Mentari tak tampak di langit, padahal hari sudah pagi. Hanya ada cahaya temaram. Tertupi oleh awan sendu yang mulai menitikkan airnya sedari kemarin malam membasahi seisi bumi.
Kemarin, aku tertumpah derasnya hujan. Jangankan payung, aku tidak membawa apapun selain ponsel dan dompet. Dengan terpaksa, kubiarkan hujan jatuh ke tubuhku. Membasahi diriku di tengah malam. Akibatnya, aku sekarang meringkuk kedinginan. Suhu badanku naik. Aku demam.
"Makan dan segera minum obat." sahut seorang pria dengan serak.
"Hemmm ..." hanya itu yang bisa kujawab. Bergumam.
"Dengerin nggak?!" nadanya terdengar tidak bersahabat.
"Hemmm ..."
"Bangun! Sini, Kakak suapin." kali ini nadanya terdengar tulus.
Dengan susah, aku bangun dari ringkuk. Kepala rasanya ditimpa barbel. Badan remuk. Kubiarkan Kakak menyuapiku. Di rumah ini, aku hanya tinggal berdua bersama Kakak. Meski hanya berdua, Kakak tidak pernah mengabaikanku. Bahkan ia dengan protektif menjagaku. Seperti seorang Ayah yang menjaga putrinya. Ia juga memahami sepenuh diriku. Seperti seorang Ibu yang membelai kasih sayang kepada anaknya.
Begitu ektra sabar, akhirnya aku menghabiskan bubur yang Kakak bikin. Padahal aku memakannya sangat lama. Sakit ini membuatku tak nafsu makan.
"Kakak kerja dulu, ya." Kakak bangkit sembari membawa mangkuk bubur yang habis.
Aku mengangguk.
"Kalau ada apa-apa, telpon Kakak segera." tekan Kakak.
Aku mengangguk lagi.
Kakak hanya menghela napas dan beranjak pergi. Ada semburat cemas di wajahnya. Begitu berat ia meninggalkanku sendiri dalam sakit begini.
Aku kembali meringkuk setelah minum obat. Ada rasa kesal yang membuncah dalam dadaku. Pertemuanku denganmu. Membuatku semakin kalut. Bahkan aku tak menyangka air mataku berguguran saat teringat hari kemarin. Lambat laun, mataku terpejam. Istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Relung Diam
General FictionDiam. Suatu kata yang menjadi pilihan di saat semua suasana tak mendukung. Bungkam adalah yang terbaik. Diam bukan berarti tak mengerti apapun, tak memahami apapun, tak memedulikan apapun.