Seuntai Pesan

26 2 1
                                    

Oleh: Selamat Febriadi Ramadhona

Malam kian pekat. Suasana sangat gelap, dan sunyi. Sepi dan mengerikan sekali. Tak ada suara jangkrik yang terdengar berisik, burung hantu yang biasa memecahkan malam juga tak terdengar. malam itu terasa sangat sepi sekali. Desa itu bagaikan telah di telan rasa sunyi, tak ada lagi yang harus dilakukan.

Ahmad, ramaja lelaki duduk sendiri merenung nasibnya dan masa depannya. Entah berapa lama ia duduk termenung sendiri hanya ditemani sang malam yang sepi ini. Menatap jauh keluar jendela dan duduk disuah kursi kayu peninggalan Ayahnya.

"bagaimanakah masa depanku nanti?, biasakah aku sukses?" benaknya berkata.

"hah..." teriak hatinya "mengapa ini harus terjadi kepadaku?" sesalnya.

Sesal selalu datang terlambat. Ia merasa marah kepada dirinya mengapa ini harus terjadi begitu cepat. Ayahnya harus pergi meninggalkannya sebelum melihat dirinya sukses. Pikirannya merayap lagi menelusuri perasaannya yang tidak menentu. Melayang dibawa kegundahan yang mencekam dijiwanya.

"kalaulah Ayah masih hidup, dan berada di sampingku, mungkin warna hidupku tak sehitam ini,. Aku tentu bisa merasakan ramahnya dunia. Bagaimanapun penderitaan menyelimuti diri, setidak-tidaknya belaian kasih seorang Ayah tentu dapat membalaut luka ini. Hmm, Ayah" Ahmad membanting tubuhnya diatas tempat tidurnya, sembari mengeluh dan menatap langit-langit kamar"

Dengan cucuran air mata, yang memilu kalbu, Ahmad harus merelakan kepergian ayah kebanggaannya. Kini hanyalah doa yang dapat ia gemakan sepanjang masa, sebagai kunjungan kepada ayahnya, yang terbaring sepi di liang kubur, alam barzah.

Detik-tedik waktu terus membelai sepi di dalam hidupnya. Suasana semakin mencekam Ahmad masih terbaring lesu menyesali, apa yang terjadi. Bayangan ayahnya menjelme ketika ia memandang ke sebuah kursi tua peninggalan ayahnya, yang letaknya tidak jauh dari tempat tidurnya.

"ayah...." Teriaknya

"apakah itu benar-benar ayah" teriaknya sambil bangkit dari pembaringan

"tak mungkin itu ayah, ayah sudah meninggal" ucapnya lagi

Bayangan itu tetap tidak pergi dari pandangannya, bayangan itu seperti nyata, Ahmad semakin gundah hatinya, mengapa ayah mendatangi diriku. "ah aku harus melupakan ini semua, aku tak harus terus terpuruk atas kepergian ayah, aku harus bangkit dari kenyataan pahit ini" ungkapnya dalam hati, sambil menutup jendela kamarnya, dan membanting lagi tubuhnya diatas tempat tidurnya.

Detik-detik hari telah dilewatinya, Ahmad adalah anak lelaki satu-satunya, ia harus menjadi penopang hidup keluarganya, ia harus menghidupi dua orang adiknya dan ibunya yang dua minggu ini sakit-sakitan, telah bermacam obat diusahakan, dan bermacam ramuan juga telah di buatkan oleh dokter kampung untuk membantu ibunya, akan tetapi Tuhan belum mengabulkannya.

Dengan langkah pasti Ahmad mengambil alih fungsi ayahnya, mengais alam pencari nafkah untuk melanjutkan hidup di gubuk mereka yang beratapkan rumbia itu. Tak ada empadu yang pahit baginya. Tak ada pula gunung yang tinggi untuk pendakiannya. Semua, mau tak mau harus di tantang. Hanya dengan bermodalkan tekat ia tetap tabah mengarungi lautan hidup masa depan yang teramat gelap.

Begitulah Ahmad, dari pagi hingga sore, dengan memanfaatkan tulang dan otot serta ditemani oleh sebuah cangkul tua peninggalan ayahnya, pergi meninggalkan rumah, menjual tenaga. Bekerja disawah dan ladang orang, yang bersedia menerima dan membutuhkan tenaganya. Rasa lelah selalu menyelimuti hatinya, tapi itu semua ia tepis, karena memang inilah jalan hidupnya.

Ahmad kembali menatap ibunya yang masih terbaring lemas, penyakitnya belum sembuh jua, bibirnya memutih pucat. Wajahnya tampak meringis menahan sakit. Ahmad menetapnya haru, ia ingin memeluk ibunya itu, atau menjerit sekuatnya untuk melepaskan beban duka dihatinya.

Seuntai PesanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang