Kini aku menyadari tentang ketetapan hatiku terhadapnya. Aku memuja lelaki itu. Aku menyayanginya tanpa sebab. Ada banyak cara orang jatuh cinta, namun cintaku terhadapnya mengalir begitu saja seperti air sungai. Meski terkadang harus berhenti untuk berpikir ulang, namun rasa itu seperti arus deras yang menyeretku pergi makin jauh. Arus itu mengalir begitu saja, membuat hatiku makin melangkah jauh. Hatiku sedang diuji.***
Aku masih bertapa di rumah. Aftan pulang kembali ke kampung halamannya di Bali. Aku masih berpuasa seperti biasa. Kedua adik kembarku, Albi dan Maisha masih saja menggangguku. Mengajakku bermain sesekali, atau minta diantar ke tempat mengajinya. Aku senang di rumah, namun hatiku masih meredam rindu. Aku rindu senyum anak itu, aku rindu caranya mengerjap, mengedip, mengerling, lalu menyipitkan mata karena bingung. Sesekali aku senang sekali dengan ekspresi merengutnya, atau ekspresi antusias yang sering kali muncul tiap kali melihat hasil jepretanku.
Kegiatanku sehari-hari selain sholat dan juga membantu Mamah memasak untuk buka dan sahur adalah menatap layar HP, layar PC, lalu membuka kameraku. Tujuannya jelas. Aku ingin melihat wajah Aftan. Aku mencandu akan kehadirannya. Aku merindu akan keberadaannya. Aku menginginkannya.
"Kakak, ini foto siapa?" Maisha tiba-tiba merebut HPku. Aku melongo, bergerak cepat dan merebutnya dari tangan adik kecilku.
"Foto artis, Dek..."
Maisha mengangguk-angguk sok paham. Aku terpaksa berbohong karena takut kalau ditanya lebih jauh lagi. Bagaimana kalau adikku yang selalu ingin tahu ini bertanya siapa namanya, kenapa dipakai jadi wallpaper HP, dan sejenisnya. Maisha berlari setelah itu, lalu menyenggol kembarannya.
"Dek, di HP Kakak ada foto artis. Cowok, lho... manis."
Aku melongo. Anak zaman sekarang menakutkan. Bagaimana dia bisa berkomentar soal wajah seseorang secepat itu? Aku melompat ke arah Maisha dan menepuk pipi adikku sekilas.
"Dek, itu hanya foto latar saja kok! Foto aslinya tidak seperti itu..." Aku mengubah wallpaper HP secepatnya dan menunjukkan gambar pemandangan itu pada Maisha. Maisha mengerut.
"Kenapa diganti, Kak? Padahal bagus yang tadi..."
"Sejak awal kan memang ini, Dek. Main sana, jangan jauh-jauh!" Aku beralasan. Maisha dan Albi kembali bermain. Lelaki manis itu yang sedang kakakmu cintai, Dek! Aku sudah kehilangan separuh kewarasanku karena mencintainya.
Ini hanya sebuah candu terhadap rasaku, mengalir begitu saja. Membuatku berpikir kalau akan ada rasa manis lain yang membuatku mencandu. Terhadap lelakiku. Aku mencintainya. Aku jatuh cinta.
"Mas, baru balik?" Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan mendapati sepupu perempuanku berdiri di depan pintu kamarku.
"Jin?" ucapku cepat.
"Mas, jangan pakai panggilan itu!" Jina protes. Kami seumuran, bahkan hanya lahir berjarak beberapa hari. Jina adalah sepupu dari pihak Mamah.
"Ada apa? Tumben mampir."
"Kebetulan, ya ada mas di sini! Mas, nanti ikut yuk!"
Sebenarnya aku curiga. Jina bukan perempuan yang senang bergumul dengan bantal dan gulingnya. Kami mirip, senang keluyuran. Hanya saja destinasi kami berbeda. Jina lebih senang bermain ke tempat yang ramai.
"Kemana?"
"Temanku ajak buka bersama, tetapi aku tidak punya teman yang bisa diajak."
"Lalu kenapa aku?"
Jina merengut, lalu mengangguk paham. Dia menyerah, lalu mengembuskan napasnya kasar.
"Soalnya kemarin ada yang bilang naksir Mas, request untuk membawa Mas buka bersama nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Nama Tuhan Kita Berbeda
Художественная прозаIni kisahku dengan seorang lelaki. Lelaki yang bahkan membuatku tak mampu berpaling darinya. Kami berbeda dan sama dalam satu waktu. Aku teguh dengan tasbihku. Dia menyandang ajaran omkaranya. Aku bersujud di sajadahku lima waktu sehari, dia bersemb...