada segala Dewa


yang memberkati keluhuran raja bijaksana

sembahan seluruh umat manusia

bergelar agung Baginda Raja Sri Kertanegara

tanpa cela, seumpama Dewa yang sesungguhnya

seluruh jagat terpikat mendengarnya!

Upasara masih menunggu.
Nyai Demang menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Apa kalian masih ingin mendengarkan pupuh berikutnya?”
“Hanya itu pupuh pertama?”
“Kamu kira Bejujag itu mau bersusah payah menyusun seperti Bintulu?”
Nyai Demang segera menghapus tulisan tangan di tanah.
“Nah, kalian masih beranggapan tulisan Bejujag sejajar dengan kitab yang


lain?”

“Rasanya tidak di pupuh pertama.”

Terdengar tawa halus.

“Aku lebih hafal dari Bejujag itu sendiri. Sampai pupuh kesembilan tetap tak

ada apa-apanya. Bahkan lebih membual. Tapi baiklah, Nyai, karena kamu baik hati
mau mati bersamaku, apa salahnya aku kabulkan keinginanmu?

“Sekalian menjelaskan bahwa Bejujag tak harus dipuja seperti itu. Dengar baikbaik,
catat sampai putus jarimu.”

Sunyi lagi.

Upasara kuatir jika serangan dalam tubuh Eyang Kebo Berune bergolak lagi.


Karena bisa terhenti di tengah jalan.

Untuk selamanya.

Ini adalah kesempatan yang amat langka. Bisa bertemu secara langsung dengan
tokoh yang sezaman dengan Eyang Sepuh dan mengetahui lebih banyak dari siapa
pun.

Pupuh kedua, masih atas Baginda Raja
yang lebih cendekia dari segala Dewa
Duh, Baginda, inilah kisah seorang lelaki
yang bertemu Tamu dari Seberang
memberikan takhta padanya
jadilah ia seorang raja
melahirkan anak cucu bermahkota
sampai akhir turunannya


Sampai akhirnya, adalah kisah lain
lelaki paminggir, lelaki nista dan miskin
mendengar suara, mendapat wahyu
Wahyu Paminggir
menjadi penguasa seperti Dewa
Wahyu Paminggir dimiliki oleh lelaki jelata



tanpa mahkota

Itulah saat, seluruh jagat

menatap kebesaran Keraton

Duh, Baginda Raja yang lebih bijak dari Dewa

ini bukan gempa, bukan bencana

sebab Wahyu Paminggir telah hadir

sejak sebelum dituliskan oleh si pandir!

Nyai Demang jadi ragu-ragu.
Cara Kakek Kebo Berune mengidungkan sangat kurang enak di telinga, akan


tetapi arti yang tertangkap lebih tidak enak lagi.

“Nah, kalian tahu sendiri bualan itu sekarang.

“Di saat Bintulu menyusun Kitab Bumi dengan jungkir balik, di saat Raganata

merampungkan Kitab Negara, Bejujag justru main-main dengan lamunan.

“Bukankah semua tahu bahwa dulu ada lelaki bernama Ken Arok yang naik
takhta, meskipun ia tidak dialiri darah Dewa?

“Bukankah Bejujag ingin menjelaskan lagi, bahwa kebesaran semacam itu akan
terjadi lagi?

“Bukankah Bejujag ingin mengatakan ia sangat ingin sekali memegang jabatan
itu?

“Dan ia berhasil. Berhasil mengguncangkan Keraton. Sejak itu Baginda Raja
melarang Bejujag menulis. Melarang Raganata membaca semua karyanya.”

“Jangan-jangan yang diramalkan adalah Adimas Upasara.”


“Hmmm.”

“Bukankah paminggir berarti yang tidak pernah dianggap. Berarti selir,
gundhik yang tidak resmi?

“Adimas Upasara juga ksatria yang tidak diakui resmi. Ia yang akan tampil

suatu hari nanti.

“Ya, ya, ramalan dan perhitungan yang jitu.”

“Tolol!” terdengar seruan geram Kakek Kebo Berune menanggapi ucapan Nyai

Demang. Untuk seorang tua, suara emosional begini terdengar menggelikan.

“Sangat tolol.

“Karena semua orang yang tidak berdarah turunan merasa bakal jadi pahlawan

dan penguasa besar di belakang hari. Ini meracuni jiwa. Dan semua keturunan Dewa
dibuat risau karenanya.

“Lagi pula apa istimewanya nujum seperti ini? Bisa diartikan siapa saja.”

Upasara tetap tenang.

Pikirannya lebih jernih dibandingkan Nyai Demang maupun Eyang Kebo
Berune.

“Maaf, Eyang Berune, saat apa Eyang Sepuh menyusun Kidung Paminggir itu?”

“Saat apa?

“Tiap kali, ketiga ksatria perkasa mengirimkan hasil pemikiran dan
pencariannya. Tidak saat apa-apa.”

“Apakah bukan jawaban bagi jurus-jurus yang dikemukakan oleh Paman
Sepuh Bintulu? Atau jawaban bagi Eyang Mpu Raganata? Atau justru bagi Eyang Kebo
Berune sendiri?”

“Atau bagi Eyang Putri Pulangsih?”


Tambahan kalimat Nyai Demang membuat Eyang Kebo Berune berkejap-kejap
matanya.

“Kenapa kamu berdua mempunyai jalan pikiran yang sama?

“Apa betul Bejujag itu yang paling sakti di antara kita semua? Sedemikian
saktinya sehingga aku tak mampu menangkap kalimatnya?

“Bejujag, semoga kamu dikutuk semua Dewa yang pernah ada!”
Pamiluta, Ilmu Bujuk Rayu
KAKEK tua tetap tergeletak.

Hanya jakunnya yang bergerak. Lebih cepat dari biasanya. Helaan napasnya
agak tersendat.

Nyai Demang terus memperhatikan.

“Maaf, Kakek Berune, kami tak ingin mengganggu Kakek. Apa pun
pengalaman masa lampau yang pahit, kami tak ingin menghadirkan kembali.
Keinginan kami hanya ingin menjajal sesuatu yang barangkali bisa untuk
menyembuhkan saya, atau Kakek sendiri.”

“Dengan kata lain, kalian masih lebih percaya Bejujag.

“Mungkin harus begitu.

“Di antara kami berempat, Bejujag adalah yang paling tidak bisa apa-apa.
Bintulu yang paling tampan, gagah perkasa tapi sekaligus lembut. Putri-putri Keraton
akan merasa bahagia jika mimpi dilirik.

“Lebih dari ketampanannya, Bintulu paling tekun, paling baik budinya. Di
antara kami bertiga, sama-sama mengakui bahwa Bintulu yang paling pantas menjadi
pemimpin, yang paling pantas mendapatkan Pulangsih.

“Aku rela kalau Bintulu yang mendapatkan Pulangsih. Seperti juga Bejujag dan
Raganata.


“Tapi karena perhatian Bintulu yang luar biasa kepada ilmu kanuragan, dan
jauh di dalam hatinya ia tak tega mengkhianati sahabat-sahabatnya, maka ia agak
malu-malu mendekati Pulangsih.

“Calon berikutnya, pastilah aku. Saat itu akulah yang paling biru darahnya,
paling mapan kehidupannya dengan kemampuan ilmu silat yang tak kalah dari yang
lainnya. Akan tetapi Pulangsih kurang menyukai ketika aku memutuskan menjadi
prajurit. Apalagi ketika akhirnya aku berangkat sebagai senopati utama yang diutus ke
Keraton Berune. Dari semua prajurit muda, akulah yang paling muda dan paling
berpengharapan.

“Kalau aku tak bisa, agaknya Raganata pantas menyanding. Dia termasuk
tampan, mempunyai perhatian yang lebih kepada sesama, tutur katanya manis, dan
sangat asih kepada wanita.

“Sebelum aku berangkat, kami berlima mengadakan pertemuan. Aku yang
mengutarakan niat baik, kepada siapa Pulangsih akan menjatuhkan pilihannya. Siapa
pun di antara kami berempat yang dipilih Pulangsih, kami akan menerima dengan
hati terbuka.

“Inilah kelebihan kami sebagai ksatria muda.

“Upasara, Nyai Demang, kalian tahu siapa yang dipilih Pulangsih?”

Nyai Demang menjawab perlahan,

“Eyang Sepuh.”

“Itulah gilanya. Pulangsih mengatakan pilihannya jatuh kepada Bejujag. Sertamerta
kami bertiga bertanya: Kenapa memilih Bejujag?

“Jawaban Pulangsih membuat kami terkesima, seakan tak percaya: Dari hati
wanita yang paling lembut dan jujur, dialah lelaki yang bisa membahagiakan wanita.

“O-ho!

“Sebodoh-bodohnya kura-kura masih lebih bodoh hati wanita!

“Akan tetapi karena kami berempat sudah sepakat apa pun pilihan Pulangsih,
kami menerima. Aku yang berangkat lebih dulu. Dengan janji akan bertemu setiap


lima puluh tahun. Mengundang seluruh ksatria di penjuru jagat. Untuk menguji siapa
yang paling kuat menyerap ilmu.

“Agak kekanak-kanakan memang.

“Lima puluh tahun ternyata sangat lama. Bisa mengubah segalanya. Akan
tetapi ternyata tak cukup dua tahun untuk mengetahui siapa sebenarnya Bejujag.

“Belum dua tahun, Bejujag sudah melemparkan Pulangsih. Menampik
Pulangsih dengan cara yang paling menyakitkan. Ia bergendak dengan wanita-wanita
yang lain.

“Rasanya aku ingin segera kembali dan menghajar Bejujag. Tak sepantasnya
wanita setulus Pulangsih disia-siakan dengan cara begitu hina.

“Hanya karena mengemban tugas negara, aku tak kembali waktu itu. Aku
kuras kemampuanku untuk memperdalam ilmuku, Pukulan Pu-Ni, yang kuyakin tak
ada yang mampu menandingi. Sementara kiriman dari Raganata datang beraturan,
dan aku ganti mengirimkan apa yang kuperoleh.

“Aku makin yakin bahwa aku siap melabrak Bejujag.”

“Kakek juga menanyakan keadaan Putri Pulangsih?”

Wajah Kakek Berune berubah.

Ah, masih tersimpan kenangan indah yang mendadak terbuka.

“Ya.”

“Juga kabar yang diberikan Mpu Raganata?”

“Ya.”

“Juga dari Paman Sepuh Bintulu?”

“Ya.

“Kami bertiga ternyata masih menyimpan harapan yang sama. Hanya karena

aku paling jauh, aku tak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.”


“Juga dari Eyang Sepuh?”
“Ya.”
“Apakah…”
“Ia menerangkan kemudian, bahwa Pulangsih tak pantas dijadikan


pendampingnya, karena Pulangsih mempelajari ilmu Pamiluta, ilmu pelet untuk
merayu lelaki dengan bujukan manis.

“Demi Dewa segala Dewa!

“Pulangsih tak memerlukan apa-apa untuk membuat Dewa menciumi kakinya
minta daya asmara.

“Bagaimana mungkin aku bisa percaya penjelasan busuk semacam itu?

“Tiap kali aku kirimkan utusan kembali ke tanah Jawa, hanya untuk
mengetahui apa yang terjadi atas diri Pulangsih.”

“Ternyata Putri Pulangsih dilepas oleh Eyang Sepuh.”

“Ya.”

“Ternyata Putri Pulangsih tidak mendendam pada Eyang Sepuh. Malah tetap
memujanya?”

“Ya.

“Hei, dari mana kamu tahu itu, Nyai?”

“Saya dilahirkan sebagai wanita, dengan hati dan perasaan wanita sejati.”

“Apa betul begitu?

“Setolol itukah semua wanita di jagat ini?”

Nyai Demang mendesis.

“Selama lelaki masih menilai begitu kejam, jangan harap bisa memahami hati
wanita. Itulah kelebihan Eyang Sepuh.”


“Kelebihan?”
“Ya.”
“Tunggu, jangan kaubikin aku mati penasaran.
“Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu, Nyai?”
Kini berbalik.
Nyai Demang-lah yang ditanyai.
Upasara menunduk. Pikirannya sedang berkelebat antara bayangan Ratu Ayu


dan Gayatri. Silih berganti saling menindih. Akan tetapi, setiap kali bayangan Gayatri
yang muncul lebih jelas.

Ah, inikah daya asmara yang luar biasa itu?

Yang juga terjadi pada diri Eyang Sepuh, Paman Sepuh Dodot Bintulu, dan
Mpu Raganata… serta Eyang Kebo Berune?

“Sederhana sekali, Kakek Berune.”

“Sederhana?”

“Sangat sederhana. Dari penuturan Kakek, jelas sekali Putri Pulangsihtentunya
mempunyai nama yang lebih bagus dari julukan jorok seperti itu- sangat ayu
dan menawan. Sehingga Kakek berempat tergila-gila padanya.”

“Semua bidadari dikumpulkan menjadi satu pun tak bisa menyamai saat
Pulangsih cemberut.”

“Saya percaya itu.”

“Ha-ha… bagaimana mungkin aku bisa bicara seperti ini? Rasanya mulut ini
jadi enteng kalau bicara mengenai Pulangsih. Ia bintang pujaan kami, akan tetapi
sekaligus sumber kebencian yang tiada habis-habisnya.


“Justru di saat Pulangsih dicampakkan, dihina, ia menitipkan pesan agar jangan
ada yang mengganggu Bejujag. Tak diperbolehkan untuk menantang atau
menganiaya. Hanya diizinkan membantu, kalau-kalau Bejujag menemui kesulitan.

“Pulangsih sendiri yang meminta itu.

“Seumur hidup hanya sekali aku menerima tulisannya, dan itu pun memintaku

agar tidak mengganggu Bejujag!

“Dewa pun tak bisa percaya.”

“Kakek tahu kenapa Putri Pulangsih justru sangat mencintai Eyang Sepuh?”

“Karena tol…” Nadanya mendadak berubah, seperti teringat apa yang

dikatakan Nyai Demang. “Kenapa, Nyai?”

“Karena mencintai.”

“Ya, kenapa?”

“Itulah jawaban, bukan pertanyaan.”

“Dewa segala Dewa.

“Bagaimana bisa begitu?”

“Seharusnya begitu. Daya asmara bukanlah perhitungan bahwa dengan

mengerahkan tenaga ke tangan, tangan akan lebih sakti dari kaki. Dengan
menyimpan tenaga di pusar, akan bisa disalurkan ke arah mana saja.

“Itu perhitungan ilmu kanuragan.

“Bukan daya asmara.”

Upasara bisa melihat bahwa di bagian tepi mata Eyang Kebo Berune terlihat
titik air mata.

Lahirnya Bantala Parwa
“AKU tahu, bahwa selama ini aku tidak mengerti, Nyai. Dan akan tetap tidak bisa
mengerti.”


“Bukankah itu sendiri pengertian?”
“Dewa segala Dewa.
“Kalau aku sudah bertemu denganmu sejak dulu, aku bisa memahami apa yang


dilakukan Pulangsih.

“Hmmm, daya asmara…?”

Hening sunyi.

Air mata itu seperti membeku.

“Maaf…”

“Tak apa, Nyai. Justru sekarang ini baru terbuka mata batinku untuk

memahami apa yang telah terjadi.”

“Saya tidak bermaksud mengajari Kakek.”

“Kamu sangat baik budi, Nyai.

“Dewa akan melindungi siang dan malam.”

Nyai Demang mengalihkan ke arah pembicaraan yang lain.

“Bagaimana kalau kita cari air kelapa untuk Kakek Berune, Adimas?”

“Tidak perlu.

“Saat serangan mengancamku seperti ini, aku hanya bisa menggeletak seperti
ini. Semua makanan atau minuman akan menjadi racun dahsyat yang merusak.
Rasanya aku sudah empat puluh hari empat puluh malam tergeletak di sini. Hanya
nyamuk yang kebetulan lewat di bibir bisa kumakan.

“Selebihnya menunggu kematian.

“Tapi aku kini bisa mati dengan lega.


“Mengagumkan. Ternyata Dewa masih mempunyai rasa welas asih padaku,
sehingga ragaku tidak penasaran.

“Nyai tahu yang dikatakan Raganata mengenai permintaan Pulangsih?

“Raganata mengatakan bahwa ini kesalahan kita bertiga. Ternyata memburumemuja-
mengharap Pulangsih. Dan Pulangsih sudah muak dengan sikap pemujaan
seperti ini.

“Makanya justru kehadiran Bejujag yang biasa-biasa, menjadikan hatinya
tergugah. Bejujag tak pernah memujinya secara terbuka. Bejujag tak memperlakukan
Pulangsih secara istimewa.

“Yang biasa itu yang menarik.”

“Bisa juga begitu.

“Meskipun sebenarnya setiap penjelasan, tak akan menjawab secara tuntas.

“Maaf, Adimas, kalau saya menyinggungmu… Adimas Upasara juga terpaut

hatinya oleh seorang wanita. Dan tak akan pernah lekang sedikit pun, walau kini
wanita yang dikasihi telah mempunyai dua putri.

“Begitu juga sebaliknya.”

“Itu baik.

“Artinya Upasara dan kekasihnya menyimpan daya asmara.

“Bejujag ini betul-betul kurang ajar!

“Ia sengaja menyakiti hati Pulangsih demi ilmu silatnya! Betapa konyol dan
hinanya.”

“Demi ilmu silatnya?”

“Demi keunggulan pribadi Bejujag.

“Semua ini diceritakan oleh Bejujag dengan segala kemenangan. Dengan segala
kebanggaan yang ada.


“Nyai, kamu tahu apa yang dikatakan Bejujag padaku?”

“Tunggu… Rasanya saya bisa menebak.”

“Apa?”

“Bukankah sikap Eyang Sepuh itu yang mengilhami ilmu silatnya yang
kesohor, yang dikenal dengan Tepukan Satu Tangan?”

“Jangan-jangan kamu murid Pulangsih.”

“Kalau saya ada hubungan dengan Putri Pulangsih, saya sudah akan mengubur
Kakek hidup-hidup.

“Tetapi saya kurang mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi.”

“Aku sudah bercerita panjang.

“Bintulu yang menuliskan bagian pertama Kitab Bumi yang terdiri atas Dua
Belas Jurus Nujum Bintang. Suatu maha karya yang tiada taranya. Akan tetapi Bintulu
merasa belum puas. Masih ingin menyelesaikan satu bagian lagi, yang akan terdiri atas
delapan jurus.

“Itu sebabnya diberi nama Dwidasa Nujum Kartika, walau hanya terdiri atas
dua belas jurus.

“Jalan pikiran Bintulu sangat cemerlang. Mengagumkan. Gagasan dasarnya
ialah ingin menciptakan jurus-jurus dan atau latihan pernapasan yang bisa
mementahkan semua jurus dan perkiraan, dan meminta pendapat dari kami bertiga.

“Pada saat seperti itulah, Raganata mengembangkan bagian yang disebut
Weruh Sadurunging Winarah, atau Tahu Sebelum Terjadi. Inilah cara mementahkan
semua Jurus Bintang.

“Dengan mengetahui apa yang menjadi sasaran serangan lawan, dengan
sendirinya akan berhasil mengatasi.

“Raganata menempuh latihan pernapasan yang dalam, untuk mengetahui
napas lawan. Karena sesungguhnya, di situlah sumber serangan. Bukan gerak kaki
atau tangan. Bukan lirikan mata. Melainkan dengus dan tarikan napas.


“Rumit dan berat, akan tetapi Raganata berhasil melatih dengan luar biasa.

“Aku tak mau kalah. Aku menunjukkan cara-cara memainkan Pukulan Pu-Ni.
Satu pukulan yang bisa membereskan semua serangan. Dengan sekali serang, Pukulan
Pu-Ni akan menghancurkan lawan. Dengan demikian serangan yang berikutnya, apa
pun bentuknya, tak akan lahir.

“Sudah ditumpas sejak awal.

“Kalau Raganata lebih melatih napas dan rasa, aku memakai tenaga keras.”

“Dan Paman Sepuh Dodot Bintulu?” Upasara tak bisa menahan diri ikut
bertanya.

“Bintulu?

“Lebih dekat dengan penyelesaian yang dipakai juga oleh Raganata, tetapi juga
dekat dengan cara yang kupakai. Bintulu mengajukan pukulan yang dinamai
sementara Banjir Bandang Segara Asat. Menciptakan banjir besar di darat dengan
mengeringkan laut.

“Intinya pukulan keras.

“Mengadu tenaga dalam, pada saat yang bersamaan, menyedot tenaga dalam
lawan untuk dijadikan tenaga dalamnya sendiri. Kalau kita yang memainkan lebih
unggul, berarti tenaga dalam lawan terisap. Bahayanya ialah, jika kita kalah kuat,
tenaga kita yang terisap.”

“Saya pernah menyaksikan dan merasakan kehebatan ilmu itu, Eyang.”

“Bagus. Kuakui, Bintulu memang cemerlang. Karena di samping tenaga keras,
cara-cara mengisap tenaga lawan adalah memakai tenaga lembut, seperti yang
pemikirannya dilontarkan oleh Raganata.”

“Eyang Sepuh memperlihatkan Tepukan Satu Tangan. Bukankah begitu,
Kakek?”

“Ya, Bejujag mengajukan pemikiran bahwa satu tangan yang bertepuk
menimbulkan suara lebih nyaring dari dua tangan. Inti mendasar dari ilmu ini ialah
pengorbanan, menjadikan diri kita korban, diri kita tumbal. Maka niatan yang
pertama lahir adalah penolakan.


“Selama kita masih berpikir untuk meraih kemenangan, menginginkan
keunggulan atau kepentingan pribadi, nafsu itu yang lebih menguasai. Kita tak
mempunyai rasa pasrah. Kita yang akan kalah oleh daya nafsu kita sendiri.

“Pasrah total. Itulah inti pengorbanan diri.”

“Saya tahu… saya tahu…”

“Kamu tahu bahwa inti ajarannya justru bersumber dari penolakannya kepada

Pulangsih?

“Bejujag gila.

“Justru dengan menolak Pulangsih, Bejujag akan mendapatkan. Justru dengan
mencampakkan Pulangsih, daya asmaranya akan berlipat ganda. Dengan bertepuk
sebelah tangan, lebih nyaring gemanya daripada dua tangan bersambut. Dengan tidak
memiliki Pulangsih, Bejujag justru mendapatkan seumur hidupnya. Bahkan sampai di
alam lain.

“Nyatanya begitu. Karena justru Pulangsih yang meminta-minta agar ia tak
diganggu menyelesaikan ilmunya.

“Aku paling membenci. Dan kuanggap ilmunya lebih berbahaya dari Banjir
Bandang Segara Asat yang diciptakan Bintulu.

“Akan tetapi segalanya serba gila.

“Bintulu dan Raganata yang merundingkan, yang berpikir masak-masak,
akhirnya memutuskan menerima ilmu Bejujag sebagai pelengkap utama Kitab Bumi.

“Kitab resmi, untuk diajukan kepada Baginda Raja.

“Dan Baginda Raja juga memilih serta menyetujui bahwa Kitab Bumi yang
utuh terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang dan Delapan Jurus Penolak Bumi!

“Itulah lahirnya Bantala Parwa.

“Yang diakui juga oleh Bintulu, Raganata, dan aku sendiri. Mengakui secara
resmi, bahwa ajaran utama yang dituliskan adalah apa yang diajukan oleh Bejujag.


“Ilmu yang didasarkan pada penolakannya kepada Pulangsih. Kemampuannya
untuk meniadakan Pulangsih.

“Maka, sejak itu pula Bantala Parwa direstui menjadi pelengkap yang dipakai
sebagai pegangan dan ajaran Keraton Singasari. Sampai jagat ini tamat.”

Wahyu Paminggir
“KALAUPUN Kitab Bumi yang direstui Baginda Raja, bukankah itu tidak berarti satusatunya
yang boleh dipelajari?”

“Tentu saja tidak, Nyai.

“Di jagat ini mana ada seorang yang bisa mengharuskan dan melarang hanya
mempelajari jurus tertentu?

“Pukulan Pu-Ni belum tentu kalah dengan Bantala Parwa. Aku masih berniat

menguji.”

Nyai Demang tersenyum dalam hati.

Kakek Kebo Berune yang napasnya tinggal satu-satu dan tak mampu bergerak,

masih bisa menyombongkan diri.
“Kakek Berune, kenapa Baginda Raja Sri Kertanegara mempunyai maksud

memakai pakem atau kitab pegangan?”

“Agar bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan diri.

“Ada yang tercatat, dan diakui tak akan membahayakan.

“Masa soal semudah ini kamu tidak tahu, Nyai.”

“Itulah masalahnya,” tukas Nyai Demang cepat. “Dalam mempelajari ilmu silat,

kita cenderung mengagungkan milik kita sendiri. Boleh dikatakan rahasia bagi
perguruan lain. Akan tetapi kini malah disatukan. Dan disebarkan.

“Kakek sendiri juga menerima hasil rembugan para ksatria sejati, walau berada
di seberang. Bukankah ini aneh dan bertentangan?”

“Di jagat ini, mana ada raja seperti Baginda Raja?


“Lebih dari siapa pun. Dewa saja kalah jauh pemikirannya. Kita semua, para
ksatria, pendekar, bahkan para durjana, mempunyai rasa hormat yang tinggi kepada
Baginda Raja. Beliau raja yang dihormati bukan hanya karena kekuasaannya.

“Tapi karena kehebatannya.

“Baginda Raja mempunyai kehendak yang mulia. Keraton Singasari
direncanakan akan mencapai seluruh ujung jagat. Itu hanya bisa dicapai jika kekuatan
Keraton tak terkalahkan.

“Dengan membuat pakem dari Kitab Bumi, Baginda Raja ingin
menyebarluaskan gagasan itu. Semua prajurit atau bukan prajurit akan dilatih.
Sehingga kelak di kemudian hari, Keraton Singasari akan digdaya tanpa tanding.

“Bahkan Baginda Raja mendirikan Ksatria Pingitan.”

Upasara menyembah.

“Saya didikan Ksatria Pingitan, Eyang.”

“Itulah.
“Di samping mengirimkan semua senopati ke negara seberang, seperti aku, Baginda
Raja memperkuat di dalam. Pada suatu saat nanti, semua penduduk Singasari adalah
prajurit sejati. Yang bisa menguasai kanuragan dan sekaligus mempunyai budi pekerti
yang baik.

“Bayangkan kalau itu terjadi!” “‘

“Lalu apa kesulitannya?”

“Tak ada.

“Tak ada, kan?”

“Kelihatannya…”

“Kelihatannya Baginda Raja menginginkan dari penduduk yang biasa-biasa
bisa mempelajari ilmu silat. Mereka akan menjadi bibit-bibit prajurit yang tangguh,
yang di kelak kemudian hari menjadi senopati. Dan akan muncul senopati-senopati
yang gagah perwira.


“Tak ada apa-apanya kalau Bejujag tidak mengacaukan semua kehendak
Baginda Raja.”

“Mengacaukan?”

“Dengan Kidung Paminggir.

“Yang meramalkan bahwa suatu hari akan lahir seorang senopati utama, yang
lebih besar dari raja itu sendiri. Itu yang dikatakan sebagai Wahyu Paminggir.”

“Maaf, Kakek Berune, saya tak bisa menangkap.

“Kalau Baginda Raja begitu luas pandangannya, kenapa tak menyukai
kemungkinan yang telah diletakkan dasar-dasarnya?”

“Karena Bejujag!

“Perhitungan atau ramalan atau nujuman Bejujag menegaskan hal itu. Kalian
akan mengetahui betapa kurang ajarnya Bejujag jika mengetahui kidungan bagian itu.
Akan kubacakan:

Ini pupuh kesekian, mengenai Wahyu Paminggir

Wahyu ialah zat dari Dewa

Sukma kekuasaan tertinggi

hanya ada pada tangan raja

sebab raja adalah raja

raja adalah Dewa

Dewa berada dalam raja

Selain Wahyu Utama milik hanya para Dewa

ada pula Wahyu Paminggir


bagi yang berada dipinggir
tak punya nama besar, bukan keturunan raja
tak punya darah biru, bukan keturunan selir
Mereka ini memperoleh Wahyu Paminggir
yang sinarnya bisa lebih terang
dari Wahyu Utama yang gemilang

Berbahagialah penerima Wahyu Paminggir
Kidungan ini tertuju padanya
yang keringat dan kemauannya
tak bisa berakhir

Berbahagialah raja yang membawahkan
Kidungan itu tertuju hormat padanya
yang kebesaran dan takdirnya
tiada terkalahkan

Antara Wahyu Utama dan Wahyu Paminggir
seperti bibir atas dan bibir bawah
Dewa segala Dewa,


raja segala raja

tak bisa menerka yang mana

Paminggir atau utama…”

Nyai Demang bisa mengerti kalau Baginda Raja murka dengan kidungan yang
diciptakan Eyang Sepuh. Dengan mengetengahkan gagasan adanya Wahyu
Paminggir, secara jelas Eyang Sepuh mengatakan ada wahyu yang lain, di samping
wahyu yang khusus untuk seorang raja!

Itu tak boleh terjadi.

Tak akan ada raja, di mana pun, menerima kenyataan bahwa ada matahari lain.

Kekuasaan mutlak ada padanya.

“Bejujag mau kraman, mau mengambil alih Wahyu Raja. Bukankah itu
keterlaluan?

“Bukankah itu tak bisa diampuni?”

Apa yang dikatakan Eyang Kebo Berune mempunyai gema dalam hati Upasara
Wulung. Karena setelah terkurung selama dua puluh tahun, untuk pertama kalinya ia
muncul ke dunia persilatan, karena gema adanya Wahyu Paminggir!

Di mana Eyang Sepuh mengisyaratkan datangnya Tamu dari Seberang, yang
akan menentukan siapa yang bakal menjadi raja. Eyang Sepuh memakai contoh
lahirnya raja pertama yang mendirikan Keraton Singasari, yaitu Ken Arok.

Yang tidak berdarah biru.

Saat itu terjadi kegemparan yang luar biasa. Baginda Raja memerintahkan
semua senopati untuk melabrak ke Perguruan Awan, untuk mengetahui hal yang
sebenarnya.

Saat itu, Eyang Sepuh sudah menghilang. Yang ada para pendekar, para ksatria
yang justru sedang akan ditumpas habis.


Baru sekarang Upasara mendapat keterangan yang lengkap.

Namun tak bisa ditutupi, justru perhitungan Eyang Sepuh mendekati tepat.
Saat itu Raja Muda Gelang-Gelang menghancurkan Keraton Singasari, menduduki
takhta kehormatan.

Dan baru dengan munculnya pasukan Tartar, yang bisa disebut Tamu dari
Seberang, bisa menggulingkan Raja Muda Jayakatwang. Dilihat dari sisi ini, segala

perhitungan atau ramalan Eyang Sepuh tak bisa dikatakan sekadar lamunan kosong.

Nyatanya terbukti.

“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Upasara.

“Bejujag dianggap sangat tepat ramalannya. Mungkin begitu, mungkin
kebetulan. Yang bisa saja terjadi. Tapi dalam hal ilmu silat, Bejujag tak ada apaapanya.
Tidak bila dibandingkan dengan aku.

“Bahkan ketika kamu mainkan jurus-jurus Penolak Bumi, aku bisa
memecahkan dengan mudah. Juga Bintulu yang sanggup mematahkan satu
tanganmu.”

Nyai Demang merintih.

Tubuhnya kembali bergoyang, sebelum akhirnya jatuh berkelojotan. Benturan
tenaga yang terserap dari Pukulan Pu-Ni kembali muncul. Upasara menjajal kembali.

Satu tangan bergerak dari lambung ke arah atas beberapa jari di atas tubuh,

dan mendadak terdorong ke depan. Menyentuh kaki Nyai Demang.

Sentakan tenaga bagai sabetan halilintar menyergap.

Upasara mendesis.

Tubuhnya bagai kosong. Tenaga yang menyerbu masuk dibiarkan melalui

semua tenaga penghalang. Ada dua kemungkinan: tenaga dalam Upasara bakal rontok,
atau sengatan yang mengalir terhenti. Ternyata tidak dua-duanya!
Sifat Bumi
TENAGA itu tetap masuk menerobos tubuh Upasara.



Tidak berhenti.
Tubuh Upasara bergeming.
Tenaga dalamnya tidak rontok.
Karena sekejap kemudian, Upasara bisa melepaskan kembali tangannya tanpa


merasa adanya gangguan yang berarti. Juga ketika menghela napas, dan mengatur
pernapasan.

“Bisa. Bisa, Mbakyu.

“Saya bisa.”

Kebo Berune berseru kaget,

“Bisa apa?”

“Bisa menyalurkan tenaga bergolak dari dalam tubuh Nyai Demang.”

“Mana mungkin?”

“Maaf, Eyang, saya baru menjajalnya.

“Rasa-rasanya bisa tersalur.”

“Aku bisa mati membelalak. Selama ini aku mempelajari Pukulan Pu-Ni
dengan sepenuh hati seumur hidupku. Dan Nyai Demang itu terkena pula. Bagaimana
mungkin kamu bisa mementahkan begitu saja?

“Apakah kamu disuruh Bejujag memperolok aku?”

Tentu saja Upasara tak mempunyai pikiran untuk mempermainkan Eyang
Kebo Berune. Jalan pikirannya sangat polos untuk permainan semacam itu.

Yang pertama dirasakan Upasara ialah bahwa tenaga dalam yang bergolak
dalam tubuh Nyai Demang bisa diambil tanpa merusakkan tenaga dalamnya sendiri.
Dengan cara membiarkan dirinya kosong, dan tenaga itu tersalur terus.

Hilang di dalam bumi.


Upasara memang memakai jalan pernapasan bumi. Sesuai dengan sifat bumi
yang menerima segala apa. Sambaran tenaga halilintar yang betapapun hebatnya,
lenyap seketika kalau masuk ke perut bumi.

Sewaktu Upasara mengutarakan gagasan itu, Eyang Kebo Berune jadi
terbengong-bengong.

“Sifat Bumi?”

“Begitulah, Eyang.”

“Tunggu dulu, apakah itu ada di dalam Kitab Bumi? Apakah itu diajarkan
dalam Kitab Bumi?”

“Ya, Eyang.”

“Di bagian mana?”

“Di bagian Penolak Bumi.

“Dalam Tumbal Bantala Parwa, diterangkan pada kidungan awal, bahwa
gerakan-gerakan yang ada adalah dengan mempelajari unsur-unsur tanah, tata letak
bumi. Dekat gunung, dekat mata air, dekat batu, dan lain sebagainya.

“Masing-masing kedudukan tanah yang demikian mempunyai kekuatan yang
berbeda-beda.

“Masing-masing bisa membawa rezeki dan bahaya.

“Untuk yang mengandung bahaya, bisa diatasi dengan tumbal. Kalau kita
mengenali sifat tanah, kita mengetahui kekuatannya.”

“Demi Dewa segala Dewa.

“Bukankah itu bagian yang dituliskan Bejujag?”

“Maaf, saya tak begitu paham.”

“Jelas. Itu akal Bejujag.


“Kalau benar begitu, ia sebenarnya telah mengalahkan Pukulan Pu-Ni yang
kulatih seumur hidup, yang membuatku cacat seperti ini.”

Suaranya mengandung penyesalan yang dalam.

Upasara tak mau terganggu pikirannya. Dengan mengosongkan diri, tangannya
terulur kembali. Kali ini dengan tenang, tenaga yang bergolak dalam tubuh Nyai
Demang tersalur.

Amblas ke dalam bumi.

Tak sampai sepenanak nasi, tubuh Nyai Demang telah pulih kembali.

Seperti sediakala.

“Luar biasa.”

“Maaf, kalau Eyang bersedia, saya ingin mencoba pada Eyang.”

“Tak bisa. Tak bisa.

“Mana mungkin aku mau dihina begini rupa? Lebih baik aku mati seperti

sekarang. Sebentar lagi toh akan mati juga. Buat apa kamu menyombongkan diri
sebagai pemenang kepada orang yang sedang sekarat?”

Nyai Demang merasa jengkel juga.

“Adimas Upasara telah berbaik hati ingin membebaskan Kakek dari
penderitaan yang berkepanjangan, tetapi masih ditolak. Dengan cara menyakitkan.

“Sudah saja.

“Mari kita tinggalkan.”

Suara Nyai Demang mengandung kemarahan besar.

Bisa dimengerti karena Nyai Demang merasakan siksaan tenaga Pukulan Pu-
Ni.

“Mari, Adimas, masih banyak yang harus kita lakukan.


“Tak bisa menunggui di sini.”
Upasara menggeleng.
Ia tak bisa meninggalkan begitu saja. Biar bagaimanapun, Eyang Kebo Berune


adalah tokoh tua yang sezaman dengan Eyang Sepuh dan Mpu Raganata. Tak bisa
ditinggalkan begitu saja.

Dengan segala hormat, Upasara justru menyembah lagi.

“Tak perlu, Adimas.

“Hanya akan membahayakan Adimas sendiri. Saat menyalurkan tenaga Kakek
Berune, Adimas berada dalam keadaan kosong. Saat itu kalau saya berniat jahat,
dengan mudah bisa membunuh Adimas.”

“Mbakyu tak akan melakukan itu.”

“Jangan bodoh, Adimas.

“Saya tak akan melakukan itu. Tapi siapa saja bisa melakukan itu. Prajurit dari

Keraton atau bahkan Halayudha bisa melakukan itu. Tempat ini tak jauh dari
Keraton, di mana setiap saat bisa ada yang lewat.

“Saya tak bisa melindungi.”

Benar juga yang dikatakan Nyai Demang!

“Aha, kalian bertengkar sendiri.

“Aku juga tidak sudi kalian tolong. Itu sama juga mengakui keunggulan
Bejujag. Aku tak bisa menerima.”

Upasara jadi serbasalah.

Menolong, jelas berbahaya.

Tidak menolong, hatinya tak tega.

“Sudah pergi sana!


“Aku masih bisa memanggil orang lain.”
“Eyang…”
“Cukup. Bagiku sudah cukup. Kalian sengaja datang disuruh Bejujag untuk


menunjukkan ketinggian ilmu kalian. Sampai di alam sana nanti, tetap akan kucari
Bejujag.” Nyai Demang berdiri.

“Mari, Adimas.”

“Mbakyu berangkat saja sendiri.”

Bagi Nyai Demang sangat gampang berangkat sendiri. Tapi ia tak mau
melakukan itu. Justru karena mengetahui bahwa Upasara pasti akan tetap menolong
Kakek Berune, tanpa memedulikan keselamatannya sendiri.

Itu sifat Upasara.

Repotnya, Nyai Demang juga tak bisa memaksa Upasara pergi.

Jadinya ia berdiri kaku.

“Kakek, lalu Kakek mau apa?”

“Itu bukan urusanmu.”

Mendadak Nyai Demang mengerutkan keningnya. Lapat-lapat telinganya

mendengar suara orang mendatangi. Dengan cepat Nyai Demang menuju ke bagian
samping yang tak terlihat dari luar. Upasara mengikuti tindakan Nyai Demang.

Suara langkah yang mendekati kian jelas.

Nada pembicaraan mulai terdengar jelas.

“Mungkin sudah meninggal sekarang ini.”

“Sayang kita belum bisa menyadap ilmunya.”

Dalam sekejap, dua bayangan muncul di pintu. Nyai Demang mengenali
bahwa salah seorang dari yang datang ialah Pendeta Syangka. Pendeta Sidateka! Yang
seorang lagi tak begitu jelas, karena Nyai Demang tak bisa melihat dengan jelas. Nyai


Demang lebih berusaha menyembunyikan diri dengan mengatur jalan napas agar tak
dirasakan kehadirannya.

“Berune, kamu belum mati?”

“Belum. Apa maumu, Pendeta Busuk?”

“Tak ada. Selain kami berdua akan menjajal ilmu. Siapa tahu tubuhmu masih
bisa dipakai untuk latihan memukul.”

Upasara mengertakkan giginya.

Nyai Demang memegang tangan Upasara erat-erat.

Terasa dingin.

“Coba saja. Mana ada Pendeta Busuk yang suka berbuat tak senonoh punya
pukulan bagus? Pukulan dingin kamu tak lebih dari bau kentut.

“Lebih memuakkan daripada menakutkan.”

Wajah Pendeta Sidateka berubah gusar.

“Kalau kamu tahu siapa yang datang bersamaku, kamu tak akan bermulut besar
seperti itu.”

“Segala jenis ular busuk kamu bawa, apa kamu kira ada racun yang bisa
melukaiku?”

Nyai Demang merinding.

Rasanya ia mengenali siapa yang datang bersama Pendeta Sidateka.

Sangat mengenali. Karena tokoh itu tak lain dan tak bukan adalah Kiai
Sambartaka!

Rangkulan Dua Musuh Bebuyutan
NYAI DEMANG mengerahkan kemampuannya untuk mengatur jalan napasnya. Agar
tidak terdengar oleh Pendeta Sidateka maupun Kiai Sambartaka.


Getaran pikiran yang menyeruak membuat sedikit sakit di dada.

Cekalan tangan Upasara yang mengalirkan ketenteraman sedikit-banyak
membantu penguasaan diri Nyai Demang.

Ini cekalan yang kedua, yang dilakukan secara sadar.

Yang pertama ketika Upasara membimbingnya keluar dari Keraton. Bahkan
mencekal pinggangnya ketika meloncati tembok. Lalu sekarang ini.

Sungguh aneh.

Setelah sekian tahun bersama-sama, justru dalam satu malam saja, Upasara
telah mencekal tangannya dan mengalirkan tenaga yang menenteramkan.

Kalau usaha penyembuhan juga dihitung, barangkali yang ketiga. Akan tetapi
Nyai Demang tidak menghitung itu sebagai perlakuan yang istimewa. Karena untuk
menyembuhkan luka.

Bagi Nyai Demang sikap Upasara menjadi jauh berbeda. Tadinya adalah
perjaka yang serba kikuk, yang menjadi merah padam mukanya, walau hanya saling
berbicara.

Sekarang berani menyentuh.

Nyai Demang membuang jauh-jauh pikiran yang bukan-bukan.

Hatinya tergetar dan gusar karena mengetahui bahwa Sidateka datang bersama
Kiai Sambartaka.

Gusar karena Kiai Sambartaka, Kiai Kiamat yang sakti dari tlatah Hindia itu,
ternyata sangat culas hatinya. Tega mencurangi Eyang Sepuh yang telah menolong
jiwanya. Pada pertarungan di Trowulan, Nyai Demang-lah yang berusaha terjun ke
Brantas untuk mencari Kiai Sambartaka. Karena merasa dendam!

Bahwa sekarang Kiai Sambartaka bisa muncul lagi dalam keadaan segar bugar,
itu tak terlalu mengherankan. Sebagai tokoh sakti tingkat Dewa, hal seperti itu bukan
sesuatu yang istimewa. Akan tetapi bahwa kini bergandengan dengan Pendeta
Sidateka, itu yang aneh sekali.

Tak masuk akal.


Sejauh yang diketahui Nyai Demang, kedua negeri, yaitu tlatah Syangka dan
tlatah Hindia, tak pernah akur. Dalam segala hal.

Permusuhan yang bebuyutan ini berkembang terus hingga ke anak keturunan
yang kesekian. Dalam berbagai kitab yang dibaca oleh Nyai Demang atau siapa saja,
sangat jelas terasakan. Bahkan dalam cerita-cerita yang paling kesohor, bisa
dimengerti adanya permusuhan tanpa akhir itu.

Pendekar dan para ksatria dari tlatah Hindia menganggap tlatah Syangka
adalah pusat segala kejahatan jagat, yang sama dengan Keraton Alengka.

Sementara tlatah Hindia adalah tanah yang dimiliki titisan Dewa Wisnu yang
selalu menghancurkan angkara murka dan kejahatan. Setiap tindakan yang
menghancurkan Syangka adalah tindakan sangat terhormat.

Permusuhan yang tak terjembatani lagi.

Dalam banyak hal, pendeta ataupun ksatria dari Syangka ingin mengibarkan
panji-panji tersendiri. Tak mau berlindung dalam wilayah kekuasaan Hindia.

Hanya memang selama ini, para pendeta dan ksatria dari Syangka selalu
keteter, selalu terdesak keberadaannya.

Maka sangat mengejutkan bahwa sekarang Kiai Sambartaka yang sakti mau
bersahabat dengan Sidateka.

Apa pun alasannya, sulit diterima.

Sejahat-jahatnya Kiai Sambartaka dalam kelicikan, rasanya tak bisa dimengerti
mau bersahabat dengan Sidateka. Lebih baik mati ngenas.

Karena kalau sampai terdengar ke tlatah Hindia, kabar itu tak bisa dicuci
sampai tujuh puluh turunan.

Kekuatiran Nyai Demang dari segi yang lain ialah, bahwa bersatunya antara
Sidateka dengan Kiai Sambartaka, bisa merupakan kekuatan yang tangguh dan sulit
dicari tandingannya.

Kiai Sambartaka menguasai segala jenis racun yang berasal dari dunia binatang
dan tumbuh-tumbuhan. Lebih dari itu, Kiai Sambartaka juga menguasai apa yang


disebut Pukulan Beku, atau pukulan Mandeg-Mangu. Yang mampu menghentikan
jalan darah atau napas, setiap kali bisa menyentuh bagian tubuh lawan.

Hal ini Nyai Demang sudah menyaksikan sendiri.

Sedangkan Pendeta Sidateka juga memiliki ilmu dingin yang luar biasa yang
mampu bergerak cepat. Gabungan dari kedua ilmu ini adalah sesuatu yang luar biasa.

Bukan tidak mungkin Upasara Wulung pun akan kecolongan. Satu pukulan
saja, Upasara bisa beku selamanya.

“Kerbau Tua, lebih baik kita bicara baik-baik,” kata Pendeta Sidateka dengan
nada tinggi. “Toh kamu sebentar lagi bakal mati juga.

“Akan lebih baik kalau kamu mengatakan sesuatu, dan saya berjanji akan
mendoakan arwahmu, menguburmu baik-baik, dan mengabulkan apa permintaanmu.

“Bukankah ini jual-beli yang baik?”

“Kalau aku tak mau?

“Apa yang bisa kamu lakukan?”

“Tak ada. Selain melihat seekor kerbau tua sekarat. Setiap kali akan mati, kami
akan berusaha menolongmu.”

Nyai Demang mengetahui alasannya. Setidaknya bisa menebak bahwa ada
yang dikehendaki dari Eyang Kebo Berune oleh Pendeta Sidateka maupun Kiai
Sambartaka.

“Mana mungkin kalian bisa menolong atau tidak? Apa yang kalian ketahui
selain bagaimana mencari racun cacing dan berkomat-kamit seperti demit?”

Kiai Sambartaka menyemburkan ludahnya ke tanah.

“Mulut kerbau tua ini sangat busuk.

“Aku lebih suka melihatnya sekarat, dan kita menyembuhkan. Biar tambah
lama tambah menderita.”

“Suara perut juga sama busuknya dengan bau kentut.


“Dengan apa kamu berkaca? Kudengar kamu bisa datang ke Trowulan, dan
bisa hidup, tapi bukan pemenang. Buat apa melihat matahari kalau tubuh dan jiwanya
bau?”

Nyata-nyata Eyang Kebo Berune masih galak.

“Trowulan hanya tipuan anak-anak muda. Tak ada yang pantas dipakai sebagai
ukuran.

“Kebo Bangkai, dengar baik-baik. Aku sudah tahu apa itu Kitab Bumi. Dan
karena kamu juga mempelajari itu, rasanya aku bisa menyembuhkan dengan baik.

Setidaknya menjaga agar kamu tidak segera mati.”

“Itu bagus.

“Kalau bisa.”

“Apa susahnya mempelajari ilmu anak-anak bayi seperti itu? Dalam Kitab

Bumi ada bagian cara mengatur pernapasan dengan memusatkan pikiran sehingga
serasa kosong.

“Membuat tubuh menjadi kosong.

“Membuka gendang telinga kiri sama lebar dengan telinga kanan. Seolah tak
mempunyai gendang telinga. Suara sekeras apa pun tak akan mengganggu.”

Darah di nadi Nyai Demang bergolak lagi.

Apa yang dikatakan Kiai Sambartaka adalah apa yang dipamerkan secara luar
biasa oleh Upasara Wulung. Upasara berhasil memainkan dengan baik. Yang dikenal
sebagai ilmu Memindahkan Tenaga Suara.

Ini memang ada dalam kidungan Kitab Bumi. Yang mencapai puncaknya pada
penguasaan Eyang Sepuh dengan aji Manjing Ajur-Ajer, menyatu dengan alam.

Bisa bergerak tanpa suara.

Bisa ada di mana-mana.


Bisa antara kelihatan dan tidak. Yang akan sampai ke tingkat moksa. Seperti
yang dicapai oleh Eyang Sepuh.

Ilmu ini pula yang dikatakan Nyai Demang lebih setingkat dari apa yang
dipakai oleh Ratu Ayu Bawah Langit sebagai penguasaan langkah Tathagati!

Dari sekian cabang Jalan Budha yang ada, Eyang Sepuh telah mencapai tatanan
yang tak terkalahkan.

Dan tadi dengan enteng saja Kiai Sambartaka mengatakan seolah ia yang
menemukan.

Sungguh licik!

Bagi Upasara, hal semacam ini bukan sesuatu yang mengganggu harga dirinya.
Tak ada rasa keakuan untuk bisa tersinggung karena kelicikan semacam itu.

Malah Upasara membenarkan dalam hati. Bahwa yang dikatakan Kiai
Sambartaka sangat tepat. Ketika tadi menyembuhkan tenaga bergolak dalam tubuh
Nyai Demang, Upasara juga memakai cara yang sama disebutkan Kiai Sambartaka.
Bedanya, Upasara memakai tenaga bumi untuk menyerap golakan tenaga dalam.

Ibarat kata sambaran halilintar dimusnahkan dalam bumi. Dengan tubuh
Upasara sebagai pengantar.

“Coba saja, kalau kamu bisa.”

“Kerbau Tua, kenapa kamu tak mau bekerja sama?”

“Apa untungku?

“Selama hidup, aku selalu dianggap kalah oleh Bejujag, Bintulu, dan Raganata.
Kini di saat-saat terakhir, aku harus mengajarkan ilmu Bejujag?

“Siapa yang mau mengakui cara begitu? Ilmu Bejujag tak ada gunanya. Jangan
terlalu berharap.”
Tengkorak Kekasih
UPASARA bisa memahami Eyang Kebo Berune yang menjadi gusar.


Dari pengalamannya selama ini, Upasara menjumpai dua tokoh seangkatan
yang begitu kesal pada polah Eyang Sepuh.

Yang pertama adalah Paman Sepuh Dodot Bintulu.

Yang kedua adalah Eyang Kebo Berune.

Keduanya menyebut sebagai si nakal, berandal, tanpa menyebut nama yang
sesungguhnya.

Bedanya ialah Paman Sepuh tidak menaruh dendam seperti Eyang Kebo
Berune. Maka bisa dimengerti jika Eyang Berune menjadi murka justru karena
dipaksa menyerahkan sesuatu yang agaknya bisa dikaitkan dengan Eyang Sepuh.

Nyai Demang yang lebih jitu menebak. Bahkan sesuatu itu adalah ilmu, atau
kitab, yang menjadi ciptaan Eyang Sepuh. Apa lagi kalau bukan bagian “yang tak
terbaca di hati” atau juga Kidung Paminggir atau Wahyu Paminggir?

Sesuatu yang tadi dikatakan oleh Eyang Kebo Berune kepada Upasara dan
dirinya.

Ini berarti sebenarnya Kakek Kebo Berune lebih memilih mereka berdua,
dibandingkan dengan Kiai Sambartaka dan Pendeta Sidateka.

“Kalian mau memakai ilmu Memindahkan Tenaga Suara? Boleh saja dicoba.
Kalian pikir aku tak bisa mengubah tenaga dalam milikku sendiri?

“Tak semudah itu Kitab Bumi mengungguliku.

“Sebelum kalian bisa makan dengan tangan, aku sudah membaca kitab itu
dengan baik.”

Nyai Demang bersorak dalam hati.

Apa yang dikatakan Kakek Kebo Berune memang masuk akal. Dengan
kemampuan yang begitu tinggi, tak mungkin bisa dikuasai begitu saja. Kalau tadi
Upasara berhasil menyalurkan tenaga dalam dari tubuh Nyai Demang, itu juga belum
sebagai jaminan utama. Karena tenaga utama Nyai Demang berbeda dari tenaga Kakek
Kebo Berune yang menjadi sumber tenaga utama.


Dalam sekejap, Nyai Demang juga bisa menilai bahwa sesungguhnya Kakek
Kebo Berune ini mempunyai adat yang aneh. Keras, rada angkuh, dan dengan
demikian mudah mengumbar kata-kata. Sesuatu yang seharusnya tak dilakukan.
Karena dengan demikian seolah membiarkan dirinya terbuka untuk dibaca lawanlawannya.


“Aku mau mencobanya, Kakek Bangkai.

“Tetapi aku punya sesuatu yang bagimu penting.”

Kiai Sambartaka mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Dilemparkan ke

atap.

Tepat di atas, dalam pandangan mata Kakek Kebo Berune.

Napas Nyai Demang tertahan. ‘

Yang dilemparkan ternyata tengkorak yang telah kering. Entah dengan cara

apa tengkorak itu bisa ditancapkan di situ.

“Kamu pasti mengenali, Kebo Bangkai.”

“Permainan apa itu?”

“Lihatlah baik-baik. Wajahnya bisa kamu bayangkan. Kepala begitu kecil,

dengan rambut, dengan bibir mungil.”

“Apa itu?”

“Masa kamu tak mengenali tengkorak kekasihmu?”

Tarikan napas Kakek Berune terdengar jelas sekali.

“Katakan kidungan itu dengan baik-baik.

“Atau kamu mau melihat tengkorak itu kuperkosa? Kakek Bangkai, aku tega

memperkosa tengkorak itu di depan matamu.”
Tubuh Nyai Demang menggigil.


Juga Upasara merasa bulunya merinding. Ini memang keterlaluan. Nyai
Demang tak bisa menahan dirinya untuk segera bergerak.

Walau Nyai Demang tak kenal sama sekali dengan Putri Pulangsih, akan tetapi
bisa mengerti perasaan kakek Berune. Perasaan yang dikuasai daya asmara.

Bagaimana tercabik-cabiknya perasaan Kakek Berune bisa dimengerti oleh
siapa pun yang paling tumpul perasaannya.

Sesudah menjadi tengkorak pun masih akan diperkosa.

Di depan mata seorang yang begitu mencintai.

Nyai Demang mengertakkan giginya. Ia melepaskan cekalan Upasara.

Hanya saja ternyata ada tubuh lain yang bergerak.

Melayang ke atas.

Terbang dari tanah.

Ini bukan perumpamaan. Karena tubuh Kakek Berune yang terbang ke
angkasa. Masih dalam keadaan terbaring, lurus tak bergerak, tapi bisa naik ke atas.

Tanpa gerak.

Hanya perutnya yang bergerak naik-turun.

Seakan dari situlah diatur tenaga dalamnya!

Bahkan Pendeta Sidateka pun membuka matanya lebar-lebar sambil menahan
napas. Kiai Sambartaka menyembunyikan kekagumannya dalam wajahnya yang
membeku.

Dalam hatinya berkelebat pikiran-pikiran yang bertentangan. Antara
mengakui apa yang dilihat, dan suara hatinya yang ingin memenangkan dirinya
sendiri.

Dirinya adalah jago segala jago di tlatah Hindia.


Sepenuh hidupnya diabdikan untuk mempelajari ilmu silat. Berlatih diri habishabisan,
menyiksa diri dengan ambisi yang tinggi. Segala daya dan kemampuan
dikerahkan. Baik dengan jalan yang dipakai oleh para ksatria maupun yang ditolak.

Itulah kedudukan yang dicapai saat ini.

Dengan keyakinan akan menjadi lelananging jagat yang sanggup
menundukkan siapa saja. Adalah di luar dugaannya bahwa lawan-lawan yang setara

dan sulit dikalahkan begitu banyak bermunculan.

Salah satu dari lawan yang berat justru masih bau kencur di jidatnya.

Yang lebih menggetarkan hatinya lagi, ia dikalahkan oleh seorang tokoh dari

tanah Jawa!

Tanah yang dianggap hanya menjadi gema dari apa yang terjadi di negerinya.

Akan tetapi justru Eyang Sepuh, antara kelihatan dan tidak, bisa

menundukkan. Lebih dari itu semua, Eyang Sepuh tak mau menjatuhkan tangannya.

Bagi Kiai Sambartaka ini bukan kehinaan, akan tetapi kesempatan untuk
meloloskan diri. Setidaknya dengan hancurnya sebagian jawara-jawara jagat, ia bisa

malang melintang sendirian.

Tak tahunya, masih ada pendekar lain.

Dari tanah Jawa pula!

Yang bisa terbang dalam keadaan tetap terbaring tanpa gerak. Yang mendekati

ke arah tengkorak, dan hanya dengan sorot mata, tengkorak itu terlepas, jatuh tepat di
atas perutnya.

Lalu perlahan-lahan, tubuh itu turun.

Ke tanah.

Tempat ia berbaring.

Seperti tak terjadi sesuatu sebelumnya.


Kenyataan ini sangat memukul Kiai Sambartaka. Dalam ilmu silat, jenis-jenis
yang serba aneh dan muskil adalah bagian yang secara khusus diperdalam. Salah satu
di antaranya adalah berbicara melalui perut, mengebalkan kulit yang tak bisa
ditembus senjata apa pun.

Segala macam jenis ilmu hitam juga dipelajari dan dilatih secara terusmenerus.


Siapa nyana bahwa sekarang ini, seorang yang telah cacat total tak bisa
menggerakkan anggota tubuhnya, mampu melayang ke angkasa?

Bukankah kalau Kebo Berune ini ikut muncul di Trowulan, kesempatannya
untuk menjadi lelananging jagat makin kecil?

Suasana menjadi sunyi beberapa saat.

Angin dingin mulai terasakan.

Suara kokok ayam mulai terdengar satu-satu di kejauhan.

“Ambil tengkorak itu, Kebo Bangkai.

“Aku masih bisa memperkosa tulang-tulangnya yang lain.”

Napas Eyang Kebo Berune bergerak naik-turun sesaat, lalu tiba-tiba saja
tengkorak itu melayang ke atas.

Kembali ke tempatnya semula.

“Kenapa kalian begitu ceroboh mempermainkan aku? Bahkan tengkoraknya
pun aku bisa mengenali dengan baik.

“Sekarang pergilah! ‘

“Akan kutunggu siapa yang cocok untuk mendengar obrolanku. Sana pergi
sana! Cari bubur buat makan, dan minta susu kambing. Ha… ha… bagaimana
tengkorak jelek begitu bisa disamakan dengan Pulangsih?”

Pendeta Sidateka terbatuk keras.

“Cepat pergi!


“Masih mau bertingkah seperti apa lagi? Toh kalian tak akan mendapatkan
apa-apa dariku. Belajar ilmu baik-baik. Nanti lima puluh tahun lagi kalian berdua
kemari, untuk bertanding dengan anak bayi yang lahir sebelum itu.

“Pergi sana!”

Luar biasa.

Tokoh utama seperti Pendeta Sidateka yang mampu menguasai Angin Dingin

dan Kiai Sambartaka yang menguasai Pukulan Beku, diusir seperti binatang yang
menjijikkan.
Rasanya Nyai Demang ingin tertawa sepuas hati.


Agar Kiai Sambartaka mengetahui ada saksi. Karena kalau hanya diceritakan
rasanya sulit dipercayai.
Jemputan Dewa
NYAI DEMANG sudah hampir bergerak, sewaktu Upasara Wulung justru menahan
napas. Semua tenaga tersalur ke ujung tangan kiri dan menggeletar.

Barulah Nyai Demang sadar sesuatu sedang terjadi.

Ternyata Kiai Sambartaka dan Pendeta Sidateka tidak segera meninggalkan

gubuk. Dua kali melangkah ke luar lalu berbalik!

Serentak dengan itu dua tangan terulur.

Pukulan berganda!

Dua telapak tangan bersatu, saling menempel. Tangan kanan Pendeta Sidateka
menempel pada telapak kiri Kiai Sambartaka. Sementara kedua tangan yang bebas
itulah yang dipakai mengerahkan tenaga untuk memukul jarak jauh ke arah Kakek
Kebo Berune!

Pukulan berganda!


Yang kedahsyatannya pernah dibayangkan oleh Nyai Demang. Gabungan
antara Pukulan Beku dan Angin Dingin. Tadinya hanya berada dalam lintasan
pikiran.

Nyatanya bisa dilakukan.

Dan korbannya adalah seorang kakek tua yang hanya bisa berbaring.

Sungguh kejam.

Bisa dimengerti kalau Upasara menyiapkan tenaga dalam untuk mengimbangi

pertarungan.
Akan tetapi tangan Upasara bergetar tanpa mengeluarkan tenaga.

Pandangannya menyatu, tertuju ke satu arah.

Tubuh Kakek Berune bergoyang, seakan hampir terbalik.

Guncangan terulang lagi.

Hanya dengan berdiam diri, Kakek Berune mencoba mementahkan daya pukul

berganda.

“Tempelkan pantat kalian berdua, belum tentu bisa menyentuhku. Coba lagi!”

Jumawa sekali kata-katanya.

Dalam keadaan tak bergerak pun, Kakek Berune masih bisa mempermainkan

dua tokoh kaliber jagat!

Nyai Demang merasa rambut kepalanya menjadi gatal.

Ini hebat! Kakek Berune ternyata bisa menganggap serangan Kiai Sambartaka

dan Pendeta Sidateka tak ada artinya. Bahkan menyindir, kalaupun mereka berdua
saling menempelkan pantat, tetap tak akan menguasai.

Sindiran yang kelewat tajam.

Dan kena sasaran.


Beradu pantat bagi dua tokoh yang tadinya selalu bermusuhan saja sudah
merupakan hinaan. Apalagi ini juga bisa berarti dua lelaki!

Sekilas Nyai Demang teringat kepada Dewa Maut.

Yang hidup berdua dengan sesama lelaki, yang dipanggil Tole, sebelum
bertemu dengan Gendhuk Tri.

Ingat Dewa Maut, wajah Nyai Demang menjadi merah. Ada pengalaman
menggetarkan yang terjadi yang tak bisa dimengerti sendiri. Ketika keduanya berada
dalam gelap! Ketika saling menularkan tenaga dalam.

Mendadak terjadi perubahan lain.

Tubuh Kakek Berune menggeletar. Kejang-kejang terjadi lagi. Suaranya parau.

Wajahnya yang pucat menjadi lebih pucat lagi.

Pertarungan tenaga dalam yang saling menggempur, kumat lagi!

Ini bahaya! “

Ajalmu kini sampai.

“Kami akan menahanmu, agar tetap menderita.”

Suara Kiai Sambartaka sangat dingin.

Tangan terulur ke depan.

Tubuh Kakek Berune bergoyang, menjadi miring.

Kini Nyai Demang menjadi bingung. Pandangan matanya melirik ke arah

Upasara. Ia berharap Upasara segera bertindak.

Upasara sendiri sebenarnya sedang bingung.

Antara berbuat sesuatu dan tidak.

Tenaga telah tersalur sepenuhnya ke tangan kiri. Akan tetapi menjadi ragu,

bagaimana harus bertindak. Membuyarkan pukulan Kiai Sambartaka dan pukulan


Pendeta Sidateka, berarti mempercepat kematian Eyang Berune. Karena justru
pukulan itu dimaksudkan untuk mencegah kematian.

Membiarkan saja, berarti menambah penderitaan Eyang Berune.

Ragu!

Sejenak.

Tapi waktu yang sejenak itu sudah cukup bagi Nyai Demang untuk bergerak.
Semata-mata karena dorongan nuraninya. Tanpa perhitungan menolong atau justru
menghancurkan Kakek Berune.

Tubuh Nyai Demang menggulung maju.

“Awas, Kakek!”
Upasara mengeluarkan suara tertahan.

Sambaran pukulan berhawa dingin, membuat tubuh Nyai Demang terdorong
bergulingan. Tapi Nyai Demang tak berpikir soal mati-hidupnya sendiri. Dengan

nekat Nyai Demang justru menyongsong ke arah pukulan.

Tubuhnya terdorong ke arah Kakek Berune.

Ketika jatuh bergulingan, Nyai Demang langsung memeluk Kakek Berune!

Menggendongnya dan membawa minggir!

Sama juga bunuh diri!

Karena tenaga dalam yang bergolak dalam tubuh Kakek Berune kini mengalir

sepenuhnya ke tubuh Nyai Demang. Yang menggeletar hebat dan membuat
langkahnya terhuyung-huyung tak menentu.

Pada saat yang bersamaan, Upasara sudah menghadang dengan pukulan tangan
kiri. Memapak dua tangan Kiai Sambartaka dan Pendeta Sidateka!

Terdengar suara keras.

Gubuk itu sepenuhnya ambruk. Rata dengan tanah!


Upasara masih berdiri gagah. Di seberang, Pendeta Sidateka masih
bergandengan tangan dengan Kiai Sambartaka. Sementara tubuh Nyai Demang makin
keras bergoyang-goyang bagai pemabuk berat.

“Mbakyu… bagaimana rasanya?”

Kekuatiran Upasara lebih tertuju ke arah Nyai Demang. Yang ternyata tak bisa
menjawab dengan isyarat sekalipun.
Kesempatan itu digunakan oleh Pendeta Sidateka dan Kiai Sambartaka untuk
menyambar. Kesiuran angin dingin yang membekukan udara sekitar mengurung
Upasara.

Dengan menggeliatkan tubuhnya, Upasara mendesak maju. Memapak dengan
satu tangan kiri.

Telapak tangan terbuka.

“Jemputan Dewa telah sampai. Sekaligus tiga nyawa. Sungguh tak nyana.
Upasara, jangan berharap kami bisa menguburmu dengan baik. Biar cacing dan lalat
yang menyantapmu.”

Upasara tak bisa melayani kata-kata Kiai Sambartaka yang meremehkan.
Karena nyatanya tekanan udara dingin yang membekukan begitu kuat
mempengaruhi. Sehingga seakan seluruh darahnya membeku. Udara yang dihirup
membongkah di lubang hidung.

Dada menjadi panas.

Sesak.

Dalam pertarungan kali ini, Upasara tak bisa berbuat banyak. Pemusatan
kekuatan sepenuhnya hanya mampu mengimbangi tekanan lawan yang makin
menggigilkan.

Bertarung melawan Kiai Sambartaka, Upasara memerlukan waktu yang lama
dalam pertarungan yang sangat alot. Tak mudah memetik keunggulan.

Kini Kiai Sambartaka menyatu dengan Pendeta Sidateka. Jelas menjadi berlipat
kemampuannya.


Dalam situasi yang biasa, Upasara lebih memerlukan pemusatan kemampuan
untuk bisa mengimbangi.

Celakanya, justru saat ini pikiran Upasara terpecah. Karena biar bagaimanapun
tak bisa membebaskan rasa kuatir akan nasib Nyai Demang.

Yang secara langsung mengemban tubuh Eyang Berune.

Kalau tersentuh saja membuat Nyai Demang berkelojotan, bisa dibayangkan
sekarang ini.

Kesempatan ini yang dipergunakan Kiai Sambartaka. Sehingga tidak terlalu
berlebihan jika mengatakan bahwa ketiga nyawa kini sedang menunggu Dewa
Pencabut Nyawa.

Lima jurus, Upasara makin terdesak.

Satu tangan tak bisa menandingi empat tangan yang merupakan satu
rangkaian. Dengan dua tangan tetap saling melekat, Kiai Sambartaka dan Pendeta
Sidateka terus merangsek maju. Menggencet Upasara.

Satu tangan menyambar ke atas, satu tangan yang lain menyerang bagian
tengah. Dan karena dua tubuh bergabung, seolah menjadi besar. Seolah menguasai
seluruh medan pertarungan.

Ke arah mana pun Upasara menghindar, tangan lawan sudah menunggu. Yang
lebih membuat Upasara terdesak adalah, setiap kali ia melangkah surut, ia tak bisa
mendesak maju lagi. Karena udara di tempat semula sepenuhnya dikuasai oleh lawan.

Seakan di tempat itu udaranya sudah membeku.

Napas Upasara tersengal-sengal. Bahkan mulai batuk-batuk.

“Serang kiri… kiri… kanan… ulang!”

Dengan memberi aba-aba Kiai Sambartaka makin merangsek maju,
mengepung dari berbagai penjuru. Secara langsung Kiai Sambartaka pernah
merasakan ilmu Upasara Wulung. Pernah bertarung antara hidup dan mati. Jadi
cukup mengenali, dan bisa melihat titik-titik kelemahan di mana ia bisa menerobos.

Sesuatu yang sangat berharga.


Justru karena Upasara memainkan jurus-jurus dari Kitab Bumi! Yang pernah
dijajal Kiai Sambartaka dari sumber utamanya, baik Eyang Sepuh maupun Paman
Sepuh!

Penundaan Kematian
DALAM pertarungan habis-habisan di Trowulan, Kiai Sambartaka merasakan betapa
dahsyatnya jurus-jurus dari Kitab Bumi. Sebagai pentolan jagat yang sangat luas
pengetahuannya, Kiai Sambartaka bisa memahami gerakan-gerakan tersebut.

Meskipun ada perbedaan antara yang diperlihatkan Paman Sepuh dan Eyang

Sepuh, namun dasar-dasar bisa dengan mudah dicari persamaannya.

Juga yang dimainkan Upasara.

Makanya kini bisa menekan.

Setiap saat bisa mematikan.

Upasara bukannya tidak menyadari bahaya yang mengancam. Mata batinnya
sudah memperingatkan sejak dini. Bahwa keunggulan utama Kitab Bumi, terutama
sekali bukan pada gerakan atau jurus-jurusnya. Melainkan pada saat memainkan
dengan tepat.

Pengaturan tenaga dalam lebih menentukan.

Dengan kata lain, kalaupun lawan sudah mengetahui arah pukulan, masih bisa
tertipu dan tak menduga berat-ringannya tekanan yang datang.

Akan tetapi yang menjadi syarat utama adalah kekuatan yang terpusat. Yang

justru saat ini tak mampu dilakukan oleh Upasara.

“Kena!” teriak Pendeta Sidateka.

Telapak tangannya menjotos ke arah pinggang Upasara.

Sekali sentuh, seluruh tubuh Upasara akan menggigil kedinginan hingga ke

ulu hati.


Pada saat itu Kiai Sambartaka bisa menghantam dengan Pukulan Beku,
Pukulan Mandeg-Mangu.

Habislah Upasara!

Begitulah menurut perhitungan.

Begitulah seharusnya.

Karena setelah berhasil mengurung lawan pada satu titik, Pendeta Sidateka tak
melihat lagi bahwa Upasara mempunyai kemungkinan untuk meloloskan diri.

Satu tangan memapak pukulan Kiai Sambartaka yang dianggap lebih
berbahaya, satu tangan yang lain terkulai saja. Arah mundur sudah dicegat.

Dan sewaktu mengangkat tangan, pinggangnya terbuka.

Saat itu pukulan Pendeta Sidateka masuk!

Sap!

Upasara tak bisa menghindar.

Hanya saat telinganya mendengar gema teriakan “Kena!”, inti tenaga tumbal
seperti terpanggil dengan sendirinya.

Inti tenaga berkorban.

Inti penyerahan.

Pinggang Upasara tetap terbuka, pukulan Pendeta Sidateka masuk, hanya saja
akibatnya berbeda.

Pukulan dingin itu justru seperti mengenai bongkah es yang lebih dingin.

Yang menelan tenaga yang ada.

Pendeta Sidateka yang mengeluarkan jerit tertahan. Karena tangannya
mendadak kaku. Dadanya sesak, dan tubuhnya menggigil.


Hanya Kiai Sambartaka yang menangkap pengertian bahwa suasana bisa
berbalik.

Upasara bisa menjadi di atas angin.

Walau tidak bisa melanjutkan serangan.

“Tebas kiri… kiri… tebas kaki…”

Pendeta Sidateka tak menduga sama sekali bahwa pukulannya jusru berbalik
mengenai tubuhnya. Membekukan tangannya. Merasa gagal, Sidateka menuruti apa
yang dikatakan Kiai Sambartaka. Kaki kiri dan kanan bergerak maju, menebas kaki
Upasara.

Keras lawan keras.

Dengan serangan yang mantap begini, Upasara tak mempunyai kesempatan
untuk menyiapkan diri. Menghadapi keras lawan keras pertarungan kaki, atau

menghindar.

Yang terakhir tak mungkin dilakukan.

Karena Kiai Sambartaka telah mengincar.

Yang pertama juga mengundang bencana. Karena justru pada saat

mempertahankan kuda-kuda, serangan Kiai Sambartaka tak terbentengi.

Pukulan Beku yang akan membekukan nyawa Upasara.

Kalau Nyai Demang masih normal, jalan pikirannya juga tak berbeda dari

Pendeta Sidateka.

Demikian pula Upasara.

Maka Upasara mencoba mencuri keunggulan dengan putaran tangan,
memperkuat kuda-kuda kaki. Putaran tangan yang mengeluarkan desis kuat untuk
mengurangi tekanan gempuran Kiai Sambartaka, dan sekaligus mencuri kemenangan
dari Pendeta Sidateka yang lebih lemah.

Kuda-kuda yang kuat untuk mengimbangi tebasan kaki akan membuatnya
tetap bersiaga.


Tidak demikian dengan Kiai Sambartaka.

Pikirannya menemukan sisi yang lain. Ia bisa memaksa Upasara mengarahkan
pukulan ke arahnya. Ia bisa memaksa perhatian Upasara ke arahnya. Agar serangan

tebasan kaki Pendeta Sidateka berhasil. Seperti yang diperintahkan.

Itu yang tidak dilakukan.

Apa yang dilakukan Kiai Sambartaka justru sebaliknya. Ia menarik tenaga

dalam, menyimpan, dan dengan satu putaran tubuhnya melesat ke udara.

Tempelan tangannya terlepas dari Pendeta Sidateka.

Berarti membiarkan Pendeta Sidateka menghadapi bahaya sendirian. Pada saat

satu tangan telah terluka. Pada saat seluruh pemusatan tenaga berada di kaki.

Tanpa bantuan tenaga dalam yang sudah menyatu, Pendeta Sidateka
merasakan kekosongan dalam tubuhnya. Seolah sebagian besar tenaga dalamnya

terhenti.

Sehingga gempurannya menjadi berkurang.

Dalam perhitungan Kiai Sambartaka, dalam tenaga penuh pun, kuda-kuda kaki
Upasara tetap akan bergeming. Karena pengerahan tenaga di kedua kaki bukan
sesuatu yang luar biasa bagi Upasara. Kiai Sambartaka tak mengetahui persis bahwa
itu adalah jurus-jurus yang mendasar dari Banteng Ketaton, awal ilmu Upasara
Wulung. Hanya sewaktu bertarung, Kiai Sambartaka bisa merasakan kehebatan daya
tahan kuda-kuda ilmu Banteng Terluka.

Kini ditambah satu putaran tenaga dari tangan kiri Upasara.

Pendeta Sidateka benar-benar berada dalam bahaya.

Ini yang justru dikehendaki Kiai Sambartaka!

Sesaat kaki Pendeta Sidateka seperti menebas tiang karang yang kukuh. Pada

saat yang sama, pundaknya seperti kejatuhan bongkahan karang.
“Tobat!”


Seruan tertahan dari bibir Pendeta Sidateka menunjukkan luka dalam.
Sekaligus kekalahan, dan juga minta ampun!

Tak biasanya tokoh sakti meminta ampun.

Tapi memang tak ada pilihan lain.

Upasara hanya bisa memindahkan sebagian tenaga pukulan ke kaki. Namun
selebihnya tetap membuat Pendeta Sidateka terbanting ke tanah.

Muntah darah beku.

Bagai gumpalan daging merah. Mentah.

“Baguslah itu,” suara Kiai Sambartaka terdengar dalam nada dingin. “Sebentar
atau sebentar sekali, kamu akan lebih dulu mati. Penundaan kematian ini hanyalah
karena Upasara berbaik hati sedikit padamu.

“Tetapi dengan begitu, ia sendiri akan mengalami kerepotan menyelesaikan
pertarungan ini denganku.”

Tubuh Pendeta Sidateka menggelepar.

“Bajingan kamu…”

“Puaskan memaki.

“Sebelum kamu tak bisa membuka bibirmu. O, betapa tololnya Pendeta
Syangka, negeri bawahan yang berjiwa budak hina.

“Kamu kira kamu bisa berdiri sejajar denganku?

“Kamu mimpi besar, Syangka jelek!”

Kiai Sambartaka tersenyum tipis. Lalu wajahnya berubah menjadi kaku lagi
menghadapi Upasara.

“Anak muda, yang mengaku lelananging jagat, dengarlah.

“Pagi ini sebelum mentari sepenuhnya bersinar, gelar itu sudah berada dalam
genggamanku. Dan tak akan ada lagi yang menghalangiku.


“Tak ada yang menghalangiku.
“Sebentar ini kakimu sudah kedinginan, napasmu sesak. Aku hanya menunggu


sampai di puncak penderitaan, dan menyelesaikan pertarungan.

“Siapa lagi yang menghalangiku?

“Tak ada.

“Tak ada lagi.

“Tak ada lagi yang menghalangiku. Syangka jelek ini mendahuluimu, Kebo

Bangkai itu tak ada gunanya. Eyang Sepuh sudah hilang!

“Oh, Dewa… akulah lelananging jagat yang sesungguhnya!”

Upasara tak pernah membayangkan bahwa Kiai Sambartaka mabuk

kemenangan seperti sekarang. Menganggap menjadi ksatria sejati adalah tujuan
utama.

Lebih tak memperhitungkan bahwa kakinya terasa dingin, ngilu, dan
terganggu.

Pendeta Syangka berhasil melukai.

Karena rasa dingin menggigil itu mulai mengalir, mulai menyusup, sehingga
Upasara perlu mengerahkan hawa perut melawannya. Tenaga yang masih diperlukan
untuk bertarung.

Persembahan Kematian
DENGAN perhitungan yang penuh tipu tapi jitu, Kiai Sambartaka akan keluar sebagai
pemenang.

Pendeta Sidateka yang di belakang hari bisa merusak nama baiknya telah
dicelakakan.

Upasara yang disegani telah tercuri kekuatannya.


Benar-benar tak akan ada lawan yang sanggup menghadapi ilmu Kiai
Sambartaka.

“Manusia berhati lebih buruk dari binatang, sungguh percuma gelaran Kiai
yang kamu sandang.”

Kiai Sambartaka tersenyum dingin.

Lewat hidungnya.

“Katakan apa saja. Lebih buruk dari itu tak membuat aku sedih.

“Percuma saja kalian di tanah Jawa ini mengaku berilmu tinggi, ksatria sejati,
memakai sebutan eyang atau kiai atau empu. Nyatanya kalian ini masih
mementingkan gelar yang tak ada artinya.

“Hmmm, sungguh menjengkelkan.

“Bagaimana kalian bisa memperdalam ilmu yang begitu tinggi, tapi juga
sekaligus menggali kepicikan?

“Upasara, kamu dari turunan kesekian, masih tercium bau pupuk di ubunubunmu.
Akan tetapi kamu pun telah dicekoki bahwa ksatria harus begini-begitu.

Bahwa kiai, empu, eyang harusnya tidak boleh begini-begitu.

“Siapa yang mengharuskan semua itu?

“Kepicikan sempit macam apa pula yang mendasari ini semua? Bukankah

pengertian-pengertian derajat dan pangkat itu yang membuat kalian semua tersesat?

“Bukankah itu yang menghancurkan kalian?

“Sehingga aku yang mau tak mau disebut sebagai lelananging jagat, ksatria

nomor satu.

“Aku tak mengerti ajaran kalian di tanah Jawa ini.

“Tetapi aku tak peduli.


“Bagiku, hanya ada satu gelar yang tak tertandingi. Menjadi ksatria nomor
satu. Sekarang sudah di depan mata. Sebelum matahari bersinar sempurna, aku telah
memiliki, menyandang. Dan seluruh jagat akan mendengar nama besarku.

“Aku bisa mempercepat dengan menggempurmu sekarang, tetapi aku masih
ingin menikmati perlahan-lahan.”

Dalam benak Upasara, Kiai Sambartaka ini tak berbeda jauh dari Halayudha.
Mengejar sesuatu dan untuk mendapatkannya menempuh semua cara.

Bedanya, Kiai Sambartaka mabuk keunggulan sebagai pesilat, sementara
Halayudha lebih kepada kekuasaan Keraton.

Mengingat Halayudha, rasa gusar Upasara seperti terpancing. Pergolakan
darahnya menderas. Pada saat itu terasa darah dingin merayap ke atas.

Sehingga buru-buru ditenangkan kembali.

Bagi Kiai Sambartaka, cara mengatur napas Upasara membuktikan bahwa
memang ada gangguan dalam tubuhnya.

Sesuai dengan perhitungannya.

“Sayang sekali. Kamu masih muda. Ilmumu begitu sempurna. Tapi di jagat ini
hanya boleh ada satu lelananging jagat. Dan nasib tidak berpihak padamu.”

“Tak begitu mudah.”

“Memang tidak.

“Tapi aku pasti bisa meraihnya.

“Kini saatnya kamu rasakan pukulan Mandeg-Mangu, inti utama dari yang
kalian tiru sebagai Kitab Bumi.

“Aku paling segan berbicara. Akan tetapi pagi ini hatiku sangat gembira.”

Kiai Sambartaka tertawa dingin.

Kedua tangannya terkembang. Wajahnya dingin. Matanya menyorot tajam.


Upasara berdiri tegak. Sedikit memiringkan tubuh. Tangan kanan berada di
bagian belakang. Bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Upasara, kuambil gelaran terhormat ini.”

Sebat Kiai Sambartaka menggertak maju. Menyambar dada dan perut, dengan
menguasai serangan bagian tengah. Dengan sangat cerdik, Kiai Sambartaka berusaha
menerobos kekuatan Upasara. Yang agaknya tepat diperhitungkan oleh Kiai
Sambartaka. Pukulan dengan satu tangan masih dihindari.

Upasara menangkis dengan tangan kiri yang disampokkan ke bawah, dan
dengan siku tertekuk menyodok ulu hati lawan.

Kiai Sambartaka menyedot udara dalam hidungnya dengan kuat-kuat. Jurusjurus
yang sangat dihafal di luar kepala. Maka dengan enteng, dada Kiai Sambartaka
ditekuk. Kedua tangan tetap terkepal, siap membekukan darah di daerah yang
tersentuh.

Upasara membarengi dengan sebat, meloncat maju.

Pada saat itulah terasakan bahwa tenaga kaki tak bisa sepenuhnya dikuasai.
Tenaganya seperti macet. Kakinya seperti kesemutan.

Inilah kehebatan pukulan Pendeta Sidateka.

Udara dingin yang diciptakan dari pukulan Pendeta Sidateka bukanlah jenis
Pukulan Beku. Melainkan bekerja perlahan-lahan. Sekali lawan sudah terkena, hawa
dingin itu akan menjalar dengan sendirinya. Tanpa perlu tenaga Pendeta Sidateka.
Tenaga dalam lawan yang terkena yang akan menyebarluaskan hawa dingin
menggigilkan itu.

Kini hal itu dialami oleh Upasara.

Bebannya menjadi berat. Menghadapi Kiai Sambartaka di satu pihak, dan
menghadapi menjalarnya hawa dingin di lain pihak. Makin kencang ia mengerahkan
tenaga dalam, makin kencang pula selusupan hawa dingin itu.

Sepuluh jurus kemudian Upasara merasa bahwa kakinya bukan tak leluasa
digerakkan, akan tetapi beberapa kali seperti tak terasakan. Sudah bergerak atau
belum.


Rasanya sudah melangkah, tapi ternyata Kiai Sambartaka masih di luar jarak
pukulan dan tendangan.

Kalau benar begini, sebelum matahari sempurna, Kiai Sambartaka sudah bisa
merobohkannya.

Upasara benar-benar keteter. Pikirannya masih berbias akan nasib Nyai
Demang dan Eyang Kebo Berune. Dan makin merasa terdesak karena untuk
melangkah surut pun gerakan kakinya menjadi lamban.

“Aku hitung sampai tiga.

“Satu…”

Kiai Sambartaka mencengkeram pundak. Upasara mengelak dengan mengegos,

tapi saat itu kaki Kiai Sambartaka menerobos di antara kaki Upasara. Membedah dari
dalam. “Dua…”

Upasara meloncat dengan gerakan tersendat.

Tangan Kiai Sambartaka menyambar ulu hati, dan tak diundurkan lagi.
Sampokan tangan kiri Upasara dihadapi dengan keras.

Mengejutkan. Tangan Kiai Sambartaka seperti terkedut keras. Tenaga dalam
Pukulan Beku seperti diaduk dan dikocok. Tepukan Satu Tangan memang pengerahan
tenaga luar biasa!

Tidak terduga.

Pada serangan berikut, Kiai Sambartaka tidak berani menghitung “tiga”,

karena tidak yakin bisa memenangkan pada saat itu.

Namun ini tak mengubah akhir pertarungan.

Andai tidak terganggu hiruk-pikuk yang berkepanjangan. Suara kaki-kaki dan

gemerincingnya senjata.

Dalam waktu sekejap, muncul beberapa puluh prajurit dengan senjata yang
siap.


“Ini aku yang tua tak berguna, Sora yang hina. Tak perlu kalian berbasa-basi.
Aku sengaja datang, sengaja sowan ke Baginda sebagai tanda baktiku yang terakhir.

“Aku persembahkan kematian yang papa ini sebagai tanda kesetiaan kepada
Keraton.”

Suaranya mengguntur, keras, menyakitkan telinga.

“Dulu nyawaku tertolong oleh ksatria sejati Upasara Wulung. Kini tak ada lagi
yang menghalangi niat kalian semua. Mahapatih Nambi yang terhormat… apa lagi
yang Mahapatih tunggu?”

“Tangkap pemberontak!”

Dalam sekejap terjadi kekalutan. Para prajurit Keraton bergerak secara
serentak. Sementara para pengikut Senopati Sora pun mengangkat senjata.

Pertarungan tak bisa dihindarkan. Medan pertarungan juga meluas ke arah
Upasara Wulung dan Kiai Sambartaka yang segera berada di tengah pergulatan.

Kiai Sambartaka menjadi geram. Ia main hantam kiri-kanan. Beberapa prajurit
Keraton mati beku seketika. Akan tetapi dengan demikian prajurit yang lain
mengurung dan menyerbu ke arahnya. Meskipun bukan tandingan Kiai Sambartaka,
serangan itu merepotkan juga.

Sehingga ia tak bisa menyelesaikan serangan berikutnya kepada Upasara. Yang
segera mengepung dan menyerangnya.

“Paman Sora… ini saya…”

Upasara mencoba melompat ke arah Senopati Sora yang menoleh ke arahnya.
Akan tetapi karena gerakan kaki Upasara tidak sempurna, senjata Mahapatih Nambi
lebih dulu amblas ke perut Senopati Sora.

Ketika senjata disentakkan, tubuh Senopati Sora terbanting. Seluruh tubuhnya
seolah bermandikan darah.

Terang di Tanah, Tenang dalam Darah

UPASARA menggertak maju.


Tiga senjata diempaskan. Sabetan Mahapatih Nambi disodok dengan pukulan
terarah.

Merasa terbebas dari kepungan, Upasara berlutut.

Menunduk ke arah Senopati Sora.

“Paman…”

Wajah Senopati Sora pucat pasi. Hanya senyuman bahagia yang terkembang di
sudut bibir, memberi warna lain dari darah dan usus yang terurai ke tanah.

“Anakmas Upasara…”

Suara Senopati Sora terdengar jelas.

“Dua kali Anakmas menyabung nyawa menyelamatkan Paman yang tak
berharga ini…”

Upasara menggelengkan kepalanya.

Banyak yang ingin dikatakan seketika.

Banyak sekali.

Ingin juga dikatakan bahwa sesungguhnya sekarang ini justru Senopati Sora
yang menyelamatkan nyawanya. Ingin dikatakan betapa terima kasihnya yang tulus
ingin disampaikan karena Senopati Sora telah sedemikian baiknya menyimpan
cundhuk milik Gayatri. Ingin diceritakan panjang-lebar bahwa kekaguman tak
pernah berkurang kepada Senopati yang begitu penuh pengabdian, begitu gagah, tapi
juga begitu pedih penderitaannya. Ingin diceritakan bahwa ia mendengar semua dari
Nyai Demang tentang siksaan batin itu. Ingin ditumpahkan semua unek-unek
batinnya yang mengganjal.

Keinginan tinggal keinginan.

Saat ini justru Senopati Sora lebih perlu mengatakan, bukan mendengarkan.

Suasana sekitar tempat Upasara menjadi hening sepi.

Meskipun di luar lingkaran yang mengepung, korban terus berjatuhan.


Para prajurit dan senopati yang mengepung Upasara setengah merasa ngeri
akan ketangguhan Upasara, setengahnya lagi merasa tergetar hatinya.

Pemandangan yang memilukan.

Saat matahari mulai terang, di medan peperangan yang ganas, seorang Upasara
menunduk, memangku kepala Senopati Sora.

Tidak sedikit yang menyaksikan pemandangan yang sama, beberapa saat lalu.

Bedanya, saat itu Senopati Sora hanya terluka dan kemudian bisa sembuh dan
melanjutkan pengabdian, sekarang ini tak ada kemungkinan lagi.

“Tanah sudah terang… darah sudah tenang.

“Jangan iring kepergian Paman dengan air mata, Anakmas Upasara. Jelek-jelek
begini, Paman adalah prajurit, dan Anakmas Upasara juga prajurit.

“Sesama prajurit tak harus saling memamerkan air mata.

“Anakmas, sejujurnya inilah jalan paling terhormat bagi seorang prajurit.”

Pundak Upasara terguncang.

Bahunya bergerak-gerak menahan kepedihan hatinya. Bayangan wajah
Senopati Sora menghablur. Berubah menjadi wajah gurunya, ayah angkatnya yang
membesarkannya, Ngabehi Pandu. Dulu juga seperti sekarang ini.

Di pangkuannya pada saat-saat terakhir.

Hanya saja saat itu Ngabehi baru saja menyelesaikan pertarungan yang paling

ganas dengan lawan yang ingin menghancurkan Keraton.

Sekarang ini, berbeda.

Berbeda?

Tidak. Bagi prajurit sejati, kematian selalu sama. Sebagai tanda pengabdian,

sebagai persembahan utama.


Senopati Sora sudah mempersiapkan diri sejak lama. Saat-saat terakhir sudah
memakai pakaian serba putih, sudah keramas dan memotong semua kukunya.

Bersih.

Siap lahir-batin.

“Tanah sudah terang, Anakmas.”

“Ya, Paman.”

“Darah sudah tenang.”

“Ya, Paman.”

“Anakmas, Paman akan meminta sesuatu.

“Janganlah kepergian Paman menjadi penyebab huru-hara dan balas dendam.
Paman tak akan bisa tenang kalau itu terjadi. Tolong sampaikan kepada semua
pengikut Paman. “Bersediakah Anakmas Upasara?”

Upasara mengangguk.

Senopati Sora mangkat.

Matanya tertutup. Bibirnya menyunggingkan senyuman.

Tanah telah terang, darah telah tenang.

Selamat jalan, Paman Sora.

Upasara bersujud, menyembah.

Lalu berdiri dengan gagah. Kakinya masih kaku. Tangan kanannya tetap

terkulai. Tapi pandangan matanya keras membatu.

Mahapatih Nambi melangkah ke depan.

Berhadapan.

“Upasara, kita bisa mengadakan perhitungan lain waktu.”


Upasara menggeleng.
“Tidak karena soal ini.”
“Terima kasih.
“Kalau begitu, silakan datang ke Keraton.”
Upasara menggeleng.
“Tidak sekarang.
“Maaf, Mahapatih.”
Upasara melangkah seperti menyeret kakinya. Perlahan menjauh, ke arah


matahari yang makin membesar cahayanya.

Terang di tanah, tenang di darah.

Betapa indah kata-kata mulia itu.

Yang terucap dari seorang yang begitu pahit dan getir pengabdiannya.

Batin Upasara terguncang.

Senopati Sora tak begitu dikenal secara pribadi. Tak berbeda dari para senopati

Keraton yang lain. Pun saat-saat bertarung melawan pasukan Tartar. Kalau ada sedikit
keistimewaan hanyalah kaitannya dengan Gayatri.

Akan tetapi, terutama sekali yang menggeletarkan sukma Upasara bukan itu.

Senopati Sora bukan paman, bukan saudara, tidak bertalian darah dengannya.

Namun Upasara seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang dimiliki.

Jiwa pengabdian. Jiwa prajurit.

Jiwa yang mencintai tanah tumpah kelahirannya. Keraton yang menyemai
kebanggaannya.


Betapa mulia pengabdian Senopati Sora kepada Keraton. Seperti juga Gajah
Biru dan Juru Demung serta pengikut-pengikutnya yang setia.

Yang datang ke Keraton untuk memberikan nyawa, sebagai bukti kesetiaan
tanpa tanding.

Walau mungkin ditanggapi secara lain.

Walau memang diartikan secara berbeda.

Tak apa.

Tak membuat Senopati Sora dan pengikutnya benar-benar memberontak,
benar-benar mbalela, melawan perintah Raja, tidak membuat kraman atau
memberontak.

Sebab itu bukan jiwa prajurit sejati.

Sebab itu bukan sukma ksatria sejati.

Terang di tanah, tenang di darah.

Upasara terus menyeret langkahnya. Setiap langkah meninggalkan bekas di

tanah. Seakan menggoreskan luka, membekaskan duka.

Ah, betapa banyak kesengsaraan dan penderitaan.

Sejak Dewa Maut yang masih terkurung di bawah Keraton, Upasara menyadari

kegetiran hidup. Apa salahnya, sehingga Dewa Maut harus kehilangan semua ilmunya
dan semasa jaya dikucilkan hanya karena hidup bersama dengan sesama pria?

Sejak menyadari bahwa pendekar dan prajurit pengabdi seperti Eyang Kebo
Berune tersiksa oleh tenaga dalamnya.

Sejak menyadari bahwa seorang penduduk biasa tanpa dosa tanpa terlibat
masalah Keraton dan dunia persilatan, seperti Pak Toikromo, yang hidupnya begitu
jujur terbelah dadanya.

Pikiran Upasara berjalan bolak-balik tak menentu.


Saat seperti itu, kakinya makin sukar digerakkan. Makin tidak mengikuti
kemauannya.

Mengatur kembali pernapasan, melatih tenaga dalam, dan kemudian membalas
dendam?

Melabrak Kiai Sambartaka?

Menantang Halayudha?

Ah, betapa kecilnya. Betapa kerdilnya, dibandingkan jiwa besar Senopati Sora
yang terang di tanah, tenang di darah.

Upasara membiarkan tubuhnya ambruk.

Telentang di pinggir sawah.

Matahari makin panas.

Gerah.

Helaan napas.

Lepas.

Tapi darahnya masih bergolak, pertanyaan silih berganti menggelegak,
bertarung keras dalam benaknya.
Jalan Simpang
UPASARA makin terbaring.

Tanah semakin kering.

Secara pribadi kesadarannya makin menurun. Hawa dingin mulai naik dari
bawah kakinya. Kini sudah mencapai ke arah lutut. Merayap perlahan ke bagian paha.

Dengan kemampuan dan pengaturan tenaga dalam yang dimiliki, bagi Upasara
tak terlalu sulit untuk menghentikan aliran hawa dingin. Akan tetapi, jalan pikiran
Upasara masih bercabang, di mana setiap cabang pikiran mengembang ke cabang yang


baru.

Kematian Senopati Sora mengguncang batinnya. Justru karena keikhlasan
menerima dengan damai dan bahagia. Dengan pasrah, sumarah.

Inilah sesungguhnya bagian dasar Kitab Bumi yang dipelajari. Kemampuan dan
kemauan yang tulus untuk menjadi tumbal, untuk mengorbankan diri.

Guncangan batin ini tak jauh berbeda dari apa yang dialami oleh Eyang Kebo
Berune.

Inti Kitab Bumi, sesungguhnya lebih dalam dari ketajaman daya pikirnya.
Semakin dipelajari sesuai dengan perkembangan daya pikirnya, semakin menarik.

Sewaktu mempelajari Kitab Bumi pada awalnya, Upasara seakan menemukan
jalan buntu. Kagok. Pada saat ilmu dan tenaga dalam makin sempurna, pada saat yang
sama Upasara merasa ada bagian yang keliru dari yang selama ini diperdalam. Ada
arah yang salah, hanya dengan mempelajari ilmu silat.

Titik kritis yang tak bisa diatasi menyebabkan Upasara melepaskan semua ilmu
yang dimiliki.

Bertekad menjadi manusia biasa.

Tanpa beban pertarungan.

Namun ternyata Upasara tak bisa membebaskan diri dari pergulatan. Ia
mengundurkan diri, akan tetapi dunia persilatan justru makin melibatkan diri.

Tak ada titik untuk melangkah surut.

Tak ada titik untuk memalingkan wajah.

Pada pertemuan dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu, Upasara mampu
mengembalikan tenaga dalamnya dari tenaga cadangan. Ini semua menyebabkan
terlibatnya kembali ia dalam dunia persilatan.

Yang mencapai puncaknya pada pertarungan habis-habisan di Trowulan.
Semua jago jagat turun ke lapangan, dan meninggalkan korban-korban yang selama
ini justru melatih diri dalam dunia persilatan.


Mata Upasara pedih.

Sangat jelas dalam gambarannya, bahwa pertarungan ini juga dialami para
empu-empu linuwih, empu-empu yang bijak bestari. Seperti halnya ketika Paman
Sepuh Dodot Bintulu menuliskan gabungan ajaran-ajaran jurus silat, yang kemudian
dinamai Dua Belas Jurus Nujum Bintang.

Ajaran yang bersumber kepada sifat-sifat bumi yang perlu diteladani ini
menjadikan suasana dunia persilatan semarak. Di zaman Baginda Raja Sri Kertanegara,
dasar-dasar itu memperoleh tempat persemaian.

Dengan berhasilnya merumuskan Dua Belas Jurus Nujum Bintang, para ksatria
sejati justru merasa lebih risau. Karena perkembangan ilmu silat tak bisa dikendalikan
lagi. Menjamunya ajaran silat, membuka peluang besar adanya adu kesaktian yang
terus-menerus.

Keinginan untuk menciptakan ksatria sejati yang kelak menjadi senopati
utama, pada saat yang sama juga menciptakan petualang-petualang yang sekadar
mencari kemenangan.

Gegeran berlangsung lama.

Sampai kepada satu titik, di mana para ksatria utama saat itu menciptakan
kembali ilmu penangkal. Melalui pergulatan yang paling panjang, melalui semadi
yang tanpa ujung, lahir dan terpilihlah ciptaan Eyang Sepuh, Delapan Jurus Penolak
Bumi. Tumbal Bantala Parwa mengajarkan jurus-jurus untuk mengendalikan
ketelengasan Dua Belas Jurus Nujum Bintang.

Lebih dari Dua Belas Jurus Nujum Bintang, dalam Kitab Penolak Bumi tidak
semata-mata diajarkan cara mementahkan jurus lawan, cara mengatasi jurus-jurus
serangan. Kitab Penolak Bumi lebih menitikberatkan kepada ajaran menghilangkan
keinginan untuk menang, keinginan untuk unggul dengan menghancurkan lawan.

Kitab Penolak Bumi berisi kidungan-kidungan penyerahan.

Sekaligus penolakan.

Inilah yang menyebabkan Upasara seperti menemukan jalan buntu. Dan
sekarang ini guncangan itu terjadi lagi. Apa artinya semua ilmu yang dipelajari, kalau


ternyata seorang Senopati Sora yang begitu penuh pengabdian, harus menerima
kematian sebagai pemberontak?

Dasar dari meniada yang sangat gamblang disebutkan dalam kidungan Kitab
Penolak Bumi, menemukan bentuk utamanya pada apa yang dialami Senopati Sora.

Bahwa sesungguhnya, semua yang ada harus ditolak.

Karena yang ada itu tak pernah ada.

Karena daya asmara Putri Pulangsih tak pernah ada. Karena segala pangkat dan
derajat hanyalah titipan. Karena segala gelar kiai, empu, eyang, tak membuat
seseorang menjadi lebih bijak.

Dalam perjalanan hidup, apa yang dilakukan Eyang Sepuh adalah bagian dari
sikap yang didasari cara mengatur napas Kitab Penolak Bumi. Yang akhirnya
menempatkan langkah hidup Eyang Sepuh moksa.

Tak terlibat dalam percaturan ilmu silat.

Tak jauh berbeda dari apa yang dilakukan Mpu Raganata ketika berada di
dalam Keraton Singasari saat Raja Muda Jayakatwang menyerbu.

Mpu Raganata mampu melawan, mampu menyelamatkan diri. Akan tetapi
justru memberikan tenaga dalamnya kepada lawan.

Tak jauh berbeda dari Dewa Maut yang merasa damai dengan kurungan bawah
Keraton. Penjara seumur hidup itu justru diterimanya sebagai bagian dari

kebahagiaannya. Sehingga mampu menangkap getaran alam.

Mendengar akar tumbuh.

Mengetahui daun akan berubah warna.

Pokok pangkalnya sama.

Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan saat ini? Mengembalikan tenaga dalam,
menyelesaikan dendam seperti semula, baru kemudian pergi bertapa di Perguruan
Awan?


Apakah dengan membalas dendam, dirinya menjadi lebih benar? Apakah
justru tidak mengundang pertarungan yang lain lagi?

Berbeda dari Upasara, Kiai Sambartaka justru tengah berada dalam semangat
untuk tampil. Kebimbangan seperti yang dirasakan Upasara tak berbicara dalam
hatinya.

Sewaktu pertarungan pengikut Senopati Sora dengan prajurit Keraton makin
menghebat, Kiai Sambartaka justru menyudutkan diri. Baginya, pertarungan ini tak
ada hubungan sama sekali dengan dirinya.

Hanya akan merepotkan saja.

Maka ia segera menyingkir, menjauh dari pertarungan.

Apa yang diinginkan hanya satu. Mengungguli Upasara. Kemudian
mengumumkan diri sebagai ksatria nomor satu di jagat! Pada saat itu, ia bisa malang
melintang dan tercapailah semua yang diangan-angankan.

Maka satu-satunya halangan yang harus segera diselesaikan adalah melindas
Upasara. Dengan cara apa saja.

Sekarang adalah kesempatan terbaik.

Kiai Sambartaka bisa memperhitungkan, bahwa bagaimanapun hebatnya
Upasara, pukulan Pendeta Sidateka akan menjadi gangguan. Hawa dingin yang
bersarang dalam pembuluh darah Upasara, ibarat anggur, yang secara perlahan akan
mempengaruhi dalam jarak waktu lebih lama.

Upasara pasti tak bisa lari jauh.

Dengan kaki yang kaku, langkahnya tak akan sampai ke ujung pantai yang
lain.

Dengan jalan pikiran seperti itu, Kiai Sambartaka bergegas menyusul ke arah
matahari terbit. Arah ke mana Upasara menghilang. Dengan harapan akan menemui
Upasara yang sedang kesakitan, dan ia berhasil memanfaatkan kesempatan yang
menguntungkan.


Sewaktu Kiai Sambartaka meninggalkan medan pertempuran, peperangan
antara pengikut Senopati Sora dan prajurit Keraton sudah berhenti. Semua senopati
utama berhasil ditaklukkan, dan sebagian prajurit menyerahkan diri.

Mahapatih Nambi memerintahkan segera dilakukan pembersihan agar tidak
meninggalkan bekas-bekas.

Medan pertarungan bisa segera dikembalikan ke suasana semula. Korban yang
meninggal dikuburkan, yang sakit dirawat, yang menyerah diurus untuk tata
peradilan yang berlaku.

Belum sepenanak nasi, suasana kembali seperti semula. Bagian pinggir dinding
Keraton bersih seakan tak pernah terjadi sesuatu yang mengerikan.

Seakan tak pernah ada pertumpahan darah sesama saudara.

Akan tetapi, pertarungan dalam hati Mahapatih tak segampang itu
dibersihkan. Hati yang jauh lebih kecil, yang tak lebih lebar dari telapak tangan,
seperti tak bisa dibungkam sepenuhnya.

Telinga seperti mendengar rintihan.

Rintihan sendiri.

Yang makin jelas ketika Mahapatih kembali ke dalem kepatihan. Sebelum

akhirnya melapor kepada Baginda.
Simpang Kebimbangan
BAHWA dirinya akan menangkap dan mengadili Senopati Sora yang membangkang,


itu sedikit pun tak membuatnya ragu.

Semua sudah terbayangkan secara rinci dalam benak Mahapatih.

Yang tetap membuatnya terenyak adalah kenyataan bahwa tubuh Senopati

Sora menelentang di tanah dengan perut hancur, tetapi dengan sunggingan senyuman
luhur.

Adegan itu membuat Mahapatih bimbang.


Tanpa suara, tanpa menoleh kiri-kanan, Mahapatih segera masuk ke dalam
senthong. Ke dalam bagian rumah yang selalu dibiarkan kosong.

Kamar yang biasanya selalu dipakai buat bersemadi, berdoa, memasrahkan diri
kepada Yang Maha mutlak ini merupakan tempat yang teduh.

Semua senopati atau prajurit, selalu mempunyai senthong dalam rumahnya.

Ruangan yang selalu dibiarkan kosong melompong. Dengan jendela yang
selalu tertutup.

Hanya ketika Mahapatih membuka pintu, terdengar suara perlahan.

“Kenapa tak kamu basuh kakimu sebelum masuk kemari, anakku? Kenapa tak
kamu biarkan keringat menjadi kering lebih dulu?”

Mahapatih Nambi berlutut.

Bersila dan menghaturkan sembah.

Suara yang lembut, pelan menyentuh telinganya, adalah suara yang diakrabi
sejak masih kecil.
Suara Ayahanda.

Lelaki perkasa yang seluruh rambutnya putih dengan badan yang kurus itu
duduk di lantai dingin. Tanpa alas apa-apa.

Mahapatih menyembah lagi.

Jauh dalam hatinya, Mahapatih Nambi sangat menghormati ayahnya. Tokoh
pujaan semasa kecil, sampai ketika ia masuk sebagai prajurit, dan pangkatnya terus
naik, hingga ke puncak kekuasaan sebagai mahapatih.

Selama itu pula, Mahapatih Nambi merasa bahwa apa yang bisa dicapai adalah
karena restu dari ayahnya. Yang memilih hidup di Lumajang, hidup dari sawah dan
sungai. Yang tetap memilih cara hidup seperti ketika Mahapatih Nambi masih kecil.

Tak ada yang berubah.

Tak ada yang bertambah.


Beberapa kali Mahapatih Nambi mengirim utusan atau datang sendiri ke
Lumajang, baik untuk mengirimkan sesuatu atau memohon ayahandanya pindah ke
Keraton.

Akan tetapi ayahandanya selalu menolak.

Tak pernah bergerak lebih jauh dari tapal batas desa Gandhing.

Bahkan ketika Nambi dinobatkan sebagai mahapatih, ayahandanya tetap tak

mau diundang.

Sekarang ini, justru datang.

“Biarkan keringatmu kering, anakku.

“Ruangan ini tak bisa mengeringkan keringat seorang lelaki.”

Mahapatih menunduk.

“Sungguh bahagia, Bapak berkenan menengok anaknya yang berada di jalan

persimpangan ini.
“Rasanya saya merasa bukan anak lola, yang tak mempunyai siapa-siapa dan

apa-apa lagi.”

“Tata bicaramu bagus sekali, anakku.

“Kenapa harus bimbang? Bukankah semua jalan adalah persimpangan?

Bukankah semua jalan menuju ke arah yang kita mau?

“Anakku, sebagai prajurit kamu tahu di mana jalanmu.

“Sebagai orang dusun, aku tahu di mana jalanku.

“Kenapa merisaukan persimpangan, yang bukan jalan kita?”

“Mohon petunjuk lebih jauh.”

“Anakku, siapa yang berani memberi petunjuk Mahapatih?”


Suara itu justru menyayat Mahapatih yang makin menunduk.
“Tapi kamu anakku.
“Kamu Nambi yang setia menunggu batang padi tumbuh. Setia menunggu air


di sawah.

“Yang mendengarkan dongengan prajurit utama.

“Nambi, anakku.”

Mahapatih terkejut. Hatinya sedikit kecut. Suara Ayahanda seperti

mengisyaratkan sesuatu.

“Pandanglah bapakmu ini.”

Mahapatih mendongak perlahan.

Wajah yang dulu sangat dikenalnya.

Wajah yang sekarang selalu dibayangkan.

“Aku masih bapakmu, Nambi.

“Kamu masih anakku.

“Tapi jalan yang kita tempuh jauh berbeda. Sewaktu aku datang, prajurit


prajurit mengelukan, menyambut dengan upacara besar-besaran. Pranajaya Mpu Sina,
bapak agung Mahapatih, berkunjung.

“Ah, siapa yang menjadi empu?”

“Maaf…”

“Tak ada yang perlu dimaafkan, Nambi.

“Tak apa.

“Semua harus begitu.


“Kalau ada jalan simpang, itulah jalan simpang yang ada. Akan tetapi jangan
membuatmu bimbang.

“Teruskan langkahmu.

“Aku bangga padamu.

“Kamulah anak lelakiku, kamulah prajurit, mahapatih tempat rakyat mencari
perlindungan.”

Mahapatih menunduk.

“Aku tak punya kata-kata. Tata kramaku sangat buruk, Nambi.

“Bahkan untuk menyembah seorang mahapatih pun tak mampu. Aku hanya
ingin menengokmu. Menengok anakku, prajuritku.

“Sekaligus aku minta pamit.

“Kalau nanti aku berada di Gandhing, aku akan merasa bahagia karena telah
melihatmu.

“Anakku, prajuritku.

“Teruskan langkahmu. Langkah prajurit yang gagah.”

Mpu Sina mengangguk.

Perlahan berdiri.

Mahapatih masih menunduk.

Tak bergerak.

Mpu Sina berjalan perlahan. Sampai di pintu senthong berhenti sebentar.
Tangannya yang lembut menyentuh pundak Mahapatih.

“Teruskan langkahmu. Langkah prajurit yang gagah.

“Kalau kamu membelok ke Lumajang, itulah persimpangan yang salah.


“Selamat, anakku.
“Dewa Yang Mahaagung akan selalu menyertaimu.”
Mpu Sina meneruskan langkahnya. Keluar dari senthong, melalui ruang


utama, menuju pendapa, dan melalui halaman kepatihan, menuju pintu gerbang.

Dan lenyap.

Kembali ke desa Gandhing.

Mahapatih masih menunduk di depan pintu senthong. Tak berani bergerak.

Inilah pengalaman yang sangat luar biasa.

Untuk pertama kalinya, ayahandanya bersedia datang ke Keraton. Untuk

terakhir kalinya pula.
Betapa jauh perjalanan dari Lumajang, untuk seorang setua ayahandanya.

Apalagi ditempuh dengan jalan kaki, sebisanya, sekuatnya.

Tak ada gunanya mengirimkan kuda, joli, atau pengawalan.

Seperti juga ketika kembali.

Satu langkah demi satu langkah.

Dengan bantuan tongkat dan istirahat.

Itulah ayahandanya. Yang tetap merasa sungkan disebut empu. Yang merasa

tak pantas dikawal.

Itulah lelaki yang menempa batinnya sehingga ia seperti sekarang ini.

Mahapatih bisa membayangkan bahwa jauh sebelumnya, ayahandanya sudah

berangkat. Dan dengan perhitungan batin yang tak diketahui bagaimana caranya,
datang pada saat yang tepat.

Saat Mahapatih gundah.

Dan datang dengan petuah.


Bahwa apa yang dilakukan sekarang ini adalah jalan yang tepat bagi seorang
prajurit. Dirinya adalah prajurit.

Tak ada kelegaan yang bisa membuat Mahapatih bersyukur selain kalimat
tersebut.

Tapi juga kekuatiran yang dalam.

Kenapa disebut-sebut jalan simpang itu justru kalau ia mengingat Lumajang?
Kalau ia ke desa Gandhing? Kalau ia menempuh jalan yang diartikan sebagai “bukan
jalan prajurit”?

Mahapatih merasa bahwa kata-kata ayahandanya mempunyai arti yang dalam.
Hanya ia tak bisa mengerti ke mana arahnya.

Dalam hal tata susastra, Mahapatih Nambi merasa dirinya sangat tumpul. Apa
yang dilatih dan diketahui dengan baik adalah apa-apa yang bisa dilihat. Yang serba
jelas.

Rangkaian indah di balik kidungan, tak bisa tertangkap dengan baik.

Itu salah satu yang membuatnya dulu bimbang mendapat pangkat paling
terhormat sebagai mahapatih.

Masih lama Mahapatih Nambi terus berlutut di depan pintu senthong yang
menganga, seakan mengundang segera masuk.
Prawita Parwa
PERMAISURI INDRESWARI yang pertama kali mendengar secara lengkap.

Wajahnya tetap dingin.

“Apa istimewanya, Halayudha?

“Bukankah itu seharusnya? Seorang pemberontak mati, hukuman yang

terbaik.

“Apa istimewanya kamu laporkan kematian Sora?”

Halayudha menyembah dengan hormat.


“Maaf atas kelancangan hamba, Permaisuri Agung.

“Hamba selalu bersikap lancang dan kurang seronok dalam mengutarakan
pendapat. Akan tetapi hamba berpendapat, akan lebih baik kalau Permaisuri memberi

perhatian kepada Mahapatih.”

Alis Permaisuri Indreswari bergerak.

“Halayudha, benarkah kamu ini senopati yang paling dekat dengan Baginda?

“Benarkah Baginda memilihmu karena kamu begitu dungu?

“Perhatian apa yang perlu aku berikan kepada Nambi? Hadiah?”

“Begitulah, Permaisuri Agung.”

“Aku ingin menanggalkan derajat dan pangkatnya sekarang juga, kalau

mungkin!

“Apa istimewanya?

“Dalam pandanganku, Nambi gagal menjalankan tugasnya. Kalau tidak,

Pendeta Syangka, Kiai Sidateka, tak perlu menderita seperti sekarang ini.
“Sudah jelas semua mengetahui bahwa Pendeta Syangka pendamping Putra

Mahkota, masih juga bisa terluka.”

“Begitulah, Permaisuri Agung.”

“Begitulah?”

“Maaf, Permaisuri Agung.

“Dengan memberikan hadiah, Mahapatih Nambi tak merasa dimusuhi.
Sebaliknya akan merasa dekat dengan Permaisuri Agung. Pada saat seperti itu,
rasanya lebih mudah mengawasi gerak-geriknya.

“Kalau Permaisuri Agung menunjukkan permusuhan, Mahapatih Nambi akan
merasa perlu berhati-hati.”


Kali ini alis Permaisuri Indreswari tergerak lagi.
“Rasanya ada gunanya mendengarkan pendapatmu.”
“Maaf, hamba hanya mengutarakan yang biasa-biasa.
“Karena Mahapatih Nambi sedang mabuk kemenangan saat ini.”
“Halayudha…
“Kudengar ilmu silatmu juga cukup sakti. Apakah kamu tidak bisa


mengusahakan penyembuhan Pendeta Syangka?”

Darah dalam nadi Halayudha bergolak.

Kemarahannya mencapai puncak. Kehadiran Pendeta Syangka justru sangat

menyulitkan posisinya. Karena begitu Putra Mahkota naik takhta, pasti Pendeta
Syangka yang akan menguasai segalanya.

Berarti tak ada tempat baginya.

Sudah bagus sekarang ini keadaannya setengah mati.

Akan tetapi Halayudha memendam semua perasaannya.

“Hamba hanya bisa mencoba.

“Kemurahan Dewa akan menyertai pendeta yang bijak dan mulia. Hanya
karena dasar ilmu silat dari Syangka berbeda, hamba memerlukan waktu untuk
mempelajari…”

Dengan pendekatan begini, Halayudha bisa menguasai secara resmi. Paling
tidak ini memberi kesempatan buat mengulur waktu, kalau tak bisa segera
disembuhkan.

Dan Halayudha bisa mempelajari ilmu Pendeta Sidateka. Selama ini, bagi
Halayudha masih menimbulkan teka-teki. Karena luka di dalam tubuh Pendeta
Syangka tidak mengalirkan darah segar, melainkan dalam bentuk gumpalangumpalan.



Semacam kekuatan dingin yang dikuasai dengan baik, hingga ke susunan
darahnya.

Kalau benar begitu, Halayudha yakin bisa mempelajari dan kemudian
menguasai lebih baik daripada pemilik ilmu.

Sejak munculnya para tokoh sakti mandraguna sejagat, mata Halayudha
terbuka makin lebar. Ia memerlukan waktu untuk mengenal berbagai kemungkinan.

Naga Nareswara saja sudah begitu hebat.

Juga Kama Kangkam dari Jepun.

Beruntunglah ia berhasil mengecap sebagian ilmunya. Namun di saat merasa
makin bertambah, muncul lagi Ratu Ayu Bawah Langit yang menggetarkan.

Yang mempunyai dasar yang berbeda.

Apa salahnya kini berusaha mengenal ilmu dari Syangka?

Dengan cara itulah Halayudha mendekati Pendeta Sidateka, dan merawat.
Berpura-pura menyalurkan tenaga dalam, mempelajari cara pernapasan.

Namun setiap kali akan berhasil, ia melepaskan kembali sambil
menggelengkan kepalanya.

“Sulit… sulit sekali.”

Yang lebih menggembirakan bagi Halayudha ialah ia mendapat keleluasaan
untuk menggeledah suasana dan kamar Pendeta Sidateka. Sehingga akhirnya bisa
menemukan tulisan pada selembar kain sutra.

Pandangan Halayudha yang tajam dan menyelidik segera mengetahui bahwa
tulisan itu pasti bukan sembarangan. Maka secara diam-diam ia menyalin dalam
ingatannya, dan kemudian menuliskan untuk dipelajari secara perlahan-lahan.

Setiap kali mengobati, setiap kali pula mencuri pandang dan mengingat serta
kemudian mencatat.

Adalah di luar dugaan Halayudha ketika rangkaian yang disalinnya memberi
rangsangan untuk mempelajari lebih mendalam.


Karena susunan kidungan yang ada sangat mirip sekali dengan Kitab Bumi.

Prawita Parwa, adalah kitab permulaan

pada mulanya yang ada hanya air

air yang mengalir

ke tempat rendah

air di bumi

air di langit

air di tubuh

di mana ada ruang

di situ ada air

pada awalnya air

pada akhirnya kembali ke air

karena air mengalir….

Yang membuat Halayudha setengah gemetaran ialah kenyataan bahwa
kidungan itu justru sangat mirip dengan apa yang diciptakan gurunya!

Sifat-sifat air itu pula yang mendasari lahirnya jurus Sindhung Aliwawar yang
mencapai puncaknya dengan jurus Banjir Bandang Segara Asat.

Ini betul-betul luar biasa.

Halayudha tidak mengerti bagaimana mungkin Kitab Permulaan ini berada di
tangan Pendeta Sidateka.


Sungai juga air
setelah menyeberangi sungai, jangan terlalu dekat
sebelum menyeberangi sungai, lihatlah riak
sungai menciptakan laut
laut tak menciptakan sungai


sungai mengumpulkan mata air
yang menetes, yang merembes
tapi tidak menampung…


Halayudha makin yakin bahwa Prawita Parwa, atau bisa juga disebut Kitab
Permulaan, kitab untuk berguru, kitab sebab-musabab, mempunyai kaitan langsung
dengan Kitab Bumi yang didewa-dewakan.

Ketajaman pandang Halayudha dalam soal seperti ini tak perlu diragukan lagi.
Yang sedikit menjadi tanda tanya dalam hatinya ialah kenapa sejak mula ia tak pernah
mendengar adanya Prawita Parwa ini?

Padahal kalau diperhatikan, petunjuk yang ada dalam Prawita Parwa jelas
menunjukkan cara-cara memainkan ilmu silat dan mengatur pernapasan. Dengan
kidungan yang lebih jelas, tidak dengan balutan kalimat yang susah ditafsirkan.

Latihan pertama
air selalu rata



tenaga merata
melalui lubang kulit
panas tubuh keluar
melalui lubang tubuh
dingin tubuh memancar


kerahkan tenaga seperti

menunggang kuda

ambil udara

dari dada, kanan dan kiri…
Matirta Parwa
HALAYUDHA mengerahkan seluruh kemampuannya.

Sekali lagi ia menyelinap ke kamar Pendeta Sidateka. Kali ini dengan sepenuh
hati ia menjajal mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa dingin yang
masih tertahan pada beberapa bagian.

Pengerahan tenaga yang dilakukan tidak dengan mendorong ke luar,
melainkan dengan latihan pernapasan yang dipelajari. Yaitu dengan menyelimutkan

tenaga dalamnya ke bagian-bagian yang terganjal alirannya.

Hasilnya di luar dugaan Halayudha.

Pendeta Sidateka mulai mengerang.

Bahkan bibirnya bisa berkomat-kamit.

“Terima kasih, Senopati Halayudha.”

“Di antara sesama saudara, rasanya ucapan itu berlebihan, Kisanak.”


“Tenaga dalam Kisanak sungguh luar biasa.
“Dari mana Kisanak mempelajari?”
Halayudha terlalu mudah menebak arah pertanyaan Pendeta Sidateka yang


mulai mencurigainya.
“Sejak pertama kali saya hanya mempelajari ilmu semacam ini. Apa yang

diketahui banyak orang yang lain.”

“Cara mengatur pernapasan dari Kitab Bumi?”

“Kisanak lebih paham dari saya.”

Pendeta Sidateka menggelengkan kepalanya.

Walaupun suaranya lirih dan pengucapannya perlahan, Halayudha bisa

mendengarkan dengan jelas.
“Rasanya aneh sekali. Saya mempelajari, akan tetapi tetap tak bisa memahami.

Begitu luar biasa luas dan dalamnya.”

“Ah, saya belum bisa menerima pujian seperti ini.”

“Rasanya saya mengenali cara mengatur napas Kisanak. Kalau benar begitu,

saya bisa mempelajari juga.”

Halayudha menjajal lagi. Kali ini justru melakukan yang sebaliknya.
Tenaga dalamnya tidak untuk melindungi, melainkan mendorong seperti pada
awalnya.

Sehingga wajah Pendeta Sidateka menjadi merah dan napasnya tersengalsengal.
Halayudha terus memaksa, sehingga Pendeta Sidateka mengeluarkan jeritan
tertahan.

Tak sadarkan diri.


Saat itu dengan cepat Halayudha membuka lembaran kain sutra dan membaca
serta menyimpan dalam ingatannya dengan cepat. Setelah mengembalikan ke tempat
semula, Halayudha segera meninggalkan kamar.

Kembali ke dalam kamarnya.

Sambil bersemadi, Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
menuliskan dengan cepat apa yang diingatnya.

Kidungan pemula ini juga berarti
kidungan tentang air, air suci
maka kitab ini juga bisa disebut
Matirta Parwa, artinya kitab tentang
mandi dengan air suci
Tirta itu air, Matirta mandi
mandi itu membersihkan
mandi menyucikan
hanya air yang bisa mencuci
hanya air yang bisa dicuci


Kidungan pertama, di mana air
di bumi
tanpa air, bumi bukan bumi
di langit



tanpa air, langit bukan langit
di badan
tanpa air, badan bukan badan
di jiwa,
tanpa air, jiwa bukan jiwa

Air adalah tenaga
tenaga ada di mana saja
tarik napas, itulah tenaga
biarkan di dada,
gerakkan tangan
kiri atau kanan
sama saja
selama tak dibendung
air terus menggulung

Bumi lebih mudah dikenali
karena bumi diinjak setiap kali
air terlupakan
karena menyatu di badan


Bumi ada pusatnya, di pusar
air tanpa pusat tanpa pusar
Bumi ada bentuknya, pukulan
air membentuk rangkulan


Inilah kidungan pertama
sebagai puji syukur kepada Dewa
yang dicipta dari air!


Bagi Halayudha kini segalanya menjadi lebih jelas. Bahwa kidungan utama
Matirta Parwa ini mempunyai sangkut-paut secara langsung dengan Bantala Parwa.
Karena secara gamblang pula dijelaskan perbedaannya dengan Kitab Bumi.

Bahkan kelihatannya seperti menerangkan ada sesuatu yang masih kosong
dalam Kitab Bumi. Hal ini tak usah diragukan lagi. Kitab Bumi mengajarkan ajaran
pernapasan yang berpusat pada satu tempat. Di pusar.

Semua udara yang diisap kuat disalurkan lewat hidung, ke atas melalui rongga
kepala, ke bawah lewat tulang punggung, dan akhirnya terkumpul di perut, dan naik
ke dada. Baru kemudian disalurkan lewat tenaga dorongan di tangan.

Sedangkan Matirta Parwa justru sebaliknya. Pengerahan tenaga itu bisa dari
mana saja. Selama tenaga tak terbendung, bisa dialirkan. Bisa dikerahkan secara
seketika, tanpa harus menghimpunnya lebih dulu.

Pada tingkat tertentu, kecepatan pengerahan dan perubahan tenaga menjadi
kunci keunggulan dibandingkan dengan apa yang dituliskan dalam Kitab Bumi.

Itu pula sebabnya dengan sangat mudah sekali tenaga dalamnya bisa
dikerahkan untuk menahan dan mengepung hawa dingin dalam tubuh Pendeta


Sidateka. Serta membiarkan saja, dan menyebabkan hawa dingin mencair. Leleh, dan
menjadi tenaga biasa.

Tidak mengganjal, tidak menghambat.

Mempergunakan sifat air.

Bagai kerasukan Halayudha menjajal, melatih, dan mempelajari ulang. Setiap
kali mencoba menyalin, Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya sehingga
berkeringat dan sesudahnya menjadi keletihan.

Kenyataan ini justru membuat Putra Mahkota Kala Gemet sangat menghargai.
Karena disangkanya Halayudha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
menyembuhkan Pendeta Sidateka yang sangat dihormati.

“Sebentar Paman Sidateka akan sembuh kembali,” kata Putra Mahkota dengan
wajah berseri.

“Rasanya begitu, duh sang Calon Raja.

“Hamba ingin segera sembuh, akan tetapi tujuh hari mulai hari ini, biarlah
hamba sendiri yang menjajal. Hamba tak ingin merepotkan Senopati Halayudha.”

“Tak apa, Paman Sidateka.”

“Maaf, tetapi hamba tak bisa menerima kebaikan ini. Hamba mohon sudilah,
duh Sang Calon Raja.”

“Kalau itu permintaan Paman, itu yang menjadi keputusan.”

Halayudha menerima perintah dengan menyembah hormat.

Apa yang menjadi perasaan hatinya sama sekali tak tergambar dalam
wajahnya, dan sikapnya. Kegalauan Halayudha terutama sekali karena munculnya
perhitungan bahwa Pendeta Sidateka mulai mengendus ada sesuatu yang
mencurigakan.

Dengan kata lain, Pendeta Sidateka mulai tahu bahwa sebagian ilmu yang
disimpannya tercuri.

Halayudha tidak kuatir mengenai hal ini.


Akan tetapi ia tak mau berhenti di tengah jalan. Apalagi ketika mulai bisa
melatih, Halayudha menemukan perubahan dalam dirinya. Ada semacam keleluasaan
dalam mengendalikan jurus-jurus yang dimainkan.

Bahkan ketika melatih jari-jarinya, Halayudha merasa bahwa keempat jari
kanannya yang kutung seperti ada kembali!

Bisa menyalurkan tenaga. Bisa tergetar.

Bisa digetarkan!

Bagi Halayudha itu hanya sedikit memutar akal untuk menemukan jalan,
bagaimana merampas atau mengetahui isi Matirta Parwa.

Jalan yang paling sederhana adalah meminjam tangan Baginda.

Jamu Asmara
HANYA masalahnya sekarang ini, Keraton masih dilanda kemelut. Suasana kurang
menyenangkan.

Ternyata kematian Senopati Sora dan seluruh pengikutnya sangat memukul
perhatian Baginda. Sehingga resmi Baginda tidak mau ditemui siapa pun.

Baik oleh semua permaisuri, maupun Halayudha.

Bagi Halayudha ini sedikit aneh, karena selama ini tak pernah masuk dalam
akalnya bahwa dirinya akan dijauhi. Selama ini Halayudha merasa bisa berada di
dekat Baginda dalam keadaan apa pun.

“Semua kesalahan saya, Mahapatih,” kata Halayudha merendah ketika
Mahapatih Nambi menghubungi. “Kesalahan saya yang utama, karena saya berlaku
begitu kejam pada Senopati Sora.”

“Bukan Paman Halayudha yang berbuat itu, tetapi saya.”

“Mahapatih, tangan kanan Baginda…


“Bukan kesalahan Mahapatih. Inilah salah hamba, yang tak bisa menangkap
maksud Baginda yang sesungguhnya. Baginda kurang berkenan pelenyapan Senopati
Sora terjadi di samping Keraton.”

“Saya yang menyergapnya.”

“Betul, akan tetapi hambalah yang…”

“Paman Halayudha, kalau ini kesalahan, biarlah saya yang menanggung.

Bukan Paman.
“Silakan Baginda menjatuhkan hukuman, saya akan menerima dengan sikap

prajurit sejati.”

“Duh, Mahapatih…

“Kalau sekiranya Baginda bersabda apa yang menjadi salah kita, hamba tak

akan serepot sekarang ini.”

“Cobalah ketahui apa kehendak Baginda. Lewat Permaisuri Indreswari…”

“Maaf, barangkali hamba lancang.

“Akan tetapi sesungguhnya Permaisuri Indreswari kurang berkenan dengan

Mahapatih.”

Sejenak keduanya terdiam.

Halayudha menunduk lesu.

Merasa salah. Malu. Menyesal.

“Saya sudah merasa, Paman.”

“Permaisuri Indreswari sengaja memberi hadiah kepada Mahapatih, agar

Mahapatih merasa tak menduga isi hati Permaisuri Indreswari yang sesungguhnya.

“Hamba hanya abdi Baginda. Keset kaki Baginda.

“Tak mempunyai hak untuk mendengar apalagi menceritakan.”


“Katakan saja, Paman.
“Adalah menjadi sikap prajurit untuk ditegur dan dipuji.”
“Mahapatih sungguh bijaksana.
“Luas pengetahuannya. Hanya sekali ini Mahapatih berhadapan dengan


Permaisuri Indreswari yang berasal dari tanah seberang, yang kurang mengenal tata
krama Keraton.

“Permaisuri Indreswari merasa bahwa Mahapatih di belakang hari bisa
menjadi penghalang bagi takhta Putra Mahkota Kala Gemet.”

Mahapatih terdiam lama.

“Hanya karena Putra Mahkota mencalonkan Pendeta Syangka sebagai
mahapatih di kelak kemudian hari.

“Duh, Mahapatih Nambi… sejelek dan seburuk apa pun, hamba bisa
menjunjung tinggi jasa-jasa Mahapatih dalam mengabdi Keraton. Dan dalam hal ini
Pendeta Sidateka bukan tandingan apa-apa.

“Akan tetapi dengan ilmu tenungnya, Putra Mahkota bisa dikuasai dan
diarahkan.

“Maaf kalau hamba berbicara agak panjang-lebar, Mahapatih…

“Bagi hamba tak menjadi masalah kalau itu pikiran Putra Mahkota atau
bahkan Permaisuri Indreswari. Akan tetapi kalau sampai terdengar Baginda, akan lain
soalnya.”

Mahapatih Nambi mengangguk perlahan.

“Kadang hamba berpikir buruk untuk tak mau menyembuhkan Pendeta

Sidateka… agar tak menimbulkan persoalan di belakang hari…”

“Jangan lakukan itu, Paman!

“Itu bukan jiwa ksatria.”


Dalam hati Halayudha menertawakan Mahapatih Nambi setengah mati. Ia
merasa bisa memasukkan hasutan yang di kelak kemudian hari akan membara, dan
membakar semua hubungan baik yang ada.

Kalau ini sesuai dengan rencana, berarti jalan yang dirintis berhasil.

Dirinyalah yang akan keluar sebagai pemenang.

Bukan Nambi atau Sidateka.

Melainkan Mahapatih Halayudha!

Itu berarti tinggal satu langkah saja untuk menggeser takhta Kala Gemet ke

atas kepalanya sendiri.

Tanpa pendukung yang kuat, Kala Gemet bukan apa-apa baginya. Terlalu
gampang untuk melenyapkan.

Hari kedua Pendeta Sidateka mengurung diri, Halayudha sengaja berdandan
sebagus mungkin. Sisiran dan gelungan rambutnya dibuat sedemikian rupa sehingga

aneh, dan wajahnya selalu berseri-seri.

Begitulah yang dilakukan selama menunggu di depan kamar Baginda.

Dan seperti jebakannya, umpan ini tercium Baginda yang segera

memanggilnya ke dalam kamar.

Halayudha bersujud, seakan menenggelamkan wajahnya ke lantai.

“Tubuhmu bau kesturi… pakaianmu bau melati. Ada apa sebenarnya kamu

ini?”

Halayudha menunduk malu-malu.

“Segala dosa, biarlah hamba tanggung sendiri, Baginda.

“Karena tidak becus menjalankan perintah dan menjaga keluhuran Baginda,

sehingga membuat Baginda berduka, hamba yang tak berguna ini…”
“Halayudha!”


“Hamba tak bisa bersembunyi dari bayangan Baginda.
“Selama ini hamba menjalin hubungan asmara dengan salah seorang dayang


hamba sendiri.”

Bibir Baginda tertarik sedikit.

“Hmmm.”

“Hamba memang sudah tua. Sudah loyo. Akan tetapi sejak hamba minum

ramuan jamu asmara… rasanya menjadi muda kembali.”

Dugaan Halayudha tepat.

Umpan yang tercium itu mulai diendus.

“Jamu asmara?”

“Sembah bagi Baginda…

“Selama ini hamba minum jamu asmara, akan tetapi hasilnya biasa-biasa saja.

Akan tetapi sejak minum ramuan jamu asmara Mpu Suwanda… rasanya agak
berbeda.”

“Mpu Suwanda?”

“Hamba bagian tumbuh-tumbuhan, tetuwuhan…”

Umpan yang terendus ini mulai disentuh dengan bibir. Dengan gigi.

Meskipun sambil lalu, Baginda menanyakan siapa Mpu Suwanda. Dan dengan
rendah hati, Halayudha menjelaskan abdi dalem bagian tetuwuhan ini tak pernah
diperhitungkan sebelumnya. Malah dijauhi oleh para tabit Keraton.

Para tabit atau tabib Keraton menganggap selama ini Mpu Suwanda hanya
mempelajari pengobatan yang kasar dan rendah. Sesuai dengan namanya suwanda
yang artinya badan atau tubuh. Yang bersifat badani.

Tapi justru berhasil menemukan ramuan jamu asmara yang khasiatnya
membuat Halayudha merasa kembali muda.


Secara tidak langsung Baginda mengatakan keheranannya.

Bagi Halayudha ini sudah berarti Baginda telah memakan umpan. Secara
bulat-bulat.

“Barangkali Baginda ingin melihat hasil yang dibuat oleh Mpu Suwanda.
Sebagai abdi dalem, akan merasa sangat terhormat sekali kalau Baginda berkenan
melihat apa yang diperbuat.

“Hamba seharusnya melaporkan semua yang terjadi… tetapi hal ini terlalu
sepele di hadapan Baginda…”

Secara tidak langsung pula Halayudha meninggalkan contoh akar-akar yang
bila diseduh memberikan kekuatan asmara.

Perhitungan Halayudha, Baginda sedikit-banyak akan sungkan kalau diketahui
menggunakan jamu asmara. Karena sudah ada tabit Keraton yang diam-diam
menyediakan.

Maka dengan meninggalkan contoh, pasti Baginda dengan diam-diam akan

mencoba.

Perhitungan Halayudha sangat sederhana.

Bahwa Baginda juga seorang lelaki. Lebih dari dirinya, Baginda mempunyai

pilihan dan kesibukan yang lebih beragam.

Nyatanya begitu.

“Tapi dari mana Tabit Suwanda menemukan ramuan yang begitu khusus?”

“Menurut pengakuannya, diperoleh dari Pendeta Sidateka, dari kitab yang

disebut Prawita Parwa, yang disimpan secara diam-diam. Hanya saja belum
seluruhnya terpelajari, karena Pendeta Sidateka sengaja merahasiakan.

“Malah, kalau hamba tidak salah, sekarang tak mau dijenguk siapa pun.”

Baginda mengeluarkan suara dingin.

“Panggil Kala Gemet kemari. Biar ia yang membawa kitab itu kemari. Sekarang
juga.”


Tirta Haruna
RASANYA, sebelum kata-kata Baginda selesai, kitab yang dimaksudkan sudah bisa
diambil. Tak ayal lagi segera Halayudha mengambil salah seorang untuk dipaksa
mengaku sebagai Tabit Suwanda, yang kemudian membuat jamu asmara.

Halayudha sendiri lebih memikirkan Matirta Parwa. Beberapa yang sudah

dihafal dan dicatat dicocokkan kembali. Tak ada satu patah kata pun yang meleset.

Namun ini tidak membuat Halayudha bergembira.

Justru sebaliknya.

Hatinya menjadi was was. Karena merasa bahwa Pendeta Sidateka sengaja

memasang jebakan untuknya. Dengan sengaja kitab itu diberikan, akan tetapi
sebenarnya telah diubah!

Telah dibuatkan catatan yang baru, yang justru akan mencelakakan
Halayudha!

Pasti.

Tak bisa lain.

Pendeta Sidateka bukan orang yang bodoh, bukan tokoh yang begitu saja
menyerahkan kitab pusaka. Apalagi kepada seseorang yang sama sekali tak bisa
dipercayai.

Jalan pikiran Halayudha menggambarkan siapa dirinya.

Kalau dirinya adalah Pendeta Sidateka, hal yang sama inilah yang dilakukan.
Karena tak mungkin menolak perintah Raja, kitab diserahkan setelah diubah
sedemikian rupa. Agar si penerima tidak curiga, bagian yang telah disalin tetap dibuat

sedemikian rupa sama persis.

Yang lainnya diubah susunannya.

Sehingga kalau berlatih dengan urutan yang berbeda, hasilnya akan berbalik.


Itu sebabnya Pendeta Sidateka meminta waktu satu pekan agar tidak diganggu
sama sekali.

Apa lagi yang diperbuatnya kalau tidak berusaha mengelabui? Apa lagi selain
waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan perubahan? Hal yang sangat mudah
dilakukan karena lembaran kain sutra itu memang tidak memakai urutan.

“Ia bisa mengelabui Raja, tetapi tidak seorang Halayudha,” kata Halayudha
pada dirinya sendiri.

Jalan terbaik yang akan ditempuh ialah mencoba mengurutkan sendiri, sesuai
dengan kemampuannya.

Dengan cara ini, ia akan berpura-pura teracuni, dan pada saat itu justru akan
bangkit menyikat lawan-lawan atau penghalangnya.

Karena tidak mempunyai lawan bicara yang bisa mendengarkan dengan baik,
Halayudha lebih suka berkata pada dirinya sendiri, dan menjawab sendiri.

Kidungan kedua, bisa disebut Tirta Haruna
Tirta itu air, Haruna itu kijang
Air Kijang, ialah kijang yang menjadi air
hanyut tapi tak bisa larut
hanyut kala tak melawan
berarti harus bisa surut
berarti berani berkorban
kijang akan melompat
tetapi Air Kijang mengikuti arus
tenaga melompat menjadi tenaga arus



tenaga berlari empat kaki
tenaga lurus
walau ada rumput
bukan makanan
walau ada air
tak merasa haus
Air Kijang terus
terus-menerus tanpa putus….


Benar sekali. Halayudha bisa mengalirkan semua tenaganya mengikuti gerakan
air. Ilmu silat yang dimiliki selama ini bisa diubah sedemikian rupa sehingga
menyerupai tenaga air. Mengalir, tenang tanpa beriak.

Bahwa masih ada gangguan dalam penyaluran, ia percaya itu pada mulanya.
Kalau ia bisa mengubah sikap “kijang” dalam dirinya, pasti akan menemukan sesuatu.

Kijang yang bisa hanyut adalah kijang larut.

Seumpama kijang yang mati.

Agak mengherankan, tetapi terbukti hasilnya. Halayudha makin penasaran
dan makin larut dalam latihan. Bahkan kemudian terbersit dalam pikirannya bahwa
gerakan-gerakan seperti yang dilatih ini rasa-rasanya pernah dijumpai.

Ada yang pernah dikenali.

Dalam waktu yang belum terlalu lama.
Siapa yang mempraktekkan selama ini? Jelas bukan Pendeta Sidateka yang cara-cara
menggali dan melatih pernapasannya sangat berbeda. Juga bukan Upasara Wulung
atau dari Perguruan Awan. Juga bukan dari ilmu dasarnya sendiri.


Mengalami berbagai pertarungan, Halayudha memeras otaknya untuk
menemukan yang paling tepat.

Selama ini telah disaksikannya sekian banyak jurus ilmu silat dari berbagai
penjuru jagat. Yang agak aneh dan berbeda dan tidak segera bisa diketahui sumbernya
ialah jurus-jurus Galih Kaliki.

Jurus-jurus itu bahkan tidak mempunyai nama yang bisa dikenali.

Baru kemudian sekali, diketahui bahwa sumber utamanya tak berbeda jauh
dengan jurus-jurus dari Jepun.

Yang sama anehnya dan selama ini boleh dikatakan tidak dikenal namanya
adalah jurus-jurus yang dimainkan oleh… Gendhuk Tri!

Bocah kecil itu memang mempelajari banyak ilmu dari berbagai sumber. Akan
tetapi gerakan dasar yang pertama diterima dengan memainkan selendang warnawarni,
sampai sekarang masih merupakan teka-teki.

Hanya menurut kabar, Gendhuk Tri murid seorang penari Keraton Singasari
yang bernama Jagaddhita. Dan penari itu menjadi murid tidak langsung Mpu
Raganata.

Apakah ini berarti Kitab Air ini berasal dari Mpu Raganata? Harusnya iya.

Akan tetapi nyatanya tidak sesederhana itu.

Mpu Raganata justru dikenal karena ilmu Weruh Sadurunging Winarah yang
sudah kondang. Mana mungkin seorang seperti Mpu Raganata menciptakan ilmu
yang sama sekali berbeda dasarnya?

“Tak bisa lain, jurus-jurus dari kitab ini ada hubungannya dengan air. Ada
hubungannya dengan wanita.

“Kalau Kitab Bumi bisa diumpamakan lelaki, Kitab Air justru bisa disejajarkan
dengan wanita.

“Lalu siapa penciptanya?”


Pertanyaan Halayudha tak menemukan jawaban. Dibaca dari awal sampai
akhir, tak ada nama atau singgungan nama seseorang. Baik tersamar maupun terangterangan.


“Satu-satunya jalan ialah dengan menyelidiki dari Gendhuk Tri.”

Pertanyaan dan sekaligus jawaban ini, membuat Halayudha bertekad
menemukan Gendhuk Tri. Ia langsung memerintahkan anak buahnya untuk
menyebar dan mencari tahu di mana Gendhuk Tri.

Yang pasti hanya ada di sekitar Keraton.

Perhitungan Halayudha didasarkan pada sifat bocah yang masih serba ingin
tahu, dan sedang berlangsung kejadian di Keraton.

Ini sama sekali tidak meleset.

Gendhuk Tri memang masih berada di sekitar Keraton.

Sejak ia kena ilmu membisu dari Ratu Ayu Bawah Langit, Gendhuk Tri hanya
bisa bengong melompong. Juga ketika matanya melihat sendiri bagaimana Upasara
Wulung menggandeng Nyai Demang meloncati dinding Keraton.

Hatinya gondok luar biasa.

Tapi tak bisa berbuat suatu apa.

Karena masih terkena ilmu semacam totokan jalan darah yang membuat
Gendhuk Tri mematung. Dendamnya segunung. Baik kepada Ratu Ayu Bawah Langit,
kepada Nyai Demang, maupun kepada Upasara Wulung.

Baginya ini tindakan Upasara yang paling tak bisa diterima. Upasara Wulung
adalah kakaknya, gambaran terbaiknya akan seorang lelaki. Maka sungguh tak masuk
akal sama sekali seorang Upasara menggandeng Mbakyu Demang-nya!

Lewat tengah malam, barulah tubuh Gendhuk Tri yang kaku bisa digerakkan
kembali. Agaknya pengaruh aji sirep Ratu Turkana memang tidak dimaksudkan untuk
membunuhnya.

Hanya sekadar membungkam geraknya untuk sementara waktu.


Tapi itu sudah lebih dari cukup bagi Gendhuk Tri untuk menerjang dan
menuntut balas.

Hanya saja ketika ia berindap menuju ke tempat peristirahatan rombongan
dari Turkana, yang ditemui itu berlalu tanpa ketahuan ke mana perginya. Tanpa
diketahui kepada siapa ia akan bertanya.

Juga tak bisa melampiaskan kesalnya kepada orang lain.

Jadinya Gendhuk Tri merasa serbasalah.

Dalam keadaan seperti itu, segala apa bisa dilakukan. Segala tindakan kecil
yang membuatnya tidak suka, bisa membuat tangannya melayang dengan kasar.
Selendang yang warna-warni bisa mengedut untuk mencabut nyawa.

Pertemuan Jinalaya

SEBENARNYA sewaktu Senopati Sora dan pengikutnya dikepung Mahapatih Nambi,
Gendhuk Tri mengetahui. Andai saja ia masuk ke dalam pertarungan, ia bisa
mengetahui kehadiran Upasara.

Hanya saja belum tentu juga menjadi lilih atau berkurang gusarnya.

Karena pada dasarnya, Gendhuk Tri sangat memuja Upasara Wulung. Lebih
dari siapa pun di jagat ini. Baik sebagai kakak, sebagai ayah, sebagai guru, atau bahkan
sesembahan dalam arti yang luas.

Dalam alam pikiran Gendhuk Tri, Upasara adalah ksatria sejati. Satu-satunya
tokoh yang putih bersih dan baik hati. Bahwa kemudian hati kecilnya sangat kecewa
karena Upasara menerima tawaran lamaran Ratu Ayu Bawah Langit, itu tak
mengubah pemujaan kepada Upasara.

Kejadian semacam ini masih bisa masuk dalam akalnya.

Akan tetapi tidak kalau menggandeng Nyai Demang.

Itu semacam pengkhianat tanpa ampun. Dunia akhirat akan mencatat
kedurhakaan semacam ini.

Kalaupun ini semua karena jalan pikiran Gendhuk Tri yang masih serba
kekanak-kanakan, belum tentu bisa berubah pada perjalanan hidupnya nanti.


Saat sekarang ini, yang ada dalam hati Gendhuk Tri hanyalah kekesalan yang
luar biasa sengitnya.

Segala apa yang dipercayai menjadi goyah.

Maka ketika ia mendengar ada pertemuan Jinalaya, ia langsung berangkat,
tanpa perlu banyak bertanya.

“Siapa tahu wanita tak tahu diri itu ada di sana,” pikir Gendhuk Tri sambil
menuju ke bekas tempat bersemadi Baginda Raja Sri Kertanegara.

Gendhuk Tri tahu bahwa Jinalaya adalah istilah yang dulu digunakan untuk
menyebut bahwa Baginda Raja wafat. Jina bisa berarti gelas Sang Budha, atau cawan
Sang Budha. Sedangkan laya bisa berarti tempat tinggal, rusak, mati, atau musnah.

Kata sandi Jinalaya digunakan bagi para pengikut setia yang menggambarkan
bahwa Baginda Raja kini kembali ke tempat tinggal asal mulanya, yaitu ke dalam gelas
Sang Budha.

Walau Baginda Raja telah lama wafat, ini semua tak mengurangi pemujaan
yang selalu dilakukan oleh pengikutnya yang setia.

Raja yang sekarang memerintah Keraton Majapahit tidak secara terangterangan
melarang, walau juga tidak secara terang-terangan merestui pemujaan pada
saat-saat tertentu.

Hanya saja, sejak Putra Mahkota Kala Gemet memaklumkan gelaran yang
tidak lagi menunjukkan keturunan langsung dari Baginda Raja, kegiatan pertemuan
Jinalaya dianggap menentang Keraton.

Sehingga pengikut-pengikut setia Baginda Raja Sri Kertanegara menjadi
ketakutan. Karena bisa menemukan kesulitan suatu ketika. ‘

Namun, walaupun banyak larangan dan hambatan, nyatanya pertemuan
Jinalaya, memperingati hari-hari terakhir Baginda Raja, masih tetap berlangsung.

Ke sanalah Gendhuk Tri datang, dan langsung bergabung.


Berada dalam kerumunan di antara orang-orang yang tak dikenalnya, yang
mengadakan upacara doa bagi Baginda Raja. Sambil satu per satu memuji kebesaran
Baginda Raja.

Ada semacam panggung di mana setiap orang berhak maju dan memuji.

Kurang dari setengah penanak nasi, Gendhuk Tri sudah merasa sebal.
Telinganya menjadi gatal. Demikian juga bibirnya.

“Jagat ini tadinya gelap gulita,” tutur seorang pembicara yang memegang
tombak panjang. “Matahari belum ada. Dunia dalam kegelapan, sampai lahirlah

Baginda Raja yang perkasa.

“Sejak saat itu matahari bisa bersinar.

“Bulan mau muncul.

“Padi bisa ditanam.

“Manusia tak lagi bergayutan di pohon seperti kera.

“Sungguh besar jasa Baginda Raja.”

Lalu yang hadir menggumamkan nama Baginda Raja sambil menyembah.
Gendhuk Tri terbatuk karena tak bisa menguasai perasaannya. Apalagi ketika
pembicara kedua, yang membawa dua golok panjang, mulai maju ke tengah.

“Ketika Baginda Raja memerintah, Keraton menjadi aman dan makmur, seadiladilnya.
Sedemikian tenteram dan bahagianya, sehingga mampu mengalahkan
ketenteraman Jonggring Saloka, tempat bersemayam para Dewa.

“Sehingga karena iri, para Dewa turun ke bumi.

“Menggoda Baginda Raja agar Baginda Raja berkenan memerintah Dewa. Tapi
Baginda Raja menganggap bahwa para Dewa lebih susah diatur daripada rakyat

Singasari.

“Dengan kata lain, Dewa pun kalah pamornya.

“Apa yang saya ceritakan ini, berdasarkan penuturan para Dewa sendiri.”


Kembali terdengar gumam pujian.
Giliran pembicara ketiga maju, Gendhuk Tri berteriak,
“Para tikus busuk, tanpa membuka mulut pun kalian sudah bau tengik. Jangan


memperburuk keadaan.

“Mendengar omongan kalian, Baginda Raja bisa sakit perut.”

Suara Gendhuk Tri luar biasa nyaringnya. Semua yang mendengarnya

menoleh ke arahnya dengan wajah gusar.

Apa yang diucapkan Gendhuk Tri memang menyentak pada sasaran.

Ia mengatakan ini pertemuan tikus busuk, sesuatu perasaan. Karena Gendhuk

Tri mengucapkan kata jina seolah terdengar sebagai jinada.

Jina adalah gelas Sang Budha, sedangkan jinada artinya tikus. Jelas sangat
kurang ajar.

Lebih dari itu, dengan kalimat enteng Gendhuk Tri menyebutkan Baginda
Raja bisa sakit perut.

Dalam anggapan para pemujanya, Baginda Raja lebih hebat dari Dewa. Mana

mungkin disamakan begitu saja dengan orang biasa yang bisa sakit perut?

“Kisanak semua, harap tenang…

“Kalau ada setan yang menyusup kemari, itu sudah biasa. Tikus yang

kegerahan akan keluar dari sarangnya untuk mencari seseorang yang mau
membunuhnya.

“Ajaran Baginda Raja adalah kasih sayang…”

Pembicara pertama yang memegang tombak mengangkat kedua tangannya
tinggi-tinggi.

Tombaknya menjadi garang.

“Tikus tersesat yang tidak melihat cahaya suci Baginda Raja Sri Kertanegara,
apa maksudmu mengatakan dengan mulut kotor?”


“Kalian semua tikus tersesat yang kotor, bau, tengik.
“Kalian pikir apa gunanya memakai sebutan pertemuan Jinalaya kalau isinya


cuma ocehan mabuk begini?”

Semua yang hadir menggerung serentak.

Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Kedua kakinya menyepak kiri-kanan

secara serentak.

Lima orang mengerang serentak. Termasuk yang memegang tombak.

Kalau tadinya Gendhuk Tri menduga pertemuan ini hanya dihadiri anggotaanggota
yang ilmu silatnya masih pasaran, kini merasa bahwa dugaannya terlalu
tinggi.

Kumpulan manusia ini ternyata hanya bisa mengumbar kata-kata, gagah dalam
penampilan dan senjata hebat. Tapi ternyata ilmu silat mereka masih jauh dari
persyaratan. Sehingga dengan sekali gebrak saja seluruh kepungan jebol.

Gendhuk Tri mengedut selendangnya sekali lagi.

Kali ini dengan gerakan kedua tangan dan kedua kaki sekaligus berjumpalitan
di udara.

Setiap gerakan membuat dua pengepung merintih kesakitan. Ada yang lepas

genggaman senjatanya, ada yang memegangi tulang keringnya yang serasa retak.

Gendhuk Tri meludah ke tanah.

“Tengik dan kecing.

“Yang begini kalian namakan memuja Baginda Raja? Hari ini akan saya

sembelih kalian semua.”

Di luar dugaan Gendhuk Tri, ternyata yang mengepungnya tidak lari
ketakutan. Malah berdiri berjajar.

Dan bersuara secara bersama. Bagai koor.


“Mari kita mati bersama, Saudara.
“Demi Baginda Raja
“Lebih dari Dewa Syiwa
“Lebih dari Budha
“Mari, Saudara…”
Mereka malah bergerak mendekati Gendhuk Tri. Yang kalau mau dengan

sekali mengebutkan selendangnya, pasti jatuh dua korban sekaligus.

“Tengik!

“Kalian ini apa maunya?”

Si pemegang golok berat mendongak.

“Kalau kami mau disembelih karena Baginda Raja, kami akan bahagia.

Lakukan, setan kecil.”

Gendhuk Tri menggerakkan selendangnya. Menggulung golok berat dan
menyentakkan. Golok itu berubah arah, menuju leher pemiliknya!

Yang bergeming.
Cebol Kepalang
GENDHUK TRI merinding sendiri.

Dan arah golok berat itu dialihkan ke ruang kosong. Berkelontangan ketika
saling beradu. Menunjukkan bahan yang dipakai untuk membuat bukan besi utama.

“Aduh!”

Justru jeritan itu terdengar dari pemilik golok yang segera menjatuhkan diri
seolah mati.

“Kalian ini benar-benar tengik.


“Biar aku bunuh semua. Agar tak mengganggu pemandangan dan merusakkan
pendengaran dengan omongan yang kacau.”

Gendhuk Tri bersiap.

“Akhirnya ada juga yang mau berbuat baik dan berbudi luhur.”

Gerakan tangan Gendhuk Tri justru terhenti karenanya.

Pandangannya bisa menemukan arah suara. Yang tadi tak diduga karena
berasal dari seorang yang berkulit sangat hitam, dan terus duduk sejak tadi.

“Ya, kamu yang mati lebih dulu.”

Gendhuk Tri menyampok dengan selendangnya.

Ujung selendang memancarkan tenaga pukulan. Tubuh membungkuk hitam
itu terlempar ke atas.

Kali ini Gendhuk Tri yang bengong.

Rasanya tak percaya apa yang dilihat.

Bukan karena ilmunya menjadi mentah. Bukan karena lawan memiliki daya
tangkis. Justru sebaliknya.

Tubuh hitam kecil itu benar-benar terpental.

Yang tak diduga Gendhuk Tri, tubuh itu benar-benar kecil, pendek, bagai
segumpal arang.

Kembali Gendhuk Tri mengubah kedutannya. Kali ini memakai tenaga
menarik, sehingga tubuh kecil itu terbanting tepat di depan kakinya.

Dan memang kecil, pendek, hitam.

Terduduk tak bergerak.

“Cebol kepalang, apa maumu?”


Cebol kepalang adalah istilah untuk menyebut seorang yang kerdil, akan tetapi
nampak biasa kala duduk, dan kelihatan lebih pendek kala berdiri.

“Mauku, maulah berbuat baik padaku.”

Tenang sekali suaranya.

“Membunuhmu?”

“Itulah budi baik.”

“Tunggu dulu. Siapa namamu?”

“Kamu sudah menyebut Cebol. Apa pun namaku, apa bedanya?”

“Cebol kan sebutan, bukan nama.”

“Itulah namaku. Cebol. Bisa ditambahi hitam. Bisa diperhalus, tapi tetap
Cebol.”

Di balik ucapan yang seolah penuh pemikiran itu, ternyata tak ada apa-apanya.
Dari sentakan tadi, Gendhuk Tri yakin bahwa Cebol ini memang tak memiliki ilmu
silat apa-apa. Juga yang lainnya.

“Tengik.

“Sungguh tak bisa kumengerti. Kedengarannya saja gagah. Pertemuan Jinalaya,

tak tahunya hanya comberan seperti lumpur busuk yang berkumpul.”

“Kami memang comberan, memang lumpur, memang busuk.

“Kenapa tidak dihilangkan saja agar tak mengganggu?”

“Kalian bisa cari mati sendiri.”

“Itu mendurhaka ajaran Baginda Raja.”

“Siapa bilang?”

Jawabannya ternyata koor bersamaan.


“Tunggu dulu. Tunggu dulu.
“Aku berjanji akan menyembelih kalian satu per satu, atau bersamaan. Tetapi


jelaskan dulu, apa mau kalian dan apa gunanya kalian berkumpul di sini?”

“Meneruskan ajaran Baginda Raja,” jawab Cebol.

“Jadi kalian menganggap diri kalian ini ksatria, pendekar, atau bahkan

pendeta?”

“Tidak semuanya.”

“Lalu?”

“Kami adalah kami.”

“Kenapa memakai nama pertemuan Jinalaya segala?”

“Gadis berbudi luhur.

“Siapa yang mengatakan bahwa Baginda Raja yang bijak bestari hanya milik

para ksatria, para senopati, para prajurit, para pendeta? Kami juga rakyat Baginda Raja
yang dikasihi.

“Zaman Baginda Raja bertakhta, kami dihargai.

“Tidak peduli pendek atau panjang.

“Tidak pandang cebol atau jangkung.

“Tidak peduli ksatria atau pendeta.”

Lalu terdengar suara bersama.

“Begitulah Baginda Raja…

“Sumber segala cahaya…

“Di jagat…”


Lirik berikutnya tak bisa terdengar sempurna. Gendhuk Tri menggelengkan
kepalanya.

“Cebol Jinalaya… Baiklah kamu kupanggil begitu saja. Karena kelihatannya
kamu paling waras… Apa tujuan kalian sebenarnya?”

“Menunggu perkenan Baginda Raja memanggil kami.

“Di alam sana lebih baik, lebih damai, lebih adil, sebab di sana ada Baginda
Raja.”

“Itulah yang tidak waras.”

“Gadis baik budi, kamu sudah berjanji mau menyembelih kami. Kami menagih
janji.”

Belum pernah Gendhuk Tri menjadi pusing hingga memegangi kepalanya
yang pening.

Ini aneh!

Di suatu tempat bisa berkumpul begitu banyak orang. Semua memuja
kebesaran Baginda Raja Sri Kertanegara. Berbeda dengan pemujaan para ksatria, para
senopati yang kembali dari mancanegara, mereka ini asal berucap saja. Dan sangat
berlebihan.

Tapi bukan salah sama sekali.

Siapa yang mengharuskan bahwa Baginda Raja hanya boleh menjadi pujaan

bagi para ksatria?

Siapa berhak melarang bahwa Cebol kepalang atau yang lainnya ini memuja?

Bukankah mereka ini yang dulu merasakan tenang dan tenteram serta tidak

dipermalukan hanya karena tubuhnya cebol dan kulitnya hitam?

“Saya tidak meminta, tetapi saya mau disembelih lebih dulu,” kata pemegang
tombak.

“Setelah itu saya,” kata yang memegang golok.


“Atau kita bertiga bersama-sama,” kata Cebol Jinalaya.
“Itu mudah sekali.
“Kalau bukan aku, pasti ada yang lainnya. Prajurit Keraton akan senang sekali


menangkap dan membunuh kalian.”

“Sekarang tak ada lagi.

“Bahkan beberapa prajurit Keraton bergabung bersama kami.”

Dagu Gendhuk Tri tertarik.

Memang terlihat ada beberapa wajah dan badan yang penuh dengan otot

terlatih. Setidaknya lebih berisi dari yang lainnya.

“Cebol, berapa umurmu?

“Apa aku harus memanggil Paman atau Kakek Cebol?”

“Panggil Eyang Cebol juga boleh, asal segera disembelih.”

Gendhuk Tri menemukan dirinya berada di tengah kerumunan. Alih-alih ia

sendiri yang menjadi repot karenanya. Karena kalau mereka semua mendesak ingin
disembelih bisa memuakkan.

Kalau tadi karena murka, sekarang justru iba.

“Aku sudah janji.

“Tak nanti aku menarik apa yang kukatakan. Hanya saja sebelum aku
membunuh kalian semua, aku akan menanyakan sesuatu kepada Cebol Jinalaya.

“Nah, sekarang dengar baik-baik.”

Semua terdiam. Gendhuk Tri berniat meloncat dan segera melarikan diri.
Seluruh bulu tubuhnya berdiri. Kini, seluruh perasaannya justru dibalut perasaan
takut dan ngeri.


Gendhuk Tri pernah berada dalam Gua Pintu Seribu yang ditimbuni dan
ditutup. Dikubur hidup-hidup. Akan tetapi saat itu, meskipun menyaksikan mayat
membusuk, Gendhuk Tri tak merasa ngeri seperti sekarang ini.

Maka cara yang terbaik adalah segera melarikan diri.

“Yang masuk tak bisa keluar.

“Yang keluar bisa masuk.”

Gendhuk Tri membelalak.

Dari keremangan di ujung, muncul sosok tubuh Nyai Demang! Ya, Nyai

Demang yang sangat dibenci. Lebih memuakkan lagi Nyai Demang tengah
menggendong seorang lelaki tua yang merangkul kencang.

“Nyai!”

Nyai Demang menoleh ke arah Gendhuk Tri.

Gendhuk Tri lebih merasa ngeri karena pandangan Nyai Demang seolah
kosong.

“Hei, kamu Nyai Demang… Mbakyu Demang, kan?”

“Rasanya nama itu pernah kudengar.

“Siapa kamu?”

Ini maha aneh! Masa Nyai Demang menanyakan siapa Gendhuk Tri?

“Di mana Kakang?”
Manusia Delahan
BARU kemudian Gendhuk Tri menyadari omongannya sendiri melantur tak keruan.

Karena pada pertemuan pertama sudah langsung menanyakan di mana
Upasara!

“Kakang… Kakang siapa?”


“Kakangku. Yang menggandeng Nyai di luar pagar Keraton.”
Nyai Demang tertawa.
“Ini kakangmu.
“Sudah jadi manusia delahan, masih juga merangkulku.”
Tubuh Gendhuk Tri lemas.
Matanya berkunang-kunang.
Kakinya kesemutan, hingga tanpa terasa berlutut.
Kalau tadi merasa sangat ngeri, sekarang lebih lagi. Sedemikian keras


hantaman menonjok kesadarannya, sehingga kedua kakinya tak mampu menyangga
tubuhnya.

Kalau bisa memilih mati, Gendhuk Tri merasa lebih lega.

Nyai Demang menjadi seorang yang sangat menakutkan. Belum lama
disaksikan ketika Nyai Demang masih digandeng mesra oleh Upasara Wulung.

Kini sudah seperti orang linglung.

Kehilangan pikiran. Rambutnya terurai, matanya kosong tanpa makna.

Puncak dari kengerian yang paling melipat habis keberanian Gendhuk Tri
ialah kenyataan Nyai Demang menggendong seorang lelaki tua yang merangkulnya,
yang disebut manusia delahan.

Manusia delahan, bisa berarti manusia akhirat, manusia yang telah berakhir,
alias mayat.

Berarti Nyai Demang selalu menggendong mayat yang tak bisa dilepaskan!

Apalagi yang lebih mengerikan dari ini semua?

“Manusia delahan ini namanya Kakek Berune. Katanya ahli Pukulan Pu-Ni.
Tapi sejak kugendong tak bergerak tak bernapas. Tapi terus merangkul.


“Bagus, ya?”
Air mata Gendhuk Tri mengembeng.
Beku.
Setelah sedikit bisa menata perasaannya, Gendhuk Tri berbisik kepada Cebol


Jinalaya.

“Sejak kapan Mbakyu Demang berada di sini?” “Tak ada gunanya dihitung.

“Ini tempat terbuka. Siapa saja bisa masuk menjadi anggota dan tak keluar

lagi.”

“Peraturan siapa?”

“Peraturan begitu.

“Siapa keluar dari kerumunan akan didekati, agar membunuh kami lebih

dulu.”

Napas Gendhuk Tri tertahan.

“Kamulah gadis berbudi yang mau menyembelih kami tanpa diminta.”

Gendhuk Tri mengangguk perlahan.

Tubuhnya masih gemetar. Kaki dan tangannya masih gemetar seperti

kesemutan.

Akan tetapi tekadnya mulai tumbuh.

“Cebol, kamu akan kubunuh lebih dulu. Akan tetapi bagaimana mungkin aku

bisa membunuh yang ada di sini semua? Bagaimana kalau kita jalan bersama menuju
Keraton Majapahit?”

“Di sini Baginda Raja mangkat, dari tempat ini pula kami mengikuti…”

“Baik, baik, Cebol…


“Rasanya hanya perlu waktu sedikit…”
Gendhuk Tri menoleh ke arah Nyai Demang yang tetap berjalan kian-kemari


sambil menggendong Kakek Berune.

“Nyai…”

“Aku?”

“Ya… Mbakyu.

“Mbakyu ingat kidungan Kitab Bumi?”

“Kitab Bumi? Ingat.”

“Coba kidungkan.”

Gendhuk Tri menatap sambil berdebar.

Mulutnya berkomat-kamit.

“Kidungan awal, kidungan pembuka…”

Nyai Demang mengangguk-angguk.

Yang masuk tak bisa keluar Yang keluar tidak ada Baginda Raja lebih dari

Dewa karena Dewa berguru padanya…

Gendhuk Tri benar-benar putus asa. Kondisi Nyai Demang sangat gawat.
Ingatannya sudah tak bisa dikontrol lagi. Dengan mengingatkan Kitab Bumi, tadinya
Gendhuk Tri yakin bisa membimbing pikiran Nyai Demang. Karena justru Nyai

Demang-lah yang dulu berhasil menumbuhkan semangat hidup Upasara.

“Bukan itu, Nyai.”

“Memang Kitab Bumi dimulai dengan bukan, dengan tidak, tiada…”

“Nyai…”

“Aku?”


“Nyai ingat Kakang Upasara Wulung?”
“Upasara?”
“Ya, Adimas Upasara Wulung.”
“Adimas… Adimas… Ya, ya… ada Kiai Sambartaka, Pendeta Sidateka, Kakek


Berune, tubuhnya berkelojotan, aku yang menggendong, lalu aku menggendong,
lalu…”

Gendhuk Tri berusaha mendekati Nyai Demang.

Akan tetapi seluruh yang hadir juga bergerak.

“Begini saja,” kata Gendhuk Tri mendadak karena mendapat bersitan pikiran.
“Kalian meneruskan pujian kebesaran Baginda Raja… Ayo kita mulai lagi…”

Gendhuk Tri membujuk Cebol Jinalaya.

“Paman Demeng… coba Paman mulai…”

Gendhuk Tri memohon dengan menyebut Paman Demeng, atau Paman
Hitam, tanpa menyebut Cebol.

Begitu Cebol Jinalaya menuju ke bagian tengah, semua perhatian tertuju
padanya. Napas Gendhuk Tri berangsur tenang. Perlahan ia mulai menyurutkan diri
menuju ke bagian tepi. Agar bisa meloloskan diri.

Setidaknya ini yang paling selamat.

Satu-satunya yang mengganjal hatinya ialah bahwa ia tak bisa mengajak Nyai
Demang. Namun dalam hatinya, Gendhuk Tri berjanji akan segera kembali untuk

membawanya.

Biar bagaimanapun benci dan dendamnya, Gendhuk Tri tetap merasa tak tega.

Ternyata pertemuan Jinalaya ini seperti adonan lumpur yang bisa dibentuk
semaunya. Karena kini semua memandang dan mendengarkan omongan pujian Cebol
Jinalaya. Yang segera disusul yang lainnya. Tanpa memedulikan betul di mana dan
bagaimana janji Gendhuk Tri.


Sampai di bagian pinggir, Gendhuk Tri bersiap meloncat pergi. Akan tetapi
Cebol Jinalaya sudah berdiri di sampingnya. Tak mencapai pinggang Gendhuk Tri,
akan tetapi suaranya begitu jelas di telinga Gendhuk Tri.

“Kamu mau tinggalkan kami, gadis berbudi luhur?”

“Membunuh orang lain tanpa sebab, bukan ajaran Baginda Raja.”

“Ke mana kamu mau pergi?”

“Paman Demeng boleh ikut kalau mau.”

Tanpa menunggu persetujuan, Gendhuk Tri mencekal tangan Cebol Jinalaya.

Begitu menjejakkan kaki, tubuhnya melayang dengan cepat.

Bebas sudah.

Bahkan tak ada yang menduga.

Hanya saja begitu kakinya hinggap di tanah, terdengar suara yang bernada

gembira.

“Bagus sekali.

“Itulah gerakan air mengikuti angin.”

Gendhuk Tri melepaskan cekalan Cebol Jinalaya. Langsung membuat gerakan

bersiaga. Empat helai selendangnya bergerak naik terjepit jari-jarinya.

“Tidak. Tidak terlalu tepat.

“Gerakan menjepit tidak selalu telunjuk dan ibu jari. Semua jari bisa

digunakan. Jari tengah dan kelingking pun bisa. Sayang saya tidak memiliki lagi.”

Halayudha memperlihatkan tangan kanannya.

Yang keempat jarinya kutung.

“Aku sudah mencarimu, Gendhuk Tri. Dugaanku tak keliru. Kamu pasti

datang ke pertemuan manusia cacat dan sakit ini.”


“Ayolah kita jalan sama-sama.”
Halayudha membusungkan dadanya.
“Kini saatnya kita kuasai jagat. Ayolah…”
Tangan Halayudha terulur maju. Cepat, tetapi seolah tanpa gerakan. Gendhuk


Tri tak menduga bahwa Halayudha berusaha menariknya. Cepat Gendhuk Tri
membuang tubuhnya, akan tetapi tangan kiri Halayudha menangkap pundaknya.

Gendhuk Tri menjatuhkan dirinya.

Salah satu jurus andalan yang selalu bisa menyesatkan lawan. Tapi justru
Halayudha membungkuk, dan menangkap kaki Gendhuk Tri.

“Air selalu ke bawah, mencari tempat yang kosong.

“Tepat sekali. Begitu tersentuh pundak, kamu menjatuhkan diri. Hebat.
Dugaanku hebat. Kamulah pewaris ilmu Tirta Parwa.

Air Mengalir dari Sumbernya
GENDHUK TRI mengetahui bahwa Halayudha termasuk tokoh yang luar biasa.
Bukan hanya karena kelicikan dan keculasannya yang mampu mengubah total
penampilannya, melainkan juga karena ilmu silat yang dikuasai beraneka ragam.


Meskipun demikian, Gendhuk Tri juga bisa menilai dirinya bukan contoh
yang bisa ditekuk habis dalam sekali gebrak.

Kalaupun tingkat ilmu mereka berbeda, masih diperlukan waktu untuk
mengalahkan. Akan tetapi kenyataannya justru dalam satu gerakan saja kedua kaki
Gendhuk Tri dapat ditangkap.

Tanpa bisa berkutik.

Karena tepat di pergelangan kaki dan menekan urat nadi. Sehingga dengan
sekali tekan, akan putus semuanya. Setidaknya Gendhuk Tri akan menderita cacat
seumur hidupnya.


Dalam keadaan terdesak, Gendhuk Tri bisa menjadi nekat. Akan tetapi,
sekarang ini akal sehatnya bisa bekerja. Apa pun yang dilakukan, sia-sia. Tak
mengubah perlawanan.

Anehnya, justru pada saat kemenangan di tangan, Halayudha melepaskan
begitu saja.

Dan berdiri tegak sambil tersenyum.

Sebat luar biasa Gendhuk Tri menyapu dengan kedua kakinya. Kedua kakinya
terjulur di antara kaki Halayudha, dan dengan satu sentakan kuat memotong dari
dalam.

Halayudha berjingkrakan.

“Luar biasa!

“Aku yang luar biasa. Itulah tenaga air. Mengalir dari sela-sela. Begitu
kekuatan air yang sesungguhnya. Menerobos dari sisi kecil, mengalir, masuk dan
menenggelamkan yang bisa dimasuki, atau menghancurkan jalan masuknya sehingga
semakin melebar.”

Gendhuk Tri tidak memedulikan ocehan Halayudha. Sebat gerakannya, seakan
menyentuh lutut bagian dalam Halayudha. Hanya saja beberapa kejap sebelum
menyentuh, Halayudha sudah meloncat ke atas, dengan masih berjingkrakan.

Gendhuk Tri mempergunakan kesempatan untuk meloncat ke atas, dengan
kedua tangan terulur ke depan, sementara selendang warna-warni menyabet ke arah
tenggorokan dan kedua kakinya pun mencegat arah mundur.

Dicecar dengan serangan gencar, Halayudha makin liar gerakannya
berjingkrakan.

“Bagus, bagus.

“Aku yang bagus.

“Ayo teruskan. Kamu mau menyerang bagian yang mana? Kelihatannya sekilas
mataku akan kau cungkil dengan tangan, leherku akan kau libat dengan selendang.
Tetapi sebenarnya yang paling berbahaya adalah gerakan kaki.


“Serangan yang berasal dari bawah itulah sifat air.
“Bagus.
“Bagus, aku bisa mengerti.
“Lihat, aku akan bisa menghindarimu.”
Gendhuk Tri merasa makin jengkel karena dipermainkan. Ia mengerahkan


seluruh kemampuannya, akan tetapi dengan cara berjingkrakan, enteng sekali
Halayudha bergerak. Setiap kali Gendhuk Tri mengejar, Halayudha bisa menghindar
dengan cara leluasa. Sambil tertawa-tawa dan berkomentar.

Makin cepat Gendhuk Tri mengejar, makin cepat pula Halayudha berloncatan
menghindar.

“Kalau air datang, kamu tak bisa melawan. Sebab tenaga air makin lama makin
kuat. Jangan ikut arus, kalau tak ingin hanyut. Jalan satu-satunya adalah dengan
meloncat. Tenaga air tak akan menghantam telak.

“Bukan begitu?”

Gendhuk Tri terkesima. Semua ilmunya ternyata bisa terbaca secara sempurna.

Seumpama seorang yang tengah membaca buku.

“Ayo, serang lagi.”

Gendhuk Tri menggeleng.

“Sejak kapan air suci perguruan kami kamu kotori?” Terang Gendhuk Tri
hanya main gertak saja. Ia sendiri tak mengetahui asal-usul ilmu silatnya. Juga tak
mengenal perguruannya secara resmi. Karena hanya belajar dari Jagaddhita, yang
mendapatkan ilmunya dari Mpu Raganata.

“Ha… ha, bukankah kamu yang mencuri Tirta Parwa yang kuwarisi?”

Halayudha bisa dengan cepat membalikkan persoalan. Dan bukan hanya
omongan kosong. Kalau dilihat dari penguasaan, jelas Halayudha jauh lebih
menguasai dibandingkan dengan Gendhuk Tri.


Sementara itu kerumunan yang menonton pertarungan masih memperhatikan,
seolah menunggu kesempatan untuk dilenyapkan.

Gendhuk Tri termangu.

Sesungguhnya ia tak begitu mengerti apa nama ilmu silatnya dan apakah
mempunyai kitab pusaka yang disebut Tirta Parwa, atau Kitab Air. Rasa ingin
tahunya jadi melambung tinggi.

“Air selalu mengalir dari sumbernya. Mana mungkin manusia busuk macam
kamu menjadi pewaris Tirta Parwa? Orang seperti kamu lebih pantas menjadi Tumbal
Tirta Parwa.”

Gendhuk Tri menjawab angin-anginan saja. Karena kalau disebut Kitab Air,
ingatannya adalah Kitab Bumi. Kitab itu mempunyai bagian yang disebut Kitab
Penolak Bumi. Jadi kalau ada Kitab Air, tentunya ada pula bagian Kitab Penolak Air.

“Jangan-jangan ini bagian dari Kitab Penolak Air. Air… Kalau benar begitu,
berarti Pendeta Sidateka memang sengaja memutar balik! Mana mungkin isi Tumbal
ditulis lebih dulu…”

“Apa yang kaukatakan?”

“Kamu benar, anak kecil.

“Aku tak bisa diakali. Marilah kita kembali ke Keraton. Aku akan
memeliharamu. Untuk melihat ilmu silatmu sejauh mana.”

Berada dalam tawanan Halayudha, Gendhuk Tri tak akan bisa bernapas
dengan bebas. Ia mengetahui bahwa jago di antara para jago seperti Naga Nareswara
atau Kama Kangkam pun bisa diisap habis-habisan ilmunya.

“Untuk apa aku ikut kamu?

“Aku lebih suka mati.”

“Tak akan kubiarkan…”

Halayudha mendengus perlahan. Kedua tangannya bergerak seolah menepuk
air, dan tubuhnya berputar mengelilingi Gendhuk Tri, yang tiba-tiba merasa
terkepung, terseret, mengikuti ke arah mana tubuh Halayudha berputar.


“Air lebih mudah membawa air yang lain. Pusaran arus lebih mudah
menggandeng air tenang.”

Masih dengan berhaha-hehe, Halayudha mampu menjinakkan Gendhuk Tri
yang benar-benar tak bisa melawan. Sehingga dalam satu putaran berikutnya, kedua
tangannya sudah terikat dengan selendangnya sendiri!

Gendhuk Tri tak mampu mengadakan perlawanan.

Benar-benar seperti terseret dalam arus, dan terjerumus ke dalam pusaran.

Hebatnya lagi, Halayudha dapat melepaskan ikatan itu dan sebelum Gendhuk

Tri bisa meloloskan diri, ikatan itu sudah erat lagi.

Seperti main-main.

“Beginilah cara memainkan tenaga air. Jadilah pusaran, bukan gelombang.

Tariklah sesuai dengan tenaga putarmu, jangan sebaliknya.

“Kalau kamu mau membaca baik-baik, kamu tak akan seceroboh ini.”

Pikiran Gendhuk Tri bermuara pada kesimpulan, bahwa Kitab Air itu benar


benar ada, dan Halayudha telah atau tengah mempelajari.

“Satu guru satu ilmu sebaiknya tidak saling mengganggu.

“Anak kecil nakal, kamu masih tak mau mengakuiku?”

“Sepanjang hidupku, tak pernah ada nama lain yang mempelajari Kitab Air

yang tak kukenal. Makanya kamu jangan ngaco dan sembarangan buka mulut.”

“Jagaddhita ngerti apa?”

“Eyang guruku tak akan sembarangan mengangkat murid.”

“Kamu kira Mpu Raganata yang loyo itu bisa menciptakan ilmu silat yang

begini dahsyat? Kamu mimpi apa selama ini?”
“Kalau begitu siapa yang mengajarimu?”


Inilah pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh Halayudha. Sebab memang itu
yang ingin diketahui. Jelas bahwa Gendhuk Tri murid Jagaddhita, dan Jagaddhita
murid Mpu Raganata. Akan tetapi dasar-dasar ilmu yang dipelajari sangat berbeda.

“Katakan kalau kamu tidak mencuri.”

Halayudha tersenyum.

“Apa perlunya menyebut nama? Kalau aku sudah menguasai, apa bedanya ini

ajaran cacing atau kucing?”

Hanya Halayudha yang menganggap rendah seorang guru!

Kalimat yang sangat kurang ajar dan tidak mengenal sopan santun sedikit pun

ini membuat Nyai Demang berteriak.

“Mana ada manusia yang berhati iblis dan berdarah setan seperti kunyuk satu
ini?

“Sudah jelas penciptanya tokoh yang paling suci, wanita yang paling bijak di

seluruh jagat, masih juga disamakan cacing atau kucing?

“Sungguh ucapanmu kelewat batas.”

Kali ini Halayudha yang tersentak kaget. Nyai Demang yang sudah mirip

orang kehilangan akal sehatnya, justru bisa bicara dengan urut.

Aneh.

“Dari mana kamu tahu?”
Bumi Itu Tanah dan Tanah Itu Air
NYAI DEMANG tertawa ngakak.

Badannya bergoyang-goyang sehingga Kakek Berune yang berada dalam
gendongannya seperti mau jatuh.
“Dari mana aku tahu?

“Bagaimana aku tidak tahu, kalau itu diciptakan untukku?”


Di telinga Gendhuk Tri, ucapan Nyai Demang terdengar ngawur. Akan tetapi
Halayudha melihat dari sisi yang lain.

Sejak tadi Nyai Demang tak ikut bicara sepatah kata pun yang agak urut. Lalu
ketika disinggung mengenai Tirta Parwa menjadi “waras”. Berarti ada sesuatu yang
bisa menunjukkan arah yang sama. Berarti ada hubungan antara Tirta Parwa dan
bawah sadar atau suara batin Nyai Demang.

“Ya, ya, aku lupa Kitab Air diciptakan untuk kamu.

“Jadi siapa kamu sebenarnya?”

“Astaga. Kamu pura-pura tak mengenai diriku? Apakah Bejujag itu sudah
demikian jahat mencuci otakmu?”

“Kalau begitu siapa aku?”

“Batok tengkorakmu pun kukenali, apalagi tubuhmu. Meskipun suaramu
sangat jelek sekarang ini.”

Meskipun tidak tahu persis hubungannya, Gendhuk Tri juga bisa meraba-raba.
Bahwa yang bicara sekarang ini bukan jalan pikiran Nyai Demang. Melainkan suara
atau jalan pikiran orang yang digendong, yang sudah menjadi mayat, yang disebut
sebagai Eyang Berune!

Sangat masuk akal.

Dalam keadaan seperti sekarang ini, Nyai Demang hanyalah tubuhnya saja.
Sedangkan detak jantung dan naluri yang dimiliki adalah orang yang digendongnya.

Hal seperti ini bukan sesuatu yang luar biasa.

Gendhuk Tri juga pernah mengalami dalam hidupnya. Ia pernah kemasukan
racun yang luar biasa ganasnya. Sehingga tak ada manusia atau binatang yang mau
didekati. Sejak itu Gendhuk Tri merasa menderita lahir dan batin.

Baru kemudian hawa racun yang mengalir dalam darahnya tersapu bersih
sewaktu Upasara Wulung meminjamkan tenaganya. Menguras tenaga dalamnya
untuk disalurkan ke dalam tubuh Gendhuk Tri.

Apa yang dialami Nyai Demang kurang-lebihnya sama.


Hanya lebih seram.

Kakek Berune yang berada dalam gendongan Nyai Demang termasuk tokoh
sakti, karena nyatanya masih bisa lengket terus. Barangkali saja saat-saat terakhir,

Kakek Berune mencoba memindahkan dirinya ke dalam tubuh Nyai Demang! ‘

Juga bukan sesuatu yang mustahil.

Gendhuk Tri pernah mendengar ilmu memindahkan nyawa. Yang termasuk
dalam ilmu hitam, yang pantang dipelajari sebagai ilmu. Ilmu pemindahan nyawa ini
biasanya terjadi dari orang yang hidup ke dalam tubuh orang yang sudah mati.

Sehingga orang yang sudah mati bisa dipaksa berbicara atau bergerak, sesuai
dengan kehendak yang memindahkan nyawa. Pada penganut ilmu hitam, biasanya
dipakai sebagai senjata tidak langsung. Karena mayat-mayat ini bisa menerobos masuk
ke daerah lawan dengan meloncat-loncat, dan kalaupun terkena senjata lawan tak
akan mengaduh.

Dan yang jelas, yang menggerakkan mayat tak terluka.

Bedanya, Nyai Demang bukan memindahkan tenaga dan kekuatannya ke

dalam mayat Kakek Berune, melainkan sebaliknya.

“Jadi kamu mengenaliku?”

“Tentu saja. Aku sudah membaca dan mempelajari Tirta Parwa yang tak kalah

hebatnya dengan Pukulan Pu-Ni yang kumiliki. Jauh di atas Tepukan Satu Tangan.

“Akan tetapi kenapa justru Kitab Penolak Bumi yang dipakai?

“Kenapa?”

Halayudha tak tahu ke mana arah pertanyaan itu sehingga ia terdiam.

“Karena kamu masih lebih mencintai Bejujag itu?

“Ayo jawab saja!”

Wajah Nyai Demang menyeringai.


Mengerikan.
Dalam hati Halayudha menggigil.
Hebat juga pengaruh yang menguasai Nyai Demang ini, pikirnya. Apa pun


alasan atau latar belakang kejadiannya, agaknya tenaga lain Nyai Demang mengenali
Kitab Air. Kalau aku bisa memanfaatkan, pasti jadi luar biasa.

Berpikir begitu, Halayudha menghadapi Nyai Demang dengan pemusatan
pikiran penuh.

“Terserah apa yang kamu katakan.”

“Kitab Air lebih dari Kitab Bumi. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan?
Ayo ulangi, biar kamu ingat.”

Gendhuk Tri menjadi panas-dingin.

Kalau benar Nyai Demang menceritakan semuanya, alamat Halayudha bakal
makin gila dan menguasai. Akan tetapi ia sendiri tak bisa mencegah atau berbuat
sesuatu.

Halayudha menghela napas.

Lalu menutup kedua matanya. Bibirnya berkomat-kamit, perlahan. Terdengar

kidungan yang halus.

Bumi itu tanah dan tanah itu air

air lebih dari bumi, lebih dari tanah

sebab air ada di semua

bumi ada di suatu tempat

hanya kalau air minggir, bumi terlihat
jadi air lebih hidup dan menggeliat



bumi itu tanah dan tanah itu air
air sama dengan bumi
tanpa tanah, air hanya air
tanpa air, tanah bukan tanah


bumi milik tanah
tanah milik air
tanah dan air milik yang terakhir…


Air mata Nyai Demang menetes.
Duka menggores.
“Jadi kamu masih ingin selalu bersatu dengan Bejujag?”
Tak ada jawaban,
Tadi Halayudha hanya menghafal kidungan yang kira-kira bunyi dan isinya


seperti yang diminta Nyai Demang. Tanpa menyadari bahwa ternyata jawabannya
tepat sekali.

“Tunjukkan yang lainnya, agar aku yakin.”

“Akhirnya kamu mau mengakui aku.

“Dengar baik-baik. Dalam kidungan yang kau kirimkan padaku tentang Gita
Tirta atau Nyanyian Air, dengan jelas kaukatakan…”

Mendadak suara Gendhuk Tri melengking tinggi.


“Jangan mengatakan sembarangan. Harusnya kepadaku, karena aku murid
yang resmi.”

Nyai Demang melengak.

Juga Halayudha yang bisa membaca kemauan Gendhuk Tri agar Nyai Demang
tidak menunjukkan bagian-bagian yang penting.

Darah Halayudha menggelegak.

Dengan sekali tekuk, Gendhuk Tri bisa dibekuk.

Akan tetapi Halayudha masih ragu. Apakah ini membuat Nyai Demang yang
kerasukan orang lain menjadi murka atau tidak. Kalau murka, dirinya bisa kehilangan
kesempatan emas.

Kehilangan Gendhuk Tri maupun sukma yang memaksa berada dalam tubuh
Nyai Demang. Dua-duanya merupakan kunci pembuka Kitab Air.

Hanya saja telinganya sempat mendengar mengenai Nyanyian Air. Ah, di
bagian mana yang kidungannya berbunyi Gita Tirta?

Rasanya semua isi Kitab Air sudah dipelajari. Sudah dibaca ulang dan ia hafal
dengan baik. Akan tetapi, tak ada yang merujuk ke arah Gita Tirta.

Ini bisa berarti bahwa Pendeta Sidateka tetap merahasiakan satu bagian yang
penting. Yaitu kidungan Gita Tirta. Kalau tidak, pasti ia sudah mengetahui.

“Sejak tadi aku yang memainkan beberapa jurus ajaran Kitab Air. Masa kamu
tidak merasakan. Makanya hanya kepadakulah kamu bercerita.”

“Kamu siapa?”

“Aku Gendhuk Tri, hubungan kita sama dekatnya dengan Kakang Upasara.
Yang belum lama ini menggandeng Mbakyu. Masa tidak ingat nama Upasara
Wulung?”

Nyai Demang bergoyang-goyang tubuhnya.

Lututnya tertekuk.


Gendhuk Tri menyadari kesalahan terbesar. Secara tidak sadar ia menjawab
seolah berbicara dengan Nyai Demang. Padahal yang menguasai Nyai Demang adalah
Kakek Berune! Tidak sepenuhnya, karena Nyai Demang masih bisa tersentuh oleh
ingatan, ketika nama Upasara Wulung disebutkan.

Tapi justru dua jalan pikiran dari dua orang yang berbeda membuat tubuh
Nyai Demang tak kuat.

Ini bahaya!
Kidung Penolak Air
HALAYUDHA mengetahui bahwa Gendhuk Tri sangat cerdas.

Bisa dengan cepat memotong omongan Nyai Demang. Sehingga penjelasan
mengenai Kitab Air jadi terhenti.

“Gendhuk kecil, omonganmu yang mengacau bisa membahayakan Nyai
Demang. Kenapa kamu ingin melenyapkan dengan cara licik seperti itu?”

“Siapa yang licik? Kamu atau aku?”

Halayudha meringis.

“Semua orang tahu aku licik, licin, culas, jelek, nista, bukan ksatria. Kuakui.
Akan tetapi aku tak pernah berpura-pura baik dan berjiwa ksatria seperti kamu.”

“Kamu yang ngaco. Mana mungkin aku berniat jahat kepada Nyai Demang.
Apa alasanku?”

“Apa alasanku…?” Halayudha menirukan nada bicara Gendhuk Tri dengan
nada lebih tinggi. “Hanya karena ingin merangkul Upasara sendirian, kamu
menyingkirkan Nyai Demang. Sungguh keji hati wanita. Sekecil kamu sudah busuk
dan hina.”

Bibir Gendhuk Tri gemetar.

Menahan gusar yang kelewat takar.

Darahnya mendidih, terbakar.


Kalimat Halayudha berbisa luar biasa. Dengan caranya sendiri, Halayudha bisa
menangkap perasaan Gendhuk Tri terhadap Upasara. Dari ucapan-ucapan seketika.
Dengan cara itu, Halayudha ganti memojokkan Gendhuk Tri.

Memutar balik kenyataan adalah keunggulan Halayudha. Dalam hal begini,
Gendhuk Tri yang bisa bicara menyakitkan pun masih tetap di bawah tekukan lidah
Halayudha.

“Kamu benar-benar biadab!”

“Semua yang ada di sini menjadi saksi.”

Halayudha berjongkok menghaturkan sembah ke arah Nyai Demang.

“Saya yang rendah menghaturkan sembah kepada Kakek Sakti. Mohon kiranya

diperkenankan mengetahui nama besar Kakek Sakti yang tidak saya ketahui.”

“Apa hubunganmu dengan Dodot Bintulu?”

Mendadak Nyai Demang bangkit lagi. Berdiri dengan perkasa. Pandangannya

keras. Jelas bahwa kini yang menguasai jalan pikiran Nyai Demang bukan dirinya lagi.

“Jelek-jelek begini, saya pernah berguru pada Paman Sepuh Dodot Bintulu.
Namun saya terlalu bodoh…”

“Aku mendengar Paman Sepuh punya dua murid jahat. Kamu yang pertama

atau kedua?”

Seketika Halayudha seperti terkena serangan telak.

Seketika saja.

Bukan Halayudha kalau tak bisa mempertahankan diri dengan cemerlang.

“Maaf, Kakek Sakti, saya hanya murid kesekian yang tak diperhitungkan. Saya

hanya sebentar diajari, dan Paman Sepuh, guru kami yang mulia, takut dijahati
muridnya sehingga saya tak diakui secara resmi.

“Hanya karena tadi disebut-sebut dan ditanyakan, saya terpaksa mengaku-aku.

“Maafkan hamba….”


“Hmmm… Ilmumu tak begitu jelek.
“Aku teman main Dodot Bintulu, yang nasibnya sama-sama buruknya. Pernah


dengar Pukulan Pu-Ni?”

Biarpun tak pernah mendengar, Halayudha menyembah hormat.

“Paman Sepuh, guru yang mulia, pernah menyebut-nyebut kesaktian pukulan

yang mementahkan segala pukulan. Sungguh nasib baik dan sukma guru yang mulia
yang mempertemukan.”

Nyai Demang mengangguk-angguk.

“Kenapa sebagai murid Dodot Bintulu kamu mempelajari ilmu Air?”

Ilmu Air? Pertanyaan itu tergema kembali dalam dinding hati Halayudha.

“Hamba mendapat pesan terakhir, bahwa Tirta Parwa banyak disalahgunakan
oleh orang-orang culas yang tak berhak. Kalau bisa hamba disuruh membersihkan.”

“Itu baik.

“Itu mulia.

“Kalau begitu kamu sudah mempelajari?”

“Serba sedikit, Kakek Sakti Pu-Ni….”

“Kalau serba sedikit, kenapa kamu tak pernah mendengar Gita Tirta? Ini
sungguh aneh… Kidungan itu sampai kepadaku, tentunya Dodot Bintulu, Raganata,
Bejujag, sudah membaca dengan baik.”

“Mohon Kakek Sakti Pu-Ni memberi penjelasan. Demi nama baik pencipta
Kitab Air….”

Halayudha setengah main tebak saja. Namun dengan alasan yang kuat.
Ia sadar bahwa “Kakek Sakti Pu-Ni” mempunyai hubungan yang erat dengan pencipta
Tirta Parwa, yang seangkatan dengan Mpu Raganata, Paman Sepuh, dan Eyang Sepuh.
Betul-betul tingkat pepunden, tokoh pujaan yang luar biasa.


Dengan mengatas namakan pencipta Kitab Air, Halayudha ingin mendekatkan
diri.

Dan berhasil.

Karena Nyai Demang mengangguk-angguk.

“Ah, bisa jadi gurumu juga tak memahami Gita Tirta. Juga yang lain. Nyatanya
bocah kecil yang mengaku didikan Raganata juga tak becus.

“Ketahuilah, orang-orang bodoh, akulah Kebo Berune, yang sekarang kalian
panggil dengan sebutan Eyang Berune, pencipta Pukulan Pu-Ni yang tiada
tandingannya di kolong langit ini.

“Aku mengerti semua ciptaan, semua ilmu kanuragan yang dianggap paling
mustahil di tanah Jawa ini.

“Kalian harus tahu bahwa ilmu yang terbaik, ilmu yang paling sakti, bukanlah
yang dituliskan dalam Tumbal Bantala Parwa. Kitab itu karya curian dari Gita Tirta.

“Sesungguhnya di situ kidungan pertama kali muncul. Itulah ilmu pamungkas,
ilmu yang terakhir.

“Bejujag hanya mengambil alih saja.

“Dengarkan kidungan lengkapnya, sehingga semua bisa membandingkan mana
yang asli mana yang palsu.

Dari semua air, dari semua sumber
selalu ada akhir, selalu ada penghabisan
air melenyap, tinggal senyap
air menguap, tinggal senyap
bumi yang sangar, bumi yang ganas



ada tumbalnya
bisa dicipta
negara yang panas, negara yang ganas
ada tumbalnya
bisa ditata

air yang mengalir
lenyap dari akhir
berarti nyanyian
Nyanyian Air, Gita Tirta

Gita Tirta, tanpa jurus
tanpa tarikan napas
tanpa kehendak
air bisa dihapus, tanpa bekas
itulah Nyanyian Air
yang terus terdengar
selama masih bisa mendengar
terasa
selama masih bisa merasa…


“Cukup!” Gendhuk Tri berteriak dengan lengkingan tinggi. Tubuhnya
melayang ke udara. Coba menyetop Nyai Demang. Halayudha bergerak sama
cepatnya!

Mengerti arah gerakan Gendhuk Tri, Halayudha menaikkan tangan kiri
dengan tekukan. Udara yang digeletarkan menahan laju tubuh Gendhuk Tri. Yang
mendadak berbalik dan menendang Halayudha yang masih duduk bersila.

Tenang sekali Halayudha menggeser kepalanya, membiarkan sapuan kaki
Gendhuk Tri berdesis beberapa jari di depan hidungnya.

Ketika Gendhuk Tri mengulang lagi, Halayudha cepat menarik selendang
Gendhuk Tri dan tubuhnya sendiri melayang ke atas, ke arah Nyai Demang!

“Jangan ganggu Guru Sakti Eyang Berune!”

Dengan cara begitu, seolah Halayudha ingin menunjukkan bahwa ia
melindungi diri Kakek Berune. Sesuatu yang biasa dilakukan. Padahal niatan
Halayudha hanya satu.

Mendapatkan Kakek Berune!

Yang pikirannya berada dalam tubuh Nyai Demang.

Sebab di sinilah kunci Tirta Parwa yang sesungguhnya. Bukan pada diri

Gendhuk Tri!
Dalam gerakan itu Halayudha melindungi Nyai Demang. Tangan kiri berjaga

atas serangan Gendhuk Tri, tangan kanan mendorong hormat tubuh Nyai Demang.

Itu bahaya!

Tenaga dalam Nyai Demang mengarus ke tubuh Halayudha.

“Aduh!” pekiknya nyaring.
Pembunuhan Habis-habisan


HALAYUDHA tidak menyangka sama sekali bahwa dalam tubuh Nyai Demang
tersimpan tenaga dari Kakek Berune yang masih bergolak. Begitu tersentuh tubuh
lain, secara otomatis tenaga itu tersalur!

Dengan sifat menghancurkan!

Sesungguhnya itulah yang dirasakan oleh Nyai Demang sehingga ia tak bisa
menguasai diri.

Merasa tangan kanannya kesemutan, Halayudha membuang tenaga yang
menyerang tubuhnya ke sembarang tempat.

Sudah barang tentu yang menjadi sasaran orang-orang yang ada di sekitarnya.
Para pengikut Jinalaya tak sempat mengeluarkan teriakan mengaduh.

Sekali berkelojotan, langsung mati!

Dalam sekejap, selusin orang meninggal seketika. Termasuk si pemegang
golok, tombak, gada, yang begitu tersentuh langsung kejang.

Cebol Jinalaya yang ingin maju, segera ditarik oleh Gendhuk Tri. Rasanya
Gendhuk Tri tetap tak rela kalau cebol kepalang ini meninggal karena ulah
Halayudha, walaupun sebenarnya tujuan mereka memang ingin mati. Ingin menyusul
dan tetap mengabdi Baginda Raja Sri Kertanegara!

Halayudha masih terus berputar-putar.

Setiap kali tangan kanannya disentuhkan, ada semacam tenaga yang
menerobos ke luar. Meskipun ini menyebabkan kematian pada orang lain, akan tetapi
tenaga yang membuat tangannya kesemutan makin lama makin berkurang.

Sehingga ketika semua yang hadir, kecuali Gendhuk Tri dan Cebol Jinalaya
serta pengikutnya, terkena sentuhannya, rasa nyeri itu berkurang banyak.

Betul-betul pukulan yang luar biasa.

Sisa tenaga yang mengeram di tangan kanannya bisa untuk membunuh sekian
banyak orang! Apalagi kalau dipukul langsung. Bisa-bisa manusia menjadi bubuk
batu!

Hancur lebur!


Betul-betul pukulan sakti!

Ini ilmu yang betul-betul sakti mandraguna, hebat kelewat-lewat. Halayudha
sendiri masih ternganga karena tak percaya. Begitu banyak ilmu yang dipelajari,
ditekuni, juga berasal dari tokoh-tokoh kelas utama dalam jagat ini, akan tetapi
Pukulan Pu-Ni tetap diakui sebagai pukulan paling ganas dan telengas.

Bahwa pukulan itu ciptaan Kakek Sakti Berune, tak disangsikan lagi. Akan
tetapi bahwa hasilnya luar biasa, didukung oleh beberapa unsur yang lain.

Tenaga dalam Halayudha sendiri cukup kuat. Sehingga pergolakan di tangan
kanan setiap kali keluar, juga didorong oleh tenaga dalamnya sendiri. Bukan sematamata
tenaga mengeram dari Pukulan Pu-Ni.

Lagi pula yang menjadi sasaran boleh dikatakan bukan jago silat yang
sebenarnya.

Namun itu semua tak mengurangi ketakjuban dan kecemasan Gendhuk Tri.

Ketakjuban karena Gendhuk Tri tahu bahwa itu bukan tenaga Nyai Demang.
Kekuatan Nyai Demang sangat diketahui batas-batasnya.

Kecemasan karena kini Nyai Demang berada dalam pengaruh tenaga Eyang
Berune. Entah tokoh mana lagi, akan tetapi yang jelas sejajar dengan nama-nama
kampiun yang tadi disebutkan.

Makin cemas lagi kalau mengingat bahwa sekarang ini Halayudha bisa
menemukan, dan bukan tidak mungkin merangkul, Nyai Demang untuk mengisap
habis ilmunya.

Kalau itu terjadi, bumi tak tersisa lagi.

Akan diinjak sampai rata.

Yang lebih mencemaskan lagi, Gendhuk Tri sadar tak bisa berbuat suatu apa.
Ilmunya, seperti telah terbaca jelas dari gerakan maupun tarikan napas. Yang dengan
mudah bisa ditekuk habis oleh Halayudha.

“Halayudha busuk!


“Bagaimana kamu mengaku murid Paman Sepuh tapi begitu jahat? Bagaimana
kamu mau menjaga Tirta Parwa kalau sifat jahat dan hinamu begitu kelewatan?

“Kenapa sedikit kesakitan saja tanganmu, semua orang kamu bunuh?”

Halayudha berdiri kaku.

Ragu.

Apakah ia harus menggempur Gendhuk Tri, yang bisa dengan mudah
dilakukan, atau membiarkan saja.

Kalau ia menghajar Gendhuk Tri, bisa saja Nyai Demang muncul kembali
kesadarannya. Dan ini merepotkan.

Kalau dibiarkan saja, ia bisa menganggap sepi, dan kemudian meninggalkan
begitu saja.

Asal sudah berhasil mendapatkan Nyai Demang. Setidaknya kidungan lengkap
Gita Tirta yang disembunyikan Pendeta Sidateka terkutuk itu!

Yang akan segera disikat kalau sudah kembali nanti!

Dengan meminjam tangan Baginda. Dengan melaporkan bahwa secara sengaja
Pendeta Sidateka menyembunyikan sebagian isi kitab yang dituliskan di kain sutra.
Padahal itu atas permintaan Baginda!

Dalam keadaan termangu pun, Halayudha masih bisa memikirkan setidaknya
tiga langkah di muka.

“Kamu benar-benar busuk, Halayudha.

“Tak pantas mendengar Gita Tirta.”

“Jangan bawa-bawa nama itu. Kamu murid pencuri busuk,” jawab Halayudha
dengan lantang.

“Kamu mengaku murid Jagaddhita. Jagaddhita mengaku murid Mpu Raganata.
Ternyata itu ilmu curian belaka.

“Cacian maling busuk tak terlalu didengar.”


Nyai Demang yang masih menggendong Kebo Berune jadi memiringkan
kepalanya ke arah Halayudha dan Gendhuk Tri berganti-ganti.

Seolah mau mencari kepastian siapa yang harus lebih didengar.

Keadaan itu juga disadari oleh Gendhuk Tri.

Maupun Halayudha.

Saat ini jalan yang terbaik adalah mempengaruhi Nyai Demang. Siapa yang
menguasai, dengan sendirinya bisa menjatuhkan lawan. Dan untuk bisa menguasai
Nyai Demang, haruslah dengan kalimat-kalimat yang bisa dipahami oleh Kakek
Berune.

Ini juga susah.

Karena baik Halayudha maupun Gendhuk Tri tak mengerti siapa

sesungguhnya Kakek Berune. Selain yang tadi dibicarakan.

Takut salah bicara, Gendhuk Tri berdiam diri.

Juga Halayudha. Keadaan sunyi.

Di suatu tempat mayat-mayat bergeletakan, yang masih hidup berdiri dan

berdiam diri.

Nyai Demang menghela napas.

“Kacau… Kalian semua kacau.

“Kalian semua pencuri busuk. Aku harus melenyapkan kalian berdua. Atau

siapa saja.”

Halayudha menyembah.

“Kalau Kakek Sakti Berune mau mencabut nyawa hamba, itu adalah

kehormatan bagi hamba. Tak nanti hamba yang bersalah ini berani menggeser kaki.”
“Bagus. Bersiaplah!”


Halayudha menyembah lagi.
Duduk sambil menutup mata.
Menunggu.
Seolah menunggu.
Karena saat itu justru sedang mengerahkan semua kemampuannya untuk


menangkap bunyi atau getar yang paling lemah sekalipun. Kelihatannya saja
menyerah, akan tetapi merencanakan untuk melakukan serangan penghabisan. Tak
nanti ia rela dibunuh begitu saja, justru di saat hampir menguasai ilmu yang tak
pernah dikenal selama ini.

Cara yang ingin dilakukan ialah menjambret tubuh Gendhuk Tri, untuk
dikorbankan.

Itu akan dilakukan saat terakhir sekali.

Gendhuk Tri pun bisa terkelabui.

“Halayudha busuk, apa benar kamu yang berhak atas Tirta Parwa yang kamu
sebut-sebut itu?”

Suara Halayudha terdengar mengandung penyesalan.

“Sudahlah, buat apa disebut-sebut?

“Selama hidup, aku juga tak bisa menjaga kebesaran nama Tirta Parwa. Bahkan
walaupun aku bisa menghafal kidungan yang lain, bagian yang terpenting, yaitu Gita
Tirta, tak mampu kuingat.”

Nyai Demang terkekeh.

“Tidak, tidak.

“Barangkali Pulangsih memang hanya memberitahu aku. Tak mau

memberitahukan kepada Dodot Bintulu atau Raganata.

“Bukankah itu berarti Pulangsih masih melihat wajahku dibandingkan yang
lain?


“Pulangsih, Pulangsih… Tak sangka kamu masih lebih mementingkan aku
dibandingkan yang lain.

“Sampai kapan pun, aku tak akan melupakan perhatianmu ini… Kalau saja
Bejujag, Bintulu, Raganata, mendengar ini, di dalam kubur mereka akan iri, cemburu
habis-habisan.

“Aha, ternyata aku masih lelaki yang paling bahagia.”
Nyanyian Air di Keraton
HALAYUDHA menyembah hingga dahinya menyentuh tanah.

“Eyang Sakti, kalau Eyang Berune tidak berkeberatan, silakan mampir di
gubuk hamba di Keraton.”

“Ada urusan apa?”

“Barangkali Eyang Sakti masih bisa mengenali tulisan tangan Yang Mulia
Eyang Putri Pulangsih.”

Gendhuk Tri mengakui bahwa Halayudha bukan hanya sangat licik, tetapi
juga sangat cerdas dan cepat sekali mengambil keputusan.

Dari kata-kata Nyai Demang, bisa diketahui bahwa Kakek Berune menaruh
hati kepada Pulangsih. Atau yang disebut Pulangsih. Itu pula yang digunakan untuk
menjebak.

Nyai Demang meludah ke tanah.

“Bagaimana mungkin kamu menyebut Eyang Putri? Pulangsih masih cantik

jelita dan muda. Kenapa kamu panggil Eyang Putri?”

Telanjur berdusta, Halayudha tak mau kepalang basah.

“Beliau selalu lebih suka dipanggil begitu.”

“Kamu masih bertemu?”


“Dalam pertemuan di Trowulan, Eyang Putri masih hadir. Entah kapan lagi
beliau akan hadir.”

Gendhuk Tri yang berada di Trowulan saat pertarungan habis-habisan pun tak
mampu mengarang cerita seperti Halayudha.

“Hmmm, berarti masih sempat bertemu yang lainnya.

“Baik, baik… Ayo berangkat sekarang!”

Halayudha menyembah.

Berdiri. Satu tangan bergerak ke arah Gendhuk Tri.

“Tak usah. Kita berangkat.”

Halayudha mengangkat alisnya. Lalu berlalu. Bersama rombongannya dan
Nyai Demang yang menggendong Kakek Berune.

Tinggal Gendhuk Tri sendirian.

Dan Cebol Jinalaya.

Tak ada suara.

Agak lama.

“Kamu sedih?”

Gendhuk Tri tersenyum tawar.

“Kamu gadis yang baik, yang berjanji akan mengantarkan aku kepada Sri
Baginda Raja. Semua temanku sudah sampai, dan aku masih menunggu kebaikanmu.”

Berat beban di hati Gendhuk Tri.

Segala yang dikuatirkan terjadi. Upasara Wulung hilang tak ketahuan
rimbanya. Nyai Demang yang dicemburui dikuasai Kakek Berune dan kini dikuasai
Halayudha.

Pada saat yang bersamaan, ia dituntut untuk membunuh.


“Kalau saya bunuh kamu, siapa yang akan membunuhku?
“Kamu kira aku mau berdiam sendiri di jagat ini, Cebol?”
Cebol Jinalaya ikut termenung.
“Kalau begitu, marilah kita berdoa bersama. Semoga ada ksatria lewat dan


berbaik hati mau membunuh kita.”

Gendhuk Tri mendongak.

Memandang angkasa.

Guratan kekecewaan menoreh wajahnya.

Dengan tenang ia bisa meninggalkan Cebol Jinalaya. Sewaktu-waktu ia bisa

pergi dengan gampang. Dan tidak memedulikan. Melupakan.

Namun sekarang, jalan pikiran Gendhuk Tri jadi lain.

Kalau ia pergi, mau pergi ke mana?

Bukankah keadaannya sekarang ini sama seperti si cebol hitam ini? Sendiri, tak

punya siapa-siapa, tak mempunyai keinginan apa-apa yang bisa menjadi semangat
hidupnya?

Habis terpenggal rata.

Apakah, apakah perasaan kosong yang sama ini yang dirasakan oleh Upasara
Wulung ketika akhirnya Gayatri meninggalkannya? Sehingga Upasara memilih
menghabiskan ilmunya, dan membiarkan dirinya mati diterkam binatang buas?

Inikah kehancuran dari dalam itu?

Apakah, apakah ini yang juga dirasakan oleh Dewa Maut ketika ditinggalkan
oleh kekasihnya, lalu ditinggalkan kekasihnya Padmamuka?

Apakah, apakah ini yang menyebabkan Dewa Maut memanggilnya Tole, dan
justru ia mempermainkannya?


Apakah, apakah kekosongan ini yang juga dirasakan Nyai Demang ketika
suami dan anak-anaknya dihabisi, walau tidak bersalah?

Gendhuk Tri tenggelam dalam lamunannya. Sampai bulan muncul, dan lenyap
lagi. Bersambung dengan sinar panas matahari, disambung dengan kegelapan dan
hujan turun rintik-rintik.

Gendhuk Tri masih terdiam di tempatnya.

Cebol Jinalaya masih berdoa agar ada ksatria yang baik hati mengantarkan ke
alam di mana ia bisa mengabdi kepada raja yang disembah setulus hati.

Pikiran Gendhuk Tri masih bolak-balik tak ada batasnya. Hanya helaan napas
yang menandai keyakinan Cebol Jinalaya bahwa dirinya tidak sendirian.

“Akhirnya doa kita terkabul,” bisik Cebol perlahan. “Ada ksatria datang
kemari.”

Baru kemudian, Gendhuk Tri sadar. Dengan sisa-sisa kegesitannya, Gendhuk
Tri menutup mulut Cebol dan menariknya bersembunyi.

Gendhuk Tri agak kecewa karena yang muncul adalah prajurit Keraton yang
lewat berombongan.

“Kenapa kita perlu membawa ke Dahanapura, kalau Putra Mahkota justru
berada di Keraton?”

“Kita sebagai prajurit,” jawab suara yang lain, “hanya menjalankan perintah.
Lebih baik kita tidak membicarakannya, Adimas. Karena rumput dan ranting bisa
mempunyai telinga dan menyampaikan kepada orang lain.”

“Di tengah hutan begini, di tengah malam begini?” terdengar suara prajurit
pertama. “Siapa tahu?”

“Ah, jangan penakut.

“Saya pun menjalankan perintah, Kakangmas. Hanya yang membuat saya
heran, kenapa Putri Ayu Tunggadewi dan Putri Ayu Rajadewi harus dibawa ke
Dahanapura? Dari tadi itu saja yang mempengaruhi pikiranku.”

“Apa anehnya?”


“Kamu pasti juga mendengar kabar bahwa Permaisuri Rajapatni masih bertapa
di depan pintu Baginda.”

“Sssttt…

“Ayolah kita berjalan terus.”

Belasan langkah kemudian mereka mengeluarkan suara tertahan, ketakutan
karena menemukan puluhan mayat yang bergeletakan tak keruan letaknya. Gendhuk
Tri sebenarnya tak peduli.

Akan tetapi karena nama kedua putri Permaisuri Rajapatni disebut-sebut,
hatinya tergerak juga. Karena Permaisuri Rajapatni adalah Gayatri. Gayatri-nya
Upasara Wulung.

Berpikir dalam keadaan bagaimanapun, Upasara masih tetap melindungi. Siapa
tahu justru dengan menguntit mereka, Gendhuk Tri bisa bertemu dengan Upasara
Wulung.

Berpikir begitu, Gendhuk Tri segera mengikuti para prajurit. Digandengnya
erat-erat pergelangan tangan Cebol Jinalaya untuk dibawanya terbang.

Dalam sekejap Gendhuk Tri melupakan semua kerisauan yang tadi melanda.
Kekalutan yang begitu mengimpit seolah sirna begitu saja.

Dengan riang Gendhuk Tri menyatroni para prajurit untuk mencuri bekalnya.
Dihabiskannya bersama Cebol Jinalaya yang tersenyum-senyum.

Bagi para prajurit pengawal, beberapa kejadian aneh membuat mereka makin
dicekam ketakutan. Setelah bertemu mayat-mayat, bekal makanan tiba-tiba habis.

Sehingga tak ayal lagi mempercepat perjalanan.


Menjelang fajar, Gendhuk Tri bisa melihat bahwa ada joli kecil yang dijaga
dengan saksama. Tak bisa tidak, itulah kedua putri Gayatri.

“Ayo kita nakali mereka. Cebol jelek hitam, kamu masuk ke joli itu. Kita tak
usah main sembunyi. Bisa enak-enak di dalam joli. Bagaimana?

“Kalau itu mempercepat jalan sowan kepada Sri Baginda Raja, aku selalu
bersedia.”

“Tunggu sampai malam.

“Begitu muncul tengah malam, mereka akan kocar-kacir. Itu saat terbaik
untuk menyusup masuk.”

“Apakah aku menakutkan?”

Gendhuk Tri mendadak merasa iba.

“Tidak. Tentu saja tidak.

“Merekalah prajurit yang penakut. Bukan karena kamu.”

Cebol menggelengkan kepalanya.

“Bukankah dua putri itu juga akan takut? Bukankah rencana kita akan gagal?”

“Pikiranmu tak sependek tubuhmu.

“Jangan kuatir, aku ada akal.”

“Akalmu banyak sekali.

“Makin banyak akal, makin tak cepat kita sampai ke pengabdian di alam sana.”

Gendhuk Tri menghela napas berat.

“Ini putri turunan Sri Baginda Raja. Melindunginya sama juga mengabdi Sri
Baginda secara pribadi. Kenapa kamu begitu bodoh?”


Perangkap Kiai Sambartaka
SUARA Gendhuk Tri nyaring karena kesalnya.


Itu yang membuat para prajurit pembawa tandu berhenti, menoleh ke

belakang, dan bersiap.

“Jangan main bokong seperti pengecut. Keluarlah!”

Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Meloncat dari balik pepohonan.

“Kalian para prajurit yang tak bisa berbaris dengan baik, berani buka mulut

sembarangan.

“Cecunguk macam kalian hanya mengotori lantai Keraton.”

Gendhuk Tri tak mau membuang waktu. Cekatan ia meloncat, langsung
menuju joli yang terjaga. Tiga tombak yang menghalang dilibat dengan selendang dan
disentakkan. Kedua kakinya menyambar, dan dengan dua gerakan, prajurit yang
menjaga terjungkal.

Gendhuk Tri berkerut keningnya.

Walau sejak pertama tahu bahwa prajurit pengiring bukan prajurit yang

tangguh, akan tetapi tidak seharusnya mereka jatuh-bangun dalam gebrakan pertama.

Tangan Gendhuk Tri bergerak kembali.

Siku, telapak, kaki, bersamaan menyambar.

Setiap gerakan membuahkan hasil.

Lawan terpencar, jungkir-balik.

“Prajurit gadungan begini masih mau buka mulut bau?”

Gendhuk Tri menggerakkan tangan membuka tirai joli. Wajahnya menjadi

berubah ketika satu sosok tubuh mengedip ke arahnya.
“Adik manis, mari masuk…”


Itu Maha Singanada, yang penampilannya mirip Upasara Wulung. Ksatria
gagah yang bicaranya lantang.

“Kenapa kamu sembunyi seperti anak ayam di situ?”

Pertanyaan yang wajar diucapkan Gendhuk Tri mengingat Singanada
bukanlah ksatria yang suka menyembunyikan sesuatu. Pertanyaan yang walaupun
selintas terdengar kasar akan tetapi menunjukkan rasa hormat.

Karena bagi Gendhuk Tri, Singanada adalah satu-satunya lelaki yang
dihormatinya, yang menganggapnya sebagai seorang gadis. Gadis yang manis, yang
baik. Tidak menilai sebagai anak kecil. Bagi gadis seusia Gendhuk Tri, pertemuan
pertama dulu sangat membekas dalam hati.

Tak mungkin bisa dilupakan.

“Enak di sini. Tinggal duduk. Menunggu Upasara, dan melihatnya bertempur

dengan Kiai Sambartaka yang kesohor.”

“Tipu muslihat apa lagi ini?”

“Sewaktu aku keluyuran, aku melihat Kiai Sambartaka membayar penjahat


penjahat kecil untuk menyamar sebagai prajurit Keraton. Sambil membawa joli yang
dikatakan membawa dua putri Permaisuri Rajapatni. ‘

“Dengan harapan agar Upasara muncul dan menolong.

“Dan Kiai Sambartaka akan menantangnya.”

Cukup jelas kata-kata Singanada. Ringkas dan langsung, apa adanya.

“Kenapa kamu ikut-ikutan?”

“Aku mau menyaksikan siapa sesungguhnya lelananging jagat ini. Bukankah
itu pertarungan yang menarik?”

“Di mana kiai Hindia yang busuk itu?”

“Untuk apa kita pedulikan?


“Pasti di sekitar daerah ini. Ayo masuk saja! Kita tunggu sampai terjadi
pertarungan.

“Tapi barangkali kurang seru, karena Upasara terkena pukulan Pendeta
Sidateka.”

Dada Gendhuk Tri tergetar.

“Mana mungkin Kakang Upasara bisa dilukai?”

“Itulah kabar yang terdengar. Entah siapa yang menyebarkan. Upasara terluka
parah oleh pukulan Pendeta Sidateka.”

“Kalau benar begitu, sungguh gawat.

“Syukur kamu mau menolong.”

Maha Singanada menggelengkan kepalanya.

“Aku tak ada urusan menolong atau ditolong. Aku hanya ingin menyaksikan
pertarungan sejati. Jauh-jauh aku mengembara ke negeri seberang ingin melihat ilmu
sejati.
“Setelah semua jago tersingkir, tinggal Kiai Sambartaka dan Upasara Wulung. Entah
mana yang lebih jago.”

Gendhuk Tri berbalik.

Singanada meloncat keluar dari joli.

“Kamu tidak tertarik, gadis suci?”

“Aku lagi tidak ingin ketemu Kakang Upasara.”

Singanada menghampiri Gendhuk Tri. Berjalan di sampingnya, tanpa

memedulikan para prajurit gadungan yang membenahi joli.

“Kenapa bisa begitu?”

“Bukan urusanmu.”


“Memang bukan. Kalaupun kamu jelaskan, belum tentu aku mengerti. Soal
wanita dan lelaki memang serba menggelikan, cabul, dan tak masuk pikiran.

“Raja Muda Kala Gemet begitu bernafsu mempersunting Ratu Ayu. Aku juga.
Tapi ia memilih Upasara Wulung. Yang justru lebih suka pergi mengembara.
Bukankah ini aneh?

“Sama anehnya, kamu, gadis suci yang mencintai kakangnya tapi tak mau
bertemu dengannya.”

“Siapa menyuruhmu ngomong sembarangan?”

“Upasara juga aneh,” kata Singanada tanpa memedulikan pertanyaan Gendhuk
Tri. “Ia punya kamu, punya Nyai Demang, punya Ratu Ayu, tapi katanya menyayangi
Permaisuri Rajapatni. Aku tak mengerti, dan tak akan pernah mau mengerti.

“Tugasku telah selesai.”

Maha Singanada berhenti.

Dadanya membusung.

“Apa urusanmu?”

“Aku ditugaskan ke tlatah Campa membawa Dyah Ayu Tapasi. Tugas mulia

dari Sri Baginda Raja telah kami selesaikan. Apa lagi?

“Kini aku bebas mau apa saja, ke mana saja.

“Aku anak turunan prajurit Singasari yang telah selesai menjalankan bakti.”

“Kenapa tidak kembali ke tanah Campa saja?”

“Ada juga rencana itu.

“Gadis suci, kamu mau ikut?”

Tanpa terasa wajah Gendhuk Tri menjadi merah. Jengah. Menunduk.

“Begitukah cara lelaki mengajak perempuan?”


“Sudah lama aku tak mengenal tata krama Keraton Jawa. Aku lahir dalam
perjalanan, besar di negeri seberang. Aku juga tak peduli ucapan ini cukup sopan atau
kurang ajar.

“Maafkan kalau lancang.

“Tapi aku ingin mengajakmu.

“Kepalaku puyeng melihat kejadian-kejadian yang memalukan seperti ini.
Dulu, dalam bayanganku, Keraton adalah puncak kesempurnaan. Begitu semua orang
tua menceritakan kebesaran Keraton Singasari yang perkasa. Sehingga dalam angananganku
tak ada yang lebih membahagiakan dan membanggakan selain Keraton
Singasari.

“Akan tetapi nyatanya ketika aku kembali, yang ada seorang raja yang
bernama Sanggrama Wijaya. Yang ada anaknya, Putra Mahkota Kala Gemet, yang
berebutan. Yang ada pembunuhan para senopati utama. Seperti Senopati Sora.

“Dan kini Mahapatih Nambi sedang dijebak.”

“Dijebak bagaimana?”

“Aku tak peduli karena bukan urusanku.”

“Oleh Halayudha?”

“Mungkin. Apa bedanya?

“Di tanah Jawa tak ada lagi jiwa ksatria. Tak ada lagi prajurit sejati. Yang ada
cacing-cacing hina yang berebut bangkai nista.”

Suaranya mengandung kegeraman yang luar biasa.

Gendhuk Tri bisa mengerti. Senopati Maha Singanada adalah senopati dan
sekaligus juga prajurit sejati yang lahir dalam tugas. Tugas mulia ketika Baginda Raja
Sri Kertanegara meluaskan pengaruhnya. Menjalankan hubungan kerja sama sampai
negeri Campa.

Singanada dibesarkan dalam dongengan kebesaran Singasari. Akan tetapi
ketika kembali justru menjumpai hal-hal yang membuatnya malu.


Gendhuk Tri tak bisa menjelaskan dengan singkat bahwa ada perbedaan antara
Keraton Singasari dan apa yang ditemui sekarang ini. Apalagi Singanada kini ditarik
mengabdi kepada Kala Gemet!

“Aku sudah muak dengan bisul-bisul masalah Keraton. Masalah pangkat dan
derajat yang palsu. Sebagai ksatria, aku hanya ingin melihat di mana masih
kutemukan jiwa ksatria. Kalau di sini tak ada lagi, untuk apa aku berdiam di sini lagi?

“Di tanah Campa, atau di mana saja, aku masih bisa berdiri dengan gagah
mendongak ke langit. Kalau hanya ingin pangkat, aku bisa menjadi senopati agung di
sana. Tapi sejak lama aku menolak. Aku ingin menjadi ksatria.”

Gendhuk Tri tersenyum.

Tiba-tiba wajahnya seperti seorang kakak yang mengerti kerisauan adiknya,
seorang ibu yang memahami kerisauan anaknya.

“Setidaknya kamu masih menganggap Kakang Upasara seorang ksatria,

bukan?”

“Tidak lagi.”

Jawaban Singanada membuat mata Gendhuk Tri membelalak.
Kembalinya Pukulan Beku
“UPASARA WULUNG bukan lagi ksatria.

“Ia bermulut kecil, berjiwa kerdil seperti cacing atau yang lainnya. Kesaktian
yang dimiliki tidak membuat jiwanya tegar sebagaimana layaknya seorang ksatria.

“Ia begitu pengecut, lari ke sana kemari tidak jelas. Hanya karena takut

menghadapi kain wanita yang terbuka.

“Lelaki macam apa pula itu?”

Gendhuk Tri menjadi panas.

Kalaupun ia tengah membenci Upasara Wulung setinggi langit setebal bumi,
tak nanti orang lain dibiarkan mencaci begitu saja. Akan tetapi Gendhuk Tri
menyadari bahwa Singanada mengatakan isi hatinya secara jujur. Sifat dan


pembawaannya selalu begitu. Hal lain, bukan tidak mungkin apa yang dikatakan
Singanada ada benarnya.

“Kalau Kakang Upasara bukan lelaki, kenapa kamu masih ingin menemui?”

“Karena aku ingin mengatakan itu padanya.

“Mengatakan bahwa ia tidak pantas menjadi prajurit Singasari. Atau prajurit
mana pun.

“Upasara bukan didikan Ksatria Pingitan.

“Aku, Maha Singanada, lebih berhak dari Upasara untuk mengatakan diriku
sebagai prajurit Singasari, abdi Sri Baginda Raja!”

Kali ini Gendhuk Tri menjadi panas.

“Kamu sama berhati cacing. Dengki.”

“Tak ada sifat itu padaku.”

“Kalau Kakang Upasara bukan ksatria, bukan lelaki, apakah kamu menganggap
Kiai Sambartaka yang bersembunyi dan mendengarkan omongan kita sebagai
lelananging jagat?”

“Aku tidak peduli siapa yang memegang gelar itu.

“Aku sekadar ingin tahu saja. Seperti apa yang menyandang gelar ksatria di
antara ksatria, pendekarnya pendekar, jagonya seluruh jago.

“Kiai Sambartaka busuk atau bau kentut, aku tidak peduli, karena ia bukan

prajurit Singasari.”

Kata-kata itu mengenai jantung hati Gendhuk Tri.

Sungguh bisa dimengerti apa yang dimaksud oleh Singanada.

Tapi Gendhuk Tri tak mau menyerah.

“Kenapa kamu ajak aku?”


“Kamu gadis kecil yang suci. Yang tak seharusnya terseret intrik harta, wanita,
atau kepangkatan. Kamu sisa-sisa prajurit Singasari yang masih bisa diselamatkan.”

Senyum Gendhuk Tri urung, ketika terdengar suara dingin.

“Tak usah jauh-jauh menyelamatkan diri. Di sini aku ingin menamatkan kalian
yang telah merusak rencanaku.”

Gendhuk Tri menelan ludahnya dengan susah.

Maha Singanada tetap berdiri gagah.

Di depannya nampak seorang lelaki tinggi jangkung yang merangkap kedua
tangannya. Bibirnya tak bergerak ketika berbicara.

Kiai Sambartaka!

Keringat dingin melembapi Gendhuk Tri.

“Bersiaplah, aku tak punya waktu banyak.”

Bret, bret. Dua tangan Kiai Sambartaka bergerak perlahan. Hawa dingin
bergumpal mengepung dari sisi tangan Kiai Sambartaka berada. Inilah Pukulan Beku
yang ampuh, Pukulan Mandeg Mangu, yang serta-merta membuat udara sekitar
menjadi beku. Hingga lawan susah bernapas.

“Kanyasukla, awas!”

Kanyasukla adalah panggilan Maha Singanada yang membuat Gendhuk Tri
tergetar hati kegadisannya yang sedang tumbuh. Maka membuatnya bercekat juga

karena gembira.

Akan tetapi pikiran begitu dengan cepat tersapu.

Kiai Sambartaka adalah salah satu tokoh yang datang ke Trowulan untuk

perebutan gelar lelananging jagat, yang bukan hanya sakti, tetapi juga licik.

Kalau Eyang Sepuh saja bisa diakali, apalagi yang lain!

Kalau Eyang Sepuh bisa dibuat terluka, apalagi yang lain! Apalagi dirinya atau

Maha Singanada!


Gendhuk Tri menarik kakinya satu tindak ke belakang, sementara Maha
Singanada menggerung keras. Auman Sembilan Singa! Gebrakan disertai pengaturan
napas Nawawidha. Cara mengatur napas yang melipatkan tenaga dalam sembilan kali.

Bahwa ini langsung dikeluarkan, menandakan bahwa Singanada merasa lawan
yang dihadapi setingkat atau dua tingkat lebih tinggi.

Gerakan Singanada juga langsung dengan ilmu andalannya, Siasat Sembilan
Bintang. Bergerak ke arah delapan penjuru, dan kantar, tombak pendeknya, sudah
seketika mencongkel lawan.

Tubuh Kiai Sambartaka seperti bergoyang sedikit, kedua tangannya naikturun.
Tanpa mengubah kuda-kuda.

Memang luar biasa.

Singanada yang berloncatan menutup jalan mundur atau jalan maju atau
gerakan ke samping, seperti sia-sia. Karena Kiai Sambartaka tak berniat mundur atau
maju atau menyamping.

Tetap berdiri di tempatnya semula.

Kepalan telapak tangannya tiap kali terlontar, setiap kali pula seperti
meninggalkan gumpalan dingin yang mematikan. Yang tak bisa dipakai oleh
Singanada.

Yang terpaksa menghindar.

Karena hidungnya seperti menemui tempat kosong, dingin, beku. Tak ada
udara yang bisa ditarik. Tak bisa diisap.

Kalau kehabisan napas, seorang tokoh sakti seperti dewa pun akan mudah
dikalahkan!

Perlahan Singanada mulai tertindih.

Gerakannya menjadi keteter. Aumannya yang keras membahana seperti
berubah menjadi jeritan singa terluka.

Tubuhnya makin terhuyung-huyung.


Gendhuk Tri menggenggam tangannya erat-erat. Untuk ikut maju ke medan
pertarungan, ia merasa tak bakal menolong lebih banyak. Akan tetapi untuk berdiri
saja, jelas juga tidak mungkin.

Sret.

Gendhuk Tri meloloskan selendangnya. Sehelai. Dan dengan nekat ia
meloncat maju, menutupkan selendang ke wajah Kiai Sambartaka.

Dengan cara itu, ia berharap kekuatan utama Kiai Sambartaka yang terpancar
dari pandangan matanya yang ganjil akan terkurangi. Dan kalau selendangnya bisa
direbut lawan, Gendhuk Tri tak akan menderita terlalu dalam. Karena telah
dilepaskan dari ikatan tubuhnya.

Suatu akal yang jitu.

Singanada melihat peluang yang menguntungkan. Dalam hati ia memuji
Gendhuk Tri yang pandangannya sangat tajam, mampu melihat kekuatan lawan dan
bersiasat untuk mengatasi.

Maha Singanada merasakan bahwa udara sekitarnya membeku. Akan tetapi
yang lebih melumpuhkan ialah sorot mata Kiai Sambartaka! Yang membuatnya
terpaku di sana.

Pandangan mata yang membuatnya letih.

Singanada bukannya tidak mengendus bahwa ada semacam ilmu hitam,
terutama yang berasal dari tlatah Hindia, yang mempergunakan tenaga pancaran mata
untuk mempengaruhi lawan. Akan tetapi ternyata ia tak bisa membebaskan. Begitu
terserap, rasanya tak bisa lepas lagi.

Dan sorot mata itu seolah menyuruh, memerintah untuk mengikuti kemauan
lawan.

Maka pertolongan Gendhuk Tri dengan kibasan selendang menutupi mata Kiai
Sambartaka sangat besar pengaruhnya.

Singanada bisa kembali memusatkan kekuatannya.


Dan bergerak dengan gesit, beberapa kali kantar-nya menyobek ke arah
lambung.

Mau tak mau Kiai Sambartaka menggeser kakinya.

Dua, tiga tindak surut ke arah kiri.

Satu tindak ke arah belakang.

Kiai Sambartaka sendiri dalam hati kesal. Karena ulah Gendhuk Tri yang
menampar keangkuhannya. Membekuk lawan tanpa menggeser kaki.

Baginya untuk memenangi pertarungan ini sangat mudah. Karena kedua lawan
jauh di bawah ilmunya. Akan tetapi sungguh menyakitkan kesombongannya kalau
untuk itu ia harus bertarung mati-matian.

Tapi tak ada jalan lain.

Kemurkaan Kiai Sambartaka terlihat dari tubuhnya, yang tadinya kaku kejang,
jadi menggeliat. Seperti tarian ular beracun yang siap mematuk.

Begitu selendang Gendhuk Tri menutupi lagi, Kiai Sambartaka mengeluarkan
teriakan dingin sambil meloncat ke udara. Tubuhnya terbang dan hinggap lagi di
tanah, dengan dua pukulan terlontar ke arah Gendhuk Tri dan Singanada.

Yang membuat Gendhuk Tri mencelos ialah bahwa selendangnya menjadi

beku. Menjadi keras, kering seolah papan kayu yang tak bisa digerakkan!

Selendangnya bisa terkena Pukulan Beku.

Sehelai kain saja bisa dikuasai ilmu Pukulan Mandeg-Mangu, apalagi tubuh

manusia yang terdiri atas darah dan daging!

Hal sama juga dirasakan oleh Singanada.

Justru dalam keadaan mengangkasa, Singanada melihat bahwa lawan sudah

tercecar untuk sementara. Bukan hanya mampu dipaksa mundur dan menyamping,
akan tetapi juga berjumpalitan dan berlenggok.

Tapi sekejap kemudian, kantar-nya. terasa mematuk urat nadinya. Bagai
patukan ular berbisa. Yang membuat tangannya ngilu.


Dengarkan Suara Air

SATU-SATUNYA jalan menyelamatkan diri hanyalah dengan membuang kantar.
Dan membuang tubuhnya ke belakang sambil menarik Gendhuk Tri mundur.
Kiai Sambartaka berdiri dengan tenang.
“Sebelum kalian bisa mati bahagia karena berdua-dua akan membeku, saya

ingin memberi sedikit rasa sakit.”
Kedua tangan Kiai Sambartaka bergerak. Sikunya naik ke atas, lengannya rata

dengan pundak. Kelima jari di kanan dan kiri menekuk ke bawah.
Dari kelima jari terulur lidah ular.
Benar-benar ular hidup yang buas mencari patukan.
“Tak percuma saya membawa dari tanah kelahiran. Rasakan sedikit keenakan

yang belum pernah kalian rasakan.
“Giginya kecil.
“Taringnya mungil.
“Masing-masing dari kalian akan menerima lima gigitan. Cukup untuk

dirasakan sebelum meninggalkan dunia ini.”
Gendhuk Tri tidak gentar.
Justru pada saat mati-hidup itu nyalinya seperti ditantang. Ia tak mau di

belakang tubuh Singanada yang melindungi. Ia menggeser maju.
“Kalau kepada Eyang Sepuh saja kamu berani berbuat kurang ajar dan menipu,

apalagi kepada kami!
“Keluarkan semua ilmu busukmu akan aku hadapi!”
“Ada dua alasan untuk menyakitimu, anak kecil.


“Kalau begitu kamu tiga kali gigitan saja. Biar menderita lebih lama…” Kiai
Sambartaka menarik napas. Dari jari-jari tangan kirinya, dua ekor ular kecil
menyusup masuk.

Ini hebat!

Bahkan ular berbisa pun menjadi bagian dari tubuhnya. Seperti binatang buas
yang bisa menarik kukunya. Ini memang kelebihan Kiai Sambartaka.

Dengan menarik dua ekor ularnya, berarti hanya tiga ekor yang tersisa. Tiga
pagutan, akan membuat Gendhuk Tri menderita lebih lama. Sebelum akhirnya mati.

“Alasan pertama karena kamu mengungkit kembali Bejujag gila. Yang kedua
karena kamu menggagalkan niatanku menjebak Upasara. Barangkali dengan

kematianmu, Upasara akan lebih cepat muncul.

“Bagus!”

Singanada menggeser maju.

“Kanyasukla, ini bagianku. Biar aku saja yang melayani.”

“Lebih baik kau ke negeri Campa sana. Ini urusanku. Aku tak rela pendeta

busuk menyebut-nyebut Eyang Sepuh seenak mulutnya yang, bercabang lidahnya.”
“Harusnya wanita seperti kamu ini dihina lebih menjijikkan lagi. Biarlah ular


ular ini menggerayangi kewanitaanmu sebelum kamu kena pagut.”

Sret!

Kiai Sambartaka menggeliat, dan kedua tangannya maju meraup ke depan.

Kini bukan hanya hawa dingin yang membekukan dan membuat susah

bernapas, akan tetapi juga tercium bau amis yang luar biasa.

Perut Gendhuk Tri menjadi mual, pandangannya berkunang-kunang. Bahkan
Singanada yang tenaga dalamnya lebih kuat terpengaruh dengan hebat. Pemusatan
pikirannya menjadi kacau.

Terutama juga karena memikirkan keselamatan Gendhuk Tri.


Inilah kesalahan utama.

Memusatkan pada diri sendiri saja tak akan mampu mengimbangi, apalagi
terpecah!

Maka gerakan Singanada maupun Gendhuk Tri seperti gerakan ngawur untuk
mempertahankan diri.

Satu kali tangan Kiai Sambartaka bergerak, kaki Singanada kena sentuhan, dan

membeku tak bisa digerakkan.

Tubuh Gendhuk Tri juga seperti terkurung.

Satu-satunya jalan, tetap saja. Melorot turun, meluncur dengan tenaga

punggung.

Terpaksa Kiai Sambartaka meloncat menghindar.

Dan tangan kirinya tetap terulur ke depan menyambar tubuh Gendhuk Tri

yang masih meluncur ke tanah.

Saat itu tubuh Gendhuk Tri tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tak bisa melawan.
Karena udara sekeliling tubuhnya beku dan membuatnya tak bisa menghindar.

Akan tetapi tanpa disadari, ada tenaga lembut mengalir lewat bahunya.
Dengan sangat cepat menyebar ke seluruh tubuh.

Begitu tangan Kiai Sambartaka mendekat, Gendhuk Tri bisa mengegos dan

dengan tekukan tenaga dalam perut, tubuh Gendhuk Tri melayang ke atas.

Ringan, enteng, melayang.

Bahkan selendangnya yang tersisa bisa berkibar.

Singanada mengeluarkan seruan tertahan.

Ia tak menyangka sama sekali bahwa Gendhuk Tri masih bisa meloloskan diri

dengan cara yang luar biasa. Dalam keadaan yang begitu sulit, masih mampu
mengerahkan tenaga perut untuk melayang.

Bahkan kalau dilihat dari gerakannya, sangat lemas, lembut, dan terkuasai.


Singanada tak menduga sama sekali.
Sehingga matanya melihat tanpa berkedip.
Kakinya saja kena pengaruh lawan dan sulit digerakkan. Tetapi nyatanya


Gendhuk Tri justru bisa membebaskan diri!

Sebenarnya Kiai Sambartaka juga tak bisa menyembunyikan rasa herannya.

Hanya saja parasnya tak menunjukkan perubahan seperti Singanada.

Rasa heran Kiai Sambartaka terutama karena tak menduga bahwa di saat

meluncur, tubuh Gendhuk Tri masih mampu bergerak ke arah lain.
Masih bisa mengandalkan tenaga perut yang menggelembung dan mengempis,

untuk mengempos semangat!

Pengerahan tenaga dalam yang, nyaris, sempurna.

Kiai Sambartaka menduga bahwa penguasaan seperti itu hanya dimiliki

mereka yang puluhan tahun menghabiskan waktu berlatih secara keras.

Kalaupun sejak lahir Gendhuk Tri sudah diajari melatih pernapasan, dan itu
hampir mustahil, umurnya sekarang masih belum mendukung lamanya latihan.

Keheranan Kiai Sambartaka, karena diam-diam muncul kesangsian akan
kemampuannya melancarkan Pukulan Beku. Padahal itu satu-satunya ilmu andalan
yang dianggap paling sakti di seluruh jagat.

Inti ilmunya ialah membuat udara sekitarnya beku bagi lawan. Menjadi
dingin, kaku, dan tak bisa diisap. Dengan menciptakan udara beku di sekitar, lawan

tak bisa menguasai wilayah itu. Tinggal memojokkan, dan menghabisi.

Itu yang terjadi pada permulaan.

Hingga ia bisa memaksa Gendhuk Tri meluncur ke bawah. Saat itu udara di

sekitar sudah sepenuhnya dikuasai. Luar biasa jika kemudian Gendhuk Tri mampu
menerobos.

Itu yang tak dimengerti.


Sesungguhnya, Gendhuk Tri sendiri tak mengerti sepenuhnya.
Kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya begitu tiba-tiba, juga ketika


terkumpul di pusar dan dikerahkan.

Sampai saat tubuhnya melayang di udara.

Ketika itulah telinganya mendengar suara lembut:

Dengarkan suara air

bukan gemericiknya

ikuti gerakan air

bukan ombaknya…

Kekuatan Gendhuk Tri seperti terpanggil kembali. Ia mengetahui bahwa ada
seorang tokoh yang membantunya secara diam-diam. Gendhuk Tri tak tahu pasti
apakah itu suara Eyang Sepuh—karena ia tak pernah mendengar sebelumnya, atau
tokoh sakti yang lain.

Untuk sementara Gendhuk Tri tak mau peduli.

Hanya ia merasa tokoh sakti yang membantunya masih berada di sekitarnya.

Tubuh Gendhuk Tri melayang ke bawah dengan anggun.

“Kiai busuk, tak perlu bengong.

“Untuk apa jauh-jauh mencari Kakang Upasara atau secara pengecut melarikan

diri dari Trowulan, kalau bertemu dengan aku saja matamu tak berkedip?

“Apa kamu kira ilmu Pukulan Ragu bisa menandingi pukulan-pukulan kami
yang diciptakan dari keluhuran budi?”

Gendhuk Tri memang pintar memainkan lidahnya.


Ia mengatakan pukulan andalan Kiai Sambartaka dengan Pukulan “Ragu”,
yang artinya kurang-lebih sama dengan Pukulan Mandeg-Mangu. Namun kalau
istilah pertama menunjukkan ketidakpastian, arti kata yang kedua menunjukkan
kekuatan yang sesungguhnya.

“Dengan modal hanya begini, kamu jauh-jauh mau mengadu.

“Apa bisa disejajarkan dengan Tepukan Satu Tangan yang tanpa tandingan?
Atau gerakan selendangku? Meskipun kamu gabung dengan Pukulan Pu-Ni yang
kamu curi dari Kakek Berune, masih jauh di bawah ilmu Mpu Raganata yang paling
biasa.”

“Tahu apa kamu tentang Pukulan Pu-Ni?”
Air Tak Membedakan
KINI giliran Gendhuk Tri yang tertawa keras.

“Kasihan. Sungguh kasihan nasibmu.

“Jauh sekali kamu datang. Jauh sekali kamu mempersiapkan diri sejak kakek

gurumu mempunyai keinginan menghadiri pertemuan di tanah Jawa.

“Semua yang kamu harapkan sia-sia.

“Bahkan usahamu menyelami tanah Jawa, mencoba mengubah namamu

dengan gelaran terhormat Kiai Sambartaka, kiai yang mampu mendatangkan kiamat,
ternyata cuma ilmu kulit kacang. Lepas tak berguna karena kena panas.

“Kiai ular kecil, dengarkan baik-baik!

“Kamu masih ingat aku juga ada di Trowulan? Atau lidah kamu sudah mulai
mengenal Trowulan? Brantas? Masih segar dalam ingatanmu?

“Aku datang karena aku berhak datang.

“Seperti Kakang Upasara Wulung, yang akhirnya menjadi pemenang. Tak
peduli siapa yang ikut ke gelanggang, aku atau Kakang Upasara, hasilnya sama.

“Kamu tahu, kamu mengalami, bahwa Eyang Sepuh telah menghancurkan,
telah mengalahkan. Kalau Eyang Sepuh berkenan. Akan tetapi Eyang Sepuh memberi


ampunan. Sehingga kamu seperti cacing menyelam ke dalam sungai,
menyembunyikan kepalamu di dasar sungai.

“Kami bisa mengangkatmu ke atas. Dan mengencingimu tepat di lubang
hidungmu.

“Tapi Eyang Sepuh mengampunimu.

“Kenapa kamu masih belum puas? Masih merasa pantas untuk adu tanding
memperebutkan gelar ksatria yang paling terhormat?”

“Kamu tidak menjawab pertanyaan.”

“Kamu tidak mau dan tak bisa mendengarkan jawaban.”

“Aku menanyakan apa yang kauketahui tentang Pukulan Pu-Ni.”

“Sama saja. Kamu menanyakan Pukulan Pu-Ni, atau Tepukan Satu Tangan,
atau Weruh Sadurunging Winarah, atau Pukulan Air, atau sepuluh nama lain bisa
kusebutkan.

“Tingkat sama dan sudah merata.

“Salah satu saja dari yang kusebutkan, Pukulan Beku kamu tak banyak berarti.
Tak mungkin bisa menandingi.

“Kamu sungguh keliru kalau hanya menganggap Tepukan Satu Tangan sebagai
satu-satunya pukulan dahsyat. Tanah Jawa terlalu subur untuk pukulan lain. Untuk

tumbuhnya akal budi.

“Tabiatmu yang busuk tak akan pernah sampai.”

Meskipun mengarang, Gendhuk Tri sedikit-banyak mengetahui nama-nama

yang disebutkan.

Sehingga Kiai Sambartaka sedikit-banyak terpengaruh juga.

“Apa pernah kamu dengar Kidung Paminggir?”

Gendhuk Tri tertawa.


“Kenapa kamu masih saja penasaran dengan nama-nama? Apakah setelah
mengetahui Kidung Paminggir kamu berusaha bisa menguasai ilmunya?

“Seperti Halayudha yang merasa menjadi sakti hanya dengan mendengar Gita
Tirta?

“Kamu masih tak akan mengungguli karena dasar jiwamu masih kotor dan
rendah.”
Gendhuk Tri menarik napas lega.

“Caramu melatih pernapasan saja tidak jujur, tidak ikhlas. Kamu terlalu
memaksa diri. Tlatah Hindia adalah tlatah leluhur bagi kami. Pada mulanya.

“Tapi itu sudah lama berakhir.

“Ilmu pernapasan yang kami terima sudah jauh berbeda. Rasakan sendiri
bedanya. Pukulan Mandeg-Mangu kamu kuasai dengan sangat baik, tapi tetap kurang
sempurna. Karena kamu hanya mengandalkan tenaga keras. Tenaga bumi, tenaga
tanah, tenaga yang bisa mementahkan Kitab Bumi.

“Bukankah ketika kamu menjatuhkanku dan siap mencengkeramku, kamu tak
menduga bahwa aku bisa lolos dengan enak? Menerobos kurungan kebekuan yang
kamu ciptakan?”

Kiai Sambartaka sampai menggaruk-garuk belakang telinganya.

Singanada juga merasakan dadanya panas.

Keduanya tidak mengetahui bahwa Gendhuk Tri sengaja meneruskan suara

yang berdenging di telinganya.

Tentu saja dengan ditambahi bumbu, sesuai dengan keinginannya sendiri.

“Karena kebekuan tenagamu hanya bisa mengurung tenaga keras, tenaga yang,

tenaga lelaki. Begitu lawan melatih tenaga lain, tenaga wanita, kamu kelabakan.

“Semua ilmu kamu tak ada gunanya.

“Ini nasihat yang baik. Pelajari lagi baik-baik, dan lima puluh tahun lagi, kalau

umurmu panjang atau muridmu ada yang berbakat, kirim lagi kemari.


“Nasihat kedua ialah, jangan terlalu lama menahan tenaga di dada sebelah atas.
Satu dan lain waktu, kekuatanmu sendiri tak mampu menguasai. Sekarang pun bisa
kudengar tarikan napasmu yang mendesing seperti nyamuk kelelahan.

“Itu artinya ada yang tidak betul.

“Ada yang kamu paksakan.

“Rangkaian kekuatan, rangkaian tenaga napas, begitu kena gangguan sedikit

saja, menjadi tidak beres. Semua tenaga dalam yang kamu latih puluhan tahun akan
hilang atau berbenturan sendiri.

“Sudahlah, Sambartaka, pulang saja.

“Seekor ularmu telah mati teracuni sendiri. Itulah nasibmu suatu ketika kalau
kamu tidak hati-hati.”

Kiai Sambartaka mengeluarkan sepuluh ekor ularnya dari jari-jarinya.

Benar yang dikatakan Gendhuk Tri.

Seekor ularnya tak bergerak, meluncur jatuh ke tanah.

Singanada membelalak.

Kiai Sambartaka menunduk.

“Sebentar lagi aku akan kembali.”

Tubuhnya menggeliat dan mendadak hilang dari pandangan.

Gendhuk Tri menunduk.

Lalu duduk, dengan sikap bersemadi.

“Terima kasih sekali, Guru Sakti yang baik hati.

“Dengan ini saya, Gendhuk Tri yang rendah, menghaturkan sembah bekti.”

Terdengar angin bergerak.


Cebol Jinalaya yang muncul mendekat.
Maha Singanada menunduk dan memberi sembah kepada Cebol Jinalaya.
Tentu saja Cebol Jinalaya yang tidak tahu-menahu apa-apa balik merasa heran.
“Rupanya kamu mengenal Raganata, Bejujag….”
Suara itu datang dari arah lain.
Singanada juga menangkap.
“Kenapa bersembunyi segala macam?”
“Saya tidak bersembunyi. Sejak tadi saya ada di sini, berbicara denganmu.


Sejak tadi saya tahu bahwa kamu mempelajari ilmu selendang yang rasanya pernah
saya ciptakan.

“Dari mana kamu pelajari itu, Gendhuk Tri?”

“Dari Ibu Guru Jagaddhita.”

“Saya tak tahu.”

“Ibu Guru Jagaddhita mendapat ilmu dari Eyang Raganata.”

“Ooooh.

“Raganata, lelaki yang baik. Yang memikirkan negara, memikirkan Keraton.
Saya membaca sebentar Kitab Negara. Saya, terus terang saja, tak mengerti isinya.

“Apa betul ia sudah mendahului?”

“Begitulah yang hamba ketahui.

“Kalau betul Kakek Guru yang menciptakan…”

“Bagaimana mungkin kamu memanggil Kakek? Apa suara saya seperti suara
lelaki?”


Mimpi pun Gendhuk Tri tak menyangka kalau salah menebak. Ternyata
selama ini yang berbisik, yang berbicara padanya adalah wanita.

“Bagaimana hamba bisa tahu kalau tak melihat?”

Mendadak desiran angin lembut membuat Gendhuk Tri mendongak. Kini di
depannya nampak bayangan yang samar, yang kadang kelihatan, kadang lenyap
kembali. Bayangan seorang wanita yang alisnya tebal, berwarna putih.

Gendhuk Tri menyembah hingga menyentuh tanah. Tubuhnya gemetar.

“Kiranya hamba bertemu dengan Putri Pulangsih yang mulia, yang
mempunyai ilmu Manjing Ajur Ajer seperti halnya Eyang Sepuh. Ah, apakah hamba

telah mati?”

“Kamu jenaka dan segar.

“Gendhuk Tri, budimu cukup baik. Tak sia-sia Raganata memilihmu untuk

meneruskan ilmu saya. Hanya kenapa jadinya begitu dangkal?

“Bukankah air tak pernah membeda-bedakan?

“Bukankah air menyapa secara sama siapa saja?

“Raganata, apakah kamu sengaja meremehkan ilmu saya, agar dunia menjadi

maklum saya tetap wanita yang hanya bersatu dalam asmara, hanya gumpalan nafsu
belaka?”

Pulangsih memang berarti bersatunya daya asmara, alias bertemu badani.
Sewaktu diucapkan, Gendhuk Tri masih merasakan getaran hati yang tersayat.

Semacam penyesalan yang tak bisa terobati.

Air Tak Bersisa Duka
SUARA Putri Pulangsih masih menyayat hati Gendhuk Tri. Yang berpikir-pikir,
bahwa sekian puluh tahun ternyata ada kenangan yang tak bisa dihapus.


“Eyang Mpu Raganata kelewat sakti dan luhur budinya. Dihormati seluruh
Keraton Singasari dan para ksatria. Rasa-rasanya tak mungkin beliau berbuat yang
tidak-tidak.


“Saya yang tak pernah mengerti ajaran itu.”
“Lupakan saja, Gendhuk Tri.
“Kalau saya mengatakan seseorang buruk perilakunya, tak akan mengubah


apa-apa. Tidak bermaksud menggugat atau merendahkan.

“Raganata sangat baik.

“Baik sekali.

“Raganata secara jujur mengakui, bahwa ia tertarik menjadi prajurit. Menjadi
abdi dalem, menjadi punggawa Keraton. Dulu ia mengatakan itu pada saya. Karena
kesadaran, bahwa satu-satunya cara untuk mengubah dan memperbaiki tanah Jawa
ialah melalui Keraton. Sebab Keraton lah yang secara langsung memimpin dan
menentukan.

“Ia meninggalkan saya dan teman-teman, mengabdi kepada Sri Baginda Raja.

“Lucu juga, membayangkan ia menjadi prajurit.

“Menjadi empu. Berdiam di Keraton, mengurusi tata negara, mengawasi tata

pemerintahan.

“Tak bisa dibayangkan.

“Tapi itulah kejujuran yang polos. Raganata membuat Kitab Negara, Nagara
Parwa, yang tidak saya mengerti. Tapi ia juga masih membuat tulisan lain, kitab
kanuragan yang kemudian dikenal dengan nama ilmu silat Weruh Sadurunging
Winarah, Tahu Sebelum Terjadi.

“Itu menunjukkan bahwa sebenarnya jiwa yang sesungguhnya adalah jiwa
ksatria. Jiwa pendekar, jiwa pengelana. Hanya karena melihat bahwa Keraton bisa
menyalurkan hasrat perbaikan, ia bergabung ke dalam Keraton.

“Diam-diam ia mengajarkan juga ilmu Tirta, ilmu Air, yang saya latih.

“Ya, Raganata orang yang jujur dan baik.”

“Putri Pulangsih mengenal Mpu Raganata?”


Secara samar-samar Gendhuk Tri melihat senyum terkembang.
“Seperti kamu mengenal lelaki di dekatmu itu. Atau malah lebih.
“Dulu mereka dekat dengan saya. Saling berlomba memilih saya. Raganata,


Dodot Bintulu…”

“Paman Sepuh…”

“Juga Bejujag….”

“Eyang Sepuh?”

“Nama yang kemudian memang serba terhormat, serba sepuh. Saya sendiri

yang masih memakai nama hina.

“Tapi apa artinya nama? Ada yang cuma Gendhuk Tri….”

“Maaf, tapi siapa sebenarnya Kakek Berune?”

“Ah, ia juga lelaki yang baik.

“Ksatria yang setia mengabdi pada Keraton. Dikirim ke tanah seberang.

Gendhuk Tri, agaknya kamu cukup mengenal mereka semua.”

Secara singkat Gendhuk Tri menceritakan perkenalan dengan Mpu Raganata,
juga Perguruan Awan yang didirikan Eyang Sepuh, pertarungan di Trowulan, serta

yang baru saja didengar mengenai Kakek Berune.

“Ia masih tergila-gila pada saya?

“Aha. Semua masih tergila-gila. Hanya semua lelaki memang lahir bersama

keangkuhan.”

Dalam hati, Gendhuk Tri merasa geli juga. Dalam pandangannya, Putri
Pulangsih sudah nenek-nenek dan reyot. Akan tetapi penampilan dan gayanya masih
seperti gadis muda. .

Seakan ada perkembangan rasa yang terhenti di saat remaja.


“Saya bintang, saya bunga pujaan.

“Dan karena saya tak ingin menyakiti hati salah satu, saya menghindari
semuanya. Dan semua menyalahkan saya. Menuduh yang bukan-bukan, bahkan
sepakat memberi nama yang hina.

“Sedih?

“Saya tak pernah punya duka yang tersisa.

“Saya tahu apa yang harus saya jalani. Menjaga putra-putri Singasari yang
hebat. Kalau satu saya pilih, yang lainnya akan bermusuhan. Saya harus menjaga
keutuhan ini.

“Saya juga membuktikan bahwa ilmu silat saya tak bisa diremehkan. Bertahuntahun
saya menuliskan Tirta Parwa atau Kitab Air, seperti Dodot Bintulu menuliskan
Bantala Parwa, dan Raganata menuliskan Nagara Parwa.

“Kami saling membaca tulisan, dan saling mempelajari dan memecahkan.

“Bejujag melengkapi Bantala Parwa dengan Tumbal Bantala Parwa yang
memang luar biasa. Saya melengkapi dengan Gita Parwa, yang saya rasa merupakan
ilmu penutup dari semua ilmu silat yang ada.

“Kalau Bejujag meneruskan inti segala inti bumi, saya memakai inti tenaga air.

“Seperti sudah kamu ketahui, kami akan menjajal semua kemampuan yang ada
saat bertemu di Trowulan, persisnya di tepi Kali Brantas.

“Saat itu, atas jasa Raganata, Sri Baginda Raja telah menitahkan bahwa Bantala
Parwa merupakan kitab resmi mengenai ilmu kanuragan.

“Namun Bejujag itu memang paling sembrono dalam hidupnya.

“Mungkin sekali, itu sebabnya saya merasa paling dekat dengannya.

“Justru pada saat ia dianggap sebagai pencipta ilmu silat yang tiada taranya,
yang diakui Sri Baginda Raja, yang bisa malang-melintang dengan gagah perkasa, ia
menyelesaikan kidungan yang aneh, Kidung Paminggir, yang membuat Sri Baginda
Raja murka.


“Itulah Bejujag.

“Saya mengakui sikapnya yang selalu angin-anginan. Selalu sembrono, nakal,
dan tak memedulikan. Tumbal Bantala Parwa dikatakan tercipta karena berani

menolak daya asmara dari saya. Padahal saya tak pernah memilih dia.

“Siapa bisa tahan hidup bersama angin?

“Siapa yang mau mengerti bahwa Kidung Paminggir menuliskan di suatu saat

kelak akan muncul seorang paminggir, seorang yang tidak dikenal asal-usulnya, yang
akan menjadi panutan, lebih dari raja sendiri.

“Gendhuk Tri, apakah ada orang yang lebih gila dari dia ini?”

Gendhuk Tri tak bisa menjawab pasti.

Bisanya cuma menggeleng.

“Sri Baginda Raja, penguasa tertinggi yang dipuja seluruh rakyat. Semua yang
menjadi keinginan rakyat dipenuhi. Tontonan setiap saat bisa diadakan. Bagi mereka
yang gemar susastra, semua kitab yang ada di seluruh jagat ini ditulis ulang. Diberikan
kesempatan kepada siapa saja untuk mempelajari. Semua tanah di jagat ini didatangi,
diberi anugerah, dipayungi dengan kebesarannya.

“Apa pun yang menjadi keperluan para ksatria, dipenuhi.

“Termasuk Bejujag yang mendirikan Perguruan Awan. Akan tetapi justru di

saat itu ia meramalkan akan ada ksatria sejati yang melebihi rajanya!

“Gila, benar-benar gila!

“Kenapa ia tulis kidung seperti itu?”

Lama tak ada sahutan.

Singanada yang sejak tadi berdiam diri, menghaturkan sembah.

“Kalau benar Baginda Raja adalah penguasa yang bijak dan adil, yang tiada

tandingan, kenapa Baginda harus murka kepada Eyang Sepuh?”
“Siapa kamu, anak muda?”


“Hamba prajurit yang juga dikirim ke tanah seberang.”
“Kamu tak tahu, bahwa Baginda murka karena tahu apa yang dikatakan


Bejujag bisa benar-benar terjadi!

“Itulah hebatnya Bejujag.”

Kali ini sunyi berlalu lama sekali.

“Paling tidak, Baginda percaya itu akan terjadi. Dan sebelum menggegerkan
Keraton, Baginda melarang Bejujag meneruskan ajarannya. Itu yang membuat kacau,
sehingga kami tak bisa saling bertemu atau bertukar pikiran.

“Karena masing-masing lebih sibuk dengan ilmunya sendiri. Karena untuk
memperdalam dan menunggu saat pertarungan yang sesungguhnya diperlukan latihan
sepanjang hidup.

“Saya berani keluar, akan tetapi rasanya terlambat.

“Pertemuan telah berakhir.

“Lima puluh tahun lagi, saya akan datang kembali. Untuk menguji, siapa yang

lebih murni. Apakah yang berintikan bumi atau air.”

“Kenapa tidak menemui Kiai Sambartaka atau Kakang Upasara saja?”

“Untuk apa?

“Kami, para ksatria, harus memegang teguh janji. Kami hanya akan mengadu

ilmu sejati pada saat dan tempat yang telah ditentukan bersama.

“Betapa sia-sia dan membuang waktu untuk mengurusi yang kecil dan sepele.

“Masih lebih baik mempelajari ilmu, yang tak ada habisnya untuk dipelajari.

“Hari ini saya bicara terlalu banyak.

“Gendhuk Tri, bebaskan temanmu itu. Lima puluh tahun lagi kita akan saling
bertemu kembali.”
Pewaris Kitab Air


GENDHUK TRI berteriak kuat, akan tetapi bayangan samar di depannya menghilang.

Singanada menghela napas.

Kakinya masih tak bisa digerakkan. Kalaupun bisa, juga tak bisa mengejar.

Cebol Jinalaya bingung memandangi Gendhuk Tri yang berteriak. Sejak tadi ia
melihat Gendhuk Tri berbicara sendirian, karena ia tak bisa melihat bayangan Putri
Pulangsih.

Makanya ia menjadi heran ketika Gendhuk Tri berteriak kuat.

Apalagi setelah itu, Gendhuk Tri dan Singanada duduk, menyembah dengan
hormat.

“Banyak yang ganjil di dunia ini. Tetapi yang namanya tokoh-tokoh terhormat
lebih ganjil lagi.

“Aku tak mengerti kenapa Eyang Putri masih menunggu lima puluh tahun
lagi, dan sekarang ini ingin memperdalam ilmunya. Rasa-rasanya aku pun belum
tentu masih hidup lima puluh tahun lagi.

“Sungguh tak bisa dimengerti.”

Maha Singanada berdiam diri.

Perlahan anyaman di benak kepalanya membentuk gambaran kebesaran
Keraton Singasari. Baginda Raja Sri Kertanegara tetap raja yang paling dahsyat di
seluruh jagat. Pada saat memerintah, semua kitab yang ada di seluruh jagat ini diubah
dan dibuat salinannya. Dan itu bukan hanya kitab kanuragan, tetapi juga kitab-kitab
susastra yang adiluhung.

Itu yang menyebabkan kedua orangtuanya berangkat ke tanah Campa. Tempat
ia dilahirkan, dibesarkan dengan dongengan dan kenyataan.

Itu yang menalikan sebagai kekuatan raksasa. Mpu Raganata dengan gemilang
menjadi penghubung, termasuk mengirimkan salinan Kitab Bumi yang dipelajari
hingga sekarang.

Sungguh mengagumkan.


Baru saja disaksikan sendiri salah satu kesaktian yang tiada taranya. Ilmu
Manjing Ajur Ajer yang dipelajari, ternyata bisa mencapai puncaknya dengan
menghilangkan diri. Menjadi moksa. Menjadi cat katon cat ilang, antara kelihatan dan
hilang.

Ini pula yang berbunyi di hati Gendhuk Tri.

Seumur hidupnya, ia menyaksikan sendiri dua tokoh sakti memperlihatkan

ilmu itu.

Yang pertama ialah Eyang Sepuh.

Dan kini Putri Pulangsih.

Yang sudah mencapai tingkat kasampurnan, sempurna. Sehingga tidak penting

lagi, perlu ada secara nyata atau tidak.

Ada rasa berbunga-bunga pada Gendhuk Tri.

Ternyata, dirinya masih cucu murid kesekian pencipta Tirta Parwa, yang

selama ini namanya saja tak diketahui.

“Bagus, bagus sekali ilmu kamu.”

“Ilmunya yang hebat, aku sendiri masih luar biasa gobloknya.”

“Baru bisa mencapai tingkat itu,” kata Maha Singanada. “Apa susahnya

mempelajari?”

“Mana mungkin?

“Aku tak pernah mengetahui.”

“Bukankah Nyai Demang bisa tahu dari Kakek Berune? Bukankah Halayudha

menyimpan salinannya?”

“Gila!

“Benar apa yang kamu katakan. Aku akan merebut kembali.”


“Berangkatlah segera.”
“Kamu sendiri bagaimana?”
Maha Singanada menggelengkan kepalanya.
“Jangan urusi diriku.
“Perhatianmu sudah cukup melegakanku.”
Wajah Gendhuk Tri merah padam.
Ia berpaling ke arah lain.
“Aku cuma kasihan melihatmu tak bisa bergerak. Jangan berpikir yang


macam-macam.”

“Kakiku kaku.

“Tapi biar saja.”

“Tadi dikatakan aku bisa menolongmu. Tapi mana bisa?”

Gendhuk Tri bersemadi. Duduk bersanding. Menarik udara keras-keras,

menahan di dada. Memusatkan perhatian kalau-kalau mendengar bisikan petunjuk.

Lama sekali Gendhuk Tri menunggu.

Sampai perasaannya sendiri hanyut terbawa alunan irama angin. Tanpa terasa

tangannya bergerak, memegang kaki Singanada. Dirasakannya satu getaran dingin
yang menggumpal.

Dengan mengikuti tenaga gumpalan, Gendhuk Tri berusaha menyalurkan
tenaganya.

Perlahan.

Yang terbayang hanyalah air. Bukan selendang warna-warni. Bukan wajah
Jagaddhita. Bukan Mpu Raganata.

Melainkan air. Gemercik air, tapi bukan bunyinya.


Air. Air mengalir. Tapi bukan geraknya.
Air yang menggenang.
Air yang mengubang.
Air. Air. Air.
Singanada juga memusatkan perhatian. Kalau tadi tenaga dalamnya berusaha


membebaskan kakinya yang kaku dan selalu terhalang, kini diikutinya saja pelukan
tenaga dari telapak tangan Gendhuk Tri yang terasa hangat.

Mengurung bagian yang ngilu tak bisa digerakkan.

Cebol Jinalaya menyaksikan semua kejadian dengan diam. Tenang dan
menunggu.

Ia tak mengerti bahwa pada saat itu Gendhuk Tri dan Maha Singanada sedang
memusatkan seluruh kemampuan tenaga dalam mereka.

Sedang mencairkan kebekuan!

Bagi Gendhuk Tri maupun Singanada, menerima dan menyalurkan tenaga
dalam merupakan latihan sehari-hari. Sehingga meskipun baru sekarang ini
bersentuhan, bisa langsung mengatur diri.

Hal semacam ini lumrah dalam dunia persilatan.

Gendhuk Tri bahkan mengalami yang lebih dari ini. Tenaga dalam Upasara
Wulung dimasukkan secara paksa ke dalam tubuhnya untuk membongkar racun

ganas dalam tubuhnya.

Maka baginya tak terlalu sulit menyalurkan tenaga dalamnya.

Begitu juga Singanada. Tak terlalu sulit menerima saluran tenaga dalam dan

digabungkan dengan tenaga dalamnya sendiri.

Yang sedikit mengganjal ialah bahwa tenaga dalam dari tangan Gendhuk Tri
seperti merembes. Perlahan, lunak, mengalir. Tak bisa dipaksa dan dibantu dengan


tenaga dalamnya sendiri. Kadang terasa sangat penuh di kakinya, terkadang justru
lenyap kembali.

Sampai sepenanak nasi Gendhuk Tri menjajal, hingga seluruh tubuhnya
bermandikan keringat dingin.

“Aku tak tahan lagi,” kata Gendhuk Tri sambil menarik kembali tangannya.

Maha Singanada memandang dengan sorot mata penuh rasa terima kasih.

“Kiai Sambartaka memang hebat. Tapi kamu lebih hebat lagi.”

“Tidak, aku sendiri tak mengerti sepenuhnya. Aku hanya menjajalnya.

“Bagaimana, masih tak bisa digerakkan?”

Singanada menarik kakinya.

Masih kaku sedikit, akan tetapi mulai bisa bergerak. Juga jari-jari kakinya bisa
digerakkan.

“Kamu pewaris tunggal Ilmu Air.

“Pasti bisa.”

“Harusnya begitu. Tapi selama ini aku tak pernah mempelajari secara langsung.
Aku hanya mengikuti petunjuk guruku.”

“Jangan tersinggung kalau kukatakan kamu pada dasarnya bodoh. Kalau guru
yang sebenarnya bisa mencapai tingkat seperti yang kita lihat, seharusnya kamu bisa
mengungguli.

“Sudah jelas dikatakan intinya adalah air. Tenaga air. Maka kamu tinggal
melatih lagi, menjajal lagi.”

Gendhuk Tri berdiri seketika.

“Enak saja. Kamu mau memperbudak aku untuk mengobatimu?”

“Tidak apa.


“Kamu bisa menjajal pada tubuhmu.”
Suara Singanada polos. Pandangan matanya juga polos. Tanpa prasangka apa


apa.

Memang itulah Maha Singanada yang diketahui Gendhuk Tri.

Berbicara secara terus terang. Apa yang ada di benaknya keluar tanpa disaring

dengan basa-basi.

“Ayo kita jajal lagi.”

“Jajal saja sendiri.”

“Tak bisa, tak bisa.

“Dengan mengatur napas Nawawidha, justru kebekuan dan rasa sakit jadi

berlipat sembilan. Barangkali ini yang membuat lebih sakti. Tapi usahamu malah
menjadikan lebih baik.

“Itu, barangkali saja, sifat air.

“Dan wanita cocok dengan sifat itu.

“Aku ingin kamu menguasai lebih banyak dan lebih sadar, sehingga bisa
merebut kitab salinan dari tangan Halayudha.”

Gendhuk Tri tak menjawab.

Cebol Jinalaya mengangguk.

“Kalau saya bisa melakukan, akan saya lakukan. Apa yang harus saya lakukan
sekarang ini?”
Pasangan Bumi dengan Air
APA yang dikatakan si cebol hitam sangat tepat.

Dengan menanyakan “Apa yang harus saya lakukan sekarang ini?”, Cebol
Jinalaya masuk ke tengah persoalan. Bahwa ia bisa berbuat sesuatu yang sangat
dibutuhkan saat ini.


Gendhuk Tri bukannya tidak mengetahui bagaimana mengatur pernapasan
atau menyalurkan tenaga dalam untuk membantu Maha Singanada. Walau secara
teori tidak sempurna, akan tetapi sejak masih kecil Gendhuk Tri sudah berlatih secara
langsung. Ditambah pengalamannya yang luar biasa dalam berbagai medan
pertempuran, dengan sendirinya penguasaan akan ilmunya boleh dikatakan sangat
mudah digerakkan semau hatinya.

Yang tak mungkin dilakukan saat itu ialah membantu Singanada dengan
memegangi kakinya!

Karena Gendhuk Tri yang sekarang bukanlah Gendhuk Tri yang dulu.

Sekarang ia adalah gadis remaja yang sedang tumbuh. Yang secara alamiah
merasakan getaran aneh yang membuat wajahnya merah padam, daun telinganya
terasa panas.

Apalagi menghadapi Singanada.

Singanada adalah satu-satunya lelaki yang pernah menyadarkan Gendhuk Tri
akan usianya yang berkembang. Selama ini Gendhuk Tri selalu mendapat perlakuan
seperti anak kecil. Karena dikelilingi oleh orang-orang yang lebih tua, yang
mengenalnya sejak masih ingusan.

Terutama tokoh-tokoh dari Perguruan Awan. Termasuk di dalamnya Upasara
Wulung maupun Nyai Demang.

Dalam anggapan mereka, Gendhuk Tri merasa perlu diperlakukan sebagai
anak kecil. Sebagai gendhuk.

Padahal bibit-bibit kedewasaan mulai tumbuh. Perasaan kewanitaan
berkembang sesuai dengan usianya.

Gendhuk Tri yang sekarang adalah seorang gadis remaja!

Geletar yang paling bisa disadari sendiri ialah ketika rasa cemburunya yang
membesar saat melihat Upasara bergandengan tangan dengan Nyai Demang.

Untuk pertama kalinya, Gendhuk Tri merasa sangat gusar.

Kecemburuan yang mirip persaingan.


Perubahan yang secara agak terlambat disadari oleh Gendhuk Tri. Akan tetapi
tumbuhnya kepekaan ini tak bisa ditolak.

Maka sekarang ini, kalau ia menolak membantu Singanada, terutama sekali
karena tebalnya rasa rikuh, sungkan, malu. Singanada adalah perjaka, dan dirinya
adalah perawan.

Mana mungkin pegang-pegang kaki segala macam?

Hanya saja, jelas Gendhuk Tri tak mungkin bisa menerangkan perasaan
hatinya.

Celakanya, Maha Singanada juga tak bisa menangkap gelagat. Bahwa ia
menganggap Gendhuk Tri bukan sebagai anak-anak, itu sudah dilakukan sejak
pertama kali bertemu. Akan tetapi jiwa Singanada kosong dalam menghadapi soal
hubungan lelaki-perempuan. Ia dibesarkan di rantau, digembleng dalam suasana
persilatan. Sehingga mengenai hubungan semacam ini kurang diketahui dengan baik.

Kalau ia mengusulkan dan mengajak berlatih bersama, semata-mata
berdasarkan pertimbangan ilmu silat.

Tidak lebih.

Baru ketika Cebol Jinalaya mengajukan diri, dan Gendhuk Tri melengos ke
arah lain, Singanada menyadari.

Dalam hatinya timbul rasa senang dan sekaligus penyesalan. Senang karena
merasakan getaran yang sama aneh tapi menggugah perasaan yang tak pernah
dialami. Penyesalan karena menduga bahwa Gendhuk Tri belum tentu bersedia
membantunya.

“Baik, cebol yang baik.

“Letakkan tanganmu pada kaki Singanada. Aku akan mencoba menjajal seperti
tadi.”

Cebol Jinalaya mengangguk.

Kedua tangannya bergerak.


Akan tetapi Singanada menggeser, meskipun kelihatan masih kaku.
“Apa maumu?” teriak Gendhuk Tri kaget.
Singanada menarik udara dari hidungnya.
“Kalau kamu merasa segan, tak usah dipaksakan. Aku tak bisa menerima


perlakuan semacam itu.”

“Kamu ingin aku melakukan sendiri?”

Singanada memandang tajam.

“Ya.”

“Huh!”

“Bagiku tak ada gunanya kalau kamu sendiri tak rela. Kalau kamu tak suka

menolongku, buat apa melalui perantara?”

Cebol Jinalaya berdiri bengong.

“Sejak dilahirkan, saya memang tak ada gunanya.”

“Tunggu!” teriak Gendhuk Tri. “Bukan salahmu, cebol yang baik. Ksatria

Campa ini mau memaksakan kehendaknya agar aku mau mengurut kakinya.

“Dan itu tak akan terjadi.”

“Kalau tidak suka, tak perlu dipaksa. Aku sudah bilang tadi.”

“Jangan cerewet. Sudah kukatakan aku mau menolongmu.”

“Kenapa tidak kamu lakukan sendiri?”

“Aku… aku… aku…”

Singanada menggeleng.

“Kalau kamu sudah mempunyai Upasara Wulung, ya sudah. Jangan berpikir

yang macam-macam. Aku juga tidak memaksa kamu mau denganku.


“Aku tak memaksa berhubungan denganku….”
Gendhuk Tri menggigil.
Ia tak tahu harus berbuat apa. Kalimat Singanada sangat terus terang, terbuka,


dan langsung mengenai hatinya.

“Singanada, apakah kamu menyukai aku?”

“Ya.”

“Lalu apa maumu?”

“Kalau kamu juga mau denganku, kita jalan bersama. Kita rebut kembali Kitab

Air. Karena kamu pewarisnya yang sah.”

Wajah Gendhuk Tri merah terbakar.

“Kalau kamu sudah janji sama Upasara Wulung, ya sudah.”

“Ngawur.

“Siapa janji sama dia?”

“Atau lelaki lain?”

“Ngawur.”

“Atau tak suka padaku?”

“Ngawur…”

Gendhuk Tri gelagapan sendiri. Dengan menjawab ngawur pada pertanyaan

terakhir, berarti ia suka kepada Singanada.

Itu yang menyebabkan Singanada bergelak keras sekali. Suaranya mengguntur.
“Hebat, hebat sekali tanah Jawa ini.

“Orangnya serba berbelok, serba berputar. Suka, tapi emoh bilang suka. Tapi
aku suka cara begini ini. Ada malu-malu, sungkan, antara iya dan tidak…


“Ha… ha… ha…
“Sungguh menarik hidup begini ini.
“Kanyasukla, di sini hanya ada kamu dan aku. Dan disaksikan cebol yang baik


ini, kenapa kamu masih malu-malu?

“Ayolah kita pelajari bersama.”

Sesungguhnya, Gendhuk Tri masih bimbang. Dalam hatinya yang paling

dalam ia tak mengetahui bagaimana harus menghadapi Singanada. Ia tak tahu persis
jawabannya: apakah ia menyukai Singanada atau tidak.

Yang jelas, ia tak membenci.

Tidak menimbulkan rasa muak, seperti misalnya melihat Kala Gemet,
walaupun ia putra mahkota!

Yang selama ini yang menjadi idamannya adalah Upasara Wulung. Segalanya
yang sempurna dalam angannya tercipta dalam diri Upasara Wulung.

Hanya kemudian perasaan itu bergeser karena Upasara Wulung cuma
mempunyai satu daya asmara—kepada Gayatri. Perasaan itu lebih bergeser lagi dan
mengubah pendiriannya, sewaktu Upasara akhirnya menikah dengan Ratu Ayu
Bawah Langit, dan kemudian sekali dilihatnya bergandengan tangan dengan Nyai
Demang.

Sejak itu berturut-turut kekaguman yang utuh mulai rontok.

Pada saat yang tepat, muncul lah Singanada.

Ksatria gagah yang mirip Upasara Wulung.

“Kalau kamu menguasai Kitab Air, dan aku menguasai Kitab Bumi, rasanya

yang namanya Halayudha atau siapa saja bukan sesuatu yang menyulitkan kita di
belakang hari.

“Cebol yang baik, hari ini kamu menjadi saksi bersatunya bumi dengan air.”

Singanada duduk memusatkan pikiran.


Gendhuk Tri memegang tangan Cebol Jinalaya yang segera menggenggam kaki
Singanada.

Perlahan gelombang tenaga dalam Gendhuk Tri merembes masuk ke kaki.
Mengurung rasa dingin yang membeku, mencairkan dan menggiring, mendorong ke
segala nadi. Hasilnya memang luar biasa.

Dalam waktu sekejap, rasa sakit dan kaku itu lenyap.

Bahkan Gendhuk Tri sendiri tak menyangka akan sehebat itu hasilnya. Kalau
sebelumnya ia mencoba sampai kehabisan tenaga, kali ini bisa langsung masuk
terserap.

Apakah ini perpaduan antara tanah dan air?

Kembali ke Kemelut Keraton

KALAU Gendhuk Tri merasa keheranan, Singanada justru sebaliknya.

Ia merasakan bahwa tenaga dalam yang dimilikinya dan yang dimiliki
Gendhuk Tri merupakan pasangan yang saling membantu dan berlipat ganda.

Jalan pikiran Singanada sangat tepat. Walau tak bisa menerjemahkan secara
tepat.

Singanada hanya merasakan bahwa dasar ilmu pernapasan dan ilmu silat yang
dimiliki berasal dari Kitab Bumi. Dengan segala perubahan dan kembangan yang ada.
Pada puncak perkembangan itu adalah kemampuan untuk melipatkan tenaga dalam
sampai sembilan kali.

Inti tenaga keras yang dimiliki, ternyata bisa ditandingi dengan tenaga keras
yang lain. Yang bisa lebih memusnahkan. Bahwa dalam hal begini lebih ditentukan
siapa yang menguasai tenaga dalam lebih kuat, Singanada bisa mengerti sepenuhnya.

Akan tetapi yang membuatnya takjub ialah ketika Putri Pulangsih mengatakan
mengenai Kitab Air.

Dengan cepat pengertian itu membersit dan masuk ke dalam kepala serta hati
Singanada.


Jauh lebih cepat membuka mata batin Singanada dibandingkan dengan
Gendhuk Tri.

Sesungguhnya ini hanya perbedaan sikap dasar ketika sama-sama mempelajari
ilmu silat.

Bagi Gendhuk Tri, ia mempelajari ilmu silat secara langsung. Lewat guru yang
langsung melatih. Tanpa banyak penjelasan. Hasilnya memang lebih cepat, lebih
tangkas, karena tak direpotkan dengan berbagai teori.

Sebaliknya, bagi Maha Singanada, ia dibesarkan dalam ajaran yang
disampaikan lewat kidungan. Kedua orangtuanya, paman-paman, serta para senopati
yang berada di tanah seberang, harus mempelajari lebih dulu kitab-kitab yang
dikirimkan. Sebagai perkembangan yang kemudian lebih didasarkan atas pengalaman
batinnya sendiri ketika berlatih.

Cara pendekatan semacam ini lebih melelahkan dan lebih menyita waktu
banyak. Akan tetapi keuntungan yang utama ialah mata batinnya siap terbuka.
Bahkan segala sesuatu yang baru, bisa dengan cepat ditangkap.

Maka sewaktu bayangan Putri Pulangsih menceritakan sekilas mengenai
kidungan Tirta Parwa, Singanada bisa menangkap intinya. Bahkan Singanada yang
lebih dulu menyadari Kitab Air adalah kitab utama ilmu silat Gendhuk Tri.

Bahwa perpaduan tenaga bumi dengan tenaga air bisa hebat luar biasa.

Kalau Singanada mengetahui asal-usul penciptaan kidungan, penciptaan Kitab
Bumi maupun Kitab Air, ataupun Pukulan Pu-Ni dan atau yang dikembangkan Mpu
Raganata, ia bisa menangkap dan mengungkap lebih banyak lagi.

Dan itu juga akan dikatakan secara terus terang kepada Gendhuk Tri.

Yang bisa saja malah mengurungkan diri!

Karena, sebenarnya masih ada titik keraguan untuk menerima Maha
Singanada secara total.

Yang tidak diketahui baik oleh Gendhuk Tri maupun Maha Singanada adalah
bahwa Kitab Air diciptakan oleh Putri Pulangsih pada saat-saat setelah Kitab Bumi
disempurnakan oleh Eyang Sepuh. Dan niatan untuk menciptakan Kitab Air,


terutama juga didorong karena keinginan menciptakan maha karya yang bisa dipakai
sebagai babon ilmu kanuragan.

Akan tetapi di balik kisah ilmu silat yang sakti, terjalin juga hubungan asmara
yang sulit diterangkan bagi mereka yang tidak mengalami secara langsung.

Karena saat itu Putri Pulangsih merupakan pilihan utama para ksatria. Dan
Putri Pulangsih merasa bisa lebih dekat dengan Eyang Sepuh.

Bisa dimengerti kalau ada suasana yang padu.

Setidaknya kalau dibandingkan perpaduan Kitab Air dengan sumber
penciptaan yang lain.

Itu sebabnya dalam sekejap rasa sakit di kaki Singanada lenyap seketika.

Keampuhan perpaduan tenaga dalam Gendhuk Tri dengan Maha Singanada
yang terpantul dari perpaduan perasaan, menyebabkan timbulnya tenaga yang hebat.

Singanada bisa langsung merasakan, karena inti penguasaan ilmunya adalah
kelipatan sembilan kali. Kini yang dirasakan bukan hanya sembilan kali, akan tetapi
secara menyeluruh.

“Kita berhasil.”

Singanada melompat tinggi.

Kakinya bisa digerakkan dengan leluasa.

Cebol Jinalaya pun berseri-seri.

Gendhuk Tri membenahi selendangnya.

“Ayo kita kembali ke Keraton. Kita cari Halayudha….”

Gendhuk Tri mengangguk.

“Bagaimana kalau saya ikut ke Keraton?”

Suara Cebol Jinalaya terdengar asing di telinga Gendhuk Tri.


“Kenapa, kamu mau cari mati di sana?”
“Entahlah, saya tak tahu.
“Tadinya saya hanya ingin segera mati. Agar bisa bersatu dengan Baginda Raja.


Lagi pula hidup saya tak ada gunanya. Akan tetapi setelah ikutan memegang kaki dan
kamu pegangi, ada perasaan segar.”

Gendhuk Tri membelalak.

“Apa betul begitu?”

“Ya, segar.”

“Kamu tak mau mencari mati lagi?”

“Entahlah, saya tak mengerti.”

“Itu baik, baik sekali,” kata Singanada. “Kamu terkena sawan tenaga dalam
kami berdua.”

Sawan, atau berkah atau tuah atau faedah tak langsung, yang dikatakan
Singanada bisa dirasakan pula oleh Gendhuk Tri.

Kalau bukan Cebol yang mengatakan, Gendhuk Tri akan curiga. Akan tetapi,
ia sendiri mengalami bersama-sama Cebol yang setiap saat ingin mati. Yang sebelum
menyentuh kaki Singanada masih merasa dirinya tak pernah ada gunanya.

Yang membuat Gendhuk Tri sedikit bertanya-tanya dalam hati ialah kenapa
pengaruhnya bisa begitu cepat.

Akan tetapi pertanyaan itu disimpannya dalam hati.

Ia merasa bersyukur bahwa Cebol mau ikut. Sekurangnya akan membuat
dirinya tidak menjadi sangat kikuk kalau harus berduaan saja dengan Singanada.

Dalam perjalanan kembali ke Keraton, mereka berdua sempat berlatih dua
kali. Cebol ikut mendengarkan dan mencatat kidungan yang ditembangkan baik oleh
Gendhuk Tri maupun oleh Maha Singanada.


Singanada sendiri tak segan-segan menggendong ke pundaknya saat mereka
melakukan perjalanan.

“Tunggu, rasanya ada apa-apa di dalam Keraton,” kata Gendhuk Tri berbisik.

“Kenapa?”

“Sejak di perbatasan tadi para prajurit disiagakan secara penuh.”

“Lalu kenapa?”

“Jangan-jangan ada huru-hara….”

“Kalaupun ada, apa bedanya?

“Kita datang untuk merebut Kitab Air, bukan urusan Keraton.”

“Mana mungkin kita bisa bergerak leluasa, kalau urusan seperti ini?”

“Kanyasukla, aku tahu kamu dibesarkan di Keraton. Aku di bawah panji-panji
kebesaran Keraton.

“Tetapi aku sekarang tak peduli lagi. Aku tak menemukan kebesaran Keraton
di mana aku harus mengabdi diri. Putra Mahkota yang masih kecil sudah segenit itu,
dan aku tak mau jadi korban pemuasan nafsunya.

“Ayolah kita selesaikan urusan kamu, dan kita bisa keliling jagat.”

Gendhuk Tri merasakan kekecewaan dalam nada suara Singanada.

“Mengabdi kepada Keraton adalah tugas mulia. Tanpa harus memedulikan

siapa yang duduk di takhta.

“Itu sudah keputusan para Dewa.

“Tidak sebaiknya kita mengungkit soal itu.”

“Baik, baik, kalau begitu maumu.

“Tapi aku tetap mau merebut Kitab Air milikmu. Sebab kita sama-sama. Kalau

itu kitab warisan buatmu, berarti juga buatku.”


Hati Gendhuk Tri berdenging.
Sama sekali tak disangkanya bahwa perhatian Singanada begitu mendalam


padanya.

Singanada sudah menganggap Gendhuk Tri adalah bagian dari hidupnya.

Diam-diam ada rasa takut dalam hati Gendhuk Tri.

Hanya saja ia tak tahu takut soal apa dan bagaimana. Karena Gendhuk Tri

kadang masih membayangkan di mana sekarang ini Upasara berada. Apa yang terjadi
dengannya?

Perasaan itu masih muncul.

Walau ditenggelamkan kembali. Ia tak ingin Maha Singanada mengetahui
bersitan pikiran semacam itu. Tak tahu kenapa, tapi Gendhuk Tri merasa lebih baik
menyembunyikannya.

Senopati Sidateka
BUKAN hanya Gendhuk Tri yang keheranan melihat suasana keraton yang nampak
tintrim, tenang tapi menakutkan.

Perasaan yang sama dialami ketika Halayudha kembali ke Keraton. Sambil

membawa Nyai Demang yang masih menggendong Eyang Berune.

Hanya saja penciuman Halayudha lebih peka.

Begitu melihat bahwa di perjalanan tak banyak masyarakat lalu-lalang, pun di

siang hari, Halayudha merasa ada sesuatu yang sedang terjadi. Apalagi melihat
kenyataan bahwa para prajurit disiagakan penuh.

Segera ia menghindar.

Tidak langsung menuju ke dalam Keraton.

Melainkan menyelundup masuk ke bagian belakang. Menyembunyikan Nyai
Demang dalam salah satu ruangan. Lalu dengan sigap ia menyusup masuk ke dalam.


Yang pertama dituju ialah Mahapatih Nambi.

Karena sebagai mahapatih, Nambi pastilah paling mengetahui keadaan dan
keamanan Keraton. Namun, hatinya bercekat, karena sama sekali tak bisa
menemukan Mahapatih di tempat kediamannya.

Juga lebih kaget lagi ketika menuju ke tempat kediamannya yang sudah dijaga
ketat. Tak ada satu pun prajurit yang setia kepadanya berada di tempat.

Dengan kemampuannya, Halayudha bisa menyusup masuk, dan melihat
bahwa seluruh isi rumahnya telah diobrak-abrik. Tak ada yang tersisa. Tak ada barang

yang tak dipindahkan tempatnya.

Luar biasa.

Boleh dikatakan ia tak meninggalkan Keraton untuk jangka waktu lama.

Tapi begitu melangkah ke luar, kamarnya telah disatroni lawan yang berbuat

seenaknya.

Seketika darah Halayudha mendidih.

Akan tetapi jalan pikirannya yang mampu menembus kemarahan,

membuatnya tidak murka seketika itu juga. Ia ganti masuk ke kaputren.

Hasilnya sama saja.

Tak ada siapa-siapa, selain prajurit yang menjaga di setiap sudut.

Ini sangat aneh.

Prajurit Keraton atau pengawal pribadi mana yang mendapat tugas begitu

istimewa?

Usaha Halayudha untuk menembus sampai ke dalam Keraton juga tak
mungkin. Tempat kediaman Baginda dijaga kelewat ketat. Tak ada ruang tersisa di
mana tidak ada prajurit dalam keadaan siaga.

Sebenarnya Halayudha bisa muncul dan masuk dengan leluasa. Ia tak perlu
terlalu kuatir mengenai dirinya. Siapa pun yang kini menguasai Keraton, pasti
dikenalnya.


Akan tetapi karena belum tahu pihak mana, membuatnya bersabar untuk tidak
segera muncul.

Baginya hanya ada perhitungan sederhana.

Kalau sekarang Keraton dikuasai seseorang, pastilah bukan orang yang terlalu
asing. Pastilah masih kerabat sendiri. Rasanya tak mungkin ada prajurit atau pendekar
lain yang bisa membuat Keraton sunyi dan sepi. Kalau musuh dari luar, pertempuran
berdarah yang terjadi.

Nyatanya kali ini tidak.

Bahkan tanda-tanda pertarungan ramai pun tak ada jejaknya.

Kemungkinan yang paling dekat hanyalah dari Putra Mahkota Kala Gemet,

yang direstui sepenuhnya oleh Permaisuri Indreswari. Tak bisa lain.
Akan tetapi kalau ini gebrakan yang dilakukan oleh Putra Mahkota, termasuk

modal sumbi, di luar kebiasaan. Putra Mahkota tak perlu melakukan hal seperti ini.

Kecuali ada yang mengisiki.

Ada yang membakarnya.

Kalau perhitungan ini benar, orang di belakang’ Putra Mahkota pastilah

Pendeta Sidateka.

Tak ada yang lain.

Hanya Pendeta Syangka itu yang sangat didengar dan dihormati oleh Putra

Mahkota, yang rela memakai gelaran dari negara manca. Pendeta yang cukup sakti itu
memperlihatkan taringnya dengan menyapu semua lawannya.

Ini yang paling mungkin terjadi.

Dengan memunculkan Putra Mahkota yang kini menghimpun para pendekar,
tak akan membuat para senopati lain curiga. Dengan restu Permaisuri Indreswari,
gebrakan pembersihan lawan bisa dilakukan dengan mudah.

Halayudha benar-benar merasa kecolongan.


Hanya sepekan ia meninggalkan Keraton, Pendeta Syangka mampu
menjungkir balikkan keadaan.

Mengubah peta pemerintahan.

Halayudha sedikit pun tak gentar menghadapi Pendeta Sidateka ataupun para
pengikutnya. Ibarat kata, seorang diri pun ia sanggup menghabisi lawan-lawannya.

Akan tetapi karena di belakangnya ada Putra Mahkota, juga Permaisuri
Indreswari dan sekaligus Baginda, kalau ia bangkit melawan, dirinya yang menjadi
pemberontak. Tak jauh berbeda dari Senopati Lawe atau Senopati Sora.

Dan setiap pemberontakan atas Keraton harus ditumpas habis!

Tanpa ampunan!

Dugaan Halayudha mendekati apa yang sesungguhnya terjadi, sewaktu

berhasil menemui Senopati Kuti yang sedang tepekur di taman, duduk bersujud di
antara tanaman cabe.

“Senopati dalem, kenapa harus mengendap-endap seperti kadal?”

Halayudha menghaturkan sembah.

“Senopati Kuti yang budiman, terkasih di antara para senopati… sengaja saya
merayap bagai kadal, karena saya memang hina seperti binatang itu.

“Saya sowan ke hadapan Senopati Kuti, karena tak bisa lagi melihat siapa yang
pantas saya datangi.”

“Apa yang bisa saya lakukan untuk Senopati Halayudha?”

“Berikan petunjuk, kepada siapa saya harus menghaturkan sembah….”

Senopati memotes daun cabe.

“Saya tak tahu harus bagaimana. Keadaan Keraton tak menentu.”

“Bagaimana keadaan junjungan kita Baginda?”


“Menurut Senopati Sidateka, segalanya berjalan sebagaimana biasa. Hanya
Baginda tak menghendaki ada hati yang bercabang. Dan menugaskan Senopati
Sidateka untuk membersihkan.”

Halayudha bisa dengan cepat menangkap apa yang terjadi.

Naiknya Senopati Sidateka sebagai pelaku utama, sudah sangat jelas
membuktikan perpindahan kekuasaan dari tangan Mahapatih Nambi.

Yang segera terasakan pula oleh Halayudha ialah bahwa Senopati Kuti juga tak

sepenuhnya menyetujui apa yang terjadi.

“Tugas yang mulia.

“Saya pun rela menyerahkan kepala saya ke tangan Senopati Sidateka jika

bersalah.

“Yang merisaukan saya, apakah benar Baginda mengetahui hal ini?”

“Kenapa Senopati Halayudha mempertanyakan hal ini?

“Tidak ada rasa hormatkah Senopati kepada junjungan kita semua?”

Senopati Kuti meraba hulu kerisnya.

“Demi segala Dewa di langit, biarlah saya tak menitis sebagai manusia, biarlah

saya tak tumimbal lahir, kalau berani mempertanyakan keadilan Baginda.

“Hanya rasanya masih ada yang mengganjal.

“Kenapa Pendeta Sidateka yang diserahi tugas begini penting?”

“Bagi Baginda, siapa saja bisa ditunjuk.”

“Dalam hal begini, kita tak berbeda pendapat,” sahut Halayudha cepat. “Akan

tetapi, biar bagaimanapun Pendeta Sidateka yang mengangkat diri menjadi senopati
adalah manusia manca. Pendeta tanah sabrang.

“Apakah kebanggaan kita sebagai prajurit Sri Baginda Raja warisan Singasari
tak ada artinya lagi?


“Apakah telah demikian busuknya kita semua, sehingga merayap seperti kadal
pun tak punya keberanian lagi?”

Halayudha mampu mengobarkan perasaan yang paling dalam yang menghuni
hati Senopati Kuti. Atau senopati yang lainnya. Yang masih mewarisi semangat dan
kebanggaan sebagai prajurit Singasari. Sebagai pengabdi setia Baginda Raja Sri
Kertanegara.

Siapa pun yang pernah mengenyam zaman itu akan selalu membanggakan!
Dengan menyinggung masalah ini, Halayudha bisa merebut simpati.
“Senopati Kuti yang gagah berani.
“Saya hanyalah senopati yang bertugas di dalam Keraton. Akan tetapi saya tak


rela Keraton diinjak-injak semaunya oleh orang sabrang tanpa kejelasan.
“Saya akan merayap seperti kadal, seperti cacing busuk menggaruk tanah,

untuk mendapat kejelasan dari Baginda.
“Hari ini saya minta izin Senopati Kuti, sebagai sesepuh yang bisa saya temui.”
Senopati Kuti tergerak hatinya.
“Apa yang akan Senopati lakukan?”

Senopati Brahma

HALAYUDHA menyembah hormat.
Senopati Kuti menjadi kikuk karenanya.
Dalam keadaan biasa sehari-hari, Senopati Halayudha tak perlu melakukan

sembah padanya. Bahkan sebaliknya. Meskipun dirinya termasuk senopati yang
mempunyai hak-hak istimewa, Kuti mengakui bahwa hubungan Halayudha sangat
dekat dengan Baginda. Jadi dalam jajaran kepangkatan sama. Tak perlu melakukan
sembah. Cukup dengan membungkukkan tubuh menghormat.

Bagi Halayudha perbuatan semacam ini tidak membuatnya merasa hina.
Justru sebaliknya.


Dengan cara begini ia bisa menjadi lebih dekat.
“Saya ingin mendengar langsung atau tidak langsung dari Baginda, mengenai


pengikut yang mempunyai hati bercabang.”

“Berarti kita harus menemui Senopati Sidateka.”

“Itu yang tak mungkin.

“Karena belum tentu Senopati Sidateka bisa menangkap penuh kemauan

Baginda.”

“Rasanya tak mungkin menemui Baginda.

“Bahkan Mahapatih sudah mengajukan diri untuk sowan, akan tetapi ditolak

oleh Putra Mahkota Bagus Kala Gemet. Cukup menghadap beliau.”

Ini berarti semua jalan tertutup!

“Kalau bisa, apakah Senopati kira saya akan berdiam di sini menunggui cabe

rawit?”

Halayudha menggigit bibirnya.

“Kalau begitu tinggal satu jalan saja…”

Senopati Kuti menunggu.

Halayudha menghela napas.

“Saya melihat kemungkinannya hanya satu,” sahut Senopati Kuti. “Hanya

seorang seperti Upasara Wulung yang bisa menerobos ini.

“Upasara adalah senopati kesayangan Baginda. Upasara juga bergelar
lelananging jagat, sehingga Pendeta Sidateka akan memperhitungkan kalau ingin

menolaknya.”

Halayudha manggut-manggut.

“Sayangnya, kita tak tahu di mana Upasara Wulung.


“Sayang, Putra Mahkota tak menyukai Upasara Wulung, sejak Upasara
merebut Ratu Ayu Bawah Langit….”

“Bagaimanapun juga, itu pilihan terbaik.

“Kami, para senopati, sudah memperhitungkan kemungkinan itu, akan tetapi
rasanya tak ada pilihan lain. Tidak saya, atau Senopati Halayudha sendiri….”

“Maaf, bolehkah saya mengajukan usulan?”

“Selama demi kebaikan dan ketenteraman Keraton, setiap prajurit wajib
mengutarakan pendapatnya.”

“Kalau misalnya semua senopati menyetujui, kenapa kita tidak menemui
Senopati Brahma….”

Kalimat pendek Halayudha bagai sambaran petir.

Bagai seratus kilat berpijar bersamaan.

Namun yang tak pernah terlintas!

Senopati Brahma. Senopati Agung Brahma!

“Perhitungan saya hanyalah, bahwa Senopati Agung Brahma masih didengar
dan dihormati oleh Putra Mahkota, sehingga Pendeta Sidateka pun akan menuruti
kemauan Putra Mahkota.”

Sangat masuk akal.

Sungguh tidak percuma Halayudha berada di dalam Keraton.

Senopati Brahma bisa menjadi kunci untuk sowan ke Keraton. Tokoh yang

selama ini terlupakan, karena dianggap tak memerintah secara langsung.

Pada situasi sekarang ini, kedudukan Senopati Brahma tak mungkin
tergantikan oleh yang lain.

“Sungguh cemerlang pikiran Senopati Halayudha….”


“Saya secara kebetulan saja teringat….”

Bagi Halayudha, segala kekuatan dalam kekuasaan di Keraton boleh dikata ia
hafal seperti menghafal telapak tangannya sendiri. Seperti menyusun jari-jari untuk
mencubit atau menggenggam atau menjitak atau memelintir.

Begitu dekat dengan puncak kekuasaan, Halayudha mempelajari situasi secara
cermat.

Bukan kebetulan jika Halayudha mengingat nama Senopati Brahma.

Senopati Brahma atau Senopati Agung Brahma, tokoh yang cukup disegani
oleh Putra Mahkota. Karena masih paman besar, atau paman agung. Baginda sendiri
memanggil dengan sebutan hormat karena merasa kalah umur.

Adwaya Brahma yang mempersunting Dyah Dara Jingga, kakak perempuan
Dyah Dara Petak atau Permaisuri Indreswari. Sehingga Putra Mahkota memberi
hormat sebagaimana keponakan.

Lebih dari itu, kehadiran Senopati Agung Brahma juga bisa meredam
kekuasaan Permaisuri Indreswari.

Sekurangnya dari sisi istrinya!

Maka betapa jitu perhitungan dan penunjukan Halayudha.

Halayudha akan melakukan sendiri, kalau hal itu memungkinkan. Akan tetapi
sejak bertugas di Keraton, Halayudha tak pernah memperhitungkan Senopati Agung
Brahma. Yang meskipun mempunyai pangkat sangat tinggi, tak memegang kekuasaan
secara langsung.

Bahkan kehadirannya tertutup sepenuhnya oleh Permaisuri Indreswari.

Kini saatnya dibuka.

Diberi peranan.

Halayudha bisa menyusup sendiri kalau mau. Akan tetapi selain dengan
Senopati Brahma yang diberi tambahan gelar Agung, ia pernah bentrok dengan
putranya, Janaka Marmadewa atau Mantlorot, yang seusia dengan Bagus Kala Gemet.


Ini berarti kalau ia yang maju, malah bisa disikat habis sebagai pembalasan
dendam.

Itu pula sebabnya Halayudha menghubungi orang lain.

Senopati Kuti!

Untuk Senopati Kuti, pujian bagi Halayudha tak ada habisnya. Ia sama sekali
tak mengetahui ada peristiwa yang meretakkan hubungan antara Senopati Agung
Brahma dan Halayudha.

Dari jalan pikiran yang tanpa prasangka, jelas yang diutarakan Halayudha
sangat berarti sekali.

Pada saat menghadapi jalan buntu, Halayudha tampil dengan gagasan yang
cemerlang.

Cemerlang dan suci: menyelamatkan Baginda!

Senopati Kuti menyembah hormat.

“Hari ini juga saya akan menemui semua senopati, dan menghadap kepada
Senopati Agung Brahma. Kalau Senopati Halayudha mengizinkan…”

“Duh, Senopati Kuti yang perwira.

“Manusia kadal seperti saya tak pantas dibawa ke tempat terhormat dalam
urusan sepenting ini. Biarlah saya tinggal di rumah, menjaga rumah ini….”

“Kalau itu kemauan dan budi baik Senopati Halayudha, silakan saja… saya
akan segera pamit.”

“Semoga Dewa memberkati tugas mulia ini….”

Saat itu juga Senopati Kuti memerintahkan prajuritnya untuk memberi tempat
pada Senopati Halayudha dan menyediakan segala keperluannya.

Ia sendiri langsung berangkat dan menemui Mahapatih Nambi untuk
melaporkan.

Mahapatih Nambi tersentak.


“Selama ini saya selalu menduga jahat kepada Halayudha, nyatanya hatinya
begitu baik. Bahkan maksud mulia ini diserahkan kepada orang lain, tanpa ingin
pamer kemampuan.

“Kuti, Halayudha adalah senopati Singasari yang tulen, dari darah dan
keringatnya.

“Kita tak boleh melupakan hal ini.”

Sore itu juga Mahapatih Nambi meminta waktu untuk sowan kepada Senopati
Agung Brahma. Sambil mengatakan akan menyerahkan arca yang baru ditemukan.

Dengan senang hati, Senopati Agung Brahma menerimanya. Bahkan ia sendiri
berkenan untuk melihat wujud arca yang menjadi barang kesayangannya.

Pada saat itulah Mahapatih Nambi secara tidak langsung mengutarakan, bahwa
sudah saatnya Senopati Agung Brahma menghadap Baginda.

“Sudah dijelaskan, bahwa di Keraton masih ada sisa-sisa prajurit yang hatinya
bercabang. Itu perlu dibersihkan.

“Untuk apa saya mempertanyakan itu?”

“Senopati Agung, meskipun hamba ini mahapatih, tetapi hamba hanyalah
prajurit biasa. Tidak mempunyai derajat apa-apa. Hanya Senopati Agung yang
mungkin melaksanakan tugas mulia ini.

“Sekarang ini hanya Paduka yang bisa menemui Baginda.”

“Sungguh menyenangkan.

“Akhirnya, di samping bersenang-senang di Keraton, ada yang bisa kubuktikan

untuk negeri ini.

“Baiklah, Mahapatih, kusanggupi keinginanmu.

“Malam ini juga aku akan menghadap ke Keraton.”

Mahapatih menghaturkan sembah tulus dan hormat.


Terasa ada pencerahan yang dalam.

Kalau saja mengetahui bahwa Halayudha sudah menyusup ke dalam Keraton,
perasaan itu berbalik seperti siang dengan malam.

Darahku Darah Singasari

SENOPATI AGUNG BRAHMA menepuk pundak Mahapatih Nambi.

Walaupun Mahapatih Nambi adalah pimpinan seluruh senopati Keraton,
dalam hal ini Mahapatih yang melakukan sembah.

Karena walaupun Brahma hanya senopati, pun ditambah gelar Agung, akan
tetapi hubungan darah kekeluargaan yang lebih dituakan dari Baginda menyebabkan
siapa pun menyembah padanya.

“Aku tahu kegelisahanmu, Mahapatih.

“Kita bukan orang yang baru saja mengenal. Dalam darahku masih mengalir
deras darah Keraton Singasari. Aku tahu apa yang harus kulakukan.

“Bukan karena arca kesayangan itu yang menyebabkan aku menghadap
Baginda. Akan tetapi ini adalah kewajiban seorang prajurit, seorang senopati yang
pernah dibimbing Sri Baginda Raja.

“Kukira Mahapatih bisa memahami.”

Mahapatih merunduk hormat.

Sekilas bisa menebak kerisauan Senopati Agung Brahma.

Dalam jajaran kepangkatan di Keraton, Senopati Agung Brahma tidak
mendapatkan derajat tinggi hanya karena kebetulan beristrikan saudari Permaisuri
Utama. Bukan hanya itu.

Senopati Adwaya Brahma adalah senopati utama di zaman Baginda Sri
Kertanegara memegang tampuk kekuasaan. Bahkan terpilih sebagai salah satu dari
sekian banyak senopati yang mewakili untuk dikirim ke tanah seberang, ke tlatah
Pagar Ruyung, guna membawa arca Amoghapasa. Suatu cara menaklukkan negeri
seberang, cara untuk menundukkan dengan damai.


Kalau tidak cukup sakti dan dianggap mempunyai kebijaksanaan luhur, tak
mungkin Senopati Adwaya Brahma menjadi pilihan Sri Baginda Raja.

Dan nyatanya tugas suci yang dijalankan berhasil dengan baik.

Tlatah Pagar Ruyung di Melayu mengakui kebesaran Keraton Singasari.
Bahkan secara suka rela menyerahkan seluruh wilayahnya untuk diambil oleh Sri
Baginda Raja, saat kapan pun diperlukan.

Bahwa kemudian Baginda Kertarajasa Jayawardhana memilihnya sebagai
suami Dyah Dara Jingga, juga menunjukkan penghormatan yang tinggi.

Pengakuan itu tercermin dari perlakuan kepada Senopati Agung Brahma.
Berhak memakai kebesaran yang biasanya diperlakukan untuk raja. Pada upacaraupacara
yang penting, Senopati Agung selalu diminta hadir.

Demikian juga perlakuan kepada putranya, Bagus Janaka Marmadewa, tak
dipisahkan sedikit pun dari Bagus Kala Gemet. Dalam segala hal diperlakukan sama.

Hanya memang selama ini Senopati Agung tak pernah mau menonjolkan diri.
Malah boleh dikatakan sangat menjauhi kesempatan-kesempatan untuk tampil.

Baik pada kesempatan yang penting maupun tidak.

Sewaktu Baginda memilih siapa yang pantas menjabat mahapatih, Senopati
Agung justru menyurutkan diri. Ia sama sekali tidak memberikan suara, tidak
memperlihatkan dirinya.

Jauh dalam hati, Senopati Agung merasa bahwa ia tidak pantas untuk pangkat
dan derajat yang begitu tinggi, kalau hanya diperhitungkan sebagai saudara ipar raja.

Baginya itu penghinaan.

Senopati Agung merasa dirinya senopati, prajurit, dan sekaligus seorang yang
memiliki jiwa prajurit sejati.

Pangkat tinggi, kehormatan yang agung, bukan semata-mata tujuannya.

Inilah kebanggaan para prajurit yang pernah dibesarkan dalam kekuasaan
Baginda Raja Sri Kertanegara.


Maka kalau Senopati Agung sampai mengatakan bahwa ia bersedia melakukan
permintaan Mahapatih Nambi, itu juga karena dasar jiwa prajuritnya.

Bukan karena upeti.

Betapapun dirinya tergila-gila kepada segala jenis arca yang mempunyai nilai
tinggi.

“Maaf, Senopati Agung Brahma.

“Setitik pun hamba tak mempunyai perasaan dan penilaian….”

“Aku mengerti, Mahapatih.

“Aku mengerti justru karena kita sama-sama prajurit.

“Dan sebagai prajurit, aku hanya bisa menunggu titah, menunggu dawuh,
menunggu perintah.

“Kalau suatu saat Bagus Kala Gemet memerintahkan untuk menaklukkan Ratu
Ayu Bawah Langit, akan kulakukan juga. Aku bisa menyarankan bahwa Bagus Kala
Gemet belum pantas untuk memilih jodoh. Akan tetapi jika itu diperintahkan, akan
kulakukan juga. Sampai darah Singasari yang menderas dalam tubuhku ini kering.”

“Hamba mengerti, Senopati Agung….”

“Kamu mengerti. Ya, kamu mengerti.

“Betapa lama aku merapatkan bibirku erat-erat. Karena aku tak mau membuat

kisruh. Karena aku tidak ditanya.

“Sekarang saatnya aku melakukan dharma baktiku sebagai prajurit.
Menyampaikan kepada Baginda.

“Bahkan tanpa permintaan Mahapatih pun, aku akan sowan. Hanya sekarang

ini menjadi lebih mantap, karena kerisauan ini juga tergema dalam dada Mahapatih.”

Senopati Agung menghela napas.

“Jangan kecewa kalau aku tak membawa kabar apa-apa.


“Aku hanya ngunjuk atur, meminta kesediaan Baginda mengatakan sesuatu.

“Mahapatih, barangkali sebelum ayam jantan berkokok besok pagi, aku ingin
menemuimu.

“Antarkan arca ini ke sana, dan kita bisa melanjutkan pembicaraan.”

“Sembah bekti bagi Senopati Agung….”

“Mudah-mudahan malam nanti purnama tidak tertutup awan. Pada musim
hujan seperti sekarang ini, kadang ada awan yang muncul begitu saja….”

Dengan kalimat isyarat, Senopati Agung memperingatkan bahwa bukan tidak
mungkin ada sesuatu yang masih gelap, yang bisa mengacaukan keinginannya
menghadap kepada Baginda.

Hal yang bisa dimengerti oleh Mahapatih Nambi.

Karena secara tiba-tiba, pekan lalu Putra Mahkota Kala Gemet memerintahkan
agar semua senopati berkumpul. Pada saat yang sama, Putra Mahkota mengatakan
bahwa ia membawa sabda Baginda untuk membersihkan hati yang bercabang, yang
masih ditemui pada beberapa senopati Keraton Majapahit.

Saat itu Mahapatih sudah bertanya-tanya dalam hati.

Mengapa Putra Mahkota yang mengatakan hal itu?

Lebih menjadi tanda tanya lagi karena Putra Mahkota menunjuk Pendeta
Sidateka menjadi senopati yang bertanggung jawab secara penuh atas pembersihan
ini.

Ini sama artinya dengan mengambangkan atau meniadakan pangkat dan
tanggung jawab yang selama ini dipegang oleh Mahapatih Nambi!

Dipecat secara resmi pun tak akan seterkejut sekarang ini.

Akan tetapi Putra Mahkota tidak menyinggung sedikit pun masalah
pergeseran atau pencabutan pangkat. Putra Mahkota hanya mengatakan bahwa semua
prajurit harap disiagakan secara penuh, dengan komando kekuasaan di bawah tangan
Senopati Sidateka.


Segala sesuatu, baik perintah ataupun ucapan, dijalankan dari Senopati
Sidateka.

Selebihnya semua berjaga diri.

Kenyataan yang sangat membingungkan dan menimbulkan rasa was was.

Mahapatih Nambi tak bisa mengatakan sesuatu atau menanyakan. Bersama
para senopati yang lain, hanya bisa menunggu.

Menunggu.

Dan lebih aneh lagi, selama Senopati Sidateka memegang kekuasaan dan
tanggung jawab, tak ada perubahan yang berarti. Hanya beberapa prajurit yang
ditangkap dan diperiksa. Akan tetapi tidak ada pergeseran atau perubahan di tingkat
atas.

Ini yang membingungkan.

Dan membuat saling curiga.

Pada saat itu, Baginda tidak mungkin bisa ditemui.

Sehingga Mahapatih merasa seperti anak ayam yang kehilangan pelindungnya.

Tak tahu-menahu harus mempertahankan apa atau siapa.
Semua ini dipendam dalam-dalam, sampai Senopati Kuti muncul dan

memberitahukan pendapat Halayudha.

Yang serta-merta dilaksanakan.

Tidak terlalu meleset karena Senopati Agung juga merasakan keprihatinan

yang sama.

Bahwa Putra Mahkota melakukan sesuatu yang di luar dugaan, bukan baru
sekarang ini. Bahwa tindakan Putra Mahkota untuk mengurung dua putri Permaisuri
Rajapatni menimbulkan tanda tanya, itu sudah jelas.

Akan tetapi karena ini menyangkut urusan keluarga, Mahapatih Nambi tak
berhak bertanya satu patah pun.


Persoalannya menjadi lain, ketika menyangkut masalah ketenteraman dan
keamanan serta kelangsungan pemerintahan.

Mahapatih ingin bisa menemui Baginda.

Atau sekurangnya Senopati Sidateka. Untuk memperoleh keterangan yang
berarti, karena masalah keamanan dan ketenteraman selama ini berada dalam
tangannya.

Menumpas Bibit Kraman

BAHWA munculnya Pendeta Sidateka yang langsung menjabat senopati utama atau
satu-satunya, bisa dikaitkan hubungan dan pengaruhnya selama ini.

Sidateka sendiri merasa bahwa ia tak bisa berada di balik layar terus-menerus.
Ia harus segera tampil.

Satu-satunya yang bisa dikendalikan ialah Putra Mahkota. Maka ketika itu
Sidateka langsung menghadap Permaisuri Indreswari dan mengatakan gagasannya.

“Sebelum kejadian menjadi berlarut-larut, barangkali saja Permaisuri
Indreswari perlu memberi pelajaran kepada para prajurit yang masih bercabang
kesetiaannya kepada Putra Mahkota.”

“Atas dasar alasan apa kamu mengatakan itu?”

“Pada saat sekarang ini, kita belum mengetahui jelas siapa yang betul-betul
setia kepada Putra Mahkota. Ini bisa menjadi beban dan bencana di kelak kemudian
hari yang tak lama, jika Putra Mahkota naik takhta.

“Maka sebelum bibit kraman, bibit pemberontakan, bersemi, Permaisuri
Indreswari perlu memerintahkan pembersihan. Agar bibit kraman itu tak bisa
tumbuh.”

“Siapa yang hatinya masih bercabang?”

“Saat ini hamba tak bisa menghaturkan nama-nama, karena akan membuat
hamba berdosa.


“Akan tetapi kalau dilihat sewaktu Putra Mahkota dinobatkan, sewaktu Putra
Mahkota menghendaki Ratu Ayu Bawah Langit, terlihat jelas bahwa masih ada yang
ragu-ragu untuk mendukung Putra Mahkota secara penuh.

“Senopati Sora yang sejak kecil mengabdi Putra Mahkota, yang tak pernah kita
perhitungkan akan membangkang, ternyata bisa menggagalkan kebesaran Putra
Mahkota.

“Menurut pertimbangan hamba, yang seperti Senopati Sora masih ada.”

“Perasaanku mengatakan hal yang sama.

“Apa yang akan kaulakukan, Sidateka?”

“Barangkali saja, Putra Mahkota memegang kendali pemerintahan, mengatur

Keraton untuk sementara waktu. Pada saat itu akan segera terlihat siapa yang
menerima Putra Mahkota dan siapa yang bercabang hatinya.

“Saat itulah kita bergerak.

“Kalau dipercaya, rasanya hamba mampu menjalankan tugas ini.”

Permaisuri Indreswari mengelus rambutnya.

“Usulmu bagus, akan tetapi berbahaya.

“Apa sabda Baginda jika mengetahui Putra Mahkota yang menjalankan
pemerintahan?”

“Kalau Permaisuri Indreswari bisa membujuk Baginda, rasanya tak ada yang
mustahil. Hanya untuk beberapa lama….” ,

“Aku bisa menangkap maksudmu.

“Baginda kita minta memberi kesempatan kepada putraku.”

“Demikianlah maksud hamba.”

“Kata-katamu agak lancang, Sidateka.


“Akan tetapi karena putraku sangat menghormatimu, kelancanganmu bisa
kumaafkan sekarang ini.”

Bagi Sidateka, hal yang dianggap menjadi ganjalan utama ialah sewaktu
Baginda memerintahkan mengambil Tirta Parwa yang dimilikinya. Sangat gamblang
bahwa Baginda tidak berminat lagi pada kidungan di kain sutra tersebut.

Pastilah dikendalikan oleh orang lain.

Yang tak lain adalah Halayudha.

Kalau Halayudha mampu mempengaruhi Baginda dalam satu hal, bukan tidak
mungkin dalam hal lain juga bisa menanamkan pengaruhnya. Bisa meminjam tangan
dan sabda Baginda.

Yang begini sungguh berbahaya.

Justru di saat ia telah bisa begitu dekat dan menguasai Putra Mahkota.

Bukankah Putra Mahkota telah berani memakai gelaran raja-raja di negeri
Syangka? Dan tidak mengagungkan tetesan darah Sri Baginda Raja Kertanegara?

Alasan lain yang dipandang Sidateka membuat ia mengajukan usulan ialah
bahwa masih banyak ksatria yang ilmunya sangat tinggi. Setidaknya masih ada
Upasara Wulung dan Kiai Sambartaka. Kalau ia tak bisa melumpuhkan mereka
sekarang ini, mungkin kesempatan semacam itu tak akan pernah ada lagi.

Adalah menjadi tujuan utamanya untuk menaklukkan Keraton Majapahit,
sehingga nantinya mengakui kekuasaan utama Keraton Syangka.

Tanah Syangka akan menjadi kiblat baru.

Menjadi panutan utama.

Dan bukan tlatah Hindia.

Maka meskipun dalam keadaan belum sepenuhnya sehat, Senopati Sidateka
mengadakan perburuan. Yang menjadi sasaran utama ialah kediaman Halayudha.
Diobrak-abrik untuk menemukan bukti-bukti bahwa Senopati Halayudha
menyimpan Tirta Parwa.


Langkah yang kedua ialah mengumumkan bahwa Upasara Wulung maupun
Kiai Sambartaka adalah musuh utama Keraton.

Bisa diusahakan pencarian besar-besaran.

Siapa yang menghalangi maksud ini dianggap membangkang dan tidak setia
kepada Keraton.

Rencana itu dianggap sempurna, dan akan melicinkan jalan yang dicitacitakan.
Menguasai Keraton, dan menjadi lelananging jagat.

Sidateka boleh merasa dirinya jago dalam mengatur siasat. Akan tetapi
Halayudha bukan lawan yang enteng. Kalau Halayudha berada dalam posisi seperti
Pendeta Sidateka, apa yang dilakukan jauh lebih menguntungkan.

Tapi membuat para senopati bertanya-tanya dalam hati.

Tanpa menimbulkan kecemasan yang tak perlu.

Dalam hal ini Sidateka menganggap kegelisahan itu tak ada artinya. Karena

memang tujuannya tidak akan terpengaruh oleh kegelisahan atau kecemasan para
senopati dan prajurit.

Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh Halayudha.

Menghadapi lawan yang memegang kekuasaan, Halayudha tidak muncul
sebagai penantang. Ia meminjam tangan untuk mengedepankan Senopati Agung
Brahma.

Itu langkah yang pertama.

Langkah yang kedua ialah kebalikan dari langkah yang pertama. Yaitu
mengadu domba. Mengatakan bahwa para senopati berkomplot menunggangi

Senopati Agung Brahma untuk menandingi Permaisuri Indreswari.

Dengan cara ini, Halayudha mengadu dua kekuatan utama.

Tanpa perlu turun tangan.

Tanpa perlu menanggung risiko.


Karena siapa pun yang tersingkir, tak akan mencela Halayudha. Karena siapa
pun yang unggul, akan merasa adanya jasa baik Halayudha.

Dengan persiapan seperti itu, Halayudha muncul dan masuk ke Keraton.
Dengan sekali gebrak, tiga prajurit utama yang menjaga kaputren bisa dibekuk tanpa
menimbulkan suara.

Kemudian beranjak masuk ke tempat peraduan Permaisuri Indreswari.

“Apakah kamu mau mencari mati berani menyusup kemari?”

“Hukumlah hamba, Permaisuri Utama dan satu-satunya.

“Ini adalah kebodohan hamba. Namun hamba rela mendapat hukuman potong

lidah setelah menghaturkan sesuatu ke hadapan duli Permaisuri Indreswari….”

“Katakan secepatnya.”

“Mudah-mudahan yang hamba dengar salah, akan tetapi telinga ini tak bisa

ditutupi….”
Halayudha menyampaikan bahwa ia diajak para senopati untuk membujuk

Senopati Agung Brahma agar menghadap Baginda, malam ini juga.

“Urusan apa?”

“Para senopati merasa bahwa Putra Mahkota sangat membatasi gerak-gerik

dan keleluasaan para senopati yang memang busuk. Para senopati merasa lebih pantas
berlindung di balik kejayaan payung kebesaran Bagus Marmadewa….”

“Yang menjadi putra mahkota itu anakku.

“Bukan anak kakakku.”

“Duh, Permaisuri Indreswari…

“Dewa di langit segala langit pun mengetahui hal ini. Juga tetumbuhan di
hutan. Akan tetapi para senopati bisa memaksakan kehendaknya. Atau barangkali
Senopati Agung Brahma merasa lebih tua dan lebih…”

“Kamu selalu muncul dan mengguncang perasaan.


“Dosamu tanpa takaran….”
“Bunuhlah hamba sekarang juga, Permaisuri yang mulia.
“Hamba hanya ingin menyampaikan hal ini sebagai abdi yang pernah


merasakan sikap Permaisuri yang maha welas asih….”

“Lepas dari benar-tidaknya kata-katamu, ada baiknya kita bersiaga.

“Kalau malam nanti Kakang Senopati Agung Brahma menghadap, apa yang

kamu katakan adalah benar. Jika tidak, aku sendiri yang akan mencincang
tubuhmu….”

“Hamba rela dicincang sekarang ini….”

Permaisuri Indreswari memerintahkan Halayudha untuk menyingkir. Saat itu
juga Permaisuri Indreswari memanggil Senopati Sidateka dan mengatakan
kemungkinan Senopati Agung Brahma akan menghadap.

“Tanyakan apakah benar ia mau menghadap Baginda.

“Bila jawabnya ‘ya’. Kamu tak usah menunggu perintah. Ringkus seketika itu
juga.”
Air Palsu Air yang Keruh
SIDATEKA menghaturkan sembah.

“Nambi akan mengatasi dengan baik….”

“Aku ingin kamu sendiri yang bergerak.

“Sebab Nambi ada di belakang Kakang Brahma….”

Mendadak terdengar suara nyaring dari luar.

“Aku adalah Senopati Brahma. Kalau menyebut namaku, kenapa di

belakangku?”
Permaisuri Indreswari menudingkan telunjuknya.


Sidateka serta-merta melangkah ke luar. Di halaman prameswaren, perumahan
untuk para permaisuri yang menjadi satu dengan kaputren berdiri gagah seorang
lelaki dengan berkacak pinggang.

“Karena kudengar namaku disebut-sebut, aku ingin mendengar apa yang
dibicarakan.”

“Kamukah Senopati Brahma?”

Mata Senopati Agung Brahma mendelik saking gusarnya.

Jakunnya naik-turun.

Belum pernah ia dihina sedemikian rupa.

Di dalam Keraton lagi!

“Aku Senopati Agung Brahma.” Kedua tangannya terangkap, bersidekap di
depan dada. “Apa pedulimu bertanya tanpa tata krama seperti itu?”

“Aku Senopati Sidateka yang mendapat tugas menjaga ketenteraman Keraton
sekarang ini.”

“Bagus kalau begitu.

“Minggir dari depanku. Karena kakiku tak punya mata, sehingga bisa
menendang kepala yang menghalangi.”

Gagah melangkah tanpa peduli. Pendeta Sidateka menggerung. Kedua
tangannya bergerak, dan seketika itu pula puluhan prajurit pribadi bersiaga.

“Kalau harus memandikan keris dengan darah Keraton, aku tak akan
menyesali.”

Sret, tangan kanan Senopati Agung Brahma mencabut kerisnya. Langsung
diacungkan ke atas.

Dalam kejap berikutnya, keris itu menuding lurus ke depan. Sabetan yang
digerakkan dengan cara yang luar biasa cepat. Mengiris udara.


Pendeta Sidateka mengeluarkan seruan tertahan.

Menggeser tubuhnya ke arah kiri, tangannya terulur, mencengkeram
pergelangan tangan. Senopati Agung Brahma membalik telapak tangannya, kali ini
ujung kerisnya menoreh ke arah nadi. Pendeta Sidateka agak gelagapan karena sama
sekali tak mengira serangan lawan yang ganas bisa berubah dalam satu pukulan.

Terpaksa uluran tangan kanannya mengeras bagai kepalan dan langsung ke
arah lambung.

Tanpa menarik mundur kaki dan tubuhnya, Brahma membalikkan ujung
kerisnya.

Memapak ke arah jotosan lawan.

Gerakan keris Singasari!

Yang pernah dimatangkan oleh Upasara Wulung.

Tidak mengherankan, karena Brahma memang prajurit Singasari yang
mendapatkan ilmu dengan dasar yang sama.

Yang sedikit membuat Sidateka terkesiap ialah bahwa gerakan-gerakan
pergelangan tangan Brahma sangat luwes, sangat prigel, sehingga arah ujung keris bisa
berubah dalam sekejap. Dari menusuk lurus, ke samping, atas, ataupun mengiris.
Sehingga mau tak mau Sidateka mengeluarkan semua ilmu simpanannya.

Bahwa Brahma masih menguasai jurus-jurus silatnya dengan baik, rasanya tak
perlu diragukan lagi. Akan tetapi bahwa tenaga dalamnya tak mendukung
kemampuannya, juga bisa dimengerti. Karena praktis sejak menjadi keluarga Keraton
yang terhormat tak bisa latihan dengan leluasa.

Padahal jago silat di mana pun, kematangan dan kemampuan tenaga dalamnya
sangat tergantung dari latihan setiap kali secara berkesinambungan.

Maka dalam sepuluh jurus berikutnya, Brahma tak bisa mendesak lebih jauh.
Meskipun pada awalnya mampu menyudutkan Sidateka.

“Tangkap pemberontak!”


Mendengar teriakan Sidateka yang adalah senopati utama, para prajurit segera
bergerak mengurung. Bahkan Senopati Kuti yang berada di kejauhan segera
mendekat. Demikian juga Mahapatih Nambi.

“Kurung pemberontak satu ini!”

“Maaf, Senopati….”

“Apakah kamu membantah perintahku, Nambi?”

Mahapatih Nambi mendongak. Dadanya membusung.

“Senopati Sidateka, jangan kelewat kurang ajar. Tata krama juga berlaku di

antara tikus sawah.

“Aku tak bisa diperlakukan seperti ini.”

Begitu Mahapatih Nambi mengambil sikap sempurna, semua prajurit yang

tadinya mengurung Senopati Agung Brahma jadi berubah sikap.

Sidateka mundur selangkah.

“Mau menghindar ke mana, pencuri ilmu?”

Sidateka berpaling.

Pandangan nanar.

Hampir tak percaya apa yang dilihatnya. Halayudha berdiri di belakangnya.

Senyumnya dingin.

Yang membuat pandangannya nanar, terutama karena kalimat Halayudha
yang menyebutnya sebagai pencuri ilmu silat. Sudah jelas bahwa Halayudha yang
mencuri ilmu silatnya! Bagaimana mungkin begitu tega menuduh kepada pemiliknya?

“Duh, para senopati linuwih, rasanya tak perlu mengotori tangan untuk
menghukum seorang pendeta yang mencuri ilmu. Yang seperti ini tak ada harganya
untuk dilayani.”

Sidateka meludah.


“Sudah jelas kamu yang mencuri ilmuku.”
“Sejak kapan orang seberang menciptakan Kitab Air?
“Seekor ikan kecil pun bisa tertawa. Mari kita buktikan di luar, siapa yang


menimba air palsu pasti lebih keruh….”

Di akhir kalimatnya, tangan kiri Halayudha bergerak.

Seolah menenteng anak kecil yang nakal.

Sidateka seperti tertarik pusaran air yang keras, sehingga tubuhnya condong ke
depan. Tak ada jalan lain kecuali melompat tinggi untuk membebaskan diri dari
terkaman tenaga mengisap. Pada saat yang sama Halayudha melayang ke udara. Sekali
lagi kedua tangannya bergerak, bagai gelembung air ditiup angin.

“Itu ilmuku!”

“Inilah yang membuktikan kamu pencurinya.”

Tanpa menunggu tubuh Sidateka menginjak tanah, kedua tangan Halayudha
terayun ke depan. Kali ini yang dirasakan Sidateka adalah gelombang yang keras
menghantam.

Sekejap tubuhnya yang belum sehat sempurna menjadi sempoyongan. Pada
waktu akan membuang tenaga ke belakang, saat itu justru Halayudha sudah bersiap.
Karena mengetahui reaksi dan gebrakan Sidateka.

Punggungnya kena diterkam.

Sekali sentak tubuh Sidateka terbanting ke tanah!

Satu kaki Halayudha terayun dan menginjak tepat di leher.

“Kalau tidak segera minta maaf kepada Senopati Agung Brahma, hari ini

nyawamu pindah ke telapak kakiku.”
Siapa pun yang menyaksikan kehebatan Halayudha menjadi bercekat.


Bahwa Halayudha mempunyai ilmu silat yang tangguh, sudah banyak
didengar. Akan tetapi bahwa hanya dengan satu gebrakan saja bisa membuat Sidateka
tak berdaya sama sekali, masih di luar perhitungan mereka.

Tak terkecuali Senopati Agung Brahma.

Masih terasakan kehebatan ilmu Sidateka. Bahwa dirinya tak bisa mendesak
lebih jauh dan malah mulai keteter. Toh dengan gampang sekali Halayudha bisa

menundukkan.

Mahapatih Nambi menggerakkan tangannya.

Terlambat.

Kaki Halayudha telah turun. Amblas ke tengah leher.

Hanya kelojotan sebentar. Sesudah itu tubuh Sidateka tak bergerak lagi.

Halayudha memang ingin memusnahkan Sidateka yang di belakang hari bisa

membongkar siasatnya yang menerobos masuk ke ruangan Permaisuri Indreswari.
Atau mengungkit masalah kidungan dalam kain sutra.

Dalam keadaan sekarang ini jelas lebih baik menghentikan napas Sidateka.

Yang membuat Mahapatih Nambi tak berkedip ialah kenyataan bahwa
Senopati Utama yang diangkat secara resmi oleh Putra Mahkota dibunuh di halaman
Keraton.

Di belakang hari bisa menimbulkan masalah.

Halayudha mendongak ke langit.

Napasnya ditarik keras sekali.

“Dewa yang Mahaasih di langit.

“Hari ini aku mengulang kesalahan kepada Putra Mahkota. Kalau sekarang ini

aku harus menerima hukuman, biarlah aku jalani dengan hati yang lapang.
“Sebab aku tak ingin mendengar mulutnya yang busuk.”


Suara Halayudha sangat lantang. Ini disengaja karena dengan demikian akan
terdengar oleh Permaisuri Indreswari. Seolah ia ingin mengatakan bahwa dibunuhnya
Sidateka agar tidak mengumbar cerita apa yang sebenarnya tengah terjadi!

Itulah Halayudha. Setiap gerakan mempunyai arti ganda!
Senopati Seleh Gegaman
TINDAKAN Halayudha kelewat cepat.

Dan menyelesaikan.

Kini semua yang hadir hanya bisa memandangi. Berdiri dan duduk di tempat
semula tanpa bisa melakukan sesuatu. Tidak segera memuji atau bisa mencegah.
Karena masih terpukau dengan cara Halayudha menyelesaikan masalah.

Sudah jelas Senopati Sidateka diangkat resmi oleh Putra Mahkota. Kini diinjak
batang lehernya hingga putus.

Sudah jelas Halayudha mengaku bersalah, akan tetapi tak segera diketahui

siapa yang harus menindak.

Kecuali desisan kecil.

“Siapa menyuruh kamu berbuat kurang ajar di depanku?”

Senopati Agung Brahma maju setindak.

Dialah yang paling merasa tersinggung dengan tindakan Halayudha. Pada saat

ia bertarung, dengan seenak perutnya sendiri Halayudha mencomot lawannya,
membanting dan menginjak.

Walaupun semua dalam rangkaian menyelesaikan pertempuran, akan tetapi
sebagai seorang ksatria Senopati Agung Brahma merasa tersinggung.

“Saya bersedia menerima murka Senopati Agung.

“Akan tetapi yang saya lakukan semata-mata demi keselamatan Senopati
Agung.”

Lebih jelas kata-kata Halayudha.


Ia memenangkan pertarungan dan mengatakan bahwa sebenarnya Senopati
Agung Brahma tak bisa menyelesaikan urusan. Bahkan jiwanya terancam bahaya.
Sehingga Halayudha perlu turun tangan.

Kata-kata kasar yang membuat Senopati Agung Brahma naik darahnya.
Tangannya mencabut keris yang baru saja disarungkan.

“Mari kita buktikan siapa yang lebih lelaki….”

Kaki Senopati Agung melangkah maju.

Halayudha mengerahkan tenaga di kedua tangannya sambil menunggu.
Begitu Senopati Agung bergerak, Halayudha memperlihatkan keunggulannya.
Sikunya yang tertekuk menyodok ulu hati lawan, dan dengan tangan kiri, membetot
keris lawan.

Gerakan yang bisa diduga.

Senopati Agung bisa mengubah ujung keris ke dalam. Menusuk siku yang
berusaha membentur dadanya. Dan kejapan berikutnya bisa diubah lagi untuk

menyerang.

Perhitungannya meleset.

Kaget pun tak sempat.

Karena tenaga sodokan dengan siku berjalan sangat cepat. Yang lebih

menakjubkan lagi angin tusukan terasakan sangat tajam, sehingga ulu hati Senopati
Agung sangat sakit.

Menyentuh pun belum.

Kesiuran angin pun belum terasakan.

Tapi tenaganya menjadi buyar. Pada saat yang bersamaan, hanya dengan
tangan kiri, Halayudha mampu merampas keris. Satu sentakan saja!

Apa yang dipamerkan Halayudha memang permainan tenaga dalam yang lihai.
Yang bisa diatur secara sempurna.


Kini saatnya Halayudha memperlihatkan siapa dirinya.

Kalau selama ini dirinya hanya dipandang sebagai senopati yang dekat
hubungannya dengan Baginda, sekarang mempertunjukkan kebolehannya.

Sudah sekian lama Halayudha merasa terganjal hatinya. Kemampuan ilmu
silatnya sebagian sengaja disembunyikan, dan ia lebih dikenal sebagai pelayan
Baginda. Untuk ini semua ia menahan sakit hati karena pandangan yang
merendahkan dirinya. Di mana ukuran keunggulan ditentukan oleh tebal atau
tipisnya kulit.

Halayudha tak bisa menahan diri lebih lama.

Pada kesempatan yang terbaik seperti sekarang ini, ia memunculkan siapa
dirinya.

Yang pada dasarnya lebih unggul. Yang seperti terlupakan bahwa Halayudha
adalah murid langsung Paman Sepuh Dodot Bintulu, salah satu dari ksatria utama
yang setara dengan Eyang Sepuh! Ini saja sudah menunjukkan dasar-dasar yang jauh
lebih kuat dari senopati yang lain.

Bagi Halayudha ini masih harus segera ditambahkan, bahwa selama ini ia telah
mengisap habis semua ilmu kelas satu di jagat. Ia berhasil menimba tuntas dari Kama
Kangkam, ksatria utama dari Jepun. Ia juga berhasil mengakali Raja Segala Naga
Tartar. Bahkan terakhir mampu menyerap apa yang termaktub dalam Kitab Air.

Itu pula sebabnya dalam gebrakan yang pendek, Pendeta Sidateka yang masih
menderita sakit bisa dilipat habis seketika.

Demikian juga halnya dengan Senopati Agung Brahma.

Dengan sangat cepat Halayudha bisa membaca arah gerakan lawan, dan
dengan sama cepatnya memberikan tangkisan dan mendahului menyerang.

Titik terlemah lawan yang menjadi sasaran penyerangan.

Gerakan siku tak begitu berarti banyak kalau tidak disertai tenaga dalam yang
kuat menerobos. Yang langsung menghentikan sumber tenaga dalam Senopati Agung.

Maka keris pusakanya bisa dirampas dalam sekejap.


Halayudha tidak berhenti di situ saja.

Dengan gerakan memutar, tubuhnya membentuk lingkaran. Keris yang
terampas di tangannya, dilontarkan dari tangan kiri, sementara kakinya menendang
mayat Sidateka. Begitu tubuh Sidateka melayang ke arah dinding, tangan kanannya

melempar.

Mahapatih Nambi mengeluarkan seruan tertahan.

Karena tubuh Pendeta Sidateka melayang ke arah dinding. Disusul tusukan

keris.

Yang amblas hingga ke dinding, menembus tubuh Sidateka.

Tubuh Sidateka terpantek ke dinding!

Bisa disaksikan siapa saja yang berada dalam halaman kameswaren dengan

jelas.
Apalagi kaki Sidateka masih bergoyang-goyang karena gerakan lemparan, dan

darahnya basah menetes.

Menjijikkan.

Membuat Senopati Agung berpikir tiga kali. Kalau saja Halayudha mau
mengarahkan keris itu ke tubuhnya yang mana saja, atau bahkan keningnya, Senopati
Agung tak bisa mengelak. Karena inti tenaganya tak bisa dikerahkan, juga untuk
menghindar.

Yang menimbulkan kesan lebih dahsyat ialah kenyataan tubuh Sidateka yang
terpampang di dinding.

“Biarlah ini menjadi pelajaran bagi setiap pemberontak. Kekuasaan Keraton tak
boleh dikotori oleh siapa saja.

“Kalau di antara kalian ada yang ingin membela Sidateka, silakan maju!”

Ganas dan keras.


Ucapan Halayudha bisa ditafsirkan bahwa ia menantang siapa saja yang bisa
mendengar, walau seperti ditujukan kepada para prajurit.

Bisa ditafsirkan sebagai tantangan terbuka untuk menguji ilmu silatnya.

Sejenak tak ada suara atau gerakan.

Halayudha mendongak, menanti.

“Kalau memang tak becus, lebih baik seleh gegaman.”

Suara yang berat menekan, penuh dengan wibawa. Serentak semua yang
berada di halaman bersujud, menghaturkan sembah. Tak berani mendongak atau
melepaskan sikap menyembah.

Termasuk Halayudha dan Senopati Agung Brahma.

Suara berat itu dimiliki oleh Baginda Kertarajasa.

Pengertian seleh gegaman, dalam arti harfiahnya, ialah meletakkan senjata,

bisa juga menyerah kalah. Mengakui keunggulan lawan dan rela menyerah tanpa
syarat.

“Kalau para senopati seleh gegaman, apa lagi yang tersisa? Kenapa untuk
menyingkirkan seorang perusuh harus banyak kalimat berbusa-busa?”

“Sembah bekti bagi Baginda….” Jawaban serentak yang terdengar.

“Taman ini tidak untuk pertikaian. Kalian semua saya izinkan untuk bubar….”

Tanpa menunggu reaksi, Baginda meninggalkan tempat.

Agak lama baru satu per satu mendongak, menyembah lagi, dengan laku
ndodok meninggalkan ruangan.

Yang tersisa adalah pertanyaan dalam hati.

Kenapa Baginda mendadak muncul? Siapa yang menggugah Baginda untuk
berjalan keluar dari kamar peraduannya? Ataukah selama ini Baginda tidak berdiam
di Keraton? Sehingga Putra Mahkota bisa memerintah dengan leluasa?


Bahwa kematian Sidateka menimbulkan masalah yang pelik, bisa ditebak.
Akan tetapi kehadiran Baginda yang mendadak, menimbulkan pertanyaan lebih pelik
lagi. Karena tak mungkin ada jawaban, untuk sementara atau selamanya.

Baginda bisa muncul sesaat, dan dengan sabdanya segalanya diselesaikan.

Sekurangnya pertemuan saat itu.

Hanya diiringkan oleh lima prajurit pribadi, Baginda memasuki Keraton.

Ketika tangannya bergerak perlahan, lima prajurit pengiring utama berhenti di
gerbang.

Baginda melangkah sendiri menuju peraduannya.

Tanpa suara.

Tanpa gema.

Tapi terasa betul keberadaannya memenuhi ruangan seluruhnya. Melewati
dinding, halaman, batas sebelah luar. Kehadiran yang tak bisa diganti atau disamai
dengan wibawa yang lain.

Juga ketika berada dalam kamar peraduan.

Menghadapi Permaisuri Rajapatni.
Isyaratkan Kemauanmu, Yayi….
DALAM kamar peraduan yang sunyi, hanya terasakan bau dupa wangi yang pekat.

Permaisuri Rajapatni duduk bersimpuh di bawah dengan menundukkan
wajah.

“Yayi, masih perlukah kamu membisu seperti batu?

“Apa sebenarnya yang menjadi kemauanmu?”

Tubuh Permaisuri Rajapatni tetap bergeming.
“Susah menangkap isyarat apa yang terpaku dari kepiluanmu.


“Hmmm, kalau bukan karena Dewa menjodohkan kita sebagai pasangan yang
bakal melahirkan keturunan raja yang berkuasa di seluruh jagat raya, sifatmu yang
kekanak-kanakan tak bisa kumaafkan.

“Kalau yang kamu prihatinkan kedua putrimu, yang adalah putriku juga,
pulanglah kembali ke kamarmu. Mereka ada di sana.”

Mendadak kesunyian pecah oleh isak tangis.

Tubuh Permaisuri Rajapatni bergerak-gerak, perlahan.

Tangannya gemetar ketika menyembah.

Dalam cahaya yang tak begitu terang, dengan aroma bau dupa harum dan asap
samar-samar, nampak jelas wajah pucat dan mata yang cekung karena kurang tidur
dan makan.

Namun semburat keayuan yang hanya dimiliki putri Keraton tetap terpancar.

“Cukup puas?”

Tubuh Permaisuri kembali tergetar.

“Segala puji syukur bagi kebesaran Baginda, raja Keraton Majapahit yang

perkasa.”

Baginda menggerakkan kepalanya.

“Kadang aku bertanya-tanya dalam hati.

“Apakah kamu ini sebagian dari dayang-dayangku, atau kamu ini yang kutitipi

anakku.

“Yayi Gayatri… wanita seluruh Keraton ini bisa kumiliki dan kubuang
seketika tanpa membuatku berpikir dua kali. Hanya kepadamu, kadang kurasakan ada
sesuatu yang menahanku. Yang membuatku ragu.

“Ketika semua wanita seluruh Keraton berusaha bisa menyembah bayanganku
dengan segala cara, kamu yang kuajak bicara malah berdiam diri.

“Aneh.


“Sungguh aneh.
“Ataukah semua wanita aneh, atau kamu sendiri yang aneh?
“Hmmm, Gayatri… Gayatri…
“Setiap hari kutemukan berbagai persoalan. Baik yang besar maupun yang


sangat besar. Tapi tak ada yang seganjil bila bertemu denganmu.

“Sungguh tidak lucu. Kamu menguatirkan kedua putrimu, yang dijaga Gemet.
Kenapa kamu harus begitu prihatin sehingga membisu, bertapa seperti tak punya
sukma?

“Apa kamu kira aku tega kalau ada selembar rambut yang rontok dari

putrimu?”

Permaisuri Rajapatni menghaturkan sembah kembali.

Khusyuk, hormat, bekti.

Tulus, menghormat dari lubuk hati.

“Perjalanan hidup ini banyak ragamnya. Dewa di Atas Dewa yang mengatur

langit dan bumi bisa menentukan apa saja. Termasuk sifatmu.
“Apa kurangnya menjadi permaisuri seorang raja yang berkuasa seperti aku?

Apakah masih ada lelaki yang bisa menyamai, bahkan hanya bayanganku?

“Rasanya di seluruh jengkal tanah wilayah Keraton tak akan pernah ada.

“Tetapi anehnya, kamu seperti masih menyimpan, masih memberi tempat

kepada seorang ksatria yang bernama Upasara Wulung. Kuakui ia senopatiku yang
menentukan saat melawan prajurit Tartar. Ia masih muda. Tapi ia tak ada apa-apanya.

“Upasara tidak membuatku cemburu.

“Tidak membuatku harus berhitung dengannya.


“Setiap saat aku bisa menyuruhnya membunuh diri. Setiap saat ia akan
menyembah bayanganku. Ia tak akan mungkin bisa menyamai bayangan tubuhku
yang telah lenyap.

“Yayi Gayatri… sudahilah perasaan yang tak perlu itu.

“Itu hanya akan menyiksamu.

“Dan menyiksa Upasara….”

Suara Baginda berubah menjadi lebih keras.

Nadanya menjadi lebih cepat.

“Kamu harus tahu, Yayi, Upasara bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Ia seorang
prajurit tanpa diketahui siapa orangtuanya, dari mana asal-usulnya. Ia tak punya
pangkat, tak punya derajat. Sewaktu bertugas menyelidik ke Keraton Singasari, kamu
menemaninya. Saat itu tumbuh daya asmara yang luar biasa.

“Karena dalam bayangannya, dan sesungguhnya begitu, kamulah bidadari yang
paling bidadari, dewi yang paling dewi, sehingga kehadiranmu bagaikan sinar bulan
purnama.

“Lebih menyedihkan lagi karena kekonyolan merasa kamu menanggapi
perasaannya.

“Katakan terus terang, apakah itu tidak menyiksanya?

“Melukai sampai ke tulang sumsumnya?

“Upasara boleh saja menjadi perkasa. Menjadi ksatria utama, menguasai segala
ilmu yang memang diperlukan prajurit, menjadi lelananging jagat, akan tetapi tetap
saja merasa jiwanya tak imbang.

“Merasa sisa-sisa daya asmaramu masih melekat di sana.

“Itulah beban yang akan ditanggung seumur hidupnya.”

Baginda terbatuk sesaat.

Wajahnya memperlihatkan sinar puas.


Akan tetapi senyuman yang terpancar terlalu dingin.
“Padahal kalau direnungkan, apalah arti hubungan kalian. Daya asmara apa


yang kalian rasakan? Tak ada. Tak akan pernah ada. Tak akan pernah ada selamanya.

“Hanya impian.

“Impian keinginan yang melelahkan.

“Yang membuat Upasara gila.

“Yayi-lah penyebabnya!”

Kembali terdengar suara.

Antara batuk dan terbatuk.

Baginda melirik istrinya sekejap. Tak ada perubahan yang bisa ditangkap dari

wajah yang tetap menunduk sejak pertama tadi.

“Apa lagi namanya kalau bukan kegilaan yang menjadi beban? “

Sekian tahun telah berlalu. Kamu tak pernah tahu, tak pernah bertemu
bayangannya. Entah hidup atau matinya kamu tak tahu. Dan Upasara masih merasa
memiliki daya asmara denganmu. Sehingga Ratu Ayu Bawah Langit yang menjadi istri
pendampingnya ditinggal pergi.

“Tidak pernah jelas.

“Yang jelas dan nyata adalah merawat daya asmara denganmu. Yayi,
katakanlah terus terang, bukankah Yayi sangat jahat padanya? Membuat Upasara edan

dalam keadaan waras? Membuat ia cacat dalam keadaan sehat?

“Ah, betapa dungunya.

“Betapa tololnya.

“Di jagat ini ada begitu banyak wanita. Tapi ia masih bernyanyi, masih

mengidungkan sesuatu yang tak ada.


“Dan kamu yang menjadi penyebabnya, diam-diam merasa bahagia. Dan aku,
raja yang berkuasa, yang bisa melakukan apa saja, jadi terdorong untuk
membicarakannya.

“Terus terang aku kasihan pada Upasara.

“Ksatria yang bisa berbakti sebagai abdiku, tenggelam seperti kotoran….”

Permaisuri Rajapatni tetap tertunduk.

Tak bergerak.

Tak berubah tarikan napasnya yang pelan dan berirama.

“Isyaratkan apa maumu, apa keinginanmu. Aku selalu bisa mewujudkannya.

Tetap tak ada jawaban.

Tak ada perubahan.

Seperti tak ada.

Seperti dupa.

Hati Baginda tergetar tanpa terasa. Selalu begitu setiap kali berhadapan dengan
Permaisuri Rajapatni. Selalu ada rasa yang mengintip, mengilik-ngilik setiap kali
melihat permaisurinya yang ini, karena selalu terpeleset hubungannya dengan
Upasara.

Dalam hatinya Baginda merasa bahwa dirinya di atas segala apa. Tetapi juga
dalam hatinya, secara tak dipaksa, tersisa tanda tanya, apa yang sebenarnya membuat
Gayatri selalu membisu pada saat-saat tertentu?

Apa yang dulu membuat Upasara menolak diberi jabatan mahapatih?

Pertanyaan yang bisa dijawab siapa saja.

Juga hatinya sendiri. Untuk memuaskan.

Tapi kadang tergema lagi. Meminta jawaban baru.


“Sekarang ini, Keraton lagi diguncang kerisauan.
“Dan aku membicarakan sesuatu yang tak ada gunanya. Pergilah, Yayi….”
Permaisuri Rajapatni menyembah tulus.
Lalu menggeser tubuhnya perlahan sekali.
Meninggalkan Baginda yang untuk beberapa saat menghela napas dua-tiga


kali, sebelum berusaha menenggelamkan semuanya ke alam impian.
Asmara Bumi dengan Air
SEJAK Baginda meninggalkan halaman prameswaren, suasana masih hening beberapa

saat.
Baru kemudian terdengar suara Halayudha.
“Baginda baru saja bersabda, kita semuanya seleh gegaman. Tak ada lain yang

bisa kita lakukan kecuali menjunjung tinggi sabda Baginda.
“Maafkan, kalau saya mendahului….”
Halayudha menyembah ke arah di mana Baginda tadi berada, lalu berjongkok,

sebelum akhirnya berdiri.
Dengan memakai kalimat Baginda, Halayudha menekankan bahwa tak ada
gunanya melanjutkan sengketa. Semua yang hadir dianggap tidak becus, sehingga
perlu meletakkan senjata. Perlu untuk tidak melakukan suatu apa.
Dalam artian yang lebih luas, semua senopati, tanpa kecuali, tidak memegang

jabatan apa-apa.
Menunggu perintah selanjutnya.
Dari semua yang mendengar, hanya Senopati Agung Brahma yang mendehem

kecil.
“Kita semua harus mematuhi.


“Akan tetapi aku tak akan pernah melupakan hal ini. Halayudha, masih ada
hari lain untuk bertemu muka.”

Di luar dugaan, Halayudha balas menatap sorot mata Senopati Agung.

“Dengan senang hati, Senopati Agung.

“Sebagai prajurit, saya menjalankan sabda Baginda. Sebagai sesama ksatria, saya
siap melayani kapan saja. Di luar batas wewenang Keraton, kita bisa berhadapan
sebagai sesama lelaki.”

Gamblang sekali Halayudha menyambut tantangan Senopati Agung!

Ditambah lagi:

“Semua yang hadir di sini menjadi saksi.

“Saya tak akan mundur menunggu sampai keris pusaka Senopati Agung

dibersihkan dengan bunga melati.”

Sindiran Halayudha terdengar kasar. Menyinggung masalah keris, seolah
Halayudha ingin menekankan bagaimana ia bisa merebut dengan mudah, dan
menggunakan untuk menggantung Sidateka di dinding Keraton.

Senopati Agung harus mengambil, membersihkan dulu sebelum bisa
menghadapi Halayudha.

“Kalau masih ada yang tersinggung dengan kata-kata saya dan yang saya

lakukan, silakan menyelesaikan di luar halaman.”

Lebar langkah Halayudha ke arah luar.

Menuju kori butulan atau pintu kecil.

Akan tetapi pintu itu terbuka lebih dulu. Gendhuk Tri berdiri di samping

Singanada.
Menunggu.


Sejak mereka berdua datang, mereka masih menunggu untuk membaca situasi.
Karena begitu banyak prajurit bersiaga. Sewaktu mendengar suara gaduh di bagian
dalam, mereka berdua menyerbu masuk.

Tak terlalu menimbulkan kesulitan.

Di pintu kecil, keduanya menunggu masuk.

Saat itu justru Halayudha sedang melangkah ke luar.

“Persoalan kita belum selesai, Halayudha….”

“Apa yang kamu perlukan dariku, anak muda?”

Singanada bertolak pinggang.

“Kembalikan kitab pusaka Gendhuk Tri.”

Halayudha mengangkat alisnya.

“Kitab pusaka macam apa?

“Ditulis di daun apa, bagaimana bunyinya?”

Singanada terenyak.

Sama sekali tak diduganya bahwa ia akan menghadapi pertanyaan balik seperti
yang diucapkan Halayudha. Ia mengetahui bahwa Halayudha menyimpan kitab yang
menjadi inti ajaran Gendhuk Tri. Akan tetapi ia sendiri tak tahu kitab apa, dan ditulis
di tempat apa, atau bagaimana bentuknya.

Demikian juga Gendhuk Tri.

Seumur hidup ia belum pernah melihat atau menyentuhnya.

“Kalian bilang aku mencuri atau mengambil kitab kalian. Katakan yang mana.

Kalau memang kalian ingin mencari gara-gara, tak perlu menuduh tanpa alasan.
“Aku sudah siap menghadapi.”


Para senopati yang masih berada di sekitar halaman depan Keraton saling
pandang tak mengerti persoalannya.

“Kalau itu yang dikehendaki, bersiaplah.”

Singanada mencabut kantar-nya.

“Sebagai prajurit, kamu tidak mematuhi perintah Baginda untuk seleh
gegaman. Malah bikin ribut.

“Singanada, lebih baik aku simpan barang mainanmu itu.”

Sebat sekali Halayudha bergerak maju. Tubuhnya bergerak bagai bayangan
yang melesat ke depan. Akan tetapi sesungguhnya kakinya yang lebih dulu
menggunting kuda-kuda Singanada.

Singanada mengetahui bahwa Halayudha cerdik sekali membaca kekuatannya.
Tenaga lipat sembilan yang menjadi andalannya, dengan meloncat ke arah sembilan
penjuru, bermula dari loncatan pertama.

Bagian itulah yang dimatikan Halayudha.

Singanada tidak mengubah kedudukan kakinya. Rambutnya yang tergulung
tiba-tiba saja lepas terurai dan menyampok ke wajah Halayudha. Bagai tusukan
seratus jarum seketika.

Dengan mengeluarkan suara ejekan dingin, Halayudha merebahkan tubuhnya,

dengan kaki tetap menggunting kaki lawan.

Singanada merasa tempurung lututnya berdenyut.

Getaran tenaga Halayudha terasakan.

Secepat ancaman datang, secepat itu pula Singanada mengubah serangan.

Tubuhnya kembali tegak, rambut tertarik ke belakang, dan kantar di tangan kanan
dan kiri menghantam ke arah dada. Ke arah satu tempat.

Halayudha justru membalik tubuhnya.

Menyongsong maju.


Menyerahkan dadanya kena totokan kantar.

Senopati Agung Brahma menahan napas. Apa yang dipertontonkan Halayudha
jarang dilakukan tokoh silat kelas utama. Tenaga yang tadinya ditarik ke belakang

dengan menekuk punggung, justru diubah ke depan saat serangan datang.

Gendhuk Tri juga heran.

Karena gerakan yang pertama tadi, biasanya disusul dengan gerakan

menjatuhkan tubuh. Seperti yang selama ini selalu berhasil dilakukan untuk
mengecoh lawan.

Akan tetapi sekarang justru dibalik.

Singanada memindahkan dua kantar pendek ke satu tangan. Dalam
sepersekian tarikan napas, ia merasa bahwa dada lawan yang diarah seperti pusaran
air yang menenggelamkan tenaga yang datang. Pada saat yang bersamaan kakinya
terancam.

Tak ada cara lain kecuali melompat ke atas.

Dengan kekuatan satu kaki.

Karena kaki yang sebelah, lebih untuk menghindar dengan jalan memutar

tubuhnya.
Saat melayang ke atas Singanada sudah bersiap menyambut datangnya

serangan beruntun. Yang pasti akan segera datang.

Pertarungan di tengah udara.

Perhitungan yang tepat.

Akan tetapi tetap juga melesat.

Karena Halayudha tidak melanjutkan serangan dengan melompat ketengah

udara, melainkan memutar tubuhnya, dengan kaki terangkat sempurna ke atas.

Tubuh Singanada yang melayang ditendang dari jarak jauh dengan kekuatan
berputar, searah dengan putaran tubuh Singanada.


Mahapatih Nambi yang sejak tadi memperhatikan setiap gerakan, mendugaduga
bahwa Halayudha secara sengaja membalikkan setiap gerakan yang sudah diduga
lawan.

Sesuatu yang sebenarnya sangat berbahaya.

Karena gerak rangkaiannya terpatah-patah dan sulit diterka kemungkinan
yang terjadi.

Di samping itu, perlu diperhitungkan juga kekuatan lawan. Yaitu Maha
Singanada, yang bukan sembarang jago silat.

Sebagai sesama jago silat, Mahapatih Nambi bisa mengetahui bahwa dengan
membalik-balik gerakan, memungkinkan untuk sedikit “bermain-main”, merangsang
kepekaan baru. Akan tetapi itu tak bisa dilakukan dengan lawan yang seimbang.

Gerakan pembukaan dalam ilmu silat, tersusun langkah demi langkah yang
berangkaian. Setiap gerakan awal boleh dikatakan sudah pasti, sekurangnya sampai
pada jurus-jurus tertentu. Kecuali kalau memang kekuatan tenaga dalamnya lebih
berlipat ganda dari musuhnya.

Ibarat melawan prajurit biasa, walau gerakan lawan rumit dan tersusun, Nambi
bisa menyapu keras. Memusnahkan dengan mengadu tenaga dalam.

Kalaupun Halayudha lebih unggul setingkat, Singanada bukan lawan yang bisa
disapu begitu saja.

Akan tetapi toh itu yang dilakukan oleh Halayudha.

“Loncat!”

Teriakan Halayudha begitu keras, dan ternyata Singanada memang
berloncatan ke arah sembilan penjuru. Setiap kali bayangan tubuhnya berkelebat ke
delapan penjuru, untuk kemudian berada di tengah.

“Ini menarik, akan tetapi membosankan.

“Gendhuk kecil, bergabunglah.

“Aku ingin menyaksikan perpaduan bumi dengan air.”


Telapak tangan Halayudha mengincar ke arah dada Gendhuk Tri!

Benar-benar kurang ajar!

Asmara Berasal dari Dalam

BENAR-BENAR kurang ajar.

Dan hebat.

Kurang ajar karena telapak tangan Halayudha mengincar dada Gendhuk Tri.
Sesuatu yang tak seharusnya dilakukan ksatria, apalagi senopati setingkat seperti
Halayudha.

Akan tetapi Halayudha seperti bisa menebak dengan jitu, bahwa hanya dengan
gerakan kasar inilah ia bisa memancing Gendhuk Tri terseret ke dalam medan
pertempuran secara seketika.

Kalau hanya dipanasi atau diserang, belum tentu Gendhuk Tri mau ikutan
terjun mengeroyok.

Hebat, karena di saat menghadapi serangan dari segenap penjuru, Halayudha
masih bisa mencuri peluang untuk menyerang Gendhuk Tri yang bersiaga.

Padahal dilihat selintasan, medan pertarungan yang dihadapi Halayudha
belum sepenuhnya menguntungkan dirinya. Belum ada tanda-tanda ia bisa merebut
keunggulan.

Akan tetapi sudah mengeduk ke arah lain, membuat medan baru yang
membuatnya menghadapi risiko ganda.

Bahkan kalau didengarkan apa yang diucapkan, Halayudha seakan tengah
melatih lawan. Bukan sedang berusaha mengalahkan.

Diam-diam Senopati Agung Brahma mengakui bahwa Halayudha dua tingkat
di atas ilmu yang dimiliki. Terutama sekali dari kecepatan dan ketepatan membaca
gerakan lawan.

Sewaktu menghadapi Singanada, Halayudha sudah tahu bahwa ia tak bisa
merebut kemenangan dalam waktu singkat. Akan tetapi seperti sudah memperkirakan


gerakan lawan dan gerakannya sendiri. Pertarungan seperti yang telah direncanakan,
telah dihafal, sehingga ia bisa bergerak sangat cepat sekali.

Dengan mengundang Gendhuk Tri, Halayudha seperti menemukan gairah
baru untuk menghadapi dua lawan sekaligus.

Pancingan mengena.

Begitu tangan Halayudha merayap liar di depan dada, secara spontan Gendhuk
Tri menyampok keras. Selendangnya yang warna-warni menggulung tangan
Halayudha. Tangan kirinya terulur ke depan, menyambut jakun Halayudha.

Halayudha menarik tangannya, menekuk, dan sikunya menghantam perut
Gendhuk Tri.

Dalam gerakan berputar.

Sementara kakinya yang lepas, menahan serbuan dari Singanada.

Kali ini Senopati Agung yang menahan napas.

Sodokan siku itulah yang menamatkan perlawanannya. Yang membuat
kerisnya bisa direbut paksa.

Itu yang akan dialami oleh Gendhuk Tri.

Karena selendang yang melibat tangan Halayudha ikut tertarik ketika
Halayudha menekuk tangannya. Badannya jadi ikut terdorong ke depan karena
kerasnya tarikan. Pada saat itu siku Halayudha yang berbisa siap menghancurkan.

Singanada yang melihat bahaya mengancam Gendhuk Tri, menyusup di antara
celah kaki Halayudha. Menyusup masuk.

Gendhuk Tri sendiri bukan lawan yang enteng.

Yang bisa dibekuk dalam satu gebrakan.

Dengan sangat cepat Gendhuk Tri memutar tubuhnya bagai gasing, ke arah
yang berlawanan dengan libatan selendangnya. Sehingga meskipun tertarik, bisa
melepaskan diri. Tanpa tersentuh siku Halayudha.


“Bagus.
“Jangan terbang terlalu tinggi.
“Itu kurang bagus. Air tak akan membuat gelombang tinggi kalau tidak berada


di laut, kalau tak ada angin kencang.”

Tubuh Gendhuk Tri yang melayang ke atas bergoyang-goyang.

Seperti gemetar.

Karena pada saat itu Halayudha menggemboskan tenaga dalamnya. Tenaga

tarikan Gendhuk Tri jadi punah karenanya.
Hal yang juga dirasakan Singanada. Ia seperti amblas ke udara kosong.

Sehingga tubuhnya jatuh menderas.

Singanada menggerung keras.

Dua kantar pendek berada di tangan kanan dan kiri. Pada saat yang sama

kedua tangannya membuka dan tubuhnya berputar keras. Menyabet apa saja yang
menghalangi.

Halayudha mengeluarkan decak kagum.

“Sembilan tenaga, bukan sembilan kali putaran.”

Halayudha masih bisa memberi pengarahan, sambil menghindar ke arah
samping. Dengan demikian serangannya ke arah Gendhuk Tri batal. Malah ia terpaksa
menarik mundur kakinya.
Tiga langkah saja.

Langkah keempat sudah kembali masuk ke dalam pertarungan. Dengan kedua

tangan terangkat ke atas, terkepal, dan pundak lurus rata dengan tangan sampai siku.

Inilah cara menggempur putaran tangan Singanada.

Mematahkan di tengah putaran.

Dengan tenaga keras.


Singanada kembali mengaum. Tubuhnya menggeliat, dengan gerakan dahsyat
ia berusaha membelit tubuh lawan. Pertarungan keras dengan jarak sangat dekat.

Membelit tubuh dengan tubuh adalah gerakan yang cukup berbahaya. Justru
karena ilmu yang biasa dimainkan Singanada adalah ilmu Sembilan Penjuru.
Mengurung udara dan ruang pertarungan. Berarti pertarungan berjarak.

Akan tetapi Singanada tak bisa memainkan Nawagraha atau Siasat Sembilan
Bintang. Bahkan kantar, tombak pendek, yang bisa untuk menjaga lawan berada
dalam batas serangan seperti macet. Halayudha bisa menebak gerakan-gerakan yang
ada.

Dengan tenaga sedikit berlebih, Halayudha seakan siap menandingi benturan
keras sama keras.

Adu tenaga pada posisi sekarang ini jelas lebih menguntungkan Halayudha.

Menghadapi situasi rumit, Singanada menggerung keras. Mengubah menjadi
pertarungan jarak pendek. Nawadwara atau Sembilan Pintu diringkas menjadi
pendek.

Dengan pemikiran itu, Singanada ingin agar Halayudha tak mampu menebak
gerakannya, yang bisa terbaca dengan mudah.

Satu-satunya yang masih membuat Singanada was was ialah kemampuan
tenaga dalam Halayudha yang sempurna. Pada saat yang sama bisa mengubah antara
berisi, kosong, atau tenaga berputar.

Seperti yang barusan terjadi.

Tenaga putar demikian keras, lalu berubah menjadi kosong, dan kini berubah
menjadi keras. Menjebol kurungan tubuh Singanada yang berputar.

Singanada menggeliat ke sisi lain, untuk menghindar adu tenaga keras lawan
keras.

Akan tetapi dengan begitu, Halayudha mempunyai kesempatan menyapu kaki
Gendhuk Tri yang sedang melayang dan bergoyang turun.

“Srimpung habis.”


Singanada mencelos.

Tak menduga bahwa Halayudha akan menebas kaki Gendhuk Tri dengan
gerakan kaki berputar yang keras. Dengan menyrimpung, diartikan menebas rata.

Sekeras apa pun kaku dan kekuatan Gendhuk Tri, pasti bukan lawan

Halayudha.

Lebih berbahaya lagi karena tak mungkin menghindar.

Tubuhnya sedang meluncur turun.

Dilihat dari goyangan tubuh, Gendhuk Tri belum menguasai sepenuhnya berat

tubuhnya.

Gendhuk Tri menyadari bahaya.

“Kamu keliru!”

Justru itu yang diteriakkan. Dengan tubuh terus meluncur. Akan tetapi kedua

kakinya ditekuk ke belakang. Sehingga srimpungan kaki dengan kaki yang menebas
dengan gaya berputar, menemukan tempat kosong.

Gendhuk Tri turun dengan lutut menyentuh tanah. Pada saat yang sama
tangannya melepaskan selendang dan menggulung leher Halayudha.

Hebat dan jeli Halayudha, akan tetapi terkesiap juga.

Sabetan selendang ke leher membuatnya perih. Kalau saja tenaga dalam
Gendhuk Tri setanding, Halayudha sudah terbanting seperti Sidateka!

Singanada maju ke depan mendampingi Gendhuk Tri.

Siap melindungi dan mengambil alih pertarungan.

Halayudha berdiri tegak.

Dadanya membusung.

“Bagus, bagus sekali.


“Kalian berdua ingat baik-baik. Inilah perpaduan sifat bumi dan air yang
sesungguhnya. Bagai bersatunya daya asmara yang berasal dari dalam. Dari batin.

“Ingat baik-baik.

“Selama kalian berdua mencoba main sendiri-sendiri, ingin merebut
kemenangan satu dari yang lainnya, hasilnya justru sebaliknya.

“Tapi justru yang baru saja ini membuktikan kehebatan.

“Bagus, bagus sekali.

“Di kelak kemudian hari, kalian berdua akan menjadi pasangan yang luar
biasa. Tapi karena sekarang ini masih terlalu ringan, kalian tetap kalah.

“Hanya mampu menunjukkan kebolehan, tapi tak bisa memenangkan
pertarungan.”
Duka dari Dewa
HALAYUDHA menghela napas berat.

Wajahnya mendongak ke langit.

Guratan duka menggaris tajam.

Mengiris suaranya yang menggeletar.

“Dewa yang berada di langit, kenapa kamu begitu murka kepada Guru? Dosa
apa yang dilakukan sehingga kamu turunkan duka bertubi-tubi pada guruku, dan
harus kusandang?

“Kalau kamu punya keberanian, turunlah.

“Aku, Halayudha, murid utama Paman Sepuh Dodot Bintulu, menantangmu.”

Tubuhnya yang kokoh perkasa, kepalan tangannya yang kaku, masih kalah
mengerikan dibandingkan tusukan nada suaranya yang menyayat. Seakan disarati
dengan beban duka yang tak tertanggungkan.


Untuk pertama kalinya, siapa pun yang mengenal Halayudha merasa
menemukan sosok yang lain.

Bahkan Senopati Agung Brahma yang begitu mendendam, tercerabut perasaan
iba untuk sesaat.

Halayudha yang sekarang ini, seperti pertapa tua yang melontarkan dendam
dengan rintihan.

Selama ini Halayudha selalu bisa menampilkan berbagai wajah. Bisa mengubah
raut muka untuk maksud-maksud tertentu. Akan tetapi sekali ini mengesankan sekali.

“Dewa di langit.

“Kenapa kamu begitu pengecut?”

“Rupanya kamu pun kecewa.

“Untuk apa penyesalan itu?”

Gendhuk Tri menoleh ke arah datangnya suara. Karena serasa mengenali. Dan
tidak salah.

Yang muncul adalah Nyai Demang yang masih menggendong Kakek Berune.
Masih beriapan tak keruan.

Terjadilah pemandangan yang aneh.

Halayudha yang baru saja memamerkan semua ilmu yang dimiliki, mendadak
sangat berubah perangainya. Mengutuk Dewa. Pada saat berikutnya muncul seorang
wanita yang menggendong mayat dan menjawab pertanyaan.

Hanya karena semua perhatian sedang tertuju kepada Halayudha, kemunculan
Nyai Demang dari persembunyian Halayudha tak begitu terperhatikan.

Sekarang semua berusaha mengikuti setiap langkah dan kata pembicaraan
yang membingungkan.

“Jadi kamu pun kecewa, Dodot Bintulu?

“Kamu pun mengutuk Dewa? Sungguh tak tahu malu.”


Meskipun kata-kata itu keluar dari mulut Nyai Demang, akan tetapi nadanya
sedikit berbeda.

Karena sesungguhnya pengaruh Kakek Berune yang berbicara.

Maha Singanada yang sedikit-banyak mengerti latar belakang persoalan masih
tetap mengerutkan kening. Karena tak bisa menebak ke arah mana tanya-jawab yang
tengah terjadi. Apalagi pendengar yang lain.

Hanya Gendhuk Tri yang secara samar menemukan bentuk kira-kira apa yang
tengah berlangsung.

“Kenapa kamu sesali kalau jurus Air sengaja diciptakan untuk mendampingi
jurus Bumi? Jurus Bumi yang ada bukan berarti Bejujag. Itu bisa berarti dirimu
sendiri.”

Halayudha menggeleng.

“Kakek Berune, ketahuilah, aku adalah Halayudha, murid utama Paman
Sepuh… Aku menuntut kepada Dewa, karena ia pilih kasih. Karena ia membenci
Guru, dan ikut membenciku!

“Dewa menjadi pengecut karena tak berani muncul menghadapiku. Padahal

sudah jelas aku menantangnya.”

“Ah, itu karena kamu kecewa saja.

“Dari dulu yang namanya Dodot Bintulu selalu iri.

“Dari dulu kamu tak pernah berubah.”

“Kakek Berune, jangan turut campur.”

“Aha, kamu kira siapa kamu ini?

“Kamu kira, kamu yang dipilih Pulangsih? Tengok wajahmu yang morat-marit

dan nasibmu yang buruk itu.”
Halayudha mengertakkan giginya.


“Bapa Guru yang mulia menciptakan Kitab Bumi, meramu ilmu segala ilmu
yang ada di tanah Jawa. Untuk diabdikan kepada Keraton, untuk dijadikan pegangan
para ksatria.

“Akan tetapi justru wanita yang disayanginya menganggap itu ciptaan

Eyang Sepuh. Justru wanita yang disayangi menciptakan ilmu untuk berpasangan
seolah pasangan Eyang Sepuh dengan Putri Pulangsih.

“Tidakkah itu menyakitkan?

“Bukankah itu penghinaan Dewa yang hanya mengirimkan duka kepada Rama
Guru?

“Aku tak bisa menerima.

“Sepanjang hidupnya Bapa Guru begitu banyak menderita. Sampai ke anak
muridnya dipaksa menjadi durjana, karena duka yang kelewat berat.

“Di mana ada keadilan?

“Kalau tak bisa menunjukkan, biarlah aku yang ganti mengajari para Dewa.”

Walau pembicaraan simpang-siur tidak menentu, Gendhuk Tri bisa
menemukan alur yang sesungguhnya.

Dari sisi tertentu, Halayudha tetap ksatria. Yang tergila-gila pada ilmu silat,
lebih dari segala urusan. Termasuk kepangkatan dan derajat mulia dalam tata
pemerintahan Keraton. Betapapun besar nafsu berkuasanya, masih terselip keinginan
untuk muncul sebagai ksatria, untuk menjadi lelananging jagat.

Itu sebabnya ketika menduduki jabatan yang begitu rapat dengan puncak
kekuasaan, Halayudha masih mengejar ilmu silat. Masih menekuni dan mencoba
menguasai.

Pangkat dan derajat tinggi di Keraton pada dasarnya hanya untuk
memudahkannya mengisap semua pelajaran ilmu silat yang ada. Segala ilmu yang
dianggap sakti, tanpa memedulikan apa pun, akan dikuasai.

Tindakan itu yang menyeret Halayudha kepada berbagai tokoh penjuru dunia.


Sampai pada titik tertentu, menemukan Kitab Air.

Tirta Parwa ini pula yang membawa kepada pengertian bahwa sesungguhnya
penciptaan Kitab Air untuk melengkapi atau sebagai padanan Kitab Bumi. Untuk
melengkapi kekurangan Kitab Bumi yang dikembangkan oleh Eyang Sepuh dengan

jurus-jurus Tumbal Bantala Parwa.

Hati Halayudha terluka.

Tergores duka.

Tersayat hina.

Gabungan antara gerakan Gendhuk Tri, yang secara jelas mewarisi ilmu Putri

Pulangsih, dan gerakan dasar Maha Singanada, menunjukkan bukti hubungan daya
asmara di belakang penciptaan.

Begitu kedua ilmu digabung, yang menyembul ke luar adalah kekuatan baru
yang menakjubkan. Kekuatan yang mampu mengalahkan segala mara bahaya.

Mampu mengungguli ilmu yang selama ini secara mati-matian memaksa
Halayudha berlatih.

Kenyataan inilah yang menjungkirbalikkan Halayudha.

Jalan pikirannya menjadi kacau.

Justru pada saat itulah tiba-tiba ia teringat Guru. Teringat Paman Sepuh yang
hidupnya begitu menderita. Yang dikhianati murid-muridnya sendiri, yang
dicelakakan, yang membuatnya menderita dan pedih sepanjang hidup.

Loncatan pikiran ke arah penderitaan gurunya, selama ini tak mempunyai arti
apa-apa bagi Halayudha.

Sebelumnya.

Tapi tidak setelah menyaksikan perpaduan gerakan Gendhuk Tri dan Maha
Singanada.


Apa yang ditemui adalah suatu kenyataan baru. Yang walaupun sudah
terpikirkan, tetap membuatnya sangat terkejut. Keberhasilan perpaduan antara bumi
dan air.

Sekarang ini, Halayudha masih bisa mengalahkan Gendhuk Tri maupun
Singanada. Halayudha masih percaya diri mampu menundukkan mereka berdua,
walau tidak semudah sebelumnya.

Baik karena penguasaan ilmu Gendhuk Tri-Singanada belum menyatu benar,
maupun karena Halayudha percaya diri mempunyai siasat untuk merontokkan
perpaduan itu.

Akan tetapi ini semua tak membantah kekuatan baru. Kekuatan yang bisa
menundukkannya, suatu ketika. Kekuatan yang bisa meletup, berbenih dari
perpaduan daya asmara.

Sesungguhnya, inilah yang menampar kesadaran Halayudha.

Yang merasa akar pijakannya lepas.

Pada saat itu, sebersit pikiran ingat gurunya.

Pada saat itu pula, Kakek Berune yang kini memakai tubuh Nyai Demang
sebagai perantara, menemukan jawaban yang sama.

Kakek Berune, Paman Sepuh, Eyang Sepuh, Mpu Raganata, maupun Putri
Pulangsih adalah tokoh-tokoh yang pernah hidup sezaman seperti mereka sekarang
ini. Lebih dari itu mereka ditalikan oleh hubungan yang erat. Baik sebagai sesama
prajurit Keraton Singasari dan pemuja Sri Baginda Raja Kertanegara, maupun sebagai
sesama ksatria.

Ikatan batin yang lebih kuat terjalin karena sama-sama berharap kepada Putri
Pulangsih.

Maka kemunculan Kakek Berune bisa langsung menyambung pembicaraan.

“Kakek Berune, kalau mau mati, mati saja dengan tenang.”

Duka Itu Masih Menetes

SUARANYA lantang keras, akan tetapi menyentuh.


“Apa kamu bilang?
“Aku baru mau mati setelah kalian semua melihat bahwa Pukulan Pu-Ni yang


terbaik, dan Pulangsih mengakui itu.”

“Apa ada gunanya lagi?

“Bumi dan Air sudah bersatu. Bukan Pu-Ni dan Air, bukan yang lainnya.

Masihkah penasaran dan tak mau menerima?
“Bukankah Guru yang lebih penasaran karena Bumi yang diciptakan diakui

sebagai milik orang lain?”

Sampai di sini Gendhuk Tri mengentakkan kakinya.

“Jangan asal bicara, Halayudha.

“Tak nanti Eyang Sepuh mengakui ilmu orang lain.”

Halayudha menggeleng.

Berulang.

“Kamu masih terlalu kecil untuk mengetahui semua ini.”

“Ngawur!

“Sudah jelas kamu yang mencuri kitab pusaka warisanku.”

Halayudha tersenyum.

Bagai seringai kesakitan.

Seakan duka abadi masih menetes dari napasnya.

“Gendhuk Tri, ambillah Kitab Air yang dibawa Sidateka. Entah kenapa bisa

disalin oleh pendeta dari Syangka yang sembrono itu. Bawalah semuanya. Kamu
berhak mendapatkannya.

“Tak ada gunanya lagi bagiku.”


Bahkan Singanada yang biasa berterus terang merasa aneh dengan perubahan
sikap Halayudha yang berbalik.

Gendhuk Tri sempat bertanya-tanya apakah Halayudha sedang menyusun
siasat kotor.

“Ambil kembali. Selama ini kusimpan di tempat pakaian kotor, yang tak bisa
diendus Sidateka.

“Gabungkan agar kalian meneruskan keinginan yang tak terlaksana.

“Meskipun itu membuat Guru sakit hati selamanya.

“Juga di tempat Guru bertemu para Dewa.”

Halayudha berbalik setelah mengangguk.

“Tunggu!”

Nyai Demang maju setindak.

“Bintulu, kamu sudah menyerah kalah?

“Kamu sudah mengundurkan diri? Baik, baik. Kini giliranku.”

“Bapa Guru jauh lebih tenang dan bahagia daripada Kakek yang masih
penasaran.”

Tangan Halayudha mengedut dan dua tombak prajurit di sampingnya bisa
diraup sempurna untuk dilontarkan ke arah Nyai Demang.

Yang dengan dingin menangkap.

Tombak itu retak.

Berkeping-keping.

Jatuh ke samping.

Dua kali Halayudha menjajal, hasilnya sama saja.


Halayudha menoleh ke arah Gendhuk Tri dan Maha Singanada.
“Itu adalah tugas kalian berdua, kalau ingin memulihkan Kakek Berune. Aku


tak ada urusan lagi.”

Halayudha mengibaskan tangannya.

Tubuhnya melesat ke arah luar Keraton. Sedemikian cepatnya sehingga

Singanada menggerung keras, dan kantar-nya terlontar. Karena menduga Halayudha
melakukan gerakan menyerang.

Tombak pendek itu meluncur tepat.

Halayudha hanya menggerakkan tangannya pendek, dan kantar itu terlontar
kembali.

Amblas ke kori butulan. Sehingga mengunci.

Tenaga kibasan yang luar biasa hebatnya. Tenaga yang sama yang ditujukan
kepada Nyai Demang. Yang berhasil dipatahkan dengan gampang.

Singanada memandang ragu ke arah Gendhuk Tri.

Keduanya berpandangan.

Menghela napas bersamaan.

Apa yang baru saja terjadi menyingkap banyak persoalan dalam hati masingmasing.


Gendhuk Tri membenarkan semua kalimat Halayudha. Termasuk bagian di
mana perpaduan antara jurusnya dan jurus Singanada yang menjadi sakti.

Ketika masih menyerang sendiri-sendiri, Halayudha seakan bisa
mempermainkan. Bisa membuat seolah latihan di mana Halayudha memberi
petunjuk.
Namun begitu berubah perasaan hati mereka berdua, serta-merta Halayudha bisa
terjerat.

Terkena lilitan selendang.


Padahal kalau dilihat dari kemampuannya, tak mungkin Halayudha bisa
tersudutkan dalam pertarungan.

Yang membuat Gendhuk Tri menjadi risau dan gamang ialah kenyataan bahwa
ia menyadari perasaannya ketika harus sama-sama menggempur tadi. Perasaan kepada
Singanada, seperti rasa kuatir, rasa membela, dan rela mengorbankan diri.

Hal yang kurang-lebih juga dirasakan oleh Singanada.

Hanya pada dirinya hal itu tidak begitu masalah. Karena merasa sejak

sebelumnya ia menyukai Gendhuk Tri dan Gendhuk Tri menyukainya.

Tak ada pikiran lain.

Tak ada kerisauan seperti yang dirasakan Gendhuk Tri.

“Mari kita ambil kitab pusaka itu, dan kita menyingkir dari tempat ini.”

Gendhuk Tri masih berdiri terpaku.

Nyai Demang memandang kiri-kanan.

“Di mana kamu, Dodot Bintulu?”

Perlahan-lahan tubuhnya bergerak, melaju ke depan, seakan gerakan yang

limbung. Seolah beban di tubuh Nyai Demang begitu berat, atau kakinya tak begitu
kuat.

“Kenapa tidak ditolong?”

Suara Cebol Jinalaya menjebol perhatian Gendhuk Tri.

“Tidak sekarang ini.

“Lebih mungkin membahayakan kami dan Nyai….”

Cebol Jinalaya mengangguk-angguk.

“Kalau begitu saya saja. Saya biasa mengantarkan orang menjelang ajal….”


Dua langkah kaki Cebol Jinalaya bergerak, Gendhuk Tri menarik kembali
dengan selendangnya. Lalu bersama dengan Singanada melangkah ke bagian samping,
menuju ke tempat kediaman Halayudha.

“Maaf, Senopati Campa, bolehkah aku yang tua ini mengenalmu?”

Singanada berbalik.

“Bukankah sekarang sudah mengenal?”

“Namaku Brahma. Aku dulu utusan Baginda Raja yang sama-sama dengan

Senopati Muda ke tanah Campa….”

“Itu kedua orangtua ku.

“Aku tak mau membicarakan itu. Maaf.”

“Apakah orangtua Senopati bernama Mapanji Wipaksa?”

Jari-jari Singanada saling beradu.

Gerahamnya beradu, menimbulkan suara keras.

Pandangan matanya tajam menusuk.

Gendhuk Tri bergidik karenanya.

Tak pernah ia mengetahui bahwa Singanada bisa berubah sama sekali.

Selama ini ia bertanya-tanya dalam hati, dari mana asal-usul Maha Singanada.

Yang diketahui hanyalah sepotong kecil: ia salah seorang putra senopati yang diutus
ke tanah Campa untuk mengantarkan putri Keraton yang bernama Dyah Ayu Tapasi.

“Jangan paksa aku bertindak kasar.”

Senopati Agung Brahma menggelengkan kepalanya.

“Rasanya aku mengenali.

“Tapi kalau Senopati Muda tak mau membicarakan, aku minta maaf.


“Maaf….”
Suara Senopati Agung Brahma menjadi sangat berat.
Wajahnya menunduk.
Kedua bahunya menggunduk.
Beberapa kali kepalanya menggeleng lemah. Seakan mengusir bayangan yang


ganjil dan tak bisa dilepaskan seketika.

Maha Singanada sendiri berubah sikapnya.

Pandangan matanya menatap kosong. Gerahamnya beradu. Tangannya kaku.

Langkahnya tak menentu.

“Kenapa kamu begitu kasar kepada orang yang lebih tua?”

“Aku tak mau kamu campur tangan urusanku.”

Gendhuk Tri mundur setindak.

Singanada menatap tajam.

Mendadak berbalik.

“Senopati Brahma, aku datang untuk membunuhmu.

“Bersiaplah.”

Singanada ternyata tidak main-main. Ia mengambil sikap sempurna. Kedua

tangannya bersiaga, membentuk sembah, lalu berubah dalam keadaan siap
menyerang.

Senopati Agung Brahma menggelengkan kepalanya.

Disertai helaan napas berat.

“Sudah lama aku mengubur semua yang berlalu.


“Kalau hari ini aku melangkah kemari, aku tak menduga bakal menemukan
begitu banyak yang telah kulupakan.

“Ah, ada sesuatu yang tak bisa mati dan dikubur.”

Melihat gelagat, Mahapatih Nambi memberi isyarat dan semua prajurit serta
para senopati bersiaga membela Senopati Agung.
Kidungan Masa Silam
GENDHUK TRI tegak, tak segera bereaksi.

Justru pada saat Singanada bersiap menghadapi Senopati Agung yang
dikelilingi semua senopati Keraton yang ada, Gendhuk Tri termenung.

Beberapa bayangan berkelebat dalam angannya secara tak teratur.

Dalam waktu yang singkat beberapa hal terjadi dan berubah dari yang telah
dikenalnya.

Yang paling mencolok ialah perubahan Halayudha. Senopati licik yang
dimusuhi Upasara—lagi-lagi Upasara, yang tak pernah merasa dendam pada
seseorang, tiba-tiba saja kelihatan ganjil perangainya.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Apa pun penyebabnya, perubahan itu kelewat mengejutkan. Yang juga
membuat Gendhuk Tri bertanya-tanya dalam hatinya ialah seolah Halayudha sendiri
tak menyadari sepenuhnya. Seakan ada kekuatan lain yang membuatnya berbuat
berbeda dari biasanya.

Keadaan yang sekarang dialami oleh Singanada.

Selama hari-hari terakhir ia mengenalnya, Singanada adalah ksatria yang
terbuka, lelaki yang bicara terus terang dan agak sembrono, tidak begitu
memedulikan tata krama. Akan tetapi, dengan satu pertanyaan dari Senopati Agung
saja, seakan menjadi pribadi yang lain.

Ada apa sebenarnya di balik ini semua?


Jawabannya adalah masa lampau. Kidungan yang terdengar sebelumnya, yang
masing-masing mengalami sebagai sesuatu yang tak ingin diketahui orang lain.

Sekurangnya begitulah jalan pikiran Gendhuk Tri mengenai diri Singanada.

Dibandingkan dengan dirinya sendiri, Gendhuk Tri tak pernah merasa bahwa
Singanada mempunyai alasan untuk gusar besar. Apalah artinya disebutkan siapa
nama orangtuanya. Yang bahkan Gendhuk Tri pun tetap tak mengenalnya. Selain
nama yang disebutkan sebagai senopati sabrang yang dikirim ke negeri Campa.
Seperti juga senopati sabrang lainnya.

Dengan duka dan derita yang pasti dialami. Kalaupun sesuatu yang mengerikan,
Gendhuk Tri kurang yakin hal ini, tak perlu membuat kalap.

Gendhuk Tri tak pernah merasa risau dengan dirinya, ia bahkan tak
mengetahui siapa kedua orangtuanya. Yang diketahui hanyalah sejak kecil ia
diselamatkan seseorang—bisa saja Jagaddhita, bisa pula Empu Raganata— dari
kemungkinan menjadi selir kesekian ratus Sri Baginda Raja. Ia bahkan belajar ilmu
silat tanpa mengenai nama ilmu silat yang dipelajari, sebelumnya.

Upasara—tidak adakah contoh lain, Gendhuk Tri?—juga tidak mengenai siapa
kedua orangtuanya. Selain sedikit petunjuk bahwa ia berasal dari Ksatria Pingitan.
Yang sangat mungkin sekali masih mempunyai darah Keraton.

Kalaupun tidak, kalaupun mereka ini dilahirkan sebagai kelompok paminggir,
kelompok yang asal-usulnya tak diperhitungkan dalam tata masyarakat, apa salahnya?

Gendhuk Tri masih berdiri mematung.

Pergelutan pikirannya masih belum selesai.

Selain masalah masa lampau, pikiran Gendhuk Tri juga dipenuhi dengan
berbagai kemungkinan dari pengaruh ilmu silat. Selama ini ia asal mempelajari saja,
dan langsung terjun ke medan pertarungan yang ada. Tanpa peduli apa-apa. Di masa
lalu ia pernah memutuskan telinga Mpu Ugrawe yang kesohor, pernah berhadapan
dengan saudara seperguruannya yang bernama Halayudha. Pernah kerasukan darah
yang sangat beracun.

Semua dijalani dengan menggelinding saja.


Akan tetapi kenyataan demi kenyataan baru memaksanya berpikir. Sejak
kemunculan Putri Pulangsih yang “antara ada dan tiada” yang bisa manjing ajur ajer
dalam pengertian yang tinggi, Gendhuk Tri tergugah hatinya.

Bahwa sesungguhnya ilmu silat yang dipelajari bukan hanya membentuk
dirinya menjadi bisa berjumpalitan atau mengerahkan tenaga dalam. Akibatnya yang
lebih langsung justru lebih hebat dari itu.

Yaitu perubahan dalam diri seseorang.

Pembentukan watak.

Bukan sesuatu yang sama sekali baru. Namun baru pertama kali Gendhuk Tri
menyadari secara dalam.

Pengaruh dalam watak inilah yang dulu menyebabkan Upasara Wulung—
aaaah!—memusnahkan ilmu silatnya. Pengaruh Kitab Bumi yang tak akan terpahami
sepenuhnya. Hal yang sama, yang mungkin sekali terjadi pada diri Halayudha!

Pada satu tingkat tertentu, jalan pikirannya menjadi berbalik.

Mendadak saja Halayudha mengetahui kesengsaraan gurunya. Merasakan
kepedihannya.

Pada satu tingkat tertentu, Kakek Berune masih menitipkan keinginan pada
tubuh Nyai Demang. Sementara tubuhnya sendiri sudah tidak memungkinkan.

Dilihat dari hal ini, Gendhuk Tri bisa menangkap dengan jelas perbedaan apa
yang dicapai para pendekar sejati. Eyang Sepuh, seperti juga Putri Pulangsih, telah
berada pada tingkat moksa, bisa lenyap seluruh raganya. Meskipun masih tergoda
untuk muncul kembali.

Sementara Kakek Berune, yang dikatakan melalui jalan agak sesat,
menghadirkan dirinya kembali melalui raga orang lain.

Lalu kalau benar ini pengaruh ilmu silat, apa yang tengah terjadi dengan
Singanada?

Lelaki gagah yang membuka mata hatinya sebagai wanita. Gendhuk Tri tak
mampu meneruskan pertanyaan karena mendengar suara Senopati Sepuh yang berat.


“Saya minta para senopati yang lain mundur.
“Ini tantangan seorang ksatria kepada ksatria yang lain. Tak ada hubungannya


dengan Keraton atau takhta.

“Saya minta semua saja mundur….”

Mahapatih Nambi mundur selangkah.

Diikuti para senopati yang lain.

Senopati Agung menunggu sesaat.

Mahapatih Nambi mundur lagi. Lima langkah.

Diikuti oleh yang lainnya.

“Aku sudah bersiap, Singanada.”

“Bagus. Aku sudah bersumpah, siapa pun yang menyebut nama orangtua ku

harus mati di tanganku.”

“Aku sudah menyebutnya.

“Bunuhlah kalau bisa.

“Hanya perlu kamu ketahui, anak muda, aku menyebut bahwa aku

mengenalnya. Karena kami sama-sama berangkat pada hari yang sama ketika
rembulan masih tersisa. Melalui lautan yang sama, menghirup angin yang sama.”

“Aku tak peduli itu.”

Senopati Agung mengentakkan kakinya.

“Aku tahu, bapakmu keras kepala seperti kamu.

“Tak salah lagi.

“Aku iri dengan keberaniannya.”

Tubuh Singanada tergetar.


Diiringi oleh jeritan mengaum, tubuhnya meloncat ke depan. Kelebatan
bayangannya menuju arah depan, tapi seketika berubah di delapan arah yang berbeda,
sebelum akhirnya menerjang maju.

Senopati Agung memperdengarkan suara nyaring yang sama.

Kakinya menjejak tanah, dan meloncat ke arah bayangan Singanada.
Mengikuti gerakan tubuh Singanada. Seakan wilayah udara yang dikuasai dengan
cepat direbut kembali. Ke arah mana Singanada berkelebat, ke arah itu pula Senopati

Agung memburu.

Dalam sekejap keduanya seperti main kejar-kejaran.

Diseling dengan berbenturan di tengah, saling mengadu telapak tangan, kaki,

yang cukup keras.

“Nawawidha.”

Gendhuk Tri menarik kepalanya sedikit. Teriakan Nawawidha kali ini justru

diucapkan oleh Senopati Agung! Bukan oleh Singanada yang sejak pertama dikenal
mempunyai cara bernapas melipat gandakan sembilan kali.

Singanada menggerung keras.

Tubuhnya menggeliat, memutar, dan menerkam Senopati Agung. Yang
terpaksa meloncat ke samping, untuk kemudian membuang diri ke arah dinding.

Singanada mengejar.

Hinggap di dinding.

Keduanya terlempar ke dalam.

Kembali ke dalam halaman prameswaren.

Seperti diketahui tadi mereka sudah berada di halaman depan, melewati pintu
kecil. Karena pintu itu ditutup paksa, sekarang keduanya melewati bagian atas.

Mahapatih Nambi tidak berdiam diri begitu saja.


Tubuhnya melayang ke atas, melompat dinding pembatas. Meskipun ia
dilarang Senopati Agung turun tangan, tak mungkin berpangku tangan kalau keadaan
membahayakan.

Gendhuk Tri mendongak ke atas.

Sekejap ia ragu. Menyusul ke balik dinding atau menunggu.

Sekejap berikutnya, ia melihat satu bayangan berkelebat datang dari halaman,
disusul bayangan berikutnya.

Singanada dan Senopati Agung sudah kembali ke tempat semula.

Dan melanjutkan pertarungan.

Tubuh Mahapatih Nambi pun melompat kembali. Justru pada saat itu
Singanada dan Senopati Agung melompat secara bersamaan ke balik dinding.

Raja Tanpa Takhta

TUBUH Mahapatih berada di halaman prameswaren, ketika Singanada dan Senopati
Agung di luar. Begitu juga sebaliknya. Sehingga sekilas seperti permainan petak
umpet yang menggelikan.

Namun para senopati yang lain menyadari bahwa yang sedang terjadi bukan
hanya permainan yang menggelikan. Bukan hanya Mahapatih yang ternyata tak bisa
menebak arah pertarungan. Melainkan pertarungan dua ilmu yang senada. Dua ilmu
yang sejak lama tak bisa disaksikan.

Senopati Agung selama ini tenggelam dalam kebesaran para senopati yang lain.
Kedudukannya tidak memungkinkan dirinya tampil sebagai ksatria yang memainkan
ilmu silatnya.

Baru sekarang ini muncul.

Itu pun bukan awal yang menguntungkan.

Karena sudah langsung menghadapi Pendeta Sidateka, dan kemudian
munculnya Halayudha secara meyakinkan. Sehingga tokoh terhormat yang
tersembunyi seakan makin tenggelam.


Dengan pemunculan Singanada, baru ketahuan bahwa Senopati Agung tetap
ksatria yang berilmu tinggi. Karena para senopati sudah pernah menyaksikan
kelebihan Singanada. Dan kini Senopati Agung mampu mengimbangi dengan baik.
Malahan beberapa kali mendiktekan jurus-jurus yang dimainkan.

Pada usia setinggi itu, kemampuan Senopati Agung menimbulkan kekaguman.
Apalagi kalau dilihat bahwa selama ini seperti tak pernah berlatih atau memunculkan
ilmunya.

Sementara di halaman terjadi pertarungan, di dalam Keraton terjadi sesuatu
yang tak diduga-duga.

Halayudha ternyata melesat masuk ke dalam Keraton. Dengan gagah dan
bertolak pinggang, tubuhnya melangkah lebar. Prajurit kawal pribadi Raja
disingkirkan dengan sekali menggerakkan telapak tangannya.

Dengan tetap berdiri gagah, Halayudha berdiri di depan kamar peraduan
Baginda.

“Sanggrama Wijaya, raja tanpa takhta, raja tanpa kebesaran matahari, apakah
masih melanjutkan mimpi yang indah dalam dekapan wanita-wanita ayu?

Suaranya betul-betul mengejutkan siapa pun yang mendengarkan.

Nada suaranya begitu tinggi.

“Apa yang kamu lakukan, Sanggrama Wijaya? Memerintahkan para istri
memijati kakimu yang tak digunakan melangkah? Memerintah dupa wangi mengasapi
rambutmu?”

Semua prajurit kawal pribadi Raja berdiri siap. Dengan senjata dan keinginan
untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dan udara yang diisap oleh Halayudha.

Sebagian sudah melarikan diri ke depan, untuk melaporkan kepada Mahapatih
Nambi dan para senopati yang lain.

Akan tetapi Halayudha seakan tak peduli.

“Ingsun masih tetap raja, memegang tampuk pemerintahan tertinggi. Ingsun
masih matahari yang tertinggi.


“Siapa bermulut lancang membusuk di depan pintu?”
Suara Baginda tetap mengguntur.
Nada dan wibawanya mengalahkan apa saja yang berada dalam ruangan


sekitar.

“Benarkah kamu masih memiliki takhta?

“Benarkah kamu masih setinggi matahari? Jangan-jangan itu hanya mimpimu

yang terindah saat ini.

“Sanggrama, kamu bukan raja.

“Kamu tak memiliki takhta kewibawaan. Tak memegang matahari. Kamu tak
berbeda dari Nambi, menjadi mahapatih telanjang. Tak beda dari Kala Gemet, putra
mahkota yang mengejar gadis lajang. Apa yang akan kamu persembahkan kepada
Dewa?

“Apa yang membuatmu merasa sama gagah dengan takhta yang dikenakan
Baginda Raja Sri Kertanegara?”

Mendadak pintu kamar peraduan membuka keras.

Dibanting dengan tenaga dalam yang besar.

Baginda menapak maju dua tindak.

“Ingsun di sini….”

Kegagahan dan kewibawaan masih terserap dengan jelas. Bukan hanya dari
penyebutan diri sebagai ingsun, akan tetapi juga memancar dari semua lubang kulit.

“Kamu di situ, Sanggrama.

“Semua tahu.

“Kamu menjadi raja.

“Semua tahu.


“Tapi apa yang kamu lakukan selama ini? Sibuk dengan permaisurimu yang
banyak, membiarkan senopati bertarung tak mematuhi perintahmu.

“Itukah perbuatan seorang raja, wakil para Dewa?”

Dengan satu tarikan napas atau satu kedipan mata, Baginda bisa membuat
seluruh prajurit dan senopati yang ada bergerak serentak. Sakti seperti apa pun,
Halayudha akan dibuat repot karenanya. Apalagi para prajurit dan senopati ini,
seluruhnya, akan menyerang tanpa memperhitungkan keselamatan dirinya.

Sepuluh prajurit terbunuh tapi bisa melukai Halayudha sudah lebih dari
cukup.

Karena tugas utama mengawal dan mengamankan Baginda.

“Begitu banyak kitab bagus, tapi kamu bercengkerama. Begitu banyak ilmu
sakti mandraguna, tapi kamu membuatnya tak bermakna. Begitu banyak
kawicaksanan bisa kamu lakukan, tapi kamu bekukan?”

“Apakah masih berani kamu melihat leluhurmu?”

Wajah Baginda merah seketika.

Gerahamnya beradu.

Giginya bersentuhan.

Pandangannya menyala.

“Setan busuk mana yang menelan rohmu, hai, kawula alit?”

Halayudha mendongak.

“Setan busuk mana lagi kalau bukan tetesan kawicaksanan, kebijakan, Baginda

Raja yang tanpa tanding di seluruh jagat ini?

“Baginda Raja yang menguasai takhta. Yang mengarungi semua samudra,
mendaki semua gunung, mengurung semua lembah yang diciptakan Dewa?

“Raja segala raja yang pernah ada.


“Takhta terbesar dari semua takhta yang ada.

“Wijaya, mimpi apa kamu selama ini? Bertakhta dan menikmati kehidupan
seperti prajurit kecil yang memenangkan pertarungan. Mendapat kenaikan pangkat

dan hidup bersenang-senang.

“Alangkah menyedihkan.

“Alangkah kerdilnya.

“Bagaimana mungkin yang begini ini mengaku turunan Singasari?”

Dalam telinga semua prajurit, dentuman halilintar di siang hari tak lebih

mengerikan dibandingkan apa yang diucapkan Halayudha sekarang ini.

Setan paling busuk yang sedang mabuk pun tak akan mengucapkan kalimat
sekasar dan sehina ini.

Bahwa berdiri di depan Raja saja, merupakan dosa yang tak bisa terampuni

selama tujuh turunan. Apalagi dilakukan seorang senopati!

Langit dan bumi serta seluruh isinya tak bisa untuk menebus kesalahan ini.

Apalagi bertolak pinggang dan mengeluarkan kata-kata lancang.

Dunia seperti dibalik-balik, dengan matahari muncul dari arah barat menuju

utara.

Yang lebih aneh lagi, Baginda justru terdiam.

Jelas terasakan kegusaran yang tinggi, akan tetapi tarikan napas dan suaranya

masih tetap menunjukkan kelebihan yang utama.

“Apa yang kamu inginkan, Halayudha?”

“Saya ingin mengabdi raja yang raja. Raja yang menguasai jagat.

“Raja yang duduk sejajar dengan para Dewa, yang memegang matahari di

tangannya tanpa merasa panas.”
“Apa yang dilakukan raja seperti itu?”


“Membuang abu dupa.
“Mengangkat senjata, membunyikan terompet, mengarungi seluruh jagat.


Menaklukkan jagat.”

“Apa itu semuanya?”

“Raja yang dari tarikan napasnya lahir karya-karya terbesar yang pernah ada.
Yang mengumpulkan semua kitab yang pernah ditulis manusia. Yang mengajarkan
ilmu kanuragan seluruh jagat. Yang melihat ada gunung dan sungai seberang yang
bisa dikuasai. Yang tidak memberikan tempat bagi anak-cucu dan keturunannya
mengalahkan semua. Yang membuat perahu besar agar cucunya berlayar. Yang
membuat gunung tinggi agar cucunya menggenggam matahari.”

“Apa itu pernah dilakukan?”

“Itu yang dipersembahkan kepada para Dewa.

“Semua tanah, air, batu, rumput, semut menjadi saksi. Kebesaran yang tiada

tara di kelak kemudian hari, dibangkitkan mulai hari ini.

“Itulah takhta yang sesungguhnya.

“Itulah ajaran hidup.”

“Semua sudah lewat.”

“Tak ada yang lewat!”

“Waktu berubah.”

“Kebesaran tidak berubah bersama waktu.”

“Keadaan hari ini tidak sama dengan kemarin.”

“Kebesaran, keluhuran, kawikcasanan selalu abadi, sampai saat para Dewa

menyatu dengan manusia.”
Kidungan Para Raja


BAGINDA menggerakkan jari kanan mengelus alis.

Halayudha masih memandang secara langsung.

“Tembangkan kidungan itu.

“Seberapa jauh kamu mengetahui?”

Halayudha menjulurkan lidahnya. Suara dari hidungnya mendesis.

“Ingsun lebih mengetahui dari kamu yang mencuri baca kitab pusaka,

Halayudha. Kamu tak akan pernah memahami.”

“Itu tandanya tak pernah dibaca dengan hati.

“Itu tandanya tak ada rasa tuntas.”

Tubuh Halayudha tergetar hebat. Seolah kedinginan, menggigil. Bergoyang

beberapa saat, lalu menunduk. Lututnya tertekuk. Ambruk.

Kepalanya condong ke depan.

Perlahan dahinya menyentuh lantai.

Seiring dengan itu terdengar kidungan yang lembut, perlahan, seperti desiran

angin menggoyang ujung daun yang menguning tanpa merontokkan.

Aku raja dengan takhta

yang mencipta kidungan Dewa

untuk para raja

sebab aku Kertanegara

hanya bisa bicara dengan sesama raja

walau tanpa mahkota


Raganata menyembah ujung kakiku
melaporkan Kitab Bumi sudah selesai
ia sudah tua, mau mati
tapi matanya tertutup
hatinya redup
aku berkata padanya

untuk apa itu semua
kalau dibawa ke alam baka

Raganata menyembah ujung kakiku
melaporkan Kidung Paminggir sudah selesai
aku katakan, aku sudah membaca
sebelum kidungan itu ditulis
sebab akulah raja
sebab akulah Dewa
kalau aku murka
karena kidungan itu
tak bisa ditembangkan sembarangan
hanya darah raja yang bisa


sebab hanya Dewa yang punya matahari

ada banyak raja
juga yang tak punya takhta
aku raja, punya takhta
punya semuanya
jagat ini bakal kukuasai
sebelum Dewa menyadari
Singasari ini kayangan
Tempat Dewa
Sebab di sini dituliskan
Kidungan Para Raja
Yang menguasai jagat seluruhnya
raja harus punya selaksa wanita
untuk melayani siang dan malam
raja harus punya lautan
untuk membasuh kakinya, siang dan malam
raja harus punya keris
untuk menggaris
raja harus punya selaksa hutan


untuk memelihara singa aduan
raja harus memiliki matahari
untuk mengalahkan Dewa
raja harus memiliki anak raja
jumlahnya selaksa

kau mengerti apa, Raganata?
kau tak berdarah raja
kau bicara apa, Raganata?
kalau Dewa tak memilihmu

inilah Kidungan Para Raja
raja segala raja
lahir dari Singasari
ke seluruh jagat

tulislah kidungan apa saja
tak akan mengimbangiku
sebab aku raja
dengan takhta seperti Dewa
yang melahirkan raja


yang mengalahkan Dewa….

Suara Halayudha lembut mengalun, akan tetapi dada Baginda naik-turun
karenanya. Setiap ujung suara beralun, setiap kali pula Baginda merasa perasaannya
diremas-remas.

Kidungan Para Raja adalah kitab pusaka Keraton Singasari yang ditulis sendiri
oleh Baginda Raja Sri Kertanegara. Menurut cerita yang didengarnya, Baginda Raja
masih menuliskan di saat-saat terakhir, ketika prajurit Gelang-Gelang di bawah
pimpinan Jayakatwang dan Senopati Ugrawe menyerbu masuk Keraton.

Sudah barang tentu Baginda mengerti dan pernah mendengar serta membaca
sendiri kidungan itu. Karena merupakan kitab pusaka Keraton yang tiada
tandingannya. Yang dikumpulkan bersama kitab-kitab utama yang ditulis oleh para
raja.

Dari sekian ratus segala jenis kitab, kumpulan Kidungan Para Raja menempati
tempat yang sangat terhormat. Boleh dikatakan tak ada angin yang bisa menjamah
selain seorang raja.

Maka termasuk langka kalau Halayudha bisa membacanya.

Meskipun kalau dirunut, bukan sesuatu yang mustahil. Sewaktu Baginda
belum menduduki takhta, keadaan tidak menentu. Terusirnya prajurit Kediri dan
kemudian pertarungan terakhir dengan prajurit dari Tartar serta pemindahan pusat
Keraton, sangat memungkinkan tangan lain memegang atau membuka.

Akan tetapi barangkali hanya Halayudha yang dengan jail mengintip baca.

Dan kemudian menembangkan!

Bahwa kitab ilmu silat .saja dirahasiakan begitu rupa, dan masing-masing
menganggap suci, bisa dimengerti betapa kaget Baginda mendengar Halayudha
membaca Kidungan Para Raja.

Aku telah mengirimkan selaksa perahu


menghitung jumlah air di laut biru
aku telah mengirim selaksa senopati

menikam keris seluruh negeri
aku telah mengirimkan putri-putri
meneruskan keturunan Singasari
aku telah menuliskan Kidungan Para Raja
mengalahkan para Dewa

sebut negeri mana
seberang macam apa
yang tak kudirikan panji kebesaranku
jawabannya: tak ada
aku telah mengalahkan Dewa
sebab aku telah menjadi Dewa
aku telah mengalahkan semua raja
sebab aku melahirkan selaksa raja

akulah raja, akulah takhta
akulah Dewa


akulah bumi dan air dan matahari
dan semuanya
menyatu dalam Singasari
menyatu dari Sri Baginda Raja Kertanegara
yang bersama
semesta
menciptakan semesta!


Di akhir kalimatnya, tubuh Halayudha seperti terangkat dari lantai. Melayang
ke atas secara perlahan, hingga tinggal dahinya yang menyentuh lantai.

Dengan napas Baginda mengiringi gerakan perlahan, dan kini sempurnalah
Halayudha melayang ke angkasa.

Tubuhnya, seluruhnya, tak menyentuh tanah.

Menggantung di tengah udara.

Beberapa saat.

Sebelum akhirnya terbanting kembali. Dengan suara keras. Secepat itu pula,
Halayudha meloncat bangkit. Bersamaan dengan itu pula para prajurit kawal pribadi
menyerbu karena menduga Halayudha melakukan serangan.

Tamat Bagian I

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 07, 2011 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

senopati pamungkas - potongan 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang