The difference doesn't deter love

10 2 2
                                    

Collaboration with @haula_taqya
***
"Pagi Kara cantik ...," sapa Raka yang sekarang duduk menghadap Kara yang sedang menyalin tugas Matematika. Kara hanya diam, tidak menghiraukan sapaan Raka dan tetap menyalin rumus-rumus dari buku Sela, sahabatnya.
"Sibuk banget ya Ra sampe sapaan calon pacar nggak dijawab?" ucap Raka sambil memasang wajah cemberut.
Pletak!
"Sampe kuda terbang jungkir balik juga gue nggak bakalan mau jadi pacar lo!" Jawab Kara sinis kepada Raka yang hanya dibalas dengan senyuman jail darinya. Teringat sesuatu, Raka mengeluarkan sekaleng selai kacang yang selalu dibawa olehnya.
"Raka! Jauh-jauh kalo makan gituan," ucap Kara kesal yang membuat Raka bersemangat menjailinya.
"Sini pacarku sayang! Aaaa." Kara yang benar benar kesal langsung menepis kedua tangan Raka yang pada akhirnya membuat toples selai kacang yang ada di tangannya jatuh dan pecah.
"Resek banget sih lo, kalo nggak suka tuh biasa aja," ucap Raka sedikit berteriak yang awalnya membuat Kara terkejut namun dia tetap tak acuh dengan Raka dan toples selai kacang yang pecah itu.
***
Setelah Kara menumpahkan selai kacang miik Raka kemarin, Raka sama sekali tidak menjaili atau mengajaknya bicara, bahkan dia seperti tidak menganggap Kara. Kara yang tahu bahwa Raka sedang marah jadi merasa bersalah. Kara memang tidak suka pada Raka tetapi Kara benci jika harus didiamkan Raka.
"Raka ..." sapa Kara dengan nada yang lembut agar Raka luluh. Raka tetap diam, tidak menghiraukan sapaan Kara.
"Raka ..." sapa Kara lagi.
"Raka si Mr.Peanut, dipanggil sang pujaan hati tuh!" ucap Verel salah satu teman Raka. Raka hanya menatap Kara tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Raka maafin gue," ucap Kara lirih.
"Apa? Kita nggak denger Ra," ucap Verel sedikit kencang sambil melirik mimik wajah Raka.
"Gue minta maaf, Ka," ucap Kara lagi yang sedikit dikeraskan.
"Yaelah, minta maaf kok pake 'lo-gue' sih, Ra?" ucap teman Raka yang lain.
"Raka Aditya Pamungkas, aku minta maaf!" Kara menuruti perkataan teman-teman Raka dengan berteriak.
"Cie, sekarang udah pake 'aku-kamu'." Goda Verel dengan senyum jailnya. Kara yang sudah mulai kesal dengan teman-teman Raka yang mengerjainnya akhirnya mengeluarkan sifat aslinya.
"Lo mau maafin atau nggak?" Tanyanya sinis.
"Hmm ... gue pikirin dulu deh," ucap Raka yang sedari tadi hanya diam mendengar ejekan teman-temannya.
"RAKA!" Bentak Kara yang semakin kesal.
"Iya-iya, tapi ada syaratnya, Sayang," ucap Raka menggoda. Raka sedang berpikir kira-kira apa syarat yang pas agar dirinya untung.
"Sayang-sayang kuda lo terbanh! Buruan, gue sibuk nih!" ucap Kara tidak sabar.
"Lo harus mau nge-date sama gue," ucap Raka santai. Kara membulatkan bola matanya dan terdengar sorakan dari teman-teman Raka.
"Gimana?" tanya Raka memastikan.
"Oke," ucap Kara kemudian langsung berjalan ke luar kelas.
"Nanti gue telpon ya Kara sayang," teriak Raka yag dibalas oleh satu kepalan dari tangan Kara.
***
Kara melakukan syarat yang diajukan Raka dan belakangan ini mereka sering jalan berdua, hari ini Raka akan menunjukan tempat makan di dekat sekolah yang terkenal dengan makanan penutupnya. Kara hanya menurut akan apa yang ingin dilakukan Raka, bahkan dia mengizinkan Raka memesankan makanan untuknya.
"Cacaote dua ya, Mbak," ucap Raka kepada pelayan yang melayani meja mereka, sepeninggal pelayan itu Raka pamit untuk ke kamar mandi kepada Kara.
Raka menengok ke arah Kara yang sedang menatap ke arah luar, kemudian menghampiri pelayan tadi. "Mbak, cream-nya ditambahin selai kacang ya," ucap Raka. Dia memang berencana untuk mengerjai Kara, sebab entah kenapa Kara sangat tidak menyukai makanan favoritnya hingga membuat Raka jengkel sekaligus penasaran.
Tidak ada yang berbicara diantara mereka, mereka hanya fokus kepada ponsel masing-masing, hingga makanan yang mereka pesan datang.
Raka yang melihat Kara sedang melahap makanan didepannya itu langsung tersenyum licik, tapi dia heran karena Kara terlihat sangat menikmati makanannya. "Ini enak banget," uap Kara yang membuat Raka semakin heran.
"Lo nggak ngerasa ada yang aneh gitu?" Tanya Raka yang dibalas dengan tatapan 'Maksud lo?' oleh Kara.
"Beneran nggak ada?" Tanya Raka penasaran.
"Nggak ada," ucap Kara yang telah mencicipi cacaotenya.
***
Raka sedang berada di dalam mobil bersama Kara, karena tadi saat baru setengah memakan cacaotenya Kara memaksa untuk diantar pulang. Sekarang dia terus diam tanpa ada suara sedikit pun, wajahnya juga terlihat pucat.
"Lo kenapa, Ra?" Tanya Raka. Tidak ada jawaban dari Kara, dia terus saja diam bahkan saat sudah sampai di depan rumahnya dia pergi begitu saja dan tidak mengatakan apa-apa. Raka berpikir apakah ada perkataannya yang telah menyinggung Kara, namun dia sadar bahwa sedari tadi mereka tidak banyak bicara, Raka mengggaruk kepalanya frustasi. Dia tidak tau apa yang membuat orang yang sangat dicintainya bersikap berbeda tiba-tiba.
Ya, Raka menyukai Kara sejak mereka masih SMP dan sekarang perasaan suka itu telah berubah menjadi rasa cinta, tapi dia takut mengutarakan perasaannya, dia bahkan belum sepenuhnya mengetahui seluk-beluk Kara, ditambah lagi pertengkarannya dengan Kara yang setiap hari selalu terjadi membuatnya menjadi tambah ragu untuk mengutarakan perasaanya.
***
Kara terbaring lemah di salah satu rumah sakit di daerah rumahnya. Tadi setelah Raka mengantarnya pulang dia merasa kepalanya sangat sakit dan saat dia akan membuka kamarnya dia tidak sadarkan diri. Orang tuanya segera membawanya ke rumah sakit, mereka tahu apa yang akan terjadi jika mereka tidak segera membawa Kara ke rumah sakit. Mereka bahkan sudah izin kepada wali kelas Kara karena Kara tidak mungkin sembuh dalam satu hari saja.
"Kara belum dateng?" Tanya Raka pada Sela, yang ditanya hanya menggeleng dan kembali fokus pada novel yang ada ditangannya.
"Lo kenapa sih Ra ..." ucapnya lirih supaya tak ada yang tahu kekhawatirannya. Sejak kemarin Raka mencoba menghubungi Kara namun tak ada respon darinya. Setelah wali kelas mengatakan bahwa Kara tidak masuk karena sakit dan sedang dirawat di rumah sakit, pikiran Raka terus tertuju kepada Kara. Ini hari kedua Kara dirawat di rumah sakit.
"Kara sakit apa ya?" Tanya Sela lirih, Raka yang mendengar Sela pun menoleh. "Lo tahu nggak, Ka?" tanya Sela kepada Raka.
Raka mengerutkan keningnya. "Kemarin dia makan sama gue, trus tiba-tiba dia minta pulang, waktu di mobil wajahnya pucet, dia diem terus lagi," ungkap Raka.
"Dia makan apa?" Tanya Sela seperti sedang menginterogasi di kantor polisi.
"Cacaote, terus cream-nya gue campur selai kacang," jawab Raka santai.
"Pasti kambuh lagi," ucap Sela sedikit pelan namun masih dapat didengar Raka yang langsung menatap Sela penasaran. "Apanya?" tanya Raka, namun Sela hanya menggeleng.
"Lo mau ikut gue?" Tanya Sela. "Ke mana?" Balas Raka.
"Jengukin Kara," ucapnya lalu dibalas dengan anggukan oleh Raka.
***
Kara memandang langit-langit kamar rawatnya, dia benar-benar bosan berada di rumah sakit. Dokter bilang dia sudah boleh pulang saat sudah pasti sembuh--entah kapan, Kara tidak mendengar dengan jelas ucapan dokter karena saat dokter berbicara dia masih setengah sadar.
Kara memalingkan pandangannya ke gelas setengah penuh yang ada di nakas. "Mau minum, Dek?" Tanya Ami, ibunda Kara yang baru pergi dari toilet.
Kara mengangguk pelan. Ami mengambil gelas itu dan mengisinya penuh kemudian mendudukkan badan Kara di atas kasur. "Pelan-pelan, Dek," ucap Ami mengingatkan Kara.
Kara meminum air di gelas perlahan hingga habis, Ami pun meletakkan kembali gelas itu di atas nakas. "Mau makan nggak, Dek?" Tanya Ami. Kara belum makan siang, sedangkan sekarang sudah pukul dua lewat tiga puluh menit siang. Tadi pagi Kara juga tidak mau makan banyak, hanya tiga sendok dia sudah kenyang--katanya. Ami khawatir dengan nafsu makan Kara yang menurun sejak dirawat di rumah sakit.
"Nanti aja ya, Ma," ucap Kara lirih, berusaha menjaga nada suaranya agar mamanya tidak mengkhawatirkan dirinya. Kara jadi merasa bersalah, karena harus menunggu dirinya di rumah sakit, mamanya izin kepada atasannya untuk tidak masuk kerja.
"Mau jalan-jalan ke taman rumah sakit nggak, Dek?" Tanya Ami karena Kara terlihat sumpek dua hari ini hanya berbaring, di rumah sakit pula. "Kata dokter, Adek udah boleh jalan-jalan kok, tapi harus pake kursi roda."
"Mau, Maa ...," ucap Kara menatap Ami manja. Akhirnya dia akan keluar dari kamar rawat yang bersuasana kelam itu.
Ami mengambil kursi roda yang ada di sudut kamar dan mendudukkan Kara di atasnya. Kemudian Ami mengambil botol infus yang digantung dan memberikannya kepada Kara.
Karena taman rumah sakit berada di depan, mereka hanya tinggal jalan lurus hingga ujung bangunan. Kamar rawat Kara berada di tempat yanh strategis. Jadi jika ada yang ingin menjenguk, tidak perlu repot-repot menunjukkan jalannya.
"Kara?"
Kara mengalihkan pandangannya dari botol infus yang dia tinggikan, karena jika tidak tinggi maka pergelangan tangannya akan mengeluarkan darah--entah kenapa--Kara tidak suka pelajaran biologi dan fisika.
Di hadapannya ada Raka dan Sela yany sedang menatapnya khawatir. Mereka baru pulang sekolah dan langsung pergi ke rumah sakit yang paling dekat dengan rumah Kara. Mereka beruntung langsung bertemu Kara.
"Temen-temennya Kara ya?" Tanya Ami ramah.
"Iya, Tante ...," jawab Raka dan Sela kompak sambil tersenyum dan menganggukkan kepala mereka.
"Kalo gitu Kara sama kalian aja ya ke depan sananya?" Tanya Ami sambil menunjuk sebuah bangku taman. Raka dan Sela melihat apa yang ditunjuk Ami sebentar kemudian mengangguk.
Sepeninggal Tante Ami, Sela mengambil kontrol untuk mendorong kursi roda Kara. "Ayo, Ka!" Ajak Sela sedikit keras karena melihat Raka yang terus-terusan menatap Kara.
"Jadi ... lo sakit apa?" Tanya Raka penasaran saat Sela duduk di bangku pas di belakang kursi roda Kata sambil mengambil alih botol infus, sedangkan Raka duduk di atas rumput tepat di depan Kara.
"Gue ...," Kara menggantungkan kalimatnya. Dia ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Raka sabar menunggu Kara yang sedang gelisah sambil meremas celananya.
"Gue pikir ini saat yang tepat, Kar," ucap Sela yang terdengar misterius di telinga Raka. "Gue rasa Raka bakal ngerti."
Kata berhenti meremas celananya. Sekarang dia hanya berpikir apakah akan mengikuti saran Sela atau tidak. Kara harap pilihannya.
"Gue ...." Kara masih ragu. "alergi kacang," lanjut Kara sambil memejamkan matanya.
Lima detik Kara menunggu reaksi Raka dengan jantung yang bergejolak. Kara sangsi Raka masih bertahan di depannya.
"Jadi ...?" Tanya Raka agak ragu. Dia bingung kenapa Kara harus merahasiakan alerginya.
Kata membuka kelopak matanya dan kembali menatap Raka yang ternyata belum bergerak sedikit pun dari tempatnya. Mimik wajah Raka terlihat bingung.
Seakan teringat sesuatu, Raka membulatkan bola matanya. "Ya ampun ... sori banget, Kar. Waktu itu gue jailin lo dengan ngasih selai kacang di cacaote punya lo."
Kara bingung, kenapa sekarang Raka minta maaf? Kara sudah menebak bahwa Raka menjailinya, tapi Kara sudah memaafkannya. Masalahnya, Raka itu suka selai kacang! Kenapa dia tidak menjauhi Kara? Padahal biasanya Raka tidak suka, bahkan terkadang benci dengan orang yang tidak sependapat dengannya.
"H-hah? Nggak papa kok, Rak," jawab Kara canggung.
Raka menatap kara lebih intens. "Kok nggak ikhlas sih, Kar?" Ucap Raka yang terdengar manja. Sempat-sempatnya bercanda di saat genting ini.
"Gue ... bingung aja, Rak." Kara mengalihkan pandangannya ke arah pohon yang ada di belakang Raka untuk menghindari tatapan Raka yang menyengat. "Bukannya lo benci sama orang yang nggak sependapat sama lo ya?" Tanya Kara bingung.
Raka tersenyum mendengar ucapan Kara. "Siapa bilang?" Jawab Raka menggoda "I love you Kara."
Pipi Kara memerah, senyum pada bibirnya pun tidak dapat ditahan. "I love you to Mr. Peanut" Kalimat  yang paling ditunggunya sejak lama pun akhirnya terlontar dari bibir Kara. Sontak saja Raka berdiri, hendak mencubit gemas pipi Kara.
"Ck!" Sela berdecak. "Di sini masih ada gue woy!" Ucap Sela mengingatkan Kara dan Raka.
Kara dan Raka pun terdiam karena baru ingat kalu di belakang Kara ada Sela yang dari tadi mendengar percakapan mereka. Rasa malu benar-benar menggerogoti mereka.
Sela tertawa melihat perubahan mendadak mereka. Akhirnya KaRaka bersama.

I Love You Mr. PeanutDove le storie prendono vita. Scoprilo ora