22 :: Salah Siapa

186K 14.8K 5.6K
                                    

“ALDEN STEVANO!”

Lengkingan nyaring itu menggema di sudut rumah bernuansa putih itu. Lelaki berwajah imut itu berlari keluar rumah sambil tertawa bersama Johan yang juga berlari di belakangnya.

Untuk yang kedua kalinya, Alden membuat ulah di rumah Oom dan Tantenya. Kali ini masalahnya tidak sebesar masalah kemarin. Kemarin ia memecahkan guci milik tantenya, dan sekarang ia menjatuhkan pot bunga mawar di halaman belakang rumah.

“Alden, kamu tuh ceroboh atau apa sih!” omel Diana, tantenya Alden sekaligus istrinya Johan.

Alden berhenti berlari, begitupun Johan. Ia berbalik badan, “Maaf, Tante. Alden gak sengaja.”

Diana menyentuh keningnya, frustrasi akan kelakuan keponakannya yang satu itu. Selain banyak omong, Alden juga merupakan manusia yang sering sekali membuat masalah.

“Tante pusing liat kamu,” ujar Diana, “udah, kamu pergi aja sama Om Johan. Ke Bandaranya sekarang aja. Tante capek, mau tidur.”

“Tante ngusir Alden?” Alden cemberut.

Tanpa menjawab, Diana memilih untuk berlalu dari hadapan Alden dan suaminya. Ia akan menyuruh asisten rumah tangga untuk membereskan pot yang jatuh karena ulah Alden tadi. Ia lelah menghadapi bocah itu.

“Tante, maafin Alden, ya!” seru Alden dan dibalas anggukan singkat oleh Diana.

Johan melirik Alden seraya menyenggol lengan Alden dengan sikutnya. “Yuk, ke mobil.”

“Kopernya udah semua, kan, Oom?” tanya Alden, memastikan.

“Udah. Kita tinggal cus aja,” kata Johan, “Kuy.”

Dan sebelum Alden masuk ke mobil, ia berlari ke dalam rumah untuk menjumpai Diana hanya sekedar untuk memeluk dan mengucapkan selamat tinggal. Meskipun telah menyimpan rasa kesal yang mendalam terhadap Alden, Diana merasa ia pasti akan merindukan anak itu nantinya.

“Hati-hati, jangan sampe ilang di Bandara kayak waktu itu. Kalo udah sampe Jakarta, kabarin Tante, ya. Salam buat Mama kamu dan Aidan.” pesan Diana sebelum akhirnya Alden pergi.

***

Di lain tempat, Aidan bersama tiga temannya berjalan beriringan menuju lapangan basket. Seperti biasa, mereka menjadi tontonan para siswi SMA Dharma yang melintasi mereka. Dan seperti biasa juga, Aidan bersikap cuek seakan mereka tidak ada.

Di jauh sana, di tempat yang arah yang berlawanan dengan Aidan, ada cowok yang menatapnya dengan mendalam. Senyuman miring itu terukir di wajahnya, lalu ia mendekati Aidan. Kali ini ia sendiri, tidak bersama teman-temannya.

Bro,” Anof menyapa Aidan dengan hangat, membuat langkah Aidan otomatis terhenti.

“Shanin kenapa gak masuk?” tanya Anof. Yang ditanya hanya diam, bahkan muak untuk menjawab bila yang bertanya adalah Anof.

“Lo pasti tau kenapa dia gak masuk,” Anof menepuk bahu Aidan, “lo kan serumah sama dia.”

Aidan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasanya ia ingin sekali meninju wajah Anof sampai cowok itu tidak sadarkan diri. Rasanya ia benar-benar ingin memelampiaskan amarahnya pada cowok itu, mengingat apa yang telah Anof perbuat terhadap Shanin.

“Lo gak mau jawab, atau bisu?” ceplos Anof. Sedetik setelahnya, tinjuan Aidan meluncur dengan mulus di tulang pipi Anof. Anof lantas mundur beberapa langkah ke belakang sambil memegang pipinya yang terasa berdenyut hebat.

Aidan memincingkan matanya yang seakan menyala, wajahnya memerah serta urat-urat di lehernya menimbul. Ia maju mendekati Anof, lalu menonjok wajah Anof lagi.

SHAIDANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang