Mataku terasa panas. Mungkin ini memang akibat dari beberapa tangisanku dari kemarin. Bahkan, sekarang pun aku masih sedikit terisak kala melihat pohon milik ibu telah ditebang.
Pohon yang tadinya berdiri kokoh dengan daun hijau yang segar, pohon yang memberi kesejukan dan ketenangan, serta pohon yang menandakan kehidupan ibu, kini telah tumbang oleh warga.
Mereka melakukan hal tersebut bukan semata-mata ingin menyiksa, melainkan hanya melakukan sebuah tradisi yang telah kami yakini selama bertahun-tahun.
"Kau pasti kuat, Xylona." Monifa memegang bahuku sambil mengelusnya. Tangan hangatnya membuatku merasa lebih tenang dan nyaman, meski di dalam hatiku masih merasa sakit yang amat dalam.
Aku bergeming. Masih tak kuasa untuk sekadar berujar. Suaraku pasti akan bergetar dan putus-putus jika berbicara. Sehingga aku lebih memilih untuk tetap diam sembari menetralkan diriku untuk bisa menerima kepergian ibu.
Satu persatu para warga mulai meninggalkan area pohon ibu yang telah tumbang. Hingga akhirnya hanya ada aku, ayahku, Monifa dan dua orang teman ayahku yang mengurus pohon itu.
"Kau bisa pulang lebih dulu," kata ayahku lembut dengan senyum pilu di wajahnya.
Aku hanya mengangguk dan lekas berbalik menuju jalan pulang. Monifa yang sedari tadi di sampingku masih saja memegang kedua bahuku dengan tangannya.
Semilir angin di tengah hutan ini terasa begitu menusuk diriku. Hati yang terasa sakit ini seakan dingin terkena embusannya.
Langkahku terhenti.
Aku menginjak selembar daun hijau yang berada diantara ratusan daun kering berwarna cokelat.
"Ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Monifa ketika ia melihatku fokus pada daun hijau itu.
Aku menggeleng.
Lekas kupungut daun itu dengan kedua tanganku. Memandangnya seksama dan merabanya perlahan. Entah mengapa rasanya daun ini begitu istimewa untukku, meski aku tahu bahwa daun ini pasti bukan milik ibu.
"Jika tidak ada apapun, ayo kita kembali pulang." Monifa tersenyum, ia pun kembali menuntunku berjalan meski aku melihat dengan jelas ada sesuatu yang ingin Monifa tanyakan.
Aku hanya menurut saja.
Daun hijau yang sedari tadi aku pegang pun lekas kutaruh di lembaran buku diaryku karena daun itu pasti akan aman disana.
Pohon kehidupan milik ibu telah tiada bersamaan dengan kepergian ibu yang tak akan pernah kembali lagi. Dan sudah pasti, pohon kehidupan baru akan muncul menggantikan pohon milik ibu.
Namun pandanganku terhadap pohon kehidupan mulai memudar bersamaan dengan munculnya dia.
<<>>